BAB 7
“Sudah
berapa lama kau di situ?” suara Jason bahkan sedingin tatapannya. Tiba-tiba
saja Kiara merasa takut. Kenapa Jason yang berdiri di depannya ini sangat
berbeda dengan Jason yang ramah, yang tadi pagi berbelanja kepadanya?
“Eh...
saya memanggil karena makanan sudah siap.” Kiara bergumam gugup bingung
menghadapi tatapan mata Jason yang dingin dan penuh kemarahan. Sebenarnya
lelaki itu sedang marah kepada siapa? Kenapa dia memainkan musik seperti itu?
musik yang bergolak yang membuat siapapun yang mendengarkannya pasti tahu bahwa
sang pemain biola sedang marah.
Tetapi
kemudian Jason tampaknya bisa menguasai diri. Kemarahan tampak surut dari
matanya, dan dalam sekejap ada senyum di sana. Ekspresi lelaki itu kembali
penuh canda dan ramah seperti yang selalu ditampilkannya di depan Kiara
sebelumnya,
“Aku
perhatikan, kau tetap saja menggunakan ‘saya’ dan ‘anda’ kepadaku, ini sudah
ketiga kalinya aku mengingatkanmu.” Bibir lelaki itu menipis, “Awas kalau
sampai ke empat kalinya, coba ulang kata-katamu dengan menggunakan ‘aku dan
kamu’.” Jason mengangkat alisnya dan tampak keras kepala.
Kiara
menatap lelaki itu dan menyadari bahwa dia seharusnya memberikan apa yang Jason
mau karena sepertinya lelaki itu tidak akan menyerah sebelum mendapatkan
keinginannya,
“Aku kemari
hendak memberitahumu kalau makanan sudah siap.” Gumam Kiara akhirnya dengan
canggung, menggunakan ‘aku’ dan ‘kamu’ seperti yang Jason mau, dan kemudian dia
ternyata menciptakan senyum mempesona yang melebar di bibir Jason.
OH
astaga, lelaki ini memang tampan, dan ketampanannya naik berkali-kali lipat
kalau dia tersenyum seperti itu. Kalau saja Kiara tidak merasa canggung dan
malu, dia pasti sudah memegang ambang pintu dan menarik napas panjang, karena
udara seakan tertarik dari paru-parunya, terpesona oleh ketampanan Jason.
“Bagus.”
Jason tersenyum, lalu melangkah ke pintu dan melewati Kiara, “Ayo kita makan
aku lapar!”
***
Ketika
Kiara mengikuti Jason hendak melangkah ke dapur, pintu kamar Joshua terbuka dan
lelaki itu muncul. Acak-acakan karena bangun tidur dan tampak cemberut, matanya
menatap marah ke arah Jason.
“Kalau
kau memang ingin tinggal di apartemen ini Jason, seharusnya kau menghormati jam
tidurku, aku tidak suka berisik, dan alunan biolamu itu sampai menembus alam
mimpiku, memaksaku bangun.” Gumamnya tajam.
Jason
tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahan Joshua, dia malahan
tertawa,
“Maafkan
aku, aku lupa kalau kau sangat sensitif terhadap bunyi-bunyian, dan kau punya
mood yang sangat jelek ketika bangun tidur. Aku janji tidak akan memainkan
biola di saat kau tidur lagi.”
Joshua
terdiam, menatap Jason dengan tajam, lalu mengangkat bahunya,
“Oke
aku pegang kata-katamu.” Gumamnya tak kalah tajam, lalu mundur dan setengah
membanting pintu kamarnya itu, membuat Jason menatap dengan geli.
Sementara
itu Kiara masih terdiam di sana agak bingung. Dua lelaki ini memang bersahabat,
tetapi sepertinya mereka bersikap seperti anjing dan kucing. Kiara mengangkat
bahu, lalu melangkah ke dapur, yah...dia kan perempuan, yang pasti dia tidak
akan bisa memahani bagaimana persahabatan laki-laki.
***
Malamnya,
Joshua ikut bergabung bersama mereka untuk makan malam, lelaki itu sudah segar
sehabis mandi, dan berpakaian rapi. Syukurlah. Kiara semula ketakutan kalau
Joshua akan datang ke ruang makan dengan celana dan bertelanjang dada seperti
kemarin.
“Sepertinya
moodmu sudah baik.” Jason mengambil sepiring nasi dan memakannya dengan sup
daging dan wortel buatan Kiara, caranya makan seolah begitu menikmati,
tampaknya dia suka dengan apa yang dimakannya karena tiba-tiba Jason mengangkat
matanya dan menatap Kiara – yang dipaksa untuk makan bersama – dengan tatapan
puas dan menggoda,
“Enak
Kiara, masakan rumahan memang paling enak, bahkan kokiku di rumah tidak bisa
membuat makanan seenak ini. Rasanya sederhana tetapi murni, kurasa kokiku tidak
bisa membuatnya karena dia terbiasa membuat rumit segala resep demi menunjukkan
tekniknya.” Sambil menyuap sendok ke mulutnya Jason mengedipkan matanya,
“Mungkin aku akan mensabotasemu dari rumah Joshua dan menjadikanmu tukang masak
pribadiku.”
Pipi
Kiara memerah mendengar pujian Jason yang dilemparkan secara langsung itu, dia
menatap Jason dengan malu-malu,
“Terimakasih.”
Gumamnya pelan, tiba-tiba merasa berdebar. Mimpi apa dia sehingga bisa makan
bersama dengan dua lelaki yang sama-sama tampan ini?”
Joshua
menyuap supnya, tetapi matanya menatap ke arah Jason dan kemudian berganti ke
arah pipi Kiara yang merah padam. Jason telah menyebarkan rayuannya tentu saja,
Lelaki itu memang perayu alami dan Kiara yang polos sepertinya telah tersihir
oleh rayuan Jason,
“Jangan
termakan rayuan Jason, Kiara.” Joshua bergumam lugas, memberi Jason tatapan
penuh peringatan, “Aku sarankan kau hati-hati kepadanya, Jason memang perayu
ulung yang tidak pandang bulu dan kau harus waspada.”
Pipi
Kiara makin merah padam mendengarkan saran Joshua itu. Tetapi rupanya Jason
malahan tertawa mendengarkan peringatan tentang dirinya yang diucapkan tetap di
depan mukanya,
“Aku
tidak akan mengganggu Kiara tentu saja.” Gumam Jason, mengedipkan sebelah
mukanya kepada Kiara, “Kiara dan aku bersahabat, iya kan Kiara?”
“Iya.”
Mau tak mau Kiara menganggukkan kepalanya, meskipun dia tidak tahu bagaimana
deskirpsi sahabat menurut Jason, mereka kan baru bertemu tadi pagi?
Joshua
mencibir, menyuapkan sup itu ke mulutnya, dan dia kemudian menyadari kata-kata
Jason. Sup buatan Kiara memang enak, rasanya ringan tapi penuh aroma. Tidak
sia-sia Joshua menjadikan Kiara pelayannya, gumam Joshua dalam hati.
***
Ketika
Kiara sedang mencuci piring di dapur dan Jason masuk ke kamarnya untuk berlatih
biola lagi – mumpung Joshua sedang terbangun, katanya – Joshua berjalan ke arah
ruang tengah dan duduk di sana, pekerjaannya hampir beres dan sepertinya akan
tiba saat-saat dimana Joshua bisa sedikit bersantai.
Ponselnya
berdering lagi, dan Joshua tidak bisa menahankan kemarahannya ketika melihat
nomor di sana. Pengacara ayah kandungnya lagi! Kenapa mereka tidak pernah
menyerah mengganggunya?
Karena
tahu bahwa pengacara ayah kandungnya sangat gigih, Joshua akhirnya memutuskan
untuk mengangkat telepon itu,
“Kenapa
kau tidak berhenti menggangguku?” dia langsung menyapa dengan kasar, membuat
pengacara tua di seberang itu tertegun,
“Aku
tidak mengganggumu Joshua, aku hanya ingin menginformasikan kepadamu.”
“Menginformasikan
apa?” rasa ingin tahu yang aneh menggelitik benak Joshua,
“Tentang
ayahmu.” Pengacara ayah kandungnya berdehem, “Sebelumnya aku meminta maaf,
selama ini aku berbohong kepadamu....” suara si pengacara tampak tersendat,
“Aku selalu bilang bahwa ayahmu sakit dan sekarat serta menginginkanmu datang,
sebenarnya itu hanya taktikku supaya aku bisa membujukmu datang kemari menengok
ayahmu. Tetapi ternyata alasan itu tidak bisa meluluhkan hatimu, kau tetap
keras dalam pendirianmu.” Suara si pengacara tampak menuduh, “Kenyataannya
ayahmu sebenarnya sehat, meskipun jantungnya lemah karena usia, dia tidak dalam
keadaan sekarat. Dan karena seluruh usahanya untuk membuatmu datang ke London
tidak berhasil, beliau memutuskan untuk mengunjungimu ke Indonesia.”
Dasar
tua bangka sialan. Joshua mengutuk, langsung mengeluarkan kata-kata kasar dalam
benaknya, mengutuk ayah kandungnya dan pengacara liciknya yang sama-sama
pembohong besar. Untung Joshua sama sekali tidak termakan oleh kebohongan itu
dulu.
“Jadi
si tua itu datang ke Indonesia?” Joshua bergumam sinis, “Apakah dia pikir aku
mau menemuinya?”
“Ayah
kandungmu sangat keras kepala, dia memutuskan akan datang mengunjungimu dan
akan berangkat lusa segera setelah semua surat-suratnya beres, aku sudah
mencegahnya mengingat penyakit jantungnya dan usianya, tetapi dia tidak
mendengarkan aku.” Pengacara ayahnya menghela napas panjang, “Aku harap kau mau
memberikan kesempatan untuk ayahmu, Joshua. Beliau sudah tua dan meskipun tidak
sekarat, tetap saja penyakit jantungnya mengkhawatirkan.”
“Aku
tidak peduli.” Joshua meradang lalu menutup ponselnya, memutus pembicaraan
dengan kasar. Punya hak apa pengacara tua itu menyuruhnya mempedulikan
kesehatan ayah kandungnya? Kenapa pula dia harus peduli kepada
seorang lelaki yang membuangnya begitu saja?
Sudah
terlambat untuk menginginkannya sekarang. Joshua tidak akan membiarkan ayah
kandungnya yang arogan itu mendapatkan apa yang dimauinya dengan mudah!
***
“Aku
ingin kau besok siang ikut denganku.” Joshua muncul di ambang pintu dapur,
menatap tajam ke arah Kiara yang sedang mengelap meja dapur sampai licin. Dia
ingin semuanya bersih sebelum dia tidur nanti.
“Ikut
kemana?” tatapan Kiara tampak bingung, bukankah Joshua biasanya tidur kalau
siang?
Joshua
tampaknya menyadari pertanyaan di benak Kiara,
“Aku
tidak bekerja malam ini, jadi besok siang aku akan bangun. Kau ikut denganku
aku akan membawamu.” Lelaki itu setengah membalikkan tubuhnya tak peduli.
“Ikut
kemana?” Kiara mengulang pertanyaannya, buru-buru sebelum Joshua meninggalkan
ruangan itu, kalau sampai tidak mendapatkan jawaban, mungkin Kiara akan
tertidur malam ini dengan mata nyalang penasaran.
“Ke
butik dan mall.” Joshua yang sudah membalikkan tubuhnya menatap Kiara setengah
menoleh, “Kita akan berbelanja pakaian untukmu.” Dan kemudian Joshua pergi
meninggalkan Kiara yang kebingungan.
Berbelanja
pakaian? Apakah maksud Joshua seragam pelayan seperti yang dia lihat di
buku-buku komik? Tapi apakah perlu memakai seragam?
Kiara
tak henti-hentinya bertanya-tanya, bahkan sampai dia berbaring tidur di malam
harinya
***
Rupanya
Joshua serius dengan maksudnya, jam satu siang lelaki itu keluar dari kamarnya
dan sudah berpakaian rapi, dia menatap tajam ke arah Kiara yang sedang
membersihkan karpet dengan penyedot debu. Sementara itu Jason sedang menonton
TV di ruang tengah, lelaki itu menoleh dan mengangkat alisnya melihat
penampilan Joshua yang rapi.
“Mau
pergi kencan?” godanya cepat.
Joshua
menggelengkan kepalanya, “Bukan.” Matanya mengarah kepada Kiara, “Kenapa kau
belum berganti pakaian?”
Karena
Kiara mengira Joshua sudah lupa dengan ajakannya kemarin, atau lelaki itu
sedang bercanda... tetapi ternyata lelaki itu serius.
“Sa...
saya sedang membersihkan karpet...” jawab Kiara akhirnya.
“Tinggalkan
itu, ganti bajumu, kita berangkat sekarang dan cepatlah!.” Gumamnya tegas tak
terbantahkan, hingga Kiara terbirit-birit meletakkan pembersih debu di
tangannya dan melangkah setengah berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Sementara
itu, Jason yang masih duduk di sofa mengamati seluruh penampilan Joshua yang
memilih berdiri, suaranya terdengar serius ketika berbicara, tidak penuh canda
seperti yang ditampilkannya di depan Kiara,
“Apa
yang sedang kau rencanakan, Joshua?” tanyanya datar dan menyelidik.
Joshua
menatap ke arah kamar Kiara yang tertutup rapat dan kemudian menatap Jason
tajam,
“Itu
bukan urusanmu.”
Jason
mengangkat bahunya, “Memang.” Gumamnya, “Apakah ini berhubungan dengan ayah
kandungmu?”
Jason
tentu saja tahu kisah tentang ayah kandung Joshua. Mereka memang bersahabat dekat
karena memiliki kisah yang sama. Kiasah yang sama-sama tragis, mereka sama-sama
dibuang oleh salah satu orang tua kandung mereka. Bedanya sekarang ibu kandung
Jason yang jahat dan mata duitan telah mendekam di penjara, menerima ganjaran
atas perbuatannya. Sedangkan ayah Joshua masih hidup dan seperti kata pengacara
ayahnya tadi, masih lumayan sehat dan gigih mengejar apa yang dia mau, menjadi
batu sandungan dan ganjalan bagi langkah Joshua.
“Ya.”
Joshua mengangguk, percuma membohongi Jason, sahabatnya ini punya insting yang
kuat, “Lelaki tua itu mau datang kemari.”
“Kemari?”
Jason mengangkat alisnya, “Dia tidak mudah menyerah ya.”
“Dia
tidak akan mendapatkan apa yang dia mau, aku tidak akan pernah mengakuinya
sebagai ayah di depannya dan membuatnya puas. Bagiku ayahku bukan dia.”
“Hati-hati
Joshua.” Jason bergumam, “Sepertinya ayah kandungmu itu sama keras kepalanya
denganmu, kalian sepertinya sama-sama berpegang kuat kepada pendirian kalian
masing-masing.” Jason lalu melemparkan pandangannya ke arah kamar Kiara, “Dan
akan kau gunakan sebagai apa Kiara nanti?”
Joshua
tersenyum, senyum yang dalam dan penuh rencana,
“Kiara
adalah tamengku. Tameng terbaik yang pernah ada. Alat pembalasan dendam yang
paling hebat.”
Suara Joshua
terdengar mantap, bergaung di ruang tengah apartemen itu.
CRUSH IN RUSH - BAB 8
No comments:
Post a Comment