Bab
7
Finest Moment
"KENAPA kamu?" tanya Ayah begitu melihat Orion
yg babak belur.
Ares baru akan bicara ketika Orion bergumam ringan,
"Abis kena pukul preman kampus."
Ares melongo sementara Ayah mengernyitkan dahinya.
Saat ini, mereka semua sedang makan malam. Hanya Reina yg tidak ikut karna
masih sedikit demam.
"Apa mereka cari gara2?" tanya Ayah tak
suka.
"Biasalah," Orion melirik Ares yg
menggigit ayam gorengnya dengan buas. "Alasan nggak jelas." "Apa
kamu yakin preman2 itu nggak dikirim sama seseorang?" tanya Ayah lagi, ada
nada curiga pada suaranya, membuat Ares emosi.
"Maksud Ayah?" tanya Orion sebelum Ares
sempat membuka mulut.
"Sebentar lagi kan turnamen," Ayah
mengedikkan bahu. "Siapa tau ada yg mau ngerjain tim- mu."
Orion tertawa geli selama beberapa saat. "Mana
ada yg begituan, Yah! Itu kan cuma pertandingan."
"Jangan ngeremehin yg begituan Ri," kata
Ayah tegas. "Ayah pernah liat tawuran cuma karna tim-nya kalah. Dan ada yg
mati."
Hening sejenak di meja makan. Ares tahu, Ayah tadi
meliriknya tepat setelah selesai berbicara. "Tenang Yah," Orion
memecah kesunyian. "Aku bakal hati2. Dan menang juga."
"Semoga aja," kata Ayah kemudian diam
lagi.
Ares melirik Orion yg tampak sudah kembali makan.
Ares tahu, Orion tidak pandai berkelahi, dan kalah di setiap perkelahian dengan
siapa pun. Tapi Ares tak akan menyangsikan kemampuannya bermain basket.
Ares juga menyadari selama makan malam, atau
tepatnya, setelah dia memberitahu soal pekerjaannya kepada Ayah, Ayah tak
pernah lagi mengajaknya berbicara. Ares tiba2 teringat perkataan Reina, bahwa
Ayah sudah tua, hanya mengetahui bahwa Ares adalah anak yg nakal dan tak bisa
apa2 selain mempermalukan nama keluarga, juga diramalkan menjadi penyebab
kematian Ayah.
Ares meletakkan sendok dan garpunya, menarik napas
panjang, lalu mengembuskannya lagi dengan mantap. Dia merasakan tangannya
dingin.
"Yah," kata Ares membuat aktivitas semua
orang terhenti. Ayah, Ibu, dan Orion menatapnya heran. "Kayaknya kita
perlu bicara."
Ayah begitu terkejut sehingga sendoknya melayang
jatuh ke piringnya. Orion melongo dengan parah, sementara Ibu hanya bisa
membelalakkan matanya.
Selama beberapa menit, tak ada yg berbicara. Ares
menatap Ayah pasrah. "Ya udah kalo nggak bisa," katanya, lalu kembali
melanjutkan makan.
"Nggak, nggak," kata Ayah tiba2, membuat
Ares kehilangan napsu makannya. "Setelah makan. Di kamar Ayah."
Setelah Ayah bicara demikian, tak seorang pun lagi
berniat untuk meneruskan makan. Ayah beranjak dari kursinya lalu masuk ke kamar
dengan wajah tegang. Ares melirik kepada Orion dan Ibu yg juga tegang, air muka
mereka mengatakan agar Ares tak usah mencari gara2. "Tenang, Bu,"
kata Ares, lalu mengikuti Ayah masuk ke kamar.
Ares mendapati Ayah sedang duduk di kursi rias Ibu,
menghadapnya. Ares terpancang di tempat sejenak.
"Nah, apa yg mau kamu omongin? Semoga bukan
kamu kehilangan kerja, terus kamu mau minta duit sama Ayah," kata Ayah
ketus.
Ares menatap ayahnya tak percaya, lalu berusaha
mengendalikan diri. Ares tak akan menyia- nyiakan kesempatan ini hanya karna
termakan omelan Ayah.
"Yah...," kata Ares, tapi selanjutnya,
tak sepatah kata pun lagi keluar dari mulutnya.
Tenggorokan Ares serasa tersumbat.
"Ya ampun, Res, apa kamu habis bunuh anak
orang? Iya, kan? Iya, kan? Res!" sahut Ayah dengan wajah ngeri. Dia
sekarang berdiri dan mendekati Ares.
Ares menggeleng cepat, menghindari Ayah yg akan
segera memukulnya. "Bukan Yah, bukan itu!" sahut Ares sementara Ayah
terus mengejarnya.
"Lalu apa? APA, RES?" sahut Ayah lagi,
berhenti mengejarnya untuk mengurut dadanya.
Ares berhenti, lalu memandang Ayah yg segera duduk
di kasur untuk menenangkan diri. Ares menyingkirkan rasa takutnya, lalu
berjalan mendekati Ayah. Ayah tampak kesakitan karna jantungnya. Ares
menatapnya sedih. Ayah sudah terlalu tua. Ares tak bisa lagi mempermainkannya.
Reina benar. Selama ini, Ares terus-terusan menyalahkan Ayah yg tak pernah
menyayanginya. Padahal harusnya Ares bisa mengerti Ayah, dan menjadi apa yg
diinginkannya. Ares terlalu egois untuk itu. Ares 'senang' membuat Ayah marah.
Ares jatuh berlutut di depan Ayah, yg langsung
melongo. Ares menarik napas, lalu mengeluarkannya lagi. Tenggorokan Ares benar2
tersekat, seolah mengatakan satu kata saja akan membuat air matanya mengucur
keluar.
Ares memandang sosok tua itu, yg masih melongo
melihatnya. "Kenap-"
"Tolong, Yah," kata Ares, akhirnya bisa
mengumpulkan suara. "Tolong, maafin aku."
Ayah tambah melongo. Dia membuka-tutup mulutnya
bingung. Selama beberapa menit, Ayah hanya menatapnya tanpa bersuara.
"Aku janji nggak akan pernah ngecewain Ayah
lagi," Ares besusah payah menahan air matanya.
Entah mengapa saat ini dia menjadi sangat
sentimentil. "Aku janji."
Ayah berusaha mengatakan sesuatu lagi, tapi tak
kunjung keluar. Dia hanya bisa memandang Ares yg sudah menunduk lama, kemudian
menghela napas berat.
"Sudah, Res," kata Ayah, seperti lelah
dan tak percaya.
"Yah, aku serius!" sahut Ares.
"Suatu saat nanti aku bakal bikin Ayah bangga! Suatu saat nanti aku bakal
jadi anak yg bisa Ayah banggain!"
Ares hampir berteriak dan mengguncang-guncang tubuh
renta Ayah, tapi tak dilakukannya. Ares hanya diam di tempat, menahan segala
emosinya, dan menepis pikiran bahwa tidak seharusnya dia meminta maaf karna
sepertinya tidak berguna. Sampai kapan pun, Ares akan tetap dicap sebagai anak
yg memalukan, sekuat apa pun usahanya.
Ayah terdiam, tampak setengah-terharu
setengah-bimbang bagi Ares. Beberapa detik kemudian, tangan Ayah terangkat,
membuat Ares mengelakkan kepalanya karna menyangka akan kena pukul. Tapi
ternyata, Ayah malah menepuk pundaknya.
"Ayah tau kamu bisa," Ayah terdengar
lelah. "Sekarang sana, panggil Ibu. Minta dia bawain obat Ayah."
Ares melongo untuk beberapa detik, lalu segera
tersadar. Ares bangkit berdiri, memandang Ayah yg tampak enggan memandangnya
balik, lalu melangkah ke pintu dengan seulas senyum pada bibirnya.
Setelah keluar dari kamar Ayah, Ares mendapati Orion
dan Ibu menatapnya cemas. Orion mungkin tidak begitu kentara, tapi Ares yakin
Orion tadi berharap melihat sedikit luka di wajah Ares.
"Bu, Ayah, obat," kata Ares tak jelas,
lalu bergerak menuju gazebo dengan langkah seperti zombie. Tangannya mengelus
pundak tempat Ayah menepuknya tadi. Ares yakin, hidupnya akan terasa jauh lebih
mudah setelah ini.
"Yg bener?" teriak Reina girang esoknya,
setelah Ares menceritakan kejadian semalam. "Jadi, kamu udah baikan sama
Om?"
Ares menganggukkan kepalanya tak jelas, yg segera
dipukul oleh Reina.
"Jawab dong yg bener! Nggak usah pake gengsi
gitu," tegur Reina disambut cengiran Ares. Reina sangat senang melihat
Ares yg sekarang tampak jauh lebih bahagia. Ares meluruskan duduknya di samping
Reina, matanya menerawang ke luar jendela.
"Selama ini aku bener2 bego. Nggak dewasa.
Seneng nyalahin orang lain. Seneng nyusahin orang lain. Seneng buat orang lain
khawatir," kata Ares seolah membuat pengakuan dosa. Ares terdiam sebentar
untuk mengambil napas. Reina membiarkannya. Reina ingin mendengarkan Ares.
"Udah terlalu banyak orang2 yg jadi sasaranku.
Ayah. Ibu. Wanda. Dipo. Lala. Semua orang," lanjut Ares, lalu menoleh
kepada Reina. "Kamu."
"Selalu. Selalu nyalahin semua orang, tanpa
pernah berpikir kalau setengahnya atau lebih adalah kesalahanku juga. Nggak
pernah berpikir jernih, selalu bertindak berdasarkan apa yg aku liat. Mungkin
karna, yah, karna aku nggak pernah bisa percaya lagi sama kata hati aku. Kamu
tau, kan, aku udah berhenti berharap sejak lama," kata Ares lagi. "Tapi
mulai sekarang, aku bakal coba lagi untuk berharap, dan semoga aja, harapanku
bisa terwujud, supaya aku bisa percaya lagi sama kata hati aku. Omonganku aneh
nggak Rei?" tanya Ares ke arah Reina, yg tersenyum.
"Nggak, kok," Reina meraih tangan Ares
dan menggenggamnya. "Kalo begini caranya, kamu bisa menang lomba pidato
antar-RT."
Ares nyengir lebar, lalu mempererat genggamannya.
"Kamu tau, Rei," kata Ares kemudian.
"Semua ini, semua perubahan ini, semuanya karna kamu. Kamu yg membuka hati
aku, kamu yg... yg begitu sabarnya nemenin aku, bahkan bertahan di saat aku
bener2 kacau. Aku nggak tau keajaiban apa lagi yg bisa bikin aku lebih bahagia
dari ini."
Reina tergelak. "Oke, sekarang yg aku tau,
kamu tukang gombal."
"Aku nggak gombal," kata Ares cepat2.
"Yah, sedikit sih, di bagian akhir..." Reina pasang tampang cemberut.
Ares tertawa kecil.
"Bener kok, Rei," kata Ares lagi, matanya
menatap Reina serius.
"Berkat kamu, semua bebanku terangkat. Kamu
bener2 seorang malaikan penyelamat bagi aku." Reina tersenyum sesaat, tapi
lantas memandang Ares bimbang. "Tapi Res, masih ada yg belum kamu
selesaiin."
Ares memandang Reina heran, wajahnya meminta
penjelasan lebih lanjut. "Orion," kata Reina lagi.
Ares kembali menatap ke luar jendela. Didengarnya
Orion menutup pintu depan dan suara motor dinyalakan. Jelas dia akan berangkat
ke kampus untuk berlatih basket. "Kamu tenang aja, Rei," kata Ares
kemudian. "Kami bakal baik2 aja kok." Tapi Reina tahu, Ares sendiri
tak yakin dengan ucapannya.
"Nice shot!" seru Reno ketika Orion
berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
Raul memandang Orion tidak suka, sementara Orion
tidak mengacuhkannya dan berjalan ke bangku untuk mengambil handuk. Orion
sedang mengelap wajahnya ketika Raul mendekatinya. "Lo nggak ambil serius
kata2 gue kemaren rupanya," kata Raul sambil berpura-pura minum untuk
menghindari tatapan curiga Reno.
"Buat apa?" tantang Orion.
Raul terdiam, dan Orion dapat melihat dia
mengepalkan kedua tangannya dengan gemetar. "Denger, gue butuh ini,
oke?" katanya dengan nada mengancam. "Kalo lo pikir ini cuma sekadar
turnamen, ini bukan buat gue. Gue bener2 butuh main di turnamen ini."
"Kenapa?" balas Orion ketus. "Oh,
tunggu. Jangan dijawab. Gue rasa gue tau kenapa. Ini karna Lala, kan?"
"Bukan," sahut Raul dingin sambil melirik
Lala yg sedang duduk di bangku penonton. "Ini soal hidup dan mati
gue."
"Oh, jadi kalo lo nggak ikut final, lo bakal
menggelepar, trus mati, gitu?" sindir Orion, lalu terkekeh.
"Lo tau kan, bokap gue mantan petinggi basket
terkenal," sergah Raul. "Kalo gue nggak main, gue nggak akan bisa
dilirik manajer tim2 besar! Dan bokap gue bakal bunuh gue!"
Orion menatap Raul galak. "Sejak kapan lo jadi
pengecut gini, heh?" sahut Orion. Wajahnya hanya berjarak tiga senti dari
wajah Raul. "Sekarang lo minta belas kasihan gue untuk main di final cuma
karna lo takut bokap lo?"
Raul tampak terhina sesaat, tapi itu tak bertahan
lama. Dia kembali mengeluarkan wajah liciknya, lalu mencondongkan tubuhnya ke
Orion sehingga mereka sekarang hanya berjarak beberapa mili saja.
"Gue udah meminta lo baik2, bahkan ngasih tau
alasan kenapa gue pengen banget final ini, tapi lo kayaknya terlalu sombong.
Jangan salahin gue kalo terjadi apa2 nantinya. Inget itu," ancam
Raul, lalu bergerak pergi.
"Kalo lo emang pengen banget, kenapa lo nggak
berusaha?" sahut Orion kesak.
Raul tak menjawabnya. Dia berjalan kembali ke
lapangan, sambil berusaha menahan rasa sakit di lututnya yg sudah setahun ini
menderanya.
Ares merebahkan dirinya di sofa. Hari ini, sesuatu
yg besar telah terjadi padanya, pada hidup dan cita-citanya. Ares sudah
mendaftarkan diri sebagai siswa sekolah penerbangan di Deraya Flying School di
bandara Halim Perdana Kusuma. Tadi pagi setelah kuliah, Ares mengecek
persediaan uang di ATM-nya. Ternyata sudah cukup untuk membiayai sekolahnya.
Ares telah mengambil formulir, mengisinya dengan
penuh gairah, lalu diam2 membubuhkan tanda tangan Ayah yg sudah lama
dipalsukannya. Besok, Ares akan melakukan serangkaian tes kesehatan. Ares yakin
dirinya cukup sehat, kecuali keadaan paru-parunya yg sudah memburuk karna
rokok. Tes kesehatan ini diperlukan untuk mendapatkan Student Pilot Permit dari
pihak Deraya.
Ares mengempaskan kepalanya ke atas bantal dan
membayangkan dirinya menerbangkan sebuah pesawat jet. Ares melakukan beberapa
manuver, membuat semua orang yg menonton di bawahnya berdecak. Ares menemukan
keluarganya di antara orang2 itu, dan dari langit, Ares bisa dengan jelas
melihat Ayah yg tersenyum bangga.
Ares membuka matanya lagi. Ares tak pernah
sesemangat ini dalam hidupnya.
Keseluruhan tes berjalan dengan sangat melelahkan.
Ares tak tahu apakan dia bisa lulus atau tidak. Pada saat tes kesehatan tadi,
Ares melihat dokter mengernyitkan dahinya saat mengecek paru-paru Ares melalui
stetoskop -dan mungkin akan lebih tercengang dengan hasil rontgen nanti.
Mengenai luka2 di wajah Ares yg seperti menjelaskan bahwa Ares adalah preman
terminal, jelas dokter itu tidak begitu terkesan. Ares sampai lelah karna tes
yg berlangsung sangat lama itu.
Sekarang, Ares tinggal menunggu hasil tes kesehatan
itu, sambil menyesali hobi merokoknya, karna bisa saja hal itu menjadi
penghambat cita-citanya. Nanti setelah Ares mendapatkan hasil tes yg baik, baru
Ares akan diperbolehkan untuk mendapatkan Student Pilot Permit. Sebelum itu,
harus melakukan tes bahasa Inggris dulu dan Ares yakin untuk hal yg satu ini.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Ares tak bisa
menurunkan otot bibirnya. Semua orang di bus disenyuminya. Dia sangat bahagia
sekarang, mengetahui cita-citanya tinggal selangkah lagi. Ares membayangkan
akan mengajak Reina terbang ke tempat2 romantis di seluruh dunia.
Ares terduduk tegang saat tiba2, dia teringat
sesuatu. Sesuatu yg sangat penting. Reina sudah terlalu lama berada di
Indonesia. Dia pasti akan pulang beberapa hari lagi, dan Ares tidak
menyadarinya. Atau mungkin saja Reina pulang hari ini, Ares tidak tahu lagi.
Ares memukul kepalanya, menyesali kebodohannya karna selama ini tidak pernah
bertanya pada Reina. Di sisa perjalanan, Ares berharap-harap cemas Reina masih
di rumah.
Ketika sampai, Ares melihat rumahnya sepi dan
gelap. Tak sorang pun ada di sana. Kalap, Ares menggedor-gedor pintu rumahnya,
tapi tak ada yg menyahut.
Ares menjambak rambutnya. Tidak mungkin Reina pergi
tanpa memberitahunya. Mungkinkah, mungkinkah Reina sengaja tidak memberitahunya
untuk membiarkannya pergi ke Deraya tanpa beban?
Ares kembali menggedor-gedor pintu rumahnya keras2,
darahnya sudah mencapai kepalanya. "Kalo begitu caranya ngetok pintu, yg
ada pintunya jebol," kata Orion dari belakang Ares.
Ares berbalik, lalu mendapati Orion sedang berjalan
ke arahnya. Orion melewatinya untuk
membuka pintu sementara di belakangnya, tampak Ibu
yg sedang mengangkut turun belanjaan, Ayah yg sedang mengunci mobil, dan Reina
yg sedang tertawa-tawa sambil membawa sebuah bungkusan.
Entah harus lega atau kesal, Ares hanya bergeming
di tempatnya semula. Ibu melewatinya
bingung, Ayah juga, tapi Reina berhenti di depan
Ares melambai-lambaikan tangannya yg lentik di depan wajah Ares.
"Res? Kenap-"
"Sini," kata Ares dingin, lalu menarik
tangan Reina ke luar rumah dan membawanya ke taman. Reina sendiri menatap
punggung Ares bingun.. "Ada apa sih?"
"Kamu mau bilang, atau kamu sengaja nunggu aku
lupa, trus tiba2 mati shock waktu tau kamu harus pulang ke Amerika
mendadak?" sahut Ares keras.
Reina terdiam sesaat, tatapannya berubah sedih.
Reina menggigit bibirnya keras2, tak langsung menjawab pertanyaan Ares. Ares
menyipitkan matanya curiga, lalu menghela napas.
"Ya ampun, kamu udah mau pulang. Iya,
kan?" sahut Ares lagi. "Kamu habis belanja buat oleh- oleh, ya kan?
Kamu udah mau pulang, kan?"
Reina membiarkan Ares berteriak-teriak. Reina
sebenarnya tak ingin membuat Ares sedih, tapi bagaimanapun, cepat atau lambat,
rencananya untuk pulang pasti akan diketahui Ares.
"Dan aku orang terakhir yg tau," dengus
Ares kesal. "Hebat banget." "Res, aku... aku sebenernya... nggak
mau pulang, kamu tau, kan?" "Terus kenapa kamu pulang?" sambar
Ares cepat.
"Orangtuaku... Mereka pengen nyariin aku
universitas di sana... Aku harus ngurusin surat- suratku..."
Ares berhenti berteriak untuk berpikir. Reina
memang sudah lulus SMA, dan harus mencari universitas. Tiba-tiba, terlintas ide
gila di otak Ares.
"Kenapa nggak di sini?" tanya Ares.
"Aku juga pengennya begitu, jangan pikir aku
nggk pernah kepikiran itu," Reina mendesah. "Tapi orangtuaku nggak
ngebolehin. Mereka pengen aku sekolah di Amerika."
"Terus?" kata Ares sinis. "Kamu
pikir gimana dengan kita? Kamu mau pergi lagi ke Amerika sana, sekolah selama
lima tahunan, terus aku? Jadi apa yg udah kita lakuin selama ini, sia-sia aja?
Kita ketemu buat berpisah lagi?"
"Res, kita udah pernah dipisahin sepuluh tahun
sebelumnya," kata Reina, terdengar lelah. "Lima tahun aja, apa
susahnya? Lagi pula, jangan pernah berpikir kalo aku seneng pisah lagi sama
kamu."
Ares tahu dia memercayai kata2 Reina, tapi berpisah
lagi dengannya jauh lebih sulit daripada menerimanya dulu. Ares sudah mulai
terbiasa hidup dengan Reina di sisinya, dan sekarang Ares harus menerima
kenyataan bahwa Reina harus pergi lagi dari sisinya.
"Kita bisa telepon-teleponan. Kita bisa saling
e-mail. Kita bisa saling mengunjungi kalo lagi liburan," kata Reina lagi.
"Nggak akan sama," Ares
menggeleng-gelengkan kepala, ekspresinya berubah murung.
"Denger," kata Reina sabar. "Itu
satu-satunya cara supaya kita bisa terus bareng. Kecuali kalo kamu mau
ngelupain aku aja."
Ares menatap Reina marah, merasa kata-katanya
barusan tidak masuk akal. Reina tersenyum, lalu membelai lembut pipi Ares.
"Res, ini cuma cobaan kecil buat kita. Kecil
aja. Dan nggak mungkin kita nggak bisa melewatinya. Ya, kan?" tanya Reina
lagi.
Ares menatap Reina, lalu seolah ada kekuatan yg
menyihirnya, kepalanya mengangguk.
Sebenarnya Ares tak mau menerima kenyataan bahwa
Reina akan pergi, tapi Ares mempelajari sesuatu dari Reina. Dia telah dewasa di
banyak hal, bahkan jauh lebih dewasa dari Ares yg lebih tua beberapa tahun
darinya. Ares harus menerima bahwa Reina juga mempunyai cita-cita, dan
mempunyai orangtua yg harus dibuat bangga.
Reina tersenyum, lalu merengkuh Ares dan
memeluknya. Sebenarnya, Ares tak menginginkan ini, karna ini seperti pelukan
terakhir baginya. Entah mengapa, Ares merasakan firasat itu, tapi dia tidak
membicarakannya dengan Reina. Ares membiarkan Reina memeluknya untuk beberapa
saat.
"Apa tuh?" tanya Ares kemudian, melirik
ke arah bungkusan yg masih dibawa Reina.
"Oh," Reina melepaskan Ares dan
mengacungkan bungkusan itu kepadanya. "Untuk juara yg bakal jadi
pilot."
Ares nyengir kaku, lalu mengambil bungkusan itu dan
membukanya. Sebuah pigura besar berisi fotonya dan Reina yg dibuat di mal, yg
ternyata sudah diperbesar sedemikian rupa.
"Um... aku harap sih, itu jadi pigura pertama
yg pernah ada di kamar kamu," kata Reina hati2.
"Pastinya," kata Ares membuat senyum
Reina merekah.
Ares memandangi foto itu sesaat, lalu detik
berikutnya wajahnya murung lagi. "Jadi," katanya setelah beberapa
saat terdiam. "Kapan kamu pulang?"
"Lusa, setelah pertandingan Orion," jawab
Reina pelan. "Kamu nonton ya? Abis itu, anterin aku ke bandara."
Ares hanya mengangguk-angguk kecil. Reina
memandangnya sedih, karna tahu Ares merasakan hal yg sama dengannya. Reina
benci berpisah dengan Ares. Tapi dalam hatinya, dia yakin tak akan terjadi
apa-apa pada hubungan mereka.
"Res," kata Reina membuat Ares berhenti
melamun. "Mau nggak kamu janji sama aku?" Ares menatap Reina dengan
alis bertaut. "Apa?"
"Janji ya, kamu udah baikan sama Orion sebelum
aku pulang. Janji, Res." Ares hanya menatap Reina, tanpa memberikan
jawaban.
Ares terbangun di sofa ketika Ayah membangunkannya.
Ares mengerjapkan matanya, kemudian menganga seolah tak percaya tadi Ayah yg
membangunkannya.
"Bangun, Res, udah siang. Ayah mau nonton
berita," kata Ayah sambil sembarangan menempatkan pantatnya di sebelah
Ares.
Ares melongo menatap Ayah, tapi bergeser memberikan
tempat baginya. Detik berikutnya, dia ikut menonton dengan senyum konyol di
wajahnya. Sudah terlalu lama Ares tidak sedekat ini dengan Ayah.
"Di berita ada yg lucu ya?" tanya Orion
-tanpa bermaksud benar2 bertanya- sambil melangkah ke luar rumah untuk latihan
terakhir sebelum turnamen.
Ares meliriknya sebal, lalu pandangannya bertemu
dengan Reina yg sedang membantu Ibu di dapur. Reina malah tersenyum geli. Ares
menjulurkan lidah kepadanya, lalu melirik Ayah yg tampaknya tenang2 saja
menonton berita.
"Res, besok kamu yg antar Reina, ya. Ayah
nggak bisa," kata Ayah tiba2.
"Iya," jawab Ares pendek. Mau tau mau,
perutnya kembali terasa mual mengingat besok Reina harus pulang.
Ares menoleh ke arah Reina, yg sedang tertawa-tawa
karna terciprat minyak goreng. Tiba2,
Ares mendapatkan ide gila. Ide yg sangat gila.
"Ri, si Raul akhir2 ini kenapa ya? Kok sering
banget keliatan ngobrol sama lo? Nggak biasanya." Orion mengencangkan tali
sepatunya, lalu mendongak menatap Raul yg sedang berusaha mati- matian di
lapangan menghadapi Reno. Orion menoreh ke arah Lala yg tampak bingung.
"Dia nggak pernah cerita sama lo?" tanya
Orion, dan Lala menggeleng. Orion mendesah. "Dia minta final besok."
Lala hanya mengerjapkan matanya selama beberapa
detik, tanda tak mengerti. Orion mendesah lagi.
"Dia mau gue nyerahin posisi gue buat dia di
final besok, La," jelas Orion. "Katanya sih, bokapnya bisa bunuh dia
kalo dia nggak main."
Mulut Lala menganga dan matanya melebar saat Orion
selesai berbicara. "Yg bener lo? Gue sih tau bokapnya mantan pemain
basket, tapi dia nggak akan bunuh si Raul, lah!"
"La, besok banyak manajer tim besar mau
dateng, nyari bibit baru. Jelas aja Raul mau banget
kesempatan ini. Tapi gimana bisa kalo mainnya aja
kayak begitu," Orion memerhatikan Raul yg kena marah Reno karna tak bisa
melakukan tembakan tiga angka.
Baru sedetik Orion selesai berbicara, Raul mendelik
ke arah mereka, lalu memelototi Orion dengan penuh rasa benci.
"Oke, gue bisa liat dia benci banget sama lo.
Dan gue yakin, bokapnya bener2 bakal bunuh dia kalo dia nggak main," kata
Lala, sedikit ngeri melihat ekspresi Raul.
"Terus gimana? Dia harus berusaha dong, kalo
dia mau main. Kalo nggak, Reno bakal maksa gue main penuh. Yg repot kan gue
juga," kata Orion, lalu bangkit dan masuk ke lapangan.
Ares pulang ke rumah dengan dada berdegup kencang.
Belum pernah dia merasa setegang sekaligus sekonyol ini sebelumnya. Saat Reina
melintas, keringat dinginnya mengucur deras dan detak jantungnya bertambah
cepat tiga kali lipat.
"Hei, abis dari mana?" tanya Reina saat
melihat Ares di pintu depan.
"Hm... Rei, ikut aku ke taman sebentar,"
kata Ares sambil memainkan jari-jarinya. Konyol sekali. Reina sampai bingung
melihatnya.
"Hah? Oh, oke," katanya, lalu mengikuti
Ares ke taman.
Setelah sampai di bawah pohon akasia mereka, Ares
tidak segera berbicara atau melakukan apa2. Baru kali ini Reina melihat Ares
salah tingkah seperti ini.
"Jadi?" tanya Reina setelah beberapa saat
yg menegangkan bagi Ares.
"Mm... Rei, apa kamu... maksud aku, apa
kita... mm..."
Reina hanya bengong menanti kelanjutan kalimat Ares
yg bahkan tidak bisa dibilang kalimat.
Ares malah mengepal-ngepalkan tangannya di balik
celananya. "Res?"
"Kemaren kan kamu udah ngasih aku hadiah,
makanya sekarang, aku mau kasih kamu hadiah,"
kata Ares lancar, setelah bisa mengumpulkan seluruh
tenaganya.
"Oh, itu doang," Reina tertawa geli.
"Aku kirain apaan. Mau kasih hadiah apa? Pasti sesuatu yg nggak romantis
deh," kata Reina lagi.
"Aku nggak tau ini romantis apa nggak,"
kata Ares, masih terlihat agak salah tingkah, terlihat
sangat cute bagi Reina. "Yg jelas, bukan
barang mahal."
"Nggak peduli," kata Reina sambil
nyengir. "Yg penting, kamu mau kasih aku sesuatu. Mana, mana?"
Ares memandang Reina ragu2 sesaat, lalu
mengorek-ngorek sesuatu dari saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yg
berkilau. Sebuah cincin bermata batu indah yg berkelip-kelip ditimpa sinar
matahari. Ares menyodorkan cincin itu pada Reina yg melongo.
"Ap... Res... ini...?" Reina menekap
mulutnya. "Ya Tuhan, Ares!"
Ares mendesah pasrah, lalu menurunkan tangannya,
memandang cincin berwarna hijau muda itu.
"Yah, udah aku sangka. Barang murah sih. Abis,
duitku udah kepake buat sekolah penerbangan,
jadi-"
"Stop-stop!" teriak Reina lalu merebut
cincin itu dengan buas dari tangan Ares yg melongo. "Malah nggak nyeni
lagi kalo kamu ceritain sejarahnya gitu!" sahut Reina lagi sambil
mengagumi keindahan cahaya yg dibentuk batu itu.
"Ng... kamu suka emangnya?" tanya Ares
tak yakin.
"Ya suka lah!" jerit Reina histeris.
"Ya ampun, aku nggak nyangka kamu bisa juga seromantis ini!"
"Ng... sebenernya, aku mau beli yg lain sih,
tapi karna duitnya nggak cukup..."
"Jangan ngerusak suasana dong!" Reina
pura2 cemberut. Ares nyengir melihatnya. "Cute banget, tau..."
Ares mengamati Reina yg masih mengagumi cincin itu.
Ares benar2 bersyukur Reina tidak shock atau sebagainya. Reina tiba2 berhenti
memandangi cincin lalu menatap Ares. "Terus?" Reina menantang Ares.
"Terus apa?" tanya Ares pura2 tidak
mengerti, padahal Ares tahu betul, cincin bukan benda sepele yg bisa
sembarangan diberikan cowok kepada cewek, bahkan yg sudah berpacaran sekali
pun.
"Res, kamu nggak ngasih cincin ini begitu aja
kan?" tanya Reina lagi.
Rasa dingin menjalari kaki dan tangan Ares saat
Reina menatap matanya penuh harap. Tadi, memang Ares berniat untuk
melakukannya, tapi segera mengurungkan niat saat melihat Reina yg terlihat
sangat kecil dan manis.
"Tapi Rei, kamu bahkan baru lulus SMA... Aku
sendiri bego kenapa bisa beli cincin itu..." "Nyesel nih?" tukas
Reina sebal. "Kamu mau minta cincinnya balik?"
Ares menatap Reina lekat2. Reina memang masih muda,
tujuh belas tahun saja, tapi bukan Ares tidak bisa memilikinya... Bisa saja
lima tahun lagi...
"Res, say that four magic words," pinta
Reina.
Ares menelan ludah, lalu mengumpulkan segenap
keberaniannya. Reina sudah memberi lampu hijau, seharusnya Ares bisa lebih baik
dari ini.
"Will you marry me?" tanya Ares akhirnya.
Dia sendiri tak tahu setan apa yg sudah mengambil alih tubuhnya, tapi beberapa
detik setelahnya Ares tak menyesal telah mengatakannya.
Reina tersenyum lebar, lalu menyodorkan cincinnya pada
Ares. Ares sempat bingung. Tapi ketika Reina menyodorkan tangan kanannya, Ares
mengerti. Ares segera menyelipkan cincin itu di jari manis Reina, lalu
menggenggamnya.
"Nggak keberatan kan, kalo masa tunangannya
lima tahunan?" tanya Reina manis.
Ares tersenyum, lalu menggeleng. Ares tidak percaya
ini. Dia bahkan tidak geli saat mendengar dirinya sendiri sudah bertunangan
dengan seseorang yg berumur tujuh belas tahun pada saat dirinya sendiri baru
berumur dua puluh tahun. Karna Ares tahu, Reina-lah satu-satunya orang yg tepat
untuknya, tidak peduli berapa tahun lagi. Tak akan ada yg bisa menggantikan
tempatnya, Ares tahu betul hal ini.
"Cium dong," kata Reina, membuat Ares
bengong sesaat, tapi kemudian tersadar saat tangan
Reina terangkat.
"Ogah," tolak Ares sambil pura2 menepis
tangan Reina. Reina merengut. "Dasar cowok buta romantis."
Ares hanya terkekeh, lalu mengusap rambut Reina yg
halus. Ares sangat menyayangi gadis ini sampai dia tak mau melukainya sedikit
pun. Rasa sayang Ares sudah mencapai tahap lain dalam hubungannya dengan Reina.
"Res, nyanyiin lagu dong," pinta Reina
manja. "Tapi jangan yg kamu nyanyiin waktu di The Club," tambahnya
cepat2. Ares mengernyit. "Lagu apa?"
"Apa aja," jawab Reina.
"Please..."
Ares menghela napas, berpikir lagu apa yg cocok
untuk seorang Reina. Lalu dia mulai menyanyi sambil menarik tangan Reina dan
mengajaknya berdansa. Reina tertawa sebentar, lalu merangkul Ares dan mulai
berayun mengikuti irama yg dinyanyikan Ares. Reina sampai terpekik saat Ares
baru memulai lagunya.
"I could stay awake just to hear you
breathing, Watch you smile while you are sleeping,
While you're far away and dreaming,
I could spend my life in this sweet surrender, I
could stay lost ini this moment forever,
When every moment spent with you is a moment I
treasure, I don't wanna close my eyes,
I don't wanna fall asleep, Cause I'd miss you babe,
And I don't wanna miss a thing, Cause even when I
dream of you, The sweetest dream would never do, I'd still miss you babe,
And I don' wanna miss a thing."
"Aku nggak nyangka seorang Ares bisa ngelakuin
ini semua," bisik Reina sambil tersenyum bahagia. "Maksudku, kamu
hari ini manis banget. Ngelamar aku, ngajak dansa, dan nyanyi 'I Don't Want to
Miss a Thing' buat aku. Really, I can't expect more than this."
Ares tertawa kecil. "Kalo gitu, bales dong
lagunya," kata Ares, membuat Reina berpikir. Tak
lama, Reina mulai menyanyi. Ares tak menyangka
suaranya semerdu ini.
"From this moment life has begun From this
moment you are the one Right beside you, is where I belong From this moment on
From this moment I have been blessed
I live only for your happiness
And for your love I'd give my last breath
From this moment on
I give my hand to you with all my heart
Can't wait to live my life with you, can't wait to
start
You and I will never be apart
My dreams came true because of you
From this moment as long as I live I will love you,
I promise you this There is nothing I wouldn't give
From this moment on"
"Res, kamu udah bener2 ngewujudin impian
aku," Reina menatap Ares dalam2, lalu memeluknya.
"Makasih ya." Ares membiarkan wajahnya
terbenam di antara rambut halus dan wangi milik Reina. Ares tak pernah
menyangka akan sebahagia ini, dan merasa tak akan bisa lebih bahagia lagi.
"Aha!" sahut Reina tiba2, lalu melepaskan pelukannya.
"Aku tau! Aku juga bisa ngewujudin impian
kamu!" Ares mengerutkan dahi, lalu ketika Reina
memainka kedua alisnya, Ares mendadak mengerti.
Ares segera mencabut pikirannya bahwa dia tak akan bisa lebih bahagia lagi.
"Ayo Res, aku mau naik roller coaster!"
sahut Reina sambil berlari memasuki Dufan dengan ceria. "Ayo buruan! Nanti
keburu panjang antreannya!"
Ares membiarkan Reina berlari, lalu memandang
berkeliling Dufan. Baru kali ini selama dua puluh tahun hidupnya, Ares
menginjakkan kakinya di Dufan. Ares baru tahu bahwa di Dufan terdapat banyak
Teletubbies berkeliaran. Ares baru tahu lantai Dufan terbuat dari terakota.
Ares tak bisa berhenti nyengir. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ares
merasakan kegairahan, seakan masa anak-anaknya yg hilang kembali begitu saja.
Ares bahkan tertawa kepada siapa pun yg dilihatnya, terutama anak2 kecil yg
berlari gembira sambil memegang es krim.
Ares menatap sebuah keluarga kecil yg melintas.
Anak laki-lakinya yg berumur tujuh atau delapan tahun tersenyum kepadanya. Ares
balas tersenyum, lalu berhenti berjalan, menikmati udara di sekitarnya. Ares
tidak percaya inilah yg menjadi impiannya selama ini. Inilah hal yg pernah
ditulisnya di surat permohonan. Hanya saja, tidak ada Ayah dan Ibu yg
menemaninya. Ares membiarkan rambutnya dimainkan angin. Reina, yg tadi sudah
duluan, kembali melihat Ares. Reina tersenyum memandang Ares. Reina tahu hanya
ini yg bisa dilakukannya untuk Ares. "ARES!" sahut Reina, membuat
Ares tersadar. "Sini cepet! Kita main roller coaster!"
Ares mengangguk, lalu melangkah pasti ke arah Reina
yg merentangkan tangannya lebar2.
Ares masih tidak bisa berhenti tersenyum mengingat
kejadian tadi siang bersama Reina. Ares akan menyimpan sebagai memori indahnya.
Tadi siang, Ares merasakan bagaimana serunya
menaiki roller coaster. Juga bagaimana asyiknya bermain arung jeram. Dan
merasakan ketinggian dari bianglala. Ares sempat merasa dirinya terlalu konyol
untuk merasa kelewat senang telah bermain di Dufan, tapi Ares tak peduli.
Bahkan, Ares sudah berjanji di dalam hati akan mengajak Ayah dan Ibu ke sana
suatu saat. Ares benar2 tidak bisa tidur, bahkan setelah coba memejamkan
matanya selama beberapa menit. Ares melonjak kaget ketika terdengar suara pintu
kamar terbuka.
Orion muncul dari kamarnya, lalu menatap Ares
datar. Ia menghampiri Ares. "Lo belom tidur kan? Geseran," Orion
duduk di kaki Ares yg masih terjulur.
Ares membenarkan posisi duduknya, lalu memandang
Orion heran. "Kenapa lo?" tanya Ares akhirnya.
"Nggak bisa tidur," jawab Orion singkat.
"Oh," gumam Ares sambil menonton TV yg
sudah dinyalakan Orion. Ares bisa maklum. Besok final, dan Orion pasti terlalu
tegang sampai tidak bisa tidur.
Selama beberapa menit, tidak ada yg berbicara.
Orion menyibukkan diri mencari-cari channel yg sesuai -yg sepertinya tidak bisa
ditemukannya. Ares menggaruk-garuk kepalanya, dan tanpa sengaja Orion melihat
cap di tangan Ares.
"Lo abis ke Dufan?" tanya Orion, membuat
Ares sempat kaget. Dia melihat tanda di tangan kanannya sendiri.
"Iya," jawab Ares pendek, merasa terlalu
konyol untuk membicarakannya dengan Orion. "Oh," kata Orion terdengar
maklum, membuat Ares berang.
"Kenapa emang? Kalo mau ketawa, ketawa
aja," kata Ares panas.
"Nggak ada yg lucu," jawab Orion tenang
tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV. Ares menatap Orion sebentar, lalu
kembali menekuni layar TV. Di sana tampak para pemain bola dari Intermilan dan
AC Milan sedang berlarian mengejar bola. Untuk beberapa saat, keduanya
memerhatikan pertandingan itu.
"IP gue," kata Orion tiba2, membuat Ares
terkejut, tidak menyangka Orion yg sedang berbicara. "Kemaren nggak begitu
bagus. Gue bohong sama Ayah."
Ares tahu dia mengangakan mulutnya sedikit, tidak
percaya atas pernyataan Orion. Kenyataan bahwa Orion membicarakan sesuatu yg
tidak masuk akal kepadanya pun membuatnya bingung. "Apa pentingnya lo
kasih tau gue?" tanya Ares setelah bisa menguasai diri.
Orion mengedikkan bahu. "Mungkin, cuma pengen
nunjukin kegagalan gue. Apa membantu?"
tanyanya sambil menoleh kepada Ares yg salah
tingkah. "Hah? Eh, yah, mungkin," kata Ares tak jelas.
Ares tak habis pikir mengapa Orion mengatakan
sesuatu yg menurutnya mungkin akan membantunya. Ares benar2 tak tahu mengapa
Orion melakukannya. Walaupun demikian, Ares tidak senang. Mungkin sangat
berguna kalau Orion mengatakannya dulu, di saat Ares sedang terpuruk, tapi
sekarang Ares tidak senang mendengarnya. Ares sudah benar2 bahagia, sampai2
pengakuan kegagalan Orion tiak bisa membuat Ares lebih bahagia lagi.
"Yah, semua orang pernah gagal," kata
Ares kemudian. "Tapi peduli amat sih. Lo kan pasti bisa bangkit
lagi."
Orion menoleh untuk melihat wajah kakaknya yg salah
tingkah, lalu mengalihkan pandangannya ke TV. Sudut kanan bibir Orion
mengangkat sedikit. Ares benar2 tidak berbakat memberi nasihat.
Akhir2 ini, semua berjalan mulus bagi Ares. Sangat2
mulus sampai terasa nyaris tidak wajar. Ares amat berharap keadaan ini bisa
berlangsung selamanya.
No comments:
Post a Comment