Bab 1
Bitter Beginning
"RES! Bisa
lo berhenti nyetel musik nggak keruan kayak gini?"
sahut Orion dari
luar
kamar Ares.
Ares
tidak menggerakkan
satu pun anggota tubuhnya
untuk menuruti
permintaan
Orion. 'Saint Anger' masih berkumandang
di kamarnya
dengan volume
maksimal.
Orion menggedor-gedor pintu kamar Ares dengan
sekuat tenaga. "Res! Gue lagi belajar nih!" serunya lagi.
Ares memutar bola matanya, tapi tetap tak melakukan
apa pun. Ares memejamkan matanya lagi sambil menggerak-gerakkan tangannya
sesuai irama drum.
"RES!" teriak Orion bersamaan dengan
terbukanya pintu dengan paksa.
Ares melirik kesal ke arah Orino. Orion menghela
napas sebentar, lalu berjalan kaku ke arah tape dan menekan tombol stop.
Seketika ruangan menjadi sepi.
Ares bangkit dan terduduk di tempat tidurnya.
"Lo tau, yg kata lo musik nggak keruan itu Metallica. Dan gue masih nggak
ngerti, kalo ada cowok yg nggak bisa ngerti musiknya Metallica," kata Ares
sengit.
"Oh, gue jelas2 bisa ngerti musiknya Korn kalo
dipasangnya sesuai batas ambang pendengaran manusia," balas Orion dengan
tangan terlipat di dadanya.
"Alah, nggak usah bokis deh lo. Kayak lo bisa
aja ngebedain Korn sama P.O.D." Ares bangkit dari tempat tidurnya dan
mulai mencari handuk.
Orion memerhatikan saudara kembarnya sesaat.
"Gue bisa liat dengan jelas masa depan lo," katanya setelah melihat
Ares yg tak kunjung menemukan handuknya. "Maksud gue, liat aja tempat ini.
Tempat ini bahkan nggak pantes dibilang kamar. Kandang sapi masih lebih pantes
dapet penghargaan dekorasi."
Orion menendang handuk yg sedari tadi berada tepat
di depan kakinya. Handuk itu mendarat mulus di kepala Ares.
"Gue juga bisa liat masa depan lo," kata
Ares dingin sambil beranjak keluar kamarnya. "Atlet hebat, penerima
beasiswa, cowok populer di kampus... Ups, itu bukan masa depan ya? Cuma
sayangnya, lo pernah salah ngebedain Marilyn Manson sama Marilyn
Monroe..."
Orion menatap masam kakak kembarnya yg keluar tanpa
memandangnya, lalu kembali menatap kamar yg dipenuhi segala macam barang milik
Ares. Dindingnya sudah tak terlihat lagi warna aslinya, karna sudah penuh
ditempeli poster2 bintang2 rock dan alternative mulai dari Kurt Cobain, Queen,
sampai Metallica. Lantainya pun bernasib serupa. Baju2 kotor -atau bersih,
Orion tak bisa membedakannya- bercampur baur di sana dengan segala macam CD
bertebaran di atasnya. Orion menghela napas sebentar, lalu memutuskan untuk
pergi dari kamar itu, karna aura2 yg dikeluarkan poster2 itu membuat Orion
tidak nyaman. Tapi beberapa langkah sebelum mencapai pintu, kakinya menyandung
sebuah travo.
"Sialan!" umpat Orion sambil memegangi
jempolnya yg nyut-nyutan, lalu menatap ingin tahu kearah benda yg tadi
menghalanginya. "Travo!" keluhnya kesal. "Travo di tengah
jalan!" sahutnya lagi sambil menendannya dengan sekuat tenaga. Tentu saja,
travo itu tak bergerak dari tempatnya semula dan sekarang jempolnya terasa luar
biasa sakit. "Awas kalian semua!" kutuk Orion kepada kamar Ares dan
semua barang yg ada di dalamnya, lalu dengan langkah berjingkat dia keluar dari
sana.
"Res, nggak kuliah?" tanya Ibu begitu
Ares keluar dari kamar mandi.
"Nggak," jawab Ares singkat, lalu duduk
di sofa. Tangannya sibuk memindah-mindahkan channel dengan remote.
"Oh, tapi kok barusan Orion berangkat kuliah
ya?" tanya Ibu heran.
"Bu," tukas Ares kesal. "Aku sama
Orion kan beda jurusan. Nggak mungkin lah jadwal kuliahnya bareng."
"Oh, iya ya. Ibu pikir kamu sama Orion
sejurusan," kata Ibu lagi sambil mengaduk adonan kue.
"Makanya kasih perhatian dikit," gumam
Ares. "Udah mau dua taun kuliah, juga." "Apa, Res?" Ibu tak
mendengar perkataan Ares karna suara putaran mixer.
"Bukan apa2. Nggak penting." Ares
mematikan TV, lalu bergerak ke arah kamarnya.
"Res, kamarnya diberesin dong," kata Ibu
sebelum Ares sempat menutup pintu. "Kamu nih males banget. Liat tuh
kamarnya Orion. Rapi, bersih..."
"Kayak kamar perempuan," sambar Ares.
Ibu berhenti mengaduk adonan, lalu mengernyit
kepada Ares. "Kejantanan cowok bukan diukur dari keadaan kamarnya,"
katanya serius.
"Ha-ha," Ares menanggapi dingin komentar
Ibu, lalu masuk ke kamar. Dia melangkahi travo-nya yg melintang, menggapai
gitarnya, lalu duduk di pinggir jendela.
Kejantanan seorang cowok tidak dilihat dari keadaan
kamarnya. Yg benar saja, pikir Ares sambil mendengus. Kalau kamar cowok itu
bersih, tidak ada satu poster pun, yg ada hanya foto-fotonya bersama piala2 dan
medali-medalinya, dengan banyak CD Glenn Fredly atau Josh Groban di atas meja,
jelas2 kejantanannya patut dipertanyakan. Juga bisa dipastikan kalau pemilik
kamar tersebut memiliki kadar kenarsisan yg sangat tinggi.
Ares mulai memainkan lagu kebangsaannya.
'Creep' milik Radiohead.
'But I'm a creep, I'm a weirdo. What the hell am I
doing here? I don't belong here.'
"Hai Ri!"
Orion mencari sumber suara itu. Dia berbalik, dan
mendapati Lala sedang berlari-lari kecil ke arahnya dengan riang. Orion
tersenyum kepadanya. Lala masih belum berubah sejak Orion memutuskan hubungan
dengannya.
"Hei," sapa Orion.
Lala menatap Orion dengan mata bulatnya. Orion
lantas mengalihkan pandangannya, karna kenyataannya dia masih tidak bisa
menahan keinginan untuk memeluk Lala setiap kali melihat sepasang mata yg
bersinar itu.
"Kenapa lo?" tanya Lala. "Lesu
amat."
"O ya?" Orion tertawa kecil.
Lala mengangguk, lalu mulai berjalan. Orion
mengikutinya. Mereka mengambil jurusan yg sama, dan juga kelas yg sama.
"Kenapa? Marahan lagi sama Ares?" tanya
Lala lagi.
Mendengar pertanyaan Lala, Orion mendengus.
"Kapan sih gue pernah nggak marahan sama dia?"
Lala menatapnya dengan pandangan serius.
"La, gue kan pernah bilang, kalo gue sama Ares
itu udah ditakdirkan nggak bisa baikan. Kita malah udah berantem sejak masih di
perut. Tendang-tendangan," kata Orion lagi.
Lala terbahak saat mendengarnya. "Hiperbolis
lo," sahutnya sambil mendorong Orion.
"Serius," Orion balas mendorongnya.
"Udah deh," kata Lala setelah pulih dari
gelinya. "Bilang aja lo sayang sama Ares. Kata orang, benci itu artinya
peduli. Peduli itu artinya sayang."
"Kata siapa tuh?" Orion mengetuk kepala
Lala pelan. Lala hanya mengedikkan bahu sambil
melirik penuh arti kepada Orion.
Orion menghela napas, lalu berhenti berjalan. Dia
memegang kedua pundak Lala dan menatapnya lekat2.
"La, kalo ada orang yg paling gue benci di
dunia ini, itu udah pasti Ares."
"Ares!!"
Ares membuka matanya dengan malas. Suara Ayah
membuatnya mual seketika. "ARES!" sahut Ayah lagi, kali ini sambil
menggedor-gedor pintunya.
"Apaan?" sahut Ares tanpa beranjak dari
tempat tidurnya.
"Apaan? APAAN?! Makan malam bersama! Cepat
keluar!" sahut Ayah lagi.
Ares bangun dengan sangat terpaksa, lalu membuka
pintu kamarnya. Seluruh keluarganya tampak sudah berkumpul di meja makan. Walau
demikian, Ares lebih merasakan suasana yg suram dibandingkan dengan suasana yg
hangat. Tanpa mencuci muka, Ares langsung mengambil tempat di meja.
"Apa Ayah harus selalu teriak2 manggil kamu
setiap kita mau makan?" tanya Ayah ketus begitu
Ares menampakkan diri.
"Kalian bisa mulai makan tanpa aku,"
jawab Ares sambil memandang Ayah dingin.
"Saat makan malam itu waktu untuk keluarga
berkumpul," Ayah tidak membalas pandangannya dan menyendok sosis.
"Kayak yg ada pembicaraan keluarga aja,"
gumam Ares sengit.
Ayah tampak tak memedulikan kata2 Ares. Dia
mengalihkan pandangannya kepada Orion yg sedang asyik melahap ayam goreng.
"Gimana kuliahnya, Nak?" tanyanya. Ares
langsung mendengus.
"Oh, baik, Yah. Bentar lagi ujian," jawab
Orion tenang.
"Oh, gitu. Belajar yg rajin ya. Biar IP-mu
nggak merosot kayak kakakmu ini," sindir Ayah membuat Ares melotot.
"IP-ku nggak merosot," sambar Ares.
"Oh, ya, sama kayak semester sebelumnya, tapi
sama jeleknya," kata Ayah sambil melemparkan pandangan masam. "Kamu
tau Res, kalo kamu begitu terus, kamu bisa di-DO."
"Cepat atau lambat aku juga bakal di DO, kan?
Aku cuma mempermudah prosesnya aja," tandas
Ares.
"IP-mu yg cuma dua koma satu itu nggak bisa
membanggakan siapa pun, Res. Apa kamu nggak malu, hah?" Intonasi Ayah
sekarang mulai naik.
"Malu? Untuk apa malu? Itu udah hasil terbaik
yg aku bisa," jawab Ares tak peduli.
Ayah mendengus. "Bohong. Kamu bisa lebih baik
dari itu. Kamu aja yg nggak mau usaha. Kamu cuma mau cari sensasi supaya kamu
lebih diperhatikan."
Ares memandang Ayah tak percaya. "Aku ragu
sensasi apa yg bisa aku lakuin supaya lebih diperhatiin. Mungkin aku harus
ngebakar rumah ini baru bisa diperhatiin," jawab Ares ketus, lalu
meninggalkan meja, tak berminat untuk makan malam dengan situasi seperti ini.
"Ares! Kembali ke sini sekarang juga!"
sahut Ayah garang.
Ares tak memedulikan teriakan2 Ayah. Dengan langkah
besar2, dia masuk ke kamarnya, lalu membanting pintunya. Dia melangkah ke tape,
menyetel CD Disturbed dengan volume maksimum, lalu dengan kalap membanting
semua benda yg dilihatnya.
"Brengsek!" serunya setelah dia kehabisan
tenaga.
Ares terduduk di samping tempat tidur, lalu
menjambak-jambak rambutnya. Dunia tidak adil. Dunia tak pernah adil padanya.
Ayah memang menyebalkan. Ibu juga menyebalkan.
Orion lebih menyebalkan. Seisi rumah ini menyebalkan. Semuanya selalu bersikap
seperti keluarga kecil bahagia. Ares merasa dia tidak diterima di keluarga ini.
Ares selalu saja berbeda.
Ares membanting tubuhnya ke tempat tidur, lalu
mulai menyesali keberadaannya di dunia, sama seperti malam2 sebelumnya.
Ares perlahan membuka pintu kamarnya dan mendapati
ruang keluarga pagi ini sudah kosong. Ares mensyukuri keadaan itu, tak mau
harinya diawali oleh suara salah satu anggota keluarganya.
Setelah mengembuskan napas lega, Ares berjalan
menuju lemari es. Dibukanya lemari es itu,
tapi ternyata lemari es itu kosong. Tidak ada susu,
tidak sereal, tidak juga roti. Ares membanting pintu lemari es dengan sekuat
tenaga.
"Wah, wah. Bisa rusak semua barang2 elektronik
di rumah ini kalo lo nyentuhnya pake tenaga dalam terus," komentar Orion
yg tiba2 muncul dari balik lemari es.
Ares menatapnya sebal. "Lo bisa beliin lagi,
kan lo udah pasti sukses," kata Ares ketus. "Selalu ada hukum alam.
Ada yg ngerusak, ada juga yg nyiptain," sambungnya sambil melangkah keluar
rumah dengan juga membanting pintunya.
Orion menatapnya sambil geleng2 kepala.
Ares melangkah cepat menuruni jalan kompleksnya.
Tak seperti Orion yg memiliki motor, Ares selalu naik bus saat pergi kuliah.
Bukannya Ares tak pernah meminta, tapi dia 'tak mau' meminta apa pun dari Ayah,
juga apa pun yg dimiliki Orion. Ayah memberi motor itu kepada Orion karna dia
lulus UAN dengan nilai rata2 delapan, bukan karna Orion memintanya. Dan Ares
tak bisa berbuat apa pun kecuali diam dan menelan bulat2 nilai rata2 merahnya.
Tahu2, Ares melihat ke sebuah taman yg terletak tak
jauh dari kompleks rumahnya. Ares berhenti sebentar, dan menatap taman yg tak
pernah berubah dari sejak dia masih kecil. Taman yg asri dengan lapangan basket
di tengahnya dan beberapa kursi taman di pinggirannya. Taman yg menyimpan
banyak kenangan. Terlalu banyak kenangan.
Ares memutuskan untuk memasuki taman itu. Entah
kekuatan apa yg menariknya ke sana. Terakhir kali dia ke sana adalah ketika
umurnya masih sembilan tahun. Sejak itu, dia tak pernah ke sana lagi, untuk
menunggu janji sepuluh tahun yg pernah dibuatnya dengan gadis kecil berkepang
dua.
Ares memaksakan diri untuk berjalan ke sebuah
pohon, tempat janji itu dipahat. Setelah bertahun-tahun berlalu, tulisan itu
masih di sana. Tulisan Ares-Rei-Rion. Ares menatapnya tanpa ekspresi. Baginya,
janji ini hanya kekonyolan. Hanya kerjaan iseng anak2. Gadis itu tak akan
pernah muncul lagi. Tak akan pernah lagi setelah ia mengingkari janjinya
sendiri.
Reina. Gadis kecil itu pergi ke Amerika sebulan
tepat setelah mereka berjanji untuk selalu bersama. Dia pergi begitu saja
setelah mereka membuat surat permohonan. Dan sekarang, sudah sepuluh tahun
lebih semenjak perjanjian itu dibuat. Tanggal 14 Februari 2005 bahkan masih
terpahat di sana.
Tidak mungkin kalau tulisan itu tulisan Reina yg
dulu, pikir Ares. Orion pasti sudah memahatnya kembali selama sepuluh tahun
ini. Orion masih saja percaya bahwa gadis itu akan datang. Dulu, anak bodoh itu
bahkan pernah menyebut nama Reina muncul di sebuah forum di dunia maya. Benar2
penuh imajinasi. Benar2 sebuah lelucon. Gadis itu tak akan pernah datang. Reina
tak mungkin datang lagi.
Ares yakin, Reina bahkan tidak ingat lagi akan
perjanjian ini.
Ares menatap pohon itu benci, lalu memukulnya
dengan keras hingga buku2 jarinya terasa sakit. Ares tak peduli lagi pada masa
lalunya. Tak ada lagi yg bisa diharapkan dari masa lalunya. Bahkan, kenyataan,
tak ada lagi yg bisa diharapkannya dari masa kini maupun masa depannya.
Semuanya omong kosong.
Ares meninggalkan taman segera setelah menendang
pohon itu.
"Ri, bantuin Ibu dong."
Orion langsung melompat dari sofa begitu melihat
Ibu muncul di ambang pintu, tampak kesusahan membawa barang2 belanjaan.
"Ibu beli apaan aja sih? Heboh amat,"
komentar Orion sambil membawa belanjaan itu masuk dan menaruhnya ke meja makan.
"Makanan," jawab Ibu singkat sementara
Orion mengernyitkan dahi.
"Persediaan buat setahun?" Orion
memandang bungkusan2 besar di depan matanya. "Apa sih ini?"
Ibu tak banyak berkomentar dan hanya mengedikkan
bahu. "Ada, aja," jawabnya misterius sambil menata sayuran di lemari
es.
Orion mencoba membuka sebuah bungkusan, tapi
tangannya langsung ditepis oleh Ibu.
Orion meringis sambil mengelus punggung tangannya.
"Ada apaan sih, Bu? Mau ada pesta?" "Udah deh, kamu nonton aja
sana, nggak usah banyak tanya. Ntar juga tau," kata Ibu, masih dengan nada
misterius.
Orion menuruti kata2 Ibu walaupun dengan
menggerutu.
"Eh, Ri, Ares ke mana?" tanya Ibu sambil
melongok ke ruang TV. "Kuliah, kali," jawab Orion malas, tangannya
sibuk mengganti channel. "Lho, trus dia sarapan apa? Kan nggak ada apa2 di
kulkas," kata Ibu lagi. Orion mengangkat bahu. "Paling sarapan di
kampus," gumamnya.
Ibu mengangguk-anggukkan kepala, lalu mengamati
Orion yg bergerak mendekat dan mengambil sebuah apel dari salah satu bungkusan
belanjaan yg sudah terbuka.
"Ri, Ibu khawatir sama Ares... Beberapa hari
ini dia semakin sering berantem sama Ayah," kata
Ibu pelan.
Orion menatap ibunya yg sekilas tampak lebih tua
dari biasanya, lalu mendesah pelan. "Ibu tenang aja. Ares udah gede. Dia
bisa nyelesain masalahnya sendiri," kata Orion, lalu bergerak mengambil
bola basketnya yg tergeletak di samping sofa. "Aku main basket dulu ya
Bu." Setelah berpamitan pada ibunya Orion berjalan keluar rumah dan
menghirup udara pagi yg segar. Hari ini cuaca agak mendung. Orion mendesah
pelan.
Ares itu, pikir Orion. Selalu saja membuat Ayah dan
Ibu kesal. Selalu saja membuat keonaran supaya bisa diperhatikan. Padahal
perbuatannya justru tidak akan mendatangkan simpati dari siapa pun.
Orion men-dribble bolanya sampai ke taman. Orion
berhenti sebentar, menatap taman yg penuh akan kenangan masa kecilnya. Setelah
menghela napas, dengan mantap dia mulai berlari ke lapangan basket dan
memasukkan bolanya ke ring.
Lima belas menit kemudian, dia terduduk di bawah
pohon akasia besar yg terletak persis di samping lapangan. Dia mendongakkan
kepala, lalu melihat tulisan 'Ares-Rei-Rion' yg terpahat di pohon itu.
Pikirannya lantas melayang ke masa kecilnya.
Reina. Gadis cilik berkepang dua yg selalu hadir
dalam mimpi-mimpinya. Seharusnya Orion melupakannya, tapi setiap kali berpikir
seperti itu, dia semakin tidak bisa melakukannya. Seorang Reina malah tumbuh
semakin besar dalam fantasi terliarnya dan menjadi sorang gadis yg sangat
cantik. Ingin rasanya Orion menganggap bahwa semua ini konyol dan tidak masuk
akal, tapi ia tidak mampu. Tidak pernah mampu.
Dia memiliki keyakinan itu. Keyakinan bahwa Reina,
gadis kecilnya yg cantik, akan kembali suatu saat nanti.
Orion bangkit, mengambil sebuah batu berujung
tajam, lalu menggoreskannya ke tempat yg sama di mana tulisan 'Ares-Rei-Rion'
terpahat. Dia memahatnya kembali agar tidak hilang. Orion sudah melakukan hal
itu selama sepuluh tahun ini. Dia masih berharap bahwa janji sepuluh tahun yg
lalu itu masih berlaku, walaupun sudah melewati batas yg ditentukan.
Sejak beberapa bulan yg lalu, Orion sering berpikir
untuk membongkar kaleng yg dikubur di dalam tanah, dengan persetujuan Ares.
Tapi Orion tak pernah melakukannya. Ares juga. Sepertinya orang itu bahkan
sudah lupa akan perjanjian itu. Hal ini membuat Orion sedikit enggan untuk ikut
menebalkan tulisan 'Ares'-nya, tapi entah mengapa, tangannya bergerak di luar
keinginannya.
Orion merebahkan tubuhnya di rumput yg hijau.
Selama sepuluh tahun ini, Ares tak pernah bicara tentang Reina ataupun pohon,
ataupun perjanjian itu. Bahkan, Ares tak banyak bicara tentang apa pun kepada
Orion. Rasanya Ares sudah melupakan semua memori masa kecilnya begitu saja.
Tidak ada keingintahuan. Bahkan, tidak ada respon saat Orion menyebut nama
Reina di depannya sekitar dua bulan yg lalu, saat sebuah e-mail masuk ke kotak
surat Orion.
E-mail itu mengejutkan Orion dan membangkitkan
semua kenangan yg selama ini terkubur dalam2 di otaknya. E-mail itu dari Reina.
Reina-nya. E-mail itu mengatakan semua yg ingin didengar Orion. Bahwa Reina
baik2 saja, bahwa Reina tidak lupa akan perjanjiannya, bahwa Reina akan kembali,
walaupun tidak akan tepat pada tanggal 14 Februari karna dia belum mendapat
libur sekolah.
Senyum lebar menghias wajah Orion. Gadis itu masih
SMA. Orion sering kali melupakannya, menganggap Reina seumuran dengannya. Tapi
semua itu tidak penting. Yg penting Reina akan kembali, walau entah kapan. Dan
nanti malam, Reina akan masuk ke chat room untuk mengobrol dengannya. Lagi.
Rutin selama dua bulan terkhir ini. Kegiatan yg membuatnya melupakan Lala.
Seperti biasa, Ares memasuki kampus tanpa semangat
macam apa pun. Tidak ada niat untuk belajar. Dia hanya datang ke kampus untuk
menghindari rumah selama mungkin. Tidak ada alasan lain selain itu.
Ares berjalan menuju kelas mata kuliah Telaah Drama
Inggris. Ares betul2 muak. Segala paket yg dihidangkan dalam mata kuliah, baik
dosen, diktat, maupun Shakespeare membuatnya sakit perut seketika. Selama dua
tahun ini, Ares menyesali seluruh kehidupan perkuliahannya.
Ares membuka pintu kelasnya dengan malas. Begitu
menampakkan diri, Pak Wisnu, sang dosen lah yg pertama kali terlihat. Ares
menatapnya sebal sesaat lalu memtutuskan untuk mencari tempat duduk paling
belakang, yg paling memungkinkannya untuk tidur dengan nyaman. Tapi sebelum
Ares sempat bergerak, Pak Wisnu menghalanginya.
"Look who's coming?" katanya sinis sambil
memindai Ares dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Worn out t-shirt,
refugee-like pants, dog necklace... So a next generation. I'm wondering... What
are you doing in my class, Mr Antares?"
Ares menatap Pak Wisnu dengan pandangan menantang.
Si tua ini merasa dirinya sebagai
pemilik kampus ini.
"You have a problem with that?" tanya
Ares dingin. Pak Wisnu langsung membelalakkan matanya.
"YOU!" seru Pak Wisnu berang, tapi detik
berikutnya langsung mengendalikan diri karna seluruh
kelas memerhatikannya. "If you don't have any
intention to get along in my class, you may leave now. Please," Pak Wisnu
menunjuk ke pintu pintu.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Ares melangkah
keluar dengan menendang pintu kelas hingga menjeblak terbuka. Di koridor, dia
masih menendang apa pun yg dilihatnya. Tempat sampah, kursi, bahkan pot bunga.
Tanahnya sampai berhamburan. Ares diteriaki oleh semua orang, tapi Ares tak
peduli. Saat ini, dia benar2 di luar kendali.
"Res!"
Seseorang memanggil Ares, tapi Ares sedang tak
ingin berbicara dengan siapa pun. Yg memanggilnya ternyata Lala. Gadis manis
itu berlari sekut tenaga untuk menyamai langkah Ares.
"Res! Lo kenapa sih? Kok semua
ditendangin?" serunya setelah bisa sejajar dengan Ares. "Apa urusan
lo?" bentak Ares tanpa menoleh.
"Res, lo tau si Rion ada di man-"
Langkah Ares segera terhenti. Dia mendelik sengit
ke arah Lala yg malah tersenyum. Ares menatapnya seakan ingin membunuh
seseorang.
"Apa lo serius mau tau jawaban dari gue?"
sahut Ares keras.
"Nggak," jawab Lala tenang, sudah
mengetahui watak Ares dengan jelas. "Gue cuma mau bikin lo berhenti jalan
kayak The Flash aja," sambungnya, lalu tertawa kecil.
Ares tidak ikut tertawa. Dia masih memandang tajam
Lala, membuat Lala segera menghentikan tawanya.
"Gue mau ngomong," kata Lala akhirnya.
"Tapi setelah lo kasih tau kenapa lo jalan kayak orang kesurupan
gitu."
"Gue udah bilang bukan urusan lo," tandas
Ares sambil kembali berjalan. Lala segera mengikutinya.
"Kok bisa begitu? Perasaan gue, dulu apa pun
urusan lo urusan gue juga," kata Lala lagi. Ares berhenti mendadak
sehingga Lala menabrak punggungnya. Ares menatap Lala lagi, lalu tertawa sinis.
"Lo bercanda, kan?" tanyanya.
"Bercanda gimana?" Lala balas bertanya.
"Gue serius, Res. Kenapa sih lo?"
"Gue juga serius," Ares mencondongkan
wajahnya ke wajah Lala, tatapannya menjam. "Lo jangan bercanda lagi. Gue
muak dengan tampak sok innocent lo, dengan kata2 lo yg seakan nggak pernah
terjadi apa2," sambungnya, lalu kembali berjalan cepat menuju taman.
Lala terdiam sesaat, lalu mengejar Ares. Lala
meraih tangan Ares yg kekar dan membalik tubuhnya.
"Apa, Res? Apa? Apa yg udah terjadi? Kita
baik2 aja, kan?" seru Lala, matanya sudah berkaca- kaca.
Ares benar2 muak dengan gadis ini, walau juga diam2
menyayanginya. Tapi, perasaan itu segera sirna setelah dia ingat bahwa gadis
ini, gadis yg sangat dekat dengannya setahun lalu, adalah kekasih Orion.
"Denger ya, La. Jangan lo pikir kita masih
bisa baik2 aja setelah apa yg lo lakuin terhadap gue! Udahlah, lo minggir, cari
sana si atlit tengik itu," Ares berkata lelah, lalu berbalik.
"Res! Gue sama Orion udah putus!" sahut
Lala, membuat langkah Ares terhenti. "Gue sama dia udah putus! Lo denger
kan?"
Ares bergeming. Berita itu mengejutkannya. Selama
ini, dia menyangka hubungan Lala dan
Orion baik2 saja.
"Gue baru sadar kalo yg gue peduliin tuh elo.
Dan gue nyesel banget kehilangan lo," kata Lala lagi, suaranya sudah
bergetar.
Selama beberapa menit, yg terdengar hanyalah isakan
Lala.
"Penyesalan selalu datang belakangan,"
komentar Ares akhirnya, lalu untuk ke sekian kalinya mencoba untuk pergi. Tapi
untuk kesekian kalinya juga, tangan Lala mencegahnya.
"Res, tolong dengerin gue!" jerit Lala.
Ares menatap Lala lagi. Gadis yg pernah dekat
dengannya, bahkan satu-satunya yg pernah berbicara dengannya. Gadis yg dulu
pernah mendapat tempat di hatinya. Tapi semua lenyap dan terbakar menjadi
kemarahan saat Lala dengan cerianya mengatakan bahwa dirinya dan Orion sudah
bersama. Ternyata, selama setahun Lala mendekati Ares, hanyalah untuk
mendapatkan seorang Orion. Oh, bukan 'hanya' seorang Orion, tapi seorang cowok
yg hebat di segala bidang, baik akademis maupun ekstrakurikuler, sekaligus
cowok paling populer di kampus.
"La, denger. Denger baik2 karna gue cuma mau
ngomong sekali. Gue nggak mau dengerin apa pun lagi. Lo pikir, setelah lo putus
sama Orion dan lo bilang nyesel dan segala macem, lo bisa deket lagi sama gue?
Jangan mimpi lo," kata Ares dingin sambil berusaha melepaskan tangan Lala.
Tapi gadis itu memegangnya dengan sekuat tenaga.
"Res, tolong kasih gue kesempatan...,"
kata Lala lirih. "Gue mohon..."
Ares menatap Lala jijik. Dia tak menyangka Orion
sudah memutuskan hubungannya dengan gadis ini. Dulu, Ares mengira Orion tak
akan menyia-nyiakan Lala. Tapi tidak. Ares tiak akan peduli apa pun lagi.
Kebenciannya kepada Lala sudah terbentuk sejak Lala mengatakan bahwa diam
mencintai Orion. Dan karna statusnya sebagai pasangan dari Orion, Lala yg
tadinya bukan siapa2 mendadak menjadi cewek terpopuler saat itu. Lala jelas
menikmatinya sehingga melupakan keberadaan Ares.
Tetapi dari semua itu, yg paling membuat Ares muak
adalah, Lala mengetahui ada persaingan di
antara Ares dan Orion. Maka dari itu, dia mendekati
Ares dengan tujuan membuat Orion cemburu. Ares tahu betul hal itu. Hal bahwa
selama ini Lala sudah memperalatnya.
"La. Lo tau gue bukan tipe orang yg ngasih
kesempatan kedua. Jadi lo harusnya tau nggak ada gunanya lo ngelakuin yg kayak
begini," kata Ares. Disentaknya tangan Lala sehingga terlepas dari
tangannya.
"Res, gue nyesel! Gue nyesel, oke? Gue nyesel!"
sahut Lala putus asa. Gadis itu mulai menangis lagi.
Ares mencoba untuk tidak menatapnya. "Bagus
kalo lo nyesel. Tapi itu nggak ada artinya buat gue."
"Res! Gue kangen elo. Gue kangen saat2 dulu
kita main bareng!" sahut Lala lagi. Ares
meliriknya tajam.
"La, lo kenapa sih? Pengen balik lagi sama
Orion tapi nggak tau caranya? Mau ngegunain cara licik kayak dulu? Udah nggak
populer lagi lo rupanya?" bentak Ares, membuat Lala menangis lebih keras.
Ares membuang mukanya. Kalau saja Lala menangis
bukan karna hal sepenting ini, Ares pasti sudah memeluknya untuk
menenangkannya. Tapi Ares pantang menyentuh apa pun yg sudah disentuh Orion.
Lala tiba2 melompat ke arah Ares dan memeluknya
erat. Sejenak, Ares terdiam karna terkejut.
Tapi detik berikutnya, dia sadar dan melepas
pelukan Lala. Lala masih terisak.
"Res, apa bener nggak ada jalan buat kita
balik kayak dulu?" tanya Lala di tengah isakannya. Ares menghela napas.
"Benar," katanya mantap. "Jadi, jangan sangkut pautin gue ke
dalam urusan lo sama Orion lagi."
Ares meninggalkan Lala yg menatapnya sedih. Ares
tak mau tahu lagi soal Lala dan Orion. Cukup sudah semua pengkhianatan yg
dialaminya.
"Ares, lo dapet pesen. Ada yg manggil lo di
belakang kampus."
Seorang cewek tiba2 mendekati Ares saat dia baru
beranjak pulang. Ares menghabiskan sepanjang hari dengan berbaring di kursi
taman kampusnya sambil menghabiskan dua bungkus rokok.
Ares menatapnya heran. "Siapa?"
"Gue nggak tau. Gue nggak kenal. Tapi
cowok2," kata cewek itu, lalu pergi begitu saja, seolah tak mau berurusan
lebih lanjut dengan Ares.
Ares menatap kepergian cewek itu, lalu menutup
loker dan berjalan menuju belakang kampusnya. Dalam hati, dia merasakan adanya
ketidakberesan. Benar saja, segerombolan anak lelaki yg tampak marah sedang
menunggunya di sana.
"Mau apa cari gue?" tanya Ares begitu
dirinya sudah berjarak tiga meter dari gerombolan itu.
Salah satu dari mereka maju, tampaknya yg paling
kuat. Wajahnya legam dan memiliki banyak bekas luka.
"Lo Ares?" tanyanya dengan suara yg
berat, khas perokok. Sama seperti yg dimiliki Ares. "Bisa dibilang
begitu," jawab Ares dengan nada menantang. "Dan lo? Bang napi?"
Laki2 itu mendengus. "Gede juga nyali
lo."
"Mau apa kalian? Suruhan siapa?" tanya
Ares ringan. Dirinya sudah terbiasa akan hal2 seperti ini. Orang yg membencinya
tidak bisa dibilang sedikit. Malah orang yg menyukainya yg luar biasa sulit
dicari.
"Nggak penting suruhan siapa. Yg jelas, lo
pastinya udah tau kita mau ngapain," jawab seorang laki2 lainnya.
Ares menarik napas, lalu mengambil sebatang rokok dan
menyalakannya. Diisapnya dalam2, lalu dihembuskannya tepat ke wajah si hitam.
"Gue tau," katanya singkat.
Laki2 itu segera melayangkan tinjunya pada Ares, yg
dapat dihindari dengan mudah. Secepat mungkin Ares meraih tangannya,
memelintirnya, lalu mematikan rokoknya pada tengkuk laki2 itu, yg langsung
berteriak kesakitan. Teman-temannya memandang Ares geram.
"BAJINGAN!!" seru gerombolan itu, lalu menyerbu Ares dengan membabi
buta.
"Mau ada pertandingan lagi, Yah."
Suara Orion terdengar ketika Ares memasuki rumah.
Ares menarik napas sebentar, mengembuskannya, lalu meneruskan langkahnya
melewati ruang tamu. Ayah, Ibu, dan Orion sedang duduk di sana. Benar2 sial.
Pertemuan keluarga tepat di saat keadaannya berantakan. Ares memutuskan untuk
bergerak cepat ke kamar, bermaksud menghindari pertemuan itu. Tapi rupanya tak
cukup cepat, karna semua keluarganya menyadari keadaan Ares dan tubuhnya yg
kotor dan wajahnya yg lebam.
"Ares! Kamu berantem lagi ya?!" teriak
Ayah berang.
Ares tidak berhenti untuk menerima lebih banyak
pukulan lagi. Dia segera masuk ke kamarnya dan membanting pintu tepat di depan
hidung ayahnya.
"ARES! ARES! BUKA PINTUNYA! DASAR ANAK
KUR-"
Suara Ayah teredam oldi suara Kurt Cobain dengan
'Smells Like Teen Spirit'-nya. Ares membanting tubuhnya ke atas ranjang, lalu
terduduk karna rasa sakit luar biasa yg menyerang perutnya. Gerombolan sialan
tadi berhasil memukulnya sekali pada perut dengan sebuah balok kayu besar.
Rupanya tadi Ares bergerak kurang lincah. Biasanya dia tak pernah terluka
separah ini.
Ares sudah melumat semua anak yg tadi menyerangnya.
Semua dibiarkan terkapar tak berdaya dengan berbagai macam keluhan. Mungkin yg
terbanyak adalah patah hidung dan gigi. Tapi Ares cukup yakin tadi dia berhasil
mematahkan tangan satu-dua orang.
Gerombolan tadi suruhan Raul, saingan utama Orion
dalam kompetisi basket antar kampus. Dia adalah mantan pacar Lala sebelum
Orion, dan ternyata kabar bahwa Lala memeluk Ares langsung sampai ke
telinganya. Ares mendengus sebal. Rupanya banyak sekali mata2 Raul di kampus.
Baru beberapa jam kejadian itu berlalu, si pengecut itu sudah mengirim pasukan
tak berguna untuk menghabisi Ares.
Ares memaksakan dirinya untuk mendekati kaca, lalu
memerhatikan wajahnya yg lebam di bagian tulang pipi kirinya. Ares bersumpah
dalam hati, akan terus mengingat bajingan yg berhasil menempatkan kepalannya di
sana, lalu balas dendam dua kali lebih parah.
Tiba2 Ares bergeming. Bukan karna dia menemukan
luka baru di wajahnya, tapi karna dia menemukan wajah Orion di sana. Wajah yg
persis dengan yg dimilikinya. Wajah yg tidak diinginkannya. Ares pun sadar
kalau dia sudah terlalu lama tidak bercermin. Dia terlalu takut untuk melihat
wajah yg selalu membuatnya marah itu. Karna itulah, cermin pernah menjadi hal
terkutuk baginya.
Ares melangkah menjauhi cermin, lalu kembali
terduduk di pinggiran ranjang. Mungkin lebih baik dia merubah wajahnya agar
tidak terlihat mirip lagi dengan sang atlet. Terlalu banyak yg terjadi dalam
satu hari ini. Dan semuanya membuatnya luar biasa lelah, sampai dia merasa
ingin mati.
Orion buru2 melangkah ke kamarnya begitu waktu
sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Malam ini, Reina akan muncul di chat
room, seperti janjinya.
Orion segera duduk, menyalakan notebook-nya yg
segera terkoneksi dengan internet. Setelah beberapa lama mencari, nama Reina
belum muncul. Orion sudah mencoba berbagai nama yg mungkin digunakan Reina,
tapi tak satu pun benar. Reina belum muncul.
Selama satu jam dihabiskan Orion untuk menunggu
kehadiran Reina. Tapi, gadis itu tak muncul juga. Orion mulai menggigiti kuku
jarinya. Apa mungkin Reina lupa?
Orion memutuskan untuk menunggu lebih lama.
Sementara itu, dia mencoba membunuh waktu dengan membuka situs2 tentang NBA.
Walaupun demikian, Orion hanya bisa memandang sosok Jason Kidd dengan tatapan
kosong. Nama Reina belum muncul juga.
Satu jam berikutnya, Orion memandang layar
notebook-nya hampa. Mungkin Reina memang lupa. Orion mengklik tampilan compose
new message, lalu mulai membuat pesan.
Subject: Hi!
Rei, lupa ya, janji kita ketemuan di chat world?
Nggak apa2 deh, tapi besok ketemu ya? Banyak yg mau diobrolin nih!
Miss U always.
Orion.
Orion menekan tampilan send, lalu mengempaskan
tubuhnya ke sandaran kursi. Reina. Gadis itu sudah membuatnya gila.
Setelah menutup notebook-nya dengan berat hati,
Orion bergerak menuju ranjang dan membangting tubuhnya. Dia mencoba untuk
menutup mata dan sosok Reina langsung terbayang di pelupuk matanya.
Reina tidak pernah mau mengirimkan fotonya. Dia
juga tidak menampilkan foto pada profil media sosialnya. Gadis itu tidak tahu
betapa Orion benar2 merindukannya. Tidak lama kemudian, Orion tertidur pulas,
masih memimpikan Reina yg tumbuh dewasa.
Perlahan, Ares membuka pintu kamarnya. Benar saja.
Pagi ini semuanya berkumpul di ruang tamu, karna ini hari Minggu. Harusnya Ares
tadi tetap berada di dalam kamar saja.
Ares tidak dapat mundur lagi, karna Ayah sudah
keburu melihatnya dan memberinya tatapan tajam. Jadi, dia melangkah ke luar
kamar, lalu duduk di meja makan. Dia menyomot sosis goreng dan makan dalam
diam.
Ayah mendengus sambil membuka koran dengan kasar
setelah melihat wajah Ares yg lebam.
"Kamu ini mau sampe kapan ngelakuin hal2 yg
nggak berguna?" serunya tanpa melepaskan matanya dari koran.
Ares terdiam sesaat. Ayah sudah mulai lagi
membicarakan hal ini. Ares hanya menggerakkan bahu, malas menjawab.
Begitu tahu Ares tak menjawab, Ayah mendelik sewot
kepadanya. Orion dan Ibu memilih diam. Sebentar lagi pasti terjadi
pertengkaran, seperti yg biasa terjadi di hari Minggu pagi.
"Kamu ini kerjaannya mencoreng nama baik
Ayah," kata Ayah lagi. Urat2 di dahinya sudah mulai tampak.
"Aku nggak pernah nyebut2 nama Ayah waktu
berantem," jawab Ares tak peduli.
Ayah mengempaskan koran yg sedang dibacanya ke meja
makan, lalu menatap Ares galak. "Kecuali kamu bukan anak Ayah, sana
berantem sepuasnya!" serunya dengan suara menggelegar. Ares balas
menatapnya geram. Sosis yg dipegangnya sudah terasa lembek. "Mungkin cuma
kematian yg bisa buat kamu berhenti berkelahi," sambung Ayah, lalu
mendesah panjang.
Ares mendengus. "Mungkin aja," katanya,
lalu kembali melahap sosisnya.
Ibu menatap Ares khawatir, lalu mengulurlan tangan
untuk membelai pipinya yg biru dan bengkak. Ares segera menepis tangan ibunya.
"Apa nggak sebaiknya kamu ke dokter aja,
Res?" tanya Ibu pelan.
"Nggak usah," tandas Ayah sebelum Ares
sempat mengeluarkan suara. "Biar kapok."
Ares memilih tak menanggapi perkataan Ayah. Ares
tak akan kapok hanya dengan pukulan ringan di pipi. Selama beberapa menit,
keheningan merayapi keluarga itu.
"Yah. Pinjem korannya," Orion mencoba
mencairkan suasana.
Ayah menyodorkan koran ke tangan Orion, sambil
melirik Ares yg tampak tidak berminat.
"Coba sekali-kali kamu baca koran. Kerjaannya
denger musik aneh terus. Gimana bisa nambah pengetahuan, kamu?" sindir
Ayah sinis.
Baca koran. Kerja yg bagus, Orion, pikir Ares.
Membaca koran adalah hal yg paling dibenci Ares selain apa pun yg berhubungan
dengan Ayah dan Orion.
Bukannya Ares tidak mau membaca, tapi Ares divonis
menderita disleksia lima tahun yg lalu. Tidak ada yg mengetahui hal tersebut di
keluarganya, karna Ares selalu menutupinya. Seumur hidupnya, Ares menderita dan
dia tidak tahu apa yg terjadi padanya. Baru setelah remaja, Ares memutuskan
untuk memeriksakan diri tanpa ada yg menemani, dan dari dokter dia tahu bahwa
dia ternyata penderita disleksia, penyakit gangguan saraf pada otak yg
menyerang anak yg lahir prematur atau otaknya kekurangan oksigen saat baru
lahir.
Kemungkinan besar, penyebab kedua lah yg terjadi
kepada Ares, karna dia dan Orion lahir pada waktunya. Penyakit ini menyebabkan
Ares tidak dapat membaca, menulis, atau mengeja dengan benar. Walaupun
disleksia yg terjadi pada Ares tidak begitu parah, dia tumbuh menjadi anak yg
emosinya labil karna terbiasa dikatakan bodoh oleh semua orang.
Selama dua puluh tahun, Ares berusaha keras untuk
menyetarakan dirinya dengan Orion -yg sialnya, begitu cemerlang. Ayah menyerah
mengajari Ares karna dia lambat dalam menangkap pelajaran dan akhirnya
menganggapnya lebih bodoh dari Orion. Sementara itu, ibunya tidak bisa berbuat
apa2. Bukannya Ibu tidak mencintainya, dia dilarang oleh Ayah untuk membantu
Ares supaya Ares jera. Tidak punya pilihan lain, Ares belajar membaca, menulis,
juga mengeja sendiri pada waktu malam hari.
Ares selalu mendapat nilai jelek dalam pelajaran
matematika ataupun sains. Dia juga tidak begitu bisa menghapal. Maka dari itu,
dia selalu menjadi urutan terbawah di kelasnya. Ares selalu disimbolkan dengan
elemen yg selalu berkebalikan dengan Orion. Tidak seperti Orion, Ares tidak
begitu mengerti musik jazz yg mengutamakan ketepatan nada. Ares lebih akrab
dengan musik2 rock atau metal yg keras.
Perjuangannya selama dua puluh tahun membuahkan
hasil. Kini Ares sudah lebih terbiasa untuk membaca dan menulis, tapi dia tetap
tidak senang melihat tulisan2 kecil di koran karna dia masih harus berpikir
keras. Ares tidak akan membaca apa pun kecuali memang perlu.
"Res? Kok bengong?" Ibu tahu2 mengusap
rambut Ares -hal yg tidak pernah dilakukannya lagi selama bertahun-tahun.
Ares menatap Ibu muram. Sebenarnya Ares merindukan
pelukan Ibu, merindukan cerita- ceritanya sebelum tidur, yg terhenti saat
usianya baru tujuh tahun, segera setelah orangtuanya mengetahui ada yg tidak
beres pada otak Ares. Selanjutnya, hanya Orionlah yg masih dibelai dan
diceritakan dongeng sebelum tidur, sementara Ares dipukuli karna tidak bisa
menjawab pertanyaan yg benar dari Ayah.
"Kerjaannya kan memang begitu. Bengong saja
kayak orang bodoh," kata Ayah tiba2 sambil bangkit untuk mengisap rokok.
"Cobalah, buat sesuatu yg berguna. Sekali saja, bikin ayahmu bangga."
Mata Ares mengikuti Ayah yg segera berbalik dan
berjalan menuju pintu depan. Ares merasakan darahnya sudah mendidih dan naik ke
kepalanya. Ibu menatapnya simpati, tapi bergerak menuju dapur. Orion juga
bangkit dan membawa koran ke depan TV.
Selalu begini. Selalu Ares yg tertinggal di
belakang.
"Wow, panas banget!" keluh seorang gadis
saat keluar dari bandara. Dia menyibak rambut indahnya yg panjang dan
bergelombang, lalu menyeka keringat yg mengalir di dahinya dengan sekali
gerakan indah.
Orang2 yg berada di sekitar gadis itu menatapnya
kagum. Gadis itu menengok ke kanan, bermaksud mencari taksi.
Dia sudah tak sabar bertemu dengan seseorang.
Seseorang yg sangat dirindukannya.
No comments:
Post a Comment