BAB
2
Joshua
menahan keinginannya untuk mendatangi cafe itu lagi. Perempuan pelayan
cafe itu, di luar dugaannya sungguh sangat menarik perhatiannya. Membuatnya
ingin melihatnya setiap hari. Joshua sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya dia
rasakan kepada perempuan pelayan itu. Dia berhati dingin, jiwanya yang kejam
adalah pembawaannya, sehingga dia cenderung tidak peduli kepada orang
lain. Tetapi perempuan pelayan itu begitu mungil, begitu tak berdaya dan harus
menjalani pekerjaan yang begitu berat. Joshua bertanya-tanya apakah perempuan
itu punya keluarga atau orang lain yang bisa mengurusnya.
Diluar
kebiasaannya juga, Joshua memberikan uang kepada perempuan pelayan itu. Dia
mengangkat bahunya dan sedikit merasa lega, mungkin perempuan itu bisa
menggunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhannya. Uang sebesar itu hanyalah
recehan bagi Joshua, tetapi dia tahu uang itu sangat berarti bagi perempuan
itu.
Tiba-tiba Joshua
tersadar... kenapa dia terus menerus memikirkan perempuan itu?
Dengan marah
Joshua meremas kertas pekerjaannya yang dari tadi tidak bisa diselesaikannya,
dia menatap nanar ke arah bawah, ke arah pemandangan malam kota dari
jendelanya. Tiba-tiba pikirannya melayang ke ayah kandungnya di luar sana. Dia
menahan napas gusar. Rencana balas dendamnya sepertinya sangat menarik untuk
dilakukan, dia hanya tinggal mengatur beberapa rencana, lalu semua akan
terlaksana dengan baik.
Joshua melirik jam
tangannya, tiba-tiba bertanya-tanya dalam hatinya, sudah dua malam dia tidak
mengunjungi cafe tempat gadis pelayan itu bekerja, ini sudah hampir jam lima
pagi, bukankah biasanya shift perempuan itu selesai jam lima pagi? Joshua tahu
karena dia selalu berada di cafe antara jam dua sampai jam lima pagi, dan
ketika sudah menjelang jam lima pagi, selalu terjadi pergantian shift
pelayan.
Sedetik dia
berpikir, kemudian dengan gerakan cepat. Joshua meraih jaketnya dan melangkah
keluar dari apartemen mewahnya itu.
***
Kiara merasakan
kepalanya pening, dia menghela napas panjang. Gawat sepertinya virus salah satu
pengunjung yang dari tadi bersin-bersin di dekatnya telah menularinya. Daya
tahan tubuh Kiara sedang lemah sehingga dia mudah tertular. Sekarang selain
pening di kepalanya, di bagian matanya terasa berdenyut-denyut dan seluruh
permukaan kepalanya terasa nyeri. Kiara menuggu dengan lunglai di pinggir
jalan. Udara pagi hari yang dingin terasa menerpa kulitnya, menyiksanya karena
terasa menusuk sampai ke tulang.
Kiara merapatkan
jaketnya yang terbuat dari bahan wol, jaket itu sudah menipis karena terlalu
sering dipakai dan dicuci sehingga tidak membantunya mengatasi hawa dingin. Dia
masih berdiri di tepi jalan yang masih lengang itu, hanya ada beberapa
kendaraan pribadi yang lalu lalang, dan taxi yang beberapa diantaranya memberi
isyarat pada Kiara, membuat Kiara harus menggelengkan kepalanya. Dia tidak
mampu pulang naik taxi, ongkosnya tidak akan cukup. Di pagi hari setelah
shiftnya dari cafe, dia akan berjalan ke jalan besar sejauh dua ratus meter dan
menunggu angkutan umum yang lewat untuk mengantarkannya ke dekat tempat
tinggalnya Oh ya ampun, dan dia harus berdiri di tengah hawa dingin ini
selama beberapa lama, angkutan yang melewati sekitar jalan ini biasanya baru
datang jam enam pagi, membawa barang-barang milik pedagang pasar pagi, Kiara
juga harus siap berdesak-desakan dengan para pedagang dan barang bawaannya
nanti, sementara dia sudah merasa ingin pingsan.
Dengan langkah tertatih,
Kiara berjalan menuju ke tempat duduk di halte tak jauh dari situ, dia sudah
tidak kuat berdiri lebih lama lagi. Demamnya makin terasa, membuatnya hampir
limbung, dan Kiara merasa cemas. Dia tidak boleh sakit.... dia tidak boleh izin
dari pekerjaan karena itu bisa menjadi alasan pak Sony untuk memecatnya....
Mata Kiara mulai
berkunang-kunang membuatnya berpegangan pada salah satu tiang halte itu,
menyandarkan tubuhnya di sana. Sampai kemudian sebuah tangan yang terasa kuat
menyentuh pundaknya, membuat Kiara hampir terloncat karena kaget.
"Kau tampak
tidak sehat."
Itu lelaki
penyendiri di cafe itu....tiba-tiba Kiara teringat, dia merogoh-rogoh sakunya
dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan berwarna merah yang sudah lecek
tidak karuan. Entah berapa ratus kali Kiara tergoda untuk menggunakan uang itu.
Kadang dia menaruhnya di pangkuannya dan menatapnya beberap lama, berpikir apa
yang akan dia lakukan dengan uang sebanyak itu. Kiara ingin mencicipi
tenderloin steak menu andalan cafe tempatnya bekerja, tetapi kemudian dia
mengurungkan niatnya, harga steak itu sendiri lima puluh ribu rupiah, dia akan
menghabiskan setengah uang itu hanya untuk makanan. Lalu Kiara akan memikirkan
cara lain, dia membayangkan membeli gaun yang sangat indah di toko baju yang
sering dilewatinya kemarin... tetapi lagi-lagi Kiara membatalkan niatnya, dia
masih belum butuh gaun, meskipun dekil dan jelek, gaun-gaunnya masih pantas
dipakai, lagipula Kiara bekerja mengenakan seragam yang disediakan untuk cafe
dan dia juga tidak punya teman yang akan mengajaknya keluar-keluar, jadi Kiara
tidak membutuhkan gaun yang bagus.
Pada akhirnya,
Kiara akan membatalkan semua niatnya untuk menggunakan uang itu dan akan
melipat uang itu, lalu meletakkannya dengan hati-hati di saku bajunya. Dia
harus mengembalikan uang ini. Kiara tidak mengenal lelaki itu, yang memberinya
uang ini. Siapa tahu apa maksud di baliknya? Jangan-jangan nanti lelaki itu
kembali dan menagih uang ini atau meminta tubuhnya seperti di film-film itu?
Kiara begidik ngeri, jangan sampai dia berakhir dengan menjual tubuhnya,
semiskin apapun Kiara, dia akan menjaga tubuhnya tetap suci, untuk pangeran
impiannya nanti... yang dia tidak tahu siapa dan sekarang entah berada di mana.
Kiara melewatkan
dua malam ini dengan menunggu lelaki penyendiri itu datang dan menghabiskan
waktunya di cafe seperti biasanya, tetapi dua malam berlalu dan lelaki itu
tidak datang. Untunglah sekarang dia bisa bertemu lelaki itu di sini, jadi dia
bisa mengembalikan uangnya.
"Apa?"
lelaki itu menatapnya galak dan menatap uang lecek di telapak tangan Kiara.
"Kau tidak
datang ke cafe jadi aku tidak bisa mengembalikannya...." Kiara menahan
peningnya, mendongakkan kepalanya menatap lelaki yang berdiri di depannya itu,
"Ini uangmu."
"Bukankah
sudah kubilang untuk tidak mengembalikannya?"
"Aku tidak
mau menerimanya." Kiara menatap lelaki itu dengan tatapan keras kepala,
mencoba membantah, tetapi tiba-tiba rasa pening yang amat sangat menerpanya,
membuatnya mengerang kesakitan.
"Kau
kenapa?" Lelaki itu menyentuh dahinya dan mengernyit, "Astaga, kau
panas sekali!"
Itu adalah
kata-kata terakhir yang didengar Kiara sebelum dia limbung dan kehilangan
kesadarannya.
***
"Dia
terjangkit flu dan kelelahan....." Dokter pribadi Joshua menemui Joshua
setelah memeriksa perempuan pelayan itu, yang sekarang masih terbaring pingsan
di atas ranjangnya, di dalam apartemen mewahnya. Joshua terpaksa membawa
perempuan itu ke apartemennya karena dia tidak tahu harus membawanya ke mana.
"Oke,
terimakasih dokter." Joshua menjawab sopan dan mengantar dokter itu ke
pintu. Sampai di pintu, dokter itu menghentikan langkahnya sebelum pergi,
"Di mana kau
menemukan perempuan itu, Joshua?" dokter itu sudah mengenal Joshua cukup
lama karena dia dulu menjadi dokter keluarga sejak orang tua Joshua masih
hidup, karena itu dia menganggap Joshua hampir seperti anaknya sendiri.
"Memangnya
kenapa dok?"
Dokter itu
menghela napas panjang, "Tubuhnya lemah, jadi daya tahan tubuhnya lemah
hingga mudah terjangkit penyakit... dan juga sepertinya dia kurang gizi."
Hati Joshua
terenyuh mendengarnya. Pantas saja perempuan itu begitu kurus, ternyata dia
kurang makan.
"Dia temanku,
sayangnya nasibnya memang tidak beruntung, jangan kuatir dok, aku akan
merawatnya." gumam Joshua sambil tersenyum.
***
Ketika Kiara
membuka matanya, dia terperanjat menyadari bahwa dirinya berada dalam kamar
yang tidak dikenalnya. Kamar itu indah dan semua barang di dalamnya mahal.
Kiara mengernyitkan dahinya bingung, di mana dia? Ingatan terakhirnya adalah
bertatapan mata dengan lelaki penyendiri langganan Cafe tempat dia bekerja itu.
Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi.
Kiara menatap
sekeliling lagi dengan waspada dan menghembuskan napas lega ketika yakin bahwa
dia sendirian di dalam kamar ini. Kamar siapa ini? Apakah lelaki penyendiri itu
yang membawanya ke mari?
Kiara melirik
tubuhnya dan mendesah lega sekali lagi karena menemukan dirinya berpakaian
lengkap di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Yah, dia benar-benar
demam ternyata, Kiara mendesah kecewa atas ketidakmampuan tubuhnya menahan
virus yang menyerangnya. Kepalanya pening dan sekujur tubuhnya terasa nyeri,
dia memijit kepalanya, berusaha meredakan rasa seperti berdentam-dentam di
sana.
Tiba-tiba saja
pintu terbuka, dan refleks, Kiara beringsut menjauh di atas ranjang ketika
melihat lelaki penyendiri itu memasuki kamar, dengan nampan berisi air dan teko
kaca besar di tangannya.
"Kau sudah
bangun rupanya." Joshua meletakkan nampan itu di meja di sebelah ranjang,
"Aku terpaksa membawamu ke sini, maafkan, kau pingsan di jalan begitu
saja."
Lelaki ini
menolongnya. Tiba-tiba saja Kiara merasa malu telah berprasangka buruk
kepadanya,
"Terimakasih."
suaranya serak dan pelan, sepertinya tenggorokannya juga terserang virus karena
sekarang terasa panas dan menyakitkan, terutama ketika dia menelan ludahnya.
Joshua
menganggukkan kepalanya, lalu mengulurkan tangannya,
"Kita belum
sempat berkenalan, aku Joshua."
Kiara meragu
sejenak. Kenapa lelaki kaya macam Joshua merasa penting untuk berkenalan
dengannya? tetapi dia kemudian membalas uluran tangan Joshua,
"Aku
Kiara."
"Kiara."
Joshua mengulang nama Kiara lambat-lambat lalu tersenyum, "Kau harus minum
obatmu, dokter memeriksamu tadi." Lelaki itu mengedikkan bahunya ke arah
obat-obat yang diletakkan di meja yang sama dengan nampan berisi gelas air.
Kiara menoleh ke
arah obat itu lalu menatap Joshua kembali
"Terimakasih,
maafkan aku sudah merepotkanmu."
"Sama sekali
tidak repot kok." Joshua menjawab tenang, masih tetap berdiri dan menatap
Kiara dengan tatapan mata penuh arti, "Minumlah obatmu dan
beristirahatlah."
Mata Kiara melirik
ke arah jam dinding. Jam enam...
"Apakah itu
jam enam pagi, atau jam enam sore?"
Joshua mengikuti
arah pandangan Kiara ke jam dinding itu, "Jam enam sore. Dokter
menyuntikmu dengan obat dan itu membuatmu tertidur pulas, bagus untuk
penyembuhanmu katanya karena kau butuh tidur dan beristirahat untuk
pemulihanmu." Joshua memandang sekeliling kamar, "Memang susah
membedakan pagi dan malam di kamar ini, kamar ini memang sedikit gelap
karena aku menutup jendela dan gordennya, aku pikir kau bisa beristirahat lebih
nyaman kalau suasana kamar temaram."
"Oh
Astaga." Kiara malahan terlompat dari posisi tidurnya, hampir tidak
mendengar kalimat terakhir Joshua, dia mulai panij, melemparkan selimutnya dan
berusaha berdiri, "Aku harus masuk kerja, bosku akan memarahiku kalau aku
terlambat." Kiara berusaha berdiri, tetapi kakinya terasa lemah seperti
agar-agar dan rasa pening yang amat sangat menyerangnya dengan begitu kuar,
membuatnya kembali limbung.
Joshua yang
berdiri di dekatnya langsung menopangnya,
"Kau ini
bodoh atau apa? kau demam tinggi dan flu berat, bagaimana mungkin kau bisa
bekerja dengan kondisi seperti ini? Shift malam pula!" dengan
marah tetapi tetap berusaha lembut, Joshua setengah mendorong Kiara hingga
tubuh perempuan itu kembali terbaring di ranjang.
Kiara mengerutkan
keningnya, masih merasa panik meskipun di dera pusing yang amat sangat,
"Bosku akan
memecatku kalau...."
"Shhh.."
Joshua menghentikan kalimat Kiara, "Minum obat dan tidurlah, biarkan aku
yang mengurus bos-mu. Ok?"
Kiara menahan air
matanya karena merasa begitu tidak berdaya, "Ok."
Lalu dia
membiarkan Joshua membantuya meminum obatnya dan membaringkan tubuhnya di atas
ranjang yang nyaman itu, lelaki itu menyelimutinya sebelum melangkah pergi.
Kiara masih merasa
panik atas pikiran akan kehilangan pekerjaannya. Pak Sony pasti akan marah
sekali kalau dia tidak muncul untuk bekerja malam ini..... tetapi kemudian
pengaruh obat membelit otaknya, membuatnya mengantuk dan kembali terseret ke
alam mimpi.
***
Joshua setengah
mengutuk dirinya sendiri karena mau-maunya melibatkan dirinya dalam urusan
merepotkan menyangkut Kiara.
Kenapa dia jadi
mengurusi Kiara? Kenapa pula perempuan itu pingsan tepat di depannya?
Joshua mendengus
marah, sekalian saja kalau begitu! perempuan itu telah mengetuk nuraninya,
membuat Joshua merasa asing kepada dirinya sendiri. Dia tidak boleh
terus-terusan didikte oleh nuraninya, dia harus melakukan sesuatu.
Yang pertama
dilakukannya adalah menemui lelaki yang bernama Sony, manager restoran itu.
Joshua setengah mengenalnya karena dia langganan cafe ini, dan lelaki gendut
pemarah itu selalu memperlakukannya dengan sikap menjilat yang memuakkan.
"Kenapa anda
ingin menemui saya, tuan Joshua?" Sony tentu saja tahu kalau Joshua adalah
lelaki kaya salah satu penghuni apartemen mewah di area dekat mereka. Pelanggan
kaya adalah raja, mereka harus diperlakukan dengan baik.
"Ini
menyangkut Kiara."
Kiara? Sony
mengernyitkan keningnya. Perempuan pelayan tak becus itu sepertinya terlambat
datang lagi malam ini, dasar perempuan tak becus, Sony sebenarnya sudah lama
ingin menyingkirkan Kiara, dia selalu menganggap Kiara lemah dan tak kompeten,
dan sekarang Kiara menunjukkan betapa pemalasnya dirinya karena terlambat
datang lagi. Kiara pasti ketiduran lagi! Awas saja! Sony sudah memikirkan
hukuman berat untuk Kiara, mencuci seluruh piring dan peralatan masak kotor
rupanya belum cukup berat bagi Kiara, mungkin dia akan menyuruh Kiara mengepel
seluruh lantai cafe dengan tangan dan menggosok seluruh kamar mandi di area
cafe. Mata Sony bersinar jahat, membayangkan kepuasan yang diperolehnya dengan
menyiksa Kiara.
Joshua menatap
sinar jahat di mata Sony dan tiba-tiba merasa marah. Lelaki ini adalah penindas
perempuan pelayan cafe itu. Sungguh Kiara pasti tidak akan bisa melawan si
jahat ini. Mungkin Joshualah yang harus membantu Kiara untuk membalas,
"Kiara tidak
akan datang lagi." Joshua bergumam dingin, "Dia sekarang bekerja
untukku." tanpa kata lagi, Joshua membalikkan badan dan meninggalkan Sony
yang terperangah bingung dengan apa yang dikatakan oleh Joshua.
***
Kiara terbangun
beberapa lama kemudian, dan mengerjapkan matanya. Obat itu seperti obat bius,
membuatnya tidurnya amat pulas, tetapi juga membuat tubuhnya agak terasa
enak.
Ternyata Joshua
sudah ada di dalam kamar itu, lelaki itu menatap Kiara dengan tatapan tak
terbaca. Apakah lelaki itu benar-benar pergi untuk menemui bosnya?
"Bagaimana
bosku?" Kiara bergumam pelan, dia berusaha duduk, "Maafkan aku
merepotkanmu, terimakasih sudah merawatku, aku akan pergi sekarang, mungkin
bosku masih mau menerima permintaan maafku karena terlambat datang... sekali
lagi terimakasih, aku akan pergi..."
"Kau tidak
akan pergi kemana-mana, Kiara."
Suara Joshua
tenang dan pelan, tetapi mampu membuat Kiara menghentikan kata-katanya dan
menatap Joshua sambil mengernyitkan dahinya.
"Apa
maksudmu?" Kiara bertanya, bingung.
Joshua menatap
Kiara dalam-dalam, "Kau sudah dipecat dari pekerjaanmu di restoran itu.
Bosmu memang jahat dan kau harusnya bersyukur bisa terlepas darinya."
Kiara
langsung panik kembali. Dia dipecat? Dipecat? Oh ya
Ampun, bagaimana dia bertahan hidup tanpa pekerjaan itu? Bagaimana dia makan
nanti? bagaimana dia membayar sewa tempat tinggalnya?
Joshua mengawasi
reaksi panik dan cemas Kiara, lalu bergumam,
"Tetapi kau
tidak perlu cemas memikirkan hidupmu, ada pekerjaan baru untukmu."
"Pekerjaan
baru?" ada secercah harapan di sana, Kiara menatap Joshua penuh harap,
mungkin lelaki ini menemukan koneksi baru tempat dia bisa masuk sebagai
pelayan? Kiara akan sangat berterimakasih kalau lelaki ini benar-benar melakukannya.
"Ya pekerjaan
baru, di sini, sebagai pelayanku." Joshua melemparkan
kata-kata itu dengan tenang, seolah menawarkan permen kepada anak kecil, yakin
akan disambar secepat kilat.
Yuphss, dr pada sama pak sony bisa2 suruh beresin cafe smpk pagi...oow tapi curiga juga sama josh hhahahah
ReplyDeleteiya sist... mending sma josh....
Delete