Kiara terlambat
datang bekerja!
Dengan
napas terengah Kiara setengah berlari menuruni bus kota itu sambil
menyumpah-nyumpah mengutuki dirinya sendiri. Kalau saja tubuhnya tidak terasa
begitu lelah, Kiara pasti tidak akan memutuskan tidur lagi siang tadi. Dia
berpikir hanya tidur satu jam saja karena rasa mengantuk menderanya begitu kuat.
Tetapi bodohnya dia lupa menyalakan alarm.
Ketika
terbangun, matahari sudah menyembunyikan diri di balik cakrawala, membiarkan
bulan menggantikan tugasnya. Kiara terlambat bekerja hampir satu jam.
Sambil
mengerutkan keningnya cemas, Kiara membayangkan bagaimana marahnya sang manager
cafe kepadanya. Manager cafe itu tidak pernah menyukainya, entah kenapa.
Mungkin karena Kiara bertubuh kecil dan dianggapnya lemah, sama sejali tidakj
bisa membantu jika ada pekerjaan berat. Selama ini dia selalu mencari-cari
kesalahan Kiara, mencoba membuktikan bahwa seorang perempuan tidak cocok
bekerja shift malam di sebuah cafe.
Napasnya
makin terengah karena berlari makin kencang, jarak dari halte bus ke cafe
memang biasanya dia tempuh sambil berjalan kaki ketika waktunya panjang, tetapi
sekarang dia harus sesegera mungkin tiba di cafe itu.
Setengah
melompat Kiara terburu-buru menyeberangi jalan itu, tempat cafe itu terletak
diseberangnya, sampai suara rem yang berdecit kencang dekat sekali dengannya
membuatnya memejamkan mata, kaget dan panik.
Aku
akan mati....
Desahnya
di detik-detik terakhir, tetapi ketika dia tetap memejamkan matanya, tidak
terjadi apapapun. Tidak ada rasa sakit di badannya, dan bahkan dia tidak
terguling jatuh tertabrak entah apapun itu. Dengan hati-hati, Kiara membuka
matanya,
Kumpulan
orang berkerumun melihatnya. Kiara mengernyit, orang-orang memang selalu
tertarik dengan kecelakaan, dan berkerumun. Dia menatap ke samping tubuhnya dan
menemukan sebuah mobil warna hitam, dekat sekali dengan tubuhnya, tampaknya
mobil itu di rem tepat pada waktunya sehingga tidak menyentuhnya meskipun hanya
berjarak beberapa centi dari tubuhnya.
Pintu
mobil terbuka, dan seorang lelaki tampan bertubuh tinggi dengan kacamata hitam
turun dari balik kemudi. Lelaki itu cemberut, dan ketika dia membuka
kacamatanya, Kiara menyadari bahwa lelaki itu adalah lelaki yang sama yang
membantunya semalam, salah satu pelanggan tetap cafe tempatnya bekerja.
"Dimana otakmu sehingga menyeberang terburu-buru seperti itu dan melupakan keselamatan dirimu?" Dahinya mengernyit, "Oh jangan lupa, keselamatan diriku juga, aku bisa saja membanting stir dan menabrak trotoar tadi kalau aku tidak bisa mengerem tepat pada waktunya."
Pipi Kiara memerah, malu dan gugup dimarahi di depan banyak orang begitu, meskipun banyak orang-orang yang berkerumun memutuskan pergi ketika menyadari bahwa Kiara baik-baik saja.
"Dimana otakmu sehingga menyeberang terburu-buru seperti itu dan melupakan keselamatan dirimu?" Dahinya mengernyit, "Oh jangan lupa, keselamatan diriku juga, aku bisa saja membanting stir dan menabrak trotoar tadi kalau aku tidak bisa mengerem tepat pada waktunya."
Pipi Kiara memerah, malu dan gugup dimarahi di depan banyak orang begitu, meskipun banyak orang-orang yang berkerumun memutuskan pergi ketika menyadari bahwa Kiara baik-baik saja.
"Maafkan
saya." Kiara bergumam lemah, sedikit gemetar tak tahan dengan tatapan
tajam lelaki itu.
"Kau
terluka?" tanya lelaki itu cepat, matanya menelusuri seluruh tubuh mungil
Kiara.
Kiara
menggelengkan kepalanya, "Tidak. Saya tidak apa-apa."
"Baguslah."
Lelaki itu mendengus kesal, "Lain kali hati-hati!" dengan ucapan
penutup yang sinis itu, lelaki itu membalikkan tubuhnya dan memasuki mobilnya
kembali, lalu melajukan mobilnya meninggalkan Kiara yang mundur kembali ke
trotoar sambil menatap mobil hitam itu melaju meninggalkannya hingga tertelan
keramaian jalan raya.
Kiara
menyeberang lagi, kali ini memutuskan untuk berhati-hati supaya kejadian
mengerikan dan memalukan tadi tidak terulang kepadanya, lagipula dia sudah
benar-benar terlambat sekarang. Kiara berdecak, manager cafenya akan berpesta
pora dengan kesalahannya ini.
***
Ketika
Kiara memasuki pintu belakang cafe itu, dia langsung berhadapan dengan Irvan,
salah satu pelayan pria di cafe, lelaki itu mengangkat alisnya ketika melihat
Kiara datang,
"Kami
kira kau tidak datang hari ini." gumamnya dalam senyuman, Irvan memang
termasuk salah satu pelayan cafe yang baik kepadanya, sementara pelayan yang
lain bersikap datar dan tak peduli, "Pak manager sudah mengomel-ngomel
dari tadi."
Kiara
melongok ke balik punggung Irvan, mencari-cari sosok pak Sony, Manager cafe
yang galak itu. Irvan tergelak melihat tingkah Kiara,
"Dia
tidak ada, dia sedang di depan. Cepat ganti pakaianmu dan bekerja, berharap
saja dia sudah lupa akan kemarahannya." Lelaki itu menepuk punggung mungil
Kiara, memberi semangat, lalu melangkah pergi.
Kiara segera merangkapi kemejanya dengan baju pelayan, mengikat rambutnya dan kemudian melangkah dengan hati-hati ke depan. Dia sedikit mengintip dan berdebar ketika mendapati Pak Sony sedang berdiri di dekat meja kasir, sambil menghela napas panjang Kiara melangkah keluar.
Kiara segera merangkapi kemejanya dengan baju pelayan, mengikat rambutnya dan kemudian melangkah dengan hati-hati ke depan. Dia sedikit mengintip dan berdebar ketika mendapati Pak Sony sedang berdiri di dekat meja kasir, sambil menghela napas panjang Kiara melangkah keluar.
Ya
sudahlah... apa yang terjadi, terjadilah...
Baru
beberapa langkah saja, rupanya mata pak Sony yang awas sudah langsung
menangkapnya. Lelaki itu mengangkat alisnya dengan galak dan menghampiri Kiara,
"Kau
pikir jam berapa ini? Kenapa kau baru menampakkan batang hidungmu heh?"
Kiara
hampir saja terlompat mendengar bentakan pak Sony di belakangnya, dia
membalikkan tubuhnya dengan hati-hati dan menatap takut-takut,
"Maafkan
pak... saya... saya kesiangan." Kiara sendiri merasa tak enak ketika
mengucapkan alasan yang paling tidak bertanggung jawab itu.
Sementara
seperti yang sudah diduganya, pak Sony malahan semakin marah mendengar
alasannya,
"Kau
pikir perusahaan ini milik ayahmu sehingga kau bisa seenaknya datang terlambat
dengan alasan kesiangan? Aku sebenarnya sudah tidak suka dengan kehadiranmu di
bagian pelayan cafe ini, kau harusnya tetap berada di bagian belakang menjadi
pencuci piring!"
Dan
kemudian, Pak Sony memberinya hukuman mencuci piring sendirian, seluruhnya
tanpa bantuan dari siapapun.
***
Setelah
selesai mencuci entah ratusan piring dan panci, wajan serta peralatan masak
lain yang berukuran besar dan lengket, Kiara menyandarkan tubuhnya di dinding
belakangnya dan menghela napas panjang.
Entah
berapa jam dia berkutat dengan kegiatan itu, ditatapnya kedua telapak tangannya
dan mengernyit, kulit telapak tangannya sudah keriput karena terus-terusan
terkena air dan di beberapa sisi mulai terasa pedih akibat kontak terlalu
intens dengan sabun cuci.
Kiara
menghela napas panjang, berusaha menyemangati dirinya sendiri dan menegakkan
tubuhnya. Pekerjaannya masih banyak, dan dia harus semangat. Dia membutuhkan
pekerjaan ini untuk hidupnya, Yang harus dia lakukan adalah bekerja lebih giat
sambil berusaha mencari jalan untuk menemukan kesempatan yang lebih baik.
***
Ketika
melihat tulisan di layar ponselnya, Joshua mengernyitkan keningnya. Itu telepon
internasional, dari nomor yang sangat dikenalnya, pengacara ayahnya di London.
Joshua
mendengus kesal, pengacara ayahnya sudah berkali-kali meneleponnya, membujuknya
supaya mau berkunjung ke London, mengunjungi ayahnya yang katanya kondisi
kesehatannya semakin memburuk.
Joshua
sama sekali tidak tertarik menemui ayahnya, lelaki itu dulu membuangnya dan ibunya
hanya karena mereka dianggap tidak sederajat dengan darah biru yang mengaliri
tubuh ayahnya, apalagi mengingat ibunya seorang asia yang hanyalah seorang
murid pertukaran beasiswa di kampus anaknya.
Kesalahan
masa muda. .Begitu dulu komentar kakeknya..... Joshua tidak mau menyebut lelaki
itu sebagai kakeknya, dia hanyalah lelaki tua aristrokat yang sombong dan tidak
punya hati. Lelaki tua itu, begitu mengetahui 'kelalaian' ayahnya yang
menghamili gadis asia yang dianggapnya tidak sederajat, langsung mengirimkan
ayahnya bersekolah ke Amerika, dan kemudian memberi uang kepada ibunya dan
mengatur kepulangan ibunya dengan paksa ke Indonesia. Ironisnya, ibunya
hanyalah seorang wanita muda yang tidak punya siapa-siapa di London yang
bisa membantunya melawan ketidakadilan itu, hingga pada akhirnya dengan pasrah,
membawa bayi dalam kandungannya pulang ke Indonesia.
Pada
masa itu, di tempat tinggalnya, hamil sebelum menikah merupakan aib tersendiri.
Orangtua ibunya marah besar ketika ibunya pulang ke Indonesia dalam keadaaan
hamil, dikeluarkan dari beasiswanya karena pengaruh kalangan atas di London,
dan mempermalukan keluarga. Beruntunglah seorang lelaki, sahabat ibunya di
masa lalu yang sangat menyayangi ibunya memutuskan untuk bertanggung jawab
kepada ibunya. Lelaki itu kemudian menikahi ibunya, menyelamatkannya dari aib
keluarga dan dengan tegar tetap menopang ibunya ketika banyak pandangan
mencemooh ketika ibunya melahirkan Joshua, anak lelaki dengan rambut cokelat
keemasan dan mata berwarna biru.
Joshua
lebih mengakui Nathan sebagai ayahnya, lelaki itu menyokong kehidupan ibunya,
memperlakukan Joshua seperti anaknya sendiri, membiayai sekolahnya hingga
menjadi arsitek yang sukses seperti sekarang. Sayangnya, sepertinya Tuhan
terbiasa mengambil orang-orang berhati baik lebih cepat supaya bisa segera
berada di sisinya. Lima tahun lalu, Nathan dan ibunya meninggal dalam sebuah
kecelakaan, meninggalkan Joshua benar-benar sendirian di dunia ini.
Ya.
Dia sendirian. Ayah kandungnya di London tidak masuk hitungan. Dua tahun yang
lalu, nama Joshua sebagai arsitek jenius dimuat dalam sebuah artikel bisnis di
London, kabar tentang dirinya sampai ke telinga ayah kandungnya yang saat ini
sudah memegang kerajaan bisnis besar mewarisi kakeknya yang sudah meninggal, ternyata
menyadari bahwa dia berhubungan dengan Joshua, sepertinya lelaki itu menyewa
detektif swasta karena beberapa lama kemudian, pengacaranya menelepon Joshua,
mengatakan bahwa ayah Joshua mengharapkan kedatangannya ke London,
Joshua
meradang. Punya hak apa lelaki itu sehingga tiba-tiba memasuki kehidupannya dan
memaksa Joshua menerimanya? Joshua sudah tentu tidak butuh ayahnya, dia lelaki
yang sukses dengan kemampuannya sendiri, dan sama sekali tidak membutuhkan
apapun dari ayahnya yang tidak bertanggungjawab kepadanya dan ibunya di masa
lampau.
Tetapi
ponselnya berdering terus. Pengacara ayahnya di seberang sana rupanya tidak mau
menyerah, dia pasti menyadari keengganan Joshua, karena itulah dia terus
menerus memaksa. Dengan jengkel Joshua mengangkat telephone itu.
"Ayah
anda sekarat." Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh pengacara
ayahnya dalam bahasa inggris berlogat kental ketika mendengar Joshua
mengucapkan "halo".
Josua
mengeluarkan suara decakan tidak peduli bergumam dengan bahasa ayahnya,
"Memang sudah saatnya."
Hening.
Pengacara ayahnya di seberang sana mungkin sedang menggeleng-gelengkan
kepalanya melihat betapa kejamnya Joshua kepada ayahnya. Dia lalu bergumam lagi
tampaknya berusaha menyabarkan diri,
"Beliau
tidak punya anak laki-laki, sementara itu warisan gelarnya harus diserahkan
kepada anak laki-lakinya, kalau tidak warisan itu akan diambil oleh sepupu
jauhnya. Ayah anda bersikeras untuk memberikan warisan gelar dan seluruh
hartanya kepada anda."
"Aku
tidak butuh gelar dan harta."
"Saya
tahu itu." suara pengacara ayahnya melemah, "Yang perlu anda tahu,
isteri ayah anda yang sekarang mempunyai dua orang anak perempuan yang
dibawanya dari pernikahan sebelumnya, jadi anak itu selain perempuan, juga
bukan merupakan darah daging ayah anda. Dan kalau anda mau tahu pendapat saya,
lebih baik harta itu jatuh ke tangan anda daripada jatuh ke tangan nenek sihir
itu. Dia akan menguras habis seluruh harta ayah anda begitu ada kesempatan, dan
saya mohon kepada anda karena hanya andalah satu-satunya yang bisa menjaga
warisan ayah anda."
***
Joshua
memandang berkas-berkas yang pernah dikirimkan oleh pengacara ayahnya
kepadanya. Berkas itu berisi inventarisir mengenai seluruh harta yang dimiliki
ayahnya, mencakup saham mayoritasnya di perusahaan miliknya juga beberapa
properti seperti rumah dan tanah.
Joshua
bisa saja mengabaikan itu semua dan menjalani hidupnya dengan tenang. Toh dia
tidak ada hubungannya dengan semua orang itu. Kalau memang harta ayahnya akan
jatuh ke tangan isterinya yang tamak, itu mungkin itu memang balasan yang
setimpal untuk ayahnya.
Tetapi
godaan untuk membalas dendam terasa begitu kuatnya. Ayahnya sekarang memohon
agar dia mau menerima gelar dan warisannya, gelar yang dulu membuat dia dan
ibunya ditendang dari kehidupan ayahnya. Ada kepuasan tersendiri ketika
membiarkan lelaki tua itu memohon-mohon kepadanya.
Joshua
tiba-tiba tersenyum sinis. Otaknya berputar mencari cara, menemukan jalan
membalas dendam yang paling menyakitkan untuk ayahnya dan keluarga angkatnya di
London.
***
Lelaki
itu datang lagi. Kiara mengintip dari balik tirai yang membatasi areal dapur
dengan bagian luar cafe. Lelaki itu tampak sangat misterius, selalu datang pada
waktu dini hari, kadang hanya merokok dan menikmati secangkir kopi, kadang dia
tampak sibuk berkutat dengan laptopnya, dan kemudian baru beranjak ketika pagi
menjelang.
Apakah
lelaki itu tidak pernah tidur?
"Mengintip
apa?" tiba-tiba Irvan muncul di belakangnya, ikut melirik dari balik tirai
dan membuat Kiara kaget setengah mati, dia hampir terlompat dan kemudian
menatap Irvan dengan jengkel.
"Bisa
tidak jangan muncul tiba-tiba di belakangku?" gumam Kiara setengah marah
setengah tersenyum. Karena Irvan yang paling baik kepadanya di cafe ini, mereka
cukup akrab untuk saling mengejek ataupun bercanda.
Irvan
terkekeh dan mengedipkan matanya, menatap ke arah lelaki penyendiri itu,
"Kau
mengintip lelaki itu ya?" bisiknya menggoda, "Karena dia sangat
tampan?"
Kiara
menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "Aku hanya penasaran kenapa dia selalu
duduk di situ sepanjang malam hingga pagi, apakah dia tidak tidur?"
Irfan
mencibirkan bibirnya, "Kalau tida tidak tampan pasti kau juga tidak
tertarik."
Pipi
Kiara langsung merah padam, tidak bisa berkata-kata. Tidak bisa dipungkiri
lelaki itu memang sangat tampan..... tetapi ada sesuatu dalam dirinya
yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang tersimpan dalam dan kelam. Dan Kiara
memahaminya, batinnya bertanya-tanya, apakah lelaki itu memiliki masa lalu yang
tidak menyenangkan seperti dirinya?
"Jangan
hanya berdiri di situ! Bersihkan meja-meja kotor itu!"
Suara
Pak Sony yang galak mengagetkan Kiara dan Irvan, mereka bergegas menuju area
cafe dan melaksanakan tugas, menghindar dari semprotan lelaki pemarah itu.
Dengan
ragu, Kiara membersihkan meja kotor yang terletak di sudut, dekat dengan lelaki
itu. Lelaki itu mengalihkan tatapannya dari laptopnya dan ada sinar di matanya
ketika menatap Kiara.
"Kenapa
perempuan sepertimu bekerja di shift malam seperti ini?" gumam Joshua
dengan suara datar, menatap Kiara dengan seksama dari ujung kaki ke ujung
rambutnya. Mereka berada cukup dekat karena meja yang dibersihkan ioleh Kiara
ada di dekat meja tempat Joshua duduk, karena itu Joshua bisa bergumam pelan
dan bisa didengar oleh Kiara.
Kiara
merasa tidak nyaman dengan tatapan yang menelanjangi itu, dan dia tidak menduga
lelaki itu akan menyapanya, dia memalingkan mukanya,
"Karena
memang hanya pekerjaan ini yang bisa saya lakukan."
Joshua kali ini benar-benar mengalihkan perhatiannya seluruhnya kepada Kiara, "Masih banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan perempuan sepertimu."
Joshua kali ini benar-benar mengalihkan perhatiannya seluruhnya kepada Kiara, "Masih banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan perempuan sepertimu."
Apakah
lelaki ini adalah jenis lelaki mesum yang menawarkan pekerjaan mesum kepada
perempuan lugu seperti dirinya?
Kiara
memandang Joshua dengan was-was, "Hanya pekerjaan ini yang mau menerima
saya. Saya memang lulusan sebuah SMU di desa, Ketika pergi saya membawa ijazah
SMU dan harapan untuk hidup yang lebih baik, tetapi rupanya banyak yang tidak
menghargainya di kota ini karena banyak saingan dengan pendidikan lebih tinggi
tetapi mau digaji sama.."
"Pergi
dari mana?" lelaki itu bertopang dagu, tampak tertarik, mungkin baginya
Kiara adalah selingan menarik di sela-sela kegiatan bersantainya.
Kiara
mendongakkan dagunya, "Dari panti asuhan." dia melirik tidak nyaman
kepada Joshua, karena sungguh tidak lazim seorang pelanggan bercakap-cakap
dengan pelayan cafe seperti ini, bahkan pak Sony tampak menatap mereka tanpa
malu-malu. "Saya harus pergi."
"Tunggu." Joshua meraih tangan Kiara, dan menggenggamkan sesuatu di tangannya, "Jangan kembalikan, karena aku cukup kaya dan aku tidak butuh ini."
"Tunggu." Joshua meraih tangan Kiara, dan menggenggamkan sesuatu di tangannya, "Jangan kembalikan, karena aku cukup kaya dan aku tidak butuh ini."
Kiara
segera melepaskan diri dari cekalan tangan Joshua dan melangkah memasuki area
belakang dapur, karena pak Sony menatapnya dengan tatapan mencemooh yang tajam,
mungkin lelaki itu mengiranya sedang merayu pelanggan.
Ketika
sampai di area belakang dapur yang sepi, dekat tempat cuci piring, Kiara
membuka kepalan tangannya dan menatap sesuatu yang dijejalkan lelaki itu dalam
genggaman tangannya.
Selembar
uang merah seratus ribuan....
Kiara
bergegas melangkah ke depan untuk mengembalikan uang itu. Lalu dia tertegun.
Kursi
tempat lelaki itu biasa duduk sudah kosong. Lelaki itu sudah tidak ada....
No comments:
Post a Comment