“Saat kau merasakan penyesalan
ketika menyakiti orang yang kau benci. Berarti kau tidak benar-benar membencinya.”
6
“Kau tidak boleh bertemu dengan Andre lagi, dan kau tidak boleh mengurus rumah kaca itu lagi.” Leo langsung mendatangi Saira malam itu di kamarnya,
seperti biasa masuk tanpa permisi dan bersikap angkuh.
Bagi Leo, ini adalah salah satu rencana balas
dendamnya,
menahan Saira dari segala hasrat yang disukainya. Leo tahu Saira sangat menyukai rumah kacanya,
dan tidak bisa mengurus rumah kacanya pasti akan sangat menyakitkan
bagi perempuan itu.
Saira mendongak,
menatap Leo dengan lelah, tiba-tiba Leo memperhatikan
bahwa Saira tampak lebih pucat dan kelihatan sakit. Jantungnya
berdenyut, tetapi kemudian dia langsung menepis perasaan
apapun itu yang sempat muncul.
Tidak boleh ada belas kasihan,
kalau dia ingin tujuannya
tercapai, dia harus mampu bersikap kejam.
“Kenapa tidak boleh?” tanya Saira kemudian.
Leo mengangkat alisnya, “Kau tidak
berhak bertanya. Aku suamimu, apapun keputusanku kau harus
mengikutinya.”
Suami macam apa yang memperlakukan isterinya seperti ini?Tanpa sadar Saira
meringis perih,
“Apakah kau sengaja melakukannya Leo? Untuk menyiksaku? Sebenarnya
apa kesalahanku sehingga kau seolah-olah
ingin menghukumku?”
Leo mengetatkan gerahamnya, “Tidak perlu banyak bertanya.” Geramnya, “Kalau
aku bilang begitu, kau harus menurutinya.” Lelaki itu melangkah mendekat dengan
mengancam, “Atau kau ingin merasakan lagi ‘hukumanku’ kepadamu?”
Saira langsung terkesiap, kalimat lelaki itu menyiratkan akan pemerkosaan kejam yang dilakukannya malam itu kepada Saira, wajahnya bertambah pucat.
“Oke.” Gumamnya kemudian.
“Silahkan hukum aku, kuharap kau puas dengan apapun yang kau rencanakan.” Gumam Saira sinis kemudian.
Dia takut, dia sungguh takut Leo akan memperkosanya dengan
kasar seperti kemarin. Itu adalah pengalaman pertama Saira, dan rasanya menyakitkan. Saira
tidak bisa membayangkan harus mengalami kesakitan itu lagi,
ditambah dengan nyeri di hatinya,
bahwa yang melakukannya
adalah Leo... lelaki yang bahkan
sampai sekarangpun sangat dia
cintai.
“Bagus.” Leo
mengernyit, “Jangan
coba-coba menemui Andre, Saira. ataupun meminta bantuannya. Seluruh penghuni rumah ini, semua mengawasimu. Dan kau akan menyesal kalau
sampai aku tahu bahwa kau menghubungi Andre.”
Setelah mengucapkan
ancaman yang keji itu, Leo membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi sambil membanting pintu di belakangnya.
***
Saira tentu saja tidak bisa untuk tidak menghubungi Andre, lagipula lelaki itu menghubunginya terus menerus,
meskipun Saira masih belum berani mengangkatnya, tetapi di malam
hari, ketika
semua penghuni
rumah sudah beranjak tidur, Saira mengunci pintu kamarnya, dan menelusup dalam kegelapan masuk ke balik selimut, dan menelepon Andre.
“Saira!” Andre setengah berteriak ketika mendengar sapaan pertama Saira. “Apa yang terjadi? Kau tidak bisa dihubungi seharian, dan aku sangat mencemaskanmu. Aku tadi
datang ke rumahmu,
tetapi pegawai Leo menahanku di gerbang, tidak memperbolehkanku masuk....kau baik-baik
saja?”
“Aku baik-baik saja.”
“Kau tidak baik-baik saja.” Andre bersikeras,
“Aku sudah mengenalmu sejak kecil, Saira, kau sudah seperti adik
kandungku sendiri, dari suaramupun aku sudah bisa membaca bahwa
kau
tidak baik-baik saja...
Apakah
Leo
berbuat
kasar
padamu?”
“Tidak.” Saira
memejamkan mata,
mengusir
air
mata
yang
mulai merembes
di sana, berusaha agar suaranya terdengar tegar. Tetapi ingatan akan pemerkosaan kasar yang
dilakukan Leo kepadanya,
dan kemudian ancamannya pada
dirinya serta keluarga Andre membuatnya
tidak bisa menahan tangisnya, suaranya gemetar ketika berucap, “Aku... aku
mungkin tidak bisa ke rumah kaca untuk beberapa waktu...”
“Saira..” Saira
bisa
membayangkan Andre
meringis
di sana, “Kau menangis, oh Astaga, dia mengancammu ya?”
“Tidak.. aku tidak apa-apa...”
Saira menggeleng-
gelengkan kepalanya meskipun dia tahu Andre tidak akan bisa melihatnya, “Aku... aku hanya ingin keadaan tenang dulu, semoga nanti aku bisa kembali ke rumah kaca.”
“Saira, kalau kau tidak tahan lagi, pergilah dari sana, pulanglah kepada kami, kita akan menghadapinya bersama-
sama.”
Saira sungguh ingin. Tetapi dia tidak bisa, bayangkan akan ancaman Leo kepada ibu Andre
dan adik-adiknya
membuat Saira
ngeri. Leo akan
membuktikan ancamannya,
Saira sudah tahu itu ketika pada akhirnya Leo
tega memperkosanya.
“Aku tidak bisa Andre.” Dengan perih Saira mengusap air matanya, “Sampaikan salamku buat semuanya ya... aku akan menghubungimu lagi nanti.”
Andre masih memanggil-manggil
namanya di seberang
sana, tetapi Saira berusaha tidak memperdulikannya, dia menutup teleponnya, lalu menangis, ditenggelamkannya air
matanya di bantal, dia menangis sekuat-kuatnya, larut dalam
kesedihan dan sakit hatinya.
***
Tidak disadarnya tangisannya itu terdengar ke luar, ke arah Leo yang tanpa sengaja berjalan dari arah ruang kerjanya,
melewati belokan lorong di ujung, tempat kamar Saira berada.
Leo langsung
tertegun. Terpaku di depan pintu kamar
Saira. Tangisan perempuan itu terdengar sangat menyayat hati,
membuat siapapun yang mendengarnya perih.
Tiba-tiba saja hati Leo terasa perih, dia berdiri di sana,
menunggu
lama, sampai kemudian isakan Saira menjadi pelan
dan
menghilang dalam keheningan.
Gadis itu menangis sampai ketiduran...
Sambil menghela napas, Leomelangkah
pergi ke kamarnya.
***
“Kita akan mengadakan
pesta.” Kali ini Leo tiba-tiba muncul di ruang makan, tempat Saira sedang mengaduk-aduk sarapan paginya, tidak berselera.
Saira mengerutkan kening, “Pesta?”
“Ya.” Leo mengangkat dagunya, mengamati Saira dengan pandangan mencemooh, “Aku sudah menyewa event organizer untuk mengurus
pesta ini, pesta ini kelas atas, biasanya kulakukan untuk menjamu para rekan bisnisku, akan ada banyak tamu dari kalangan atas.” Mata Leo menelusuri tubuh Saira dari ujung kepala ke ujung kaki, “Dan ya ampun,
belilah pakaian yang bagus dan berkelas, kau sudah kuberi uang bulanan di kartumu. Jangan sampai kau mempermalukanku
di pesta itu.” Gumam Leo, sengaja bersikap kejam, lalu
meninggalkan Saira yang ekspresinya seperti habis di tampar.
***
Leo memang benar, Saira tidak punya baju bagus, dan
dia memang tidak berkelas, yang dilakukan
Saira hanyalah
berkebun, berkutat dengan tanah dan pupuk, mengurusi
tanaman yang dicintainya – yang sekarang bahkan tidak bisa
disentuhnya.
Saira memang berbeda dari wanita-wanita
berkelas yang dikenal oleh Leo. Dengan
perasaan pedih dan
terhina, Saira
menghela napas panjang.
Dilihatnya gaun-gaunnya
di dalam lemari, semuanya gaun
yang dibeli berdasarkan fungsinya, bukan dari
merk ataupun
harganya. Dan dia memang tidak punya gaun pesta karena memang
dia tidak pernah pergi ke pesta. Ada satu baju pesta berumur lima tahun
yang hampir
tidak pernah
dipakainya,
gaun
itu berwarna putih dengan hiasan batu
berwarna ungu di dada dan pinggangnya,
tampak begitu
sederhana.
Apakah gaun ini bisa
dipakai di
pesta
yang kata
Leo
“berkelas’ itu?
Matanya melirik ke arah kartu belanja yang diletakkan
Leo di meja riasnya entah kapan. Tergoda untuk memakai kartu itu,
berbelanja pakaian yang bagus
dan mahal
lalu menunjukkan kepada Leo bahwa dia bisa juga tampil berkelas dan Leo tidak bisa mencemoohnya.
Tetapi dia lalu
menggelengkan kepalanya penuh tekad.
Setidaknya,
kalau tidak bisa melawan Leo, dia bisa
memberontak dengan hal-hal kecil. Saira tidak akan membeli
gaun
pesta baru. Biarlah dia
memakai salah satu baju pestanya
yang
lama, apapun
yang
akan terjadi nanti, dia akan
menghadapinya dengan tegar.
***
Larut malam Leo baru pulang dari kantornya.
Lelaki itu baru pulang
setelah jam sepuluh malam,
hampir setiap harinya.
Saira hanya bisa menahan
ingin tahunya, benarkah Leo pergi bekerja? Setahunya
tidak ada orang yang bekerja dari pagi sampai jam sepuluh
malam, hanya orang gila kerja yang melakukannya.
Apakah Leo menghindarinya?
Ataukah dia ...
menghabiskan waktunya bersama seseorang?
Perasaan cemburu menggayuti hatinya dan membuatnya merasa pilu. Betapa menyedihkannya
dirinya. Leo sudah memperlakukannya dengan begitu kejam, tetapi Saira tetap saja
masih menyimpan rasa cinta kepada lelaki itu.
Ketika Leo melihat Saira sedang duduk di
sofa depan dan membaca sebuah novel yang ditemukannya di
rak buku, dia berhenti dan mengernyitkan keningnya,
“Kenapa belum tidur?” tanyanya.
Saira menatap Leo dengan pedih, lalu memalingkan muka, berusaha menyembunyikan
ekspresinya,
“Aku sedang membaca buku.”
“Oh.” Leo tampak bingung harus berkata apa, kemudian
matanya mengeras lagi, “Apakah kau sudah membeli gaun?, pestanya akhir pekan ini, beberapa hari lagi.”
Saira menghela napas panjang, “Aku akan membelinya.”
“Beli yang paling bagus dan paling mahal. Ingat, jangan mempermalukanku.”
Saira terdiam,
hanya menutup
punggung Leo yang
berlalu meninggalkannya.
Lelaki itu pasti akan
marah
besar ketika tahu
bahwa Saira tidak menuruti perintahnya.
Yah.... biarkan saja, biar Leo tahu bahwa Saira bukanlah perempuan lemah yang tidak mampu berbuat apa-apa.
***
Akhir pekan telah tiba, dan seluruh rumah dipenuhi
kesibukan
yang
luar biasa, petugas catering sudah datang dari
pagi, dan beberapa petugas lain menyiapkan
tempat, dibantu
para
pegawai Leo yang ada di rumah itu.
Saira hanya mengamati dari jendela kamarnya, melihat
banyaknya mobil yang didominasi mobil
catering parkir di
halaman depan rumah Leo yang luas.
Sepertinya ini benar-benar pesta besar...
Saira mengernyit menatap gaun putih
sederhananya
yang
sudah diseterika oleh pelayan dan dihamparkan di ranjangnya.
Bahkan pelayan tadipun mengernyit ketika
dia
menerima gaun itu dari Saira untuk disetrika, dan mengetahui bahwa Saira akan mengenakannya untuk ke pesta nanti malam. Tatapannya
tampak memprotes, tetapi dia tidak berani
menyuarakannya.
Dan sekarang
Saira duduk dengan bingung, merasa
ragu atas keputusannya menentang Leo. Saira takut dirinya bukan hanya
mempermalukan
Leo,
tetapi
mempermalukan dirinya
sendiri di pesta ini.
Dengan
gugup dia meremas tangannya dan mengamati
gaun
putih itu sekali lagi. Tetapi mau bagaimana lagi? Sudah terlambat
untuk membeli gaun, pestanya akan berlangsung beberapa jam lagi.
***
Leo masuk
ke
kamar Saira yang tidak dikunci dan
mengerutkan keningnya, lelaki itu sudah mengenakan jas
malamnya yang sangat bagus dan elegan.
“Kau belum berganti pakaian?”
Lelaki itu mengamati Saira yang mengenakan gaun putih sederhana, dengan make-up tipis dan rambut di urai.
Saira melirik gaunnya dengan rasa bersalah,
kemudian
menatap Leo dan berucap terbata-bata, “Aku mengenakan gaun ini.”
Nyala api langsung muncul di mata Leo, “Kau akan ke pestaku, sebagai
isteriku, mengenakan gaun rombengan seperti ini?” Suaranya meninggi
setengah berteriak,
“Apakah kau tidak
membeli gaun seperti yang kuperintahkan?!”
Saira mendongakkan dagunya, mencoba menantang Leo,
“Aku merasa cukup pantas mengenakan
gaun ini.”
“Cukup pantas
kalau kau pergi ke pasar, bergaul bersama orang-orang
rendahan,” Tukas Leo dengan kasar, “Ini pestaku, dan akan ada banyak
orang kelas atas yang datang, mereka akan
mencemooh
gaun
rombenganmu itu,
dan kau akan mempermalukanku
karena mereka semua pasti akan mengira aku bahkan tidak mampu membelikan isteriku sebuah
gaun!” Lelaki itu maju, begitu dekat dengan
Saira, matanya membara, “Jangan-jangan kau memang sengaja begitu ya?
Mempermalukanku?”
Saira menggelengkan kepalanya
dan melangkah
mundur, tiba-tiba merasa takut dengan kemarahan
Leo, “Ti..
tidak.. bukan maksudku
begitu.. aku hanya merasa gaun ini
cukup pantas.”
“Lain kali jangan menggunakan perasaanmu atas dasar selera
rendahanmu itu.” Leo mendengus, menatap Saira dengan jiji, “Baiklah, kau sudah terlanjur melakukannya,
silahkan
permalukan dirimu sendiri, aku tidak akan membantumu!”
***
Ketika memasuki
pesta itu, Leo masih berjalan di
sampingnya, tetapi hanya sepersekian menit, lelaki itu
meninggalkannya sendirian untuk menyalami tamu-tamunya,
dan
tidak mengajak
Saira, seolah-olah dia malu terlihat
bersama Saira.
Saira mengamati para tamu yang mulai ramai itu dan
merasa sangat malu. Semuanya datang dengan riasan lengkap, gaun
yang luar biasa
elegan dan perhiasan-perhiasan mahal
yang
melengkapi penampilannya. Saira tampak seperti seorang
pembantu yang salah tempat di sini.
Beberapa orang yang tidak mengenalinya
sebagai isteri
Leo bahkan memandang
sebelah mata padanya, yang lainnya melemparkan tatapan mencemooh seolah dia pelayan yang tak
tahu
tempat.
Saira beringsut di sudut,
merasa bahwa apa yang terpapar di depannya ini bukanlah dunianya.
Semuanya terasa asing dan kejam. Tiba-tiba Saira ingin menangis karena merasa
begitu sendirian dan terasing.
Matanya mencari-cari
dimana Leo, tetapi lelaki itu
tampaknya
sedang sibuk
dan tak memperhatikannya,
dia
sedang bercakap-cakap
dengan segerombolan lelaki dan
perempuan berpakaian mewah, dan tampak tertawa-tawa...
bahkan ada seorang perempuan mengenakan gaun merah menyala yang sexy dan elegan, bergayut manja di lengan Leo dan lelaki itu membiarkannya.
Lalu seorang perempuan yang berjalan terburu-buru bersama pasangannya berlalu dengan sembrono, dia menabrak
Saira yang bahkan sudah berdiri di pinggir dengan keras,
“Aduh!” Perempuan itu berteriak marah karena dia
hampir terhuyung jatuh dan
terselamatkan karena berpegangan kepada pasangannya, perempuan itu melirik kearah Saira dan berteriak
kesal, “Jangan berdiri seperti orang
bodoh disitu, dasar pelayan bodoh!! Tempatmu seharusnya di dapur!”
Wajah Saira pucat
pasi
ketika semua mata
memandang
kepadanya, begitupun Leo yang sedang bercengkerama dengan teman-temannya.
Mata Saira mulai berkaca-kaca, dan dia mengangguk
untuk meminta maaf.
“Maafkan saya.”
Padahal seharusnya dia tidak
perlu meminta maaf, perempuan itulah yang
menabraknya.
“Maaf... maaf! Aku akan melaporkanmu
pada
pemilik rumah ini karena kau seenaknya berkeliaran
di pesta majikanmu...kau..”
“Dialah sang majikan,
Christa.”
Tiba-tiba
suara
Leo terdengar tenang, “Perkenalkan ini Saira isteriku.”
Entah kapan Leo sudah melangkah dan tiba-tiba ada
di sebelah Saira, lalu mengaitkan lengannya di lengan Saira.
Wajah perempuan yang dipanggil Christa itu tampak
memucat, mulutnya menganga, memandang Leo dan Saira berganti-ganti dengan tak percaya.
“Isterimu...?” gumamnya tercekat.
Leo menganggukkan kepalanya dan tersenyum
datar, “Ya, isteriku.
Aku maklum kau tidak
mengenalinya, di pesta pernikahan kemarin dia berdandan dan mengenakan
gaun pengantin.”
Seolah masih enggan percaya, Christa menatap Saira
dengan teliti, dia lalu menatap Leo dengan gugup,
“Oh oke. Aku benar-benar tidak tahu.” Gumamnya setengah
malu, lalu dia menganggukkan kepalanya
dan menggandeng pasangannya, buru-buru berlalu.
Saira menunggu sampai Christa dan pasangannya
menjauh, lalu berbisik lirih kepada Leo.
“Maafkan aku Leo, aku...”
“Puas sekarang? Kalau kau memang ingin
mempermalukanku, selamat. Kau sudah berhasil.” Leo menyela kata-kara Saira dengan dingin.
Ketika Leo hendak meninggalkan
Saira, perempuan
berpakaian merah menyala itu, yang tadi bergayut dengan manja di lengan Leo, ternyata sudah berdiri di depannya,
menghalangi langkahnya.
“Jadi ini isterimu,
Leo? Aku sudah sangat penasaran
terhadapnya ketika mendengar pernikahanmu
yang
sangat buru-buru. Kenapa kau tadi tidak memperkenalkannya kepada
kami?” seketika
itu
juga kumpulan teman-teman Leo sepertinya
sudah ada di sekeliling mereka.
“Saira sedang tidak enak badan, dia
sebenarnya tidak berencana menghadiri pesta ini, benar kan sayang?” Kata-kata
Leo lembut dan mesra, tetapi lelaki itu menatap
Saira dengan pandangan penuh peringatan,
“Bukankah kau bilang kau ingin
naik
saja dan beristirahat?”
Saira menganggukkan
kepalanya dengan sedih,
“Baik, Leo, aku akan beristirahat di atas.”
“Hati-hati ya.” Leo berbicara dengan kelembutan yang
sama, yang dulu pernah dipakainya untuk menipu Saira, tetapi kali ini bedanya Saira
sudah tahu kalau itu semua palsu.
Dengan perasaan malu dan terhina, Saira melangkah
menaiki tangga menuju kamarnya. Dia telah diusir dari pesta milik suaminya sendiri.
Telinganya mendengar tawa gembira yang menyakitkan,
dan ketika dia melirik dari sudut matanya, tampak Leo sudah berbicara sambil tertawa
lagi dengan beberapa orang yang mengelilinginya, perempuan cantik berbaju
merah itu sudah kembali menggayut manja di lengannya.
Saira menghela napas sedih dan mempercepat langkah
memasuki kamarnya. Dibantingnya tubuhnya ke atas ranjang, dan seperti kebiasaannya akhir-akhir
ini, Saira menangis
dengan penuh kepedihan.
Diluar sana
pesta berlangsung
meriah, penuh musik yang ceria dan percakapan yang penuh canda.
Di dalam sini, di kamarnya, Saira terisak penuh air
mata, sendirian dan tidak punya siapa-siapa.
***
Hampir lewat tengah malam, ketika pesta itu dan semua kesibukan untum membereskannya
usai, Leo dengan hati-hati
membuka pintu kamar Saira yang tidak dikunci.
Kamar itu gelap dan temaram, tetapi di tengah ranjang, di bawah sinar bulan yang remang-remang
masuk melalui bagian kaca di atas jendela, Leo bisa melihat dengan jelas tubuh
Saira yang terbaring telungkup di atas ranjang.
Dengan pelan, mencoba tidak bersuara,
Leo menarik kursi dan mendekatkannya di pinggiran ranjang, dia duduk di
sana, dengan tubuh setengah membungkuk,
tangan bertumpu pada sikunya, dan mata menatap nanar ke arah Saira.
Dengan bantuan
cahaya bulan, dia bisa melihat wajah Saira yang miring ke arahnya, dan dia
bisa mengetahui, ada
bekas air
mata
yang kering
di pipinya.
Sekali lagi, Saira
menangis lagi sampai tertidur.
Hati Leo terasa
sakit. Semula dia berpikir bahwa
menyakiti Saira terus dan terus, membuatnya menangis
sepanjang
waktu sampai kemudian
hampir gila akan
memuaskan
hatinya yang sakit dan penuh dendam. Akan
membuatnya bisa menghilangkan
rasa
seperti luka menganga ketika menatap kondisi Leanna yang menyedihkan.
Tetapi ternyata
tidak,
yang muncul adalah
kesakitan yang baru. Rasa seperti
dadanya diremas ketika melihat keadaan Saira seperti sekarang ini. Sedih karena kelakukannya.
Leo begitu larut dalam usahanya membalas
dendam sehingga dia lupa membatasi hatinya sendiri. Pesona
dan kebaikan Saira telah menyentuh nuraninya yang paling dalam,
membuat jiwanya berperang.
Saira dan Leanna. Apakah Leo harus memilih? Bukankah pada akhirnya siapapun yang akan Leo pilih, dia tetap
saja telah melakukan sebuah pengkhianatan besar?
***
Hampir dua bulan berlalu, dan pernikahan
itu
terasa semakin dingin hingga membuat menggigil,
Leo hampir tidak
pernah pulang
ke
rumah. Saira bahkan
hampir tidak pernah
bertemu dengan suaminya.
Saira amat
sangat merindukan
rumah
kacanya,
dia
sudah berusaha menunggu
supaya suasana hati Leo baik dan kemudian
dia bisa membahas tentang
rumah kaca
itu lagi. Tetapi suasana hati Leo tampaknya
tidak pernah baik. Dalam pertemuan singkat mereka di kala sarapan pagi, kalau Leo sedang tidur di rumah, lelaki itu selalu memasag
tampang cemberut yang tidak menyenangkan.
Saira beberapa kali tergoda
untuk kabur ke rumah
kacanya, apalagi Andre yang selalu meneleponnya setiap
malam dan menghiburnya menceritakan bahwa beberapa varietas bunga yang mereka kembangkan telah mekar dengan
wanginya dan begitu indah warnanya.
Saira rindu berada di sana, amat sangat merindu sampai
ingin menangis setiap dia berusaha menahan
dorongannya untuk pergi dari rumah ini. Para pegawai rumah ini mengawasinya, Saira tahu pasti. Mereka tidak akan segan-segan
mengangkat telepon
dan
memberitahu Leo kalau dia sekali saja melewati gerbang itu dengan sembrono.
Lagi pula gerbang itu
dijaga dua pegawai Leo yang sudah pasti tidak akan
membiarkannya keluar,
kalau dia tidak memakai mobil
dan sopir yang disediakan
oleh Leo. Mobil dan supir itu sama saja, Leo pasti sudah menginstruksikannya untuk selalu mengawasi
Saira. Saira hanya bisa keluar kalau dia berbelanja ke
supermarket atau ke tempat-tempat
umum, dengan supir itu terus mengikuti dan mengawasinya. Dia sama saja terpenjara di balik
pagar rumah yang mewah ini.
Pagi itu, Leo sedang sarapan dengan wajah dinginnya
seperti biasa. Saira dengan
langkah pelan,
berusaha memberanikan diri mendekatinya. Mereka sudah jarang sekali
berbicara akhir-akhir ini. Setelah pesta itu, Leo bisa dikatakan
hampir mengabaikan Saira. Kalaupun mereka bercakap-cakap
itu
hanyalah berupa kalimat-kalimat singkat yang ketus dari
Leo.
“Aku ingin ke rumah kaca.” Saira segera berkata ketika melihat Leo sudah menyelesaikan makannya.
Leo mengelap
mulutnya dengan serbet
dan menatap
Saira dengan dingin,
“Bukankah aku sudah bilang kau tidak boleh mengunjungi
rumah kaca itu lagi?”
“Tapi itu bisnisku, usaha yang aku bangun dari awal,
dan rumah kaca itu hampir seperti hidupku...”
“Kau tidak butuh membangun bisnis apapun, aku bisa
menghidupimu dengan berlebih, berikan semua kepada Andre. Mengenai rumah kaca itu,
aku tidak peduli.”
“Oh ya ampun!” Saira berdiri menatap Leo dengan pedih,
“Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku? Kau ingin aku pada akhirnya bunuh diri
karena frustrasi ya? Itu yang kau inginkan? Aku tidak tahu kebencian dari mana yang
mendorongmu Leo, tetapi kau telah melakukan perbuatan keji, menggunakan pernikahan
ini untuk menjebak seseorang..... dan sengaja membuatku menderita hanya..”
“Apa yang kau ketahui tentang menderita?” Leo berdiri
dengan marah, menghampiri Saira, “Apa yang kau tahu hah? Kau selalu hidup dalam limpahan
kasih sayang! Semua orang menyayangimu dan menjagamu dalam
duniamu
yang manis dan indah, kau bahkan tidak perlu mengemis
kasih sayang
siapapun! Tidak seperti kami!”
Saira menatap Leo dengan terkejut, Apa yang dikatakan Leo kepadanya tadi? Kenapa Leo membandingkan kasih sayang yang diperoleh dari orangtuanya? Dan kenapa dia menyebut
‘kami’ ? siapakah ‘kami’ yang Leo maksud itu?
Leo sendiri tampak begitu marah dan menakutkan, dia memegang kedua lengan Saira dengan keras,
“Aku ingin kau merasakan
apa
itu penderitaan, bagaimana rasanya kau terus menerus ditolak dan disakiti
oleh
orang
yang kau cintai! Aku
ingin kau merasakannya!” dalam kemarahannya, Leo mengguncang-guncang lengan Saira dengan keras, membuat kepalanya pusing.
Pusing itu makin menjadi ketika perutnya bergolak dan
membuatnya mual luar biasa, Saira tidak bisa menahan
muntahnya.
Dia mendorong
Leo sekuat tenaga, lalu berlari ke arah
wastafel yang berada di kamar
mandi
yang berhubungan dengan ruang makan itu, dengan dorongan sepenuhnya dari mulutnya, dia muntah-muntah hebat, memuntahkan seluruh isi sarapannya.
Ketika dia selesai, dengan terengah-engah dia menyalakan
kerannya, dan membasuh mukanya.
Didongakkannya kepalanya, dan dari cermin di
hadapannya, dia
melihat Leo berdiri di belakangnya dengan wajah pucat pasi.
Mata mereka bertatapan
dan
ingatan mereka langsung
berpadu ke malam itu, malam dimana Leo memperkosa Saira
dengan kejam... tanpa pengaman apapun.
Tanggalnya pas, semuanya tepat.. Saira mulai gemetaran,
menatap Leo dengan meringis perih.
Akhirnya kata-kata itu
keluar dari bibir Leo, dia
menatap Saira dengan sama shocknya, suaranya tampak tercekat ketika
dia berkata,
“Kau... hamil ya?”
PEMBUNUH CAHAYA - SANTHY AGATHA - BAB 7
No comments:
Post a Comment