Bab 4
Have a Little Faith
REINA memerhatikan kalau setelah perkelahian itu,
hubungan Ares dan Orion semakin buruk. Mereka tak pernah bicara satu sama lain.
Reina bahkan menyaksikan apa mereka memang pernah berbicara.
Reina mengamati Ares yg sedang mengambil baju di
lemari. Semalam, Reina sempat berpikir untuk menyerah tentang Ares, tapi tak
bisa dilakukannya.
"Res, kenapa kamu nyerahin aku sama
Orion?" tanya Reina tiba2, membuat Ares menghentikan kegiatannya.
"Ngomong apa sih lo?" kata Ares sambil
meneruskan pekerjaannya memindahkan baju. Ares memutuskan untuk memasukkan
semua bajunya ke koper sehingga dia tidak harus masuk kamar ini lagi selama
Reina masih di sini.
"Kemaren kamu bilang kalo Orion mau aku, dia
tinggal ambil aja. Apa maksudnya? Apa kamu pikir aku ini barang? Aku berhak
milih, Res!" sahut Reina.
"Trus, lo emangnya mau milih gue? Lo udah
gila?" kata Ares dengan nada mencemooh.
"Ya, aku gila! Aku milih kamu! Emangnya kenapa
aku balik lagi ke sini? Aku mau ketemu kamu!" sahut Reina tegas.
Ares menutup lemari, lalu menatap tajam mata Reina.
Sepertinya gadis itu bersungguh-sungguh, tapi Ares tak peduli. Tak ada seorang
pun yg pernah memilihnya.
"Amerika ternyata udah ngubah lo jadi perayu
ulung ya? Ck, ck... liat lo sekarang, Rei," sindir
Ares.
Reina menggeleng. "Res, kamu tuh cuma skeptis!
Kamu anggap aku sama dengan yg lain! Aku beda Res, aku bener2 peduli sama
kamu!"
"Rei, apa bedanya sih lo sama orang lain? Lo
sama, lo khianatin gue juga!" seru Ares.
"Res, aku ngaku salah, aku lupa alamat rumah
kamu, aku lupa nomor telepon kamu, selama sepuluh taun aku berusaha nyari tapi
bahkan papa-mamaku juga nggak inget! Pas tanggal 14 Februari, aku sampe nangis
gara2 nggak tau mau ngapain! Aku kangen banget sama kamu, Res," Reina
mulai terisak. "Baru pas sebulan setelahnya, aku liat nama Orion di
internet, setelah itu baru aku nemu titik terang! Aku seneng banget waktu liat
dia di sana. Dengan begitu aku bisa dapet alamat kalian lagi, trus bisa ketemu
kalian lagi!"
Ares sangat ingin memercayai cerita Reina, tapi
entah mengapa Ares tidak ingin menerima
alasan itu begitu saja.
"Res, please... Waktu di The Club, aku pengen
cerita. Sebenernya, begitu nyampe sini aku udah pengen cerita. Tapi karna kamu
nggak pernah mau liat aku, kamu juga nggak keliatan seneng ngeliat aku, aku
jadi ragu. Aku sedih banget waktu Orion bilang kamu udah ngelupain aku..."
Ares menatap Reina yg sekarang sudah berhenti menangis.
"Res, kamu tuh cuma takut, ya kan? Kamu takut
memercayai orang. Aku salah Res, aku pernah sekali ngekhianatin kamu, tapi
waktu itu aku masih kecil! Dan sumpah mati, aku nggak akan ngelakuin itu
lagi!" sahut Reina dengan seluruh sisa tenaganya.
Reina sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa
tentang seorang anak laki2 yg sudah kehilangan kepercayaan kepada semua orang
ini. Ares terlalu menarik diri sehingga Reina tidak bisa lagi menggapainya.
Ares menatap Reina lama. Ares tahu, Reina benar.
Ares suah terlaku takut untuk memercayai siapa pun lagi. Ares takut jika dia
memercayai Reina, dan jika Reina mengkhianatinya sekali lagi maka Ares akan
benar2 hancur.
"Res, all you have to do is have a little
faith in me," kata Reina pelan.
Ares masih bergeming. Reina akhirnya
mengangguk-anggukkan kepalanya pasrah.
"Ya udah kalo kamu masih nggak yakin. Kamu mau
kuliah kan? Ntar, habis kuliah, kamu cepet pulang ya. Aku mau buktiin kamu satu
hal," Reina lalu tersenyum. "Buktinya cukup kuat lho,"
sambungnya lagi sambil mengedipkan mata lalu menghilang di balik pintu.
Selama beberapa saat Ares terdiam karna otaknya
terasa membeku, lalu lanjut mengepak bajunya.
Ares tak pernah merasa ingin pulang secepat ini.
Perkataan Reina tadi siang berhasil membuatnya tidak berkonsentrasi pada
perkuliahannya. Entah mengapa, Ares membiarkan perasaan itu terus memenuhi
hatinya. Perasaan yg tak pernah dirasakannya lagi semenjak Reina pergi.
Perasaan senang. Berbunga-bunga.
Ares melangkahkan kakinya ke atap untuk bersantai
sejenak sebelum mengikuti kuliah
selanjutnya. Ares mengeluarkan sebatang rokok,
memandangnya, lalu teringat kepada bekas luka di telapak tangan Reina. Ares
segera membuang rokok itu ke lantai semen.
Merasa sedikit bangga dengan dirinya sendiri, Ares
menghela napas mantap dan melempar pandangannya ke arah lapangan bakset. Lagi2,
dia melihat Orion. Si banci itu sedang bertanding di lapangan yg dikerubuti
gadis2. Ares mendengus keras.
Mendadak, Ares mendapati Reina di bangku penonton,
sedang berteriak-teriak menyemangati
Orion. Ares terdiam, tangannya terkepal keras
sementara darahnya mendidih di kepalanya. Ares bangkit sambil mengisap rokok
itu dalam2.
Ares akhirnya kembali pada satu kesimpulan. Reina
sama saja dengan orang lain.
"Hei, akhirnya pulang juga," Reina
menyambut dengan wajah ceria saat Ares menampakkan diri di pintu.
Ares menatapnya datar, lalu melangkah masuk dan
melewatinya begitu saja. Reina menatapnya
heran.
"Res, dari mana aja sih? Tadi Orion menang
lho," kata Reina polos.
Ares berusaha untuk tak memedulikannya. Dia
bergerak menuju lemari es dan mengeluarkan jus jeruk, lalu meneguknya langsung
dari karton sampai habis.
"Res?" tanya Reina lagi setelah tak
mendapatkan tanggapan. "Kamu kenapa? Ayo, aku tunjukin bukti yg aku bilang
itu. Orion udah nunggu."
Ares tak habis pikir betapa riangnya Reina
menyebutkan nama Orion di depannya. Tapi Reina sepertinya tidak sadar, karna
dia sekarang sudah menarik tangan Ares dan membawanya ke taman tempat dulu
Ares, Orion, dan Reina memiliki perjanjian.
Orion sudah menunggu, duduk di bawah pohon akasia
sambil memainkan bola basketnya. Ares menatapnya sengit, yg langsung dibalas
sama sengitnya oleh Orion. Reina melangkah menuju pohon itu dengan riang, lalu
menatap Ares.
"Sekarang, ayo kita buka surat
permohonannya!" sahut Reina, membuat Ares terkejut.
Orion dan Reina seolah tak mengetahui keterkejutan
Ares. Mereka sama2 menggali tanah tepat di bawah pohon itu, lalu mengeluarkan
kaleng biskuit yg dulu mereka kubur. Semua kenangan itu berkelebat di otak Ares
dengan cepat sehingga membuatnya pusing.
"Ini dia!" sahut Reina gembira sambil
mengacungkan kaleng kotor itu, disambut cengiran Orion. "Ayo, Res, kita
sama2 baca!"
"Konyol banget," komentar Ares dingin,
membuat senyuman Reina mendadak lenyap. "Apanya yg konyol?" tanya
Reina.
"Ya ini. Semua ini," kata Ares dengan
nada mencemooh.
"Jadi kamu anggep perjanjian kita
konyol?" seru Reina, tersinggung. "Semuanya udah lewat, Rei! Kita
bukan anak kecil lagi!" sahut Ares emosi.
Reina memandang Ares tidak percaya. "Nggak
apa2 kalo kamu nggak mau baca surat permohonan kita. Nggak apa2 kalo kamu
anggep aku anak kecil. Tapi aku tetep bakalan buka surat permohonan ini,"
kata Reina, lalu meletakkan kaleng itu di tanah untuk dibuka.
"Res, ini Reina," Orion tiba2 menghampiri
Ares dan menatapnya tajam. "Ini bukan siapa pun yg bisa seenaknya lo
sakitin. Ini Reina. Gue nggak bakal ngebiarin lo nyakitin dia. Baca surat
permohonan lo."
Ares merasa Orion terdengar sangat lucu saat
mengatakannya. Seolah selama ini hanya Ares saja yg menyakiti orang lain.
"Kalo nggak, kenapa?" tantang Ares.
"Baca aja," Orion menyurukkan gulungan
kertas bernama Ares yg diambilnya dari dalam kaleng ke tangan Ares.
"Baca, Ri," kata Reina pelan setelah
membuka gulungan kertasnya sendiri.
Orion menurut, lalu membuka kertasnya. Tulisannya:
'Aku pengen jadi arsitek!'. Orion tersenyum sendiri, mengingat betapa polosnya
dirinya dulu.
"Aku pengen jadi arsitek!" seru Orion,
lalu tertawa.
Reina ikut tertawa kecil, kemudian menatap Ares.
"Res?"
Ares mendengus sebentar, menggelengkan kepala, lalu
membuka gulungan kertasnya. Tulisannya: 'Aku pengen pegi ke bufan masa Ayah dan
Ibu'. Ares menatap nanar kertas di tangannya dengan perasaan yg campur aduk.
Selama beberapa detik, Ares hanya membisu. "Bukan apa pun yg
penting," jawab Ares sambil meremas kertas di tangannya.
Orion dan Reina menatapnya bersamaan. Ares sendiri
berusaha sebisa mungkin mengendalikan emosinya.
"Res, udah gue bilang lo jangan nyakitin
Reina," kata Orion serius. "Lo pikir gue takut sama lo? Jangan
mentang2 lo preman, gue jadi takut sama lo!"
"Mau lo apa sih?" balas Ares. Mood-nya
benar2 jelek hari ini. "Atlet yg serba bisa? Kebanggaan keluarga? Cowok
populer?"
"Sialan lo!" Orion menyerbu Ares -yg segera
saja sigap dan menepis tinjuannya. Reina menekap mulutnya.
"Ares! Orion! Berhenti!" sahutnya sambil
berusaha memisahkan Ares dan Orion. "Please, jangan berantem! Aku jadi
sedih, nih!"
Orion berhenti menyerang Ares. Ares menatap Orion
benci. Orion tidak memedulikannya, lalu berpaling kepada Reina.
"Sori Rei. Sekarang apa keinginan kamu?"
tanya Orion.
Reina terdiam, lalu membuka gulungan kertasnya. Dia
menutupnya lagi, lalu memandang Orion dan Ares bergantian.
"Aku mau kalian berdamai," kata Reina
pelan, disambut tawa Ares yg membahana.
"Apa lo bilang? Lo sama aja minta gue cium
dia!" sahut Ares. Reina menatap Ares yg sekarang sudah tertawa lagi.
"Lo tau? Udah gue bilang ini konyol," kata Ares lagi, lalu melangkah
pergi. "Rei," Orion memegang pundak Reina. "Aku minta maaf, tapi
permohonan kamu emang nggak mungkin."
Reina memandang sedih Ares yg sudah menghilang di
balik tanaman.
Ares mengisap rokoknya dalam2 hingga dadanya terasa
sakit. Setelah makan malam, dia segera keluar dari rumah untuk menghindari interaksi
lebih lanjut dengan semua orang. Ares hampir saja tidak bisa mengendalikan
emosinya ketika melihat Ayah dan Ibu saat makan malam tadi.
'Aku pengen pegi ke bufan masa Ayah dan Ibu'
Ares mengisap rokoknya lagi, menahan segala
keinginannya untuk menangis. "Sialan!" serunya sambil melemparkan
batu ke lapangan basket.
Ares membenturkan belakang kepalanya ke pohon
akasia. Saat ini, dia sedang berjongkok tepat di atas galian kaleng tadi sore.
Seharusnya Ares tak pernah menjadi bagian dari surat permohonan ini. Saat
menulis surat itu, Ares masih mengalami gangguan menulis yg parah. Membacanya
sekarang benar2 membuka luka lama.
"Res?"
Ares tidak perlu menunduk untuk mengenali suara
itu. Jadi, Ares kembali mengisap rokoknya dan bisa mendengar Reina berjalan mendekatinya.
Ares masih tidak mau melihatnya bahkan ketika Reina sudah berjongkok tepat di
depannya.
"Kenapa kamu jadi ngerokok lagi, sih?"
tanya Reina pelan sambil mencabut rokok dari tangan Ares.
Ares menundukkan kepalanya, dan mendapati wajah
cantik Reina hanya berjarak dua jengkal darinya. Reina menatap Ares dengan
cermat, sementara Ares langsung mengalihkan pandangannya.
"Udahlah Rei, nggak perlu susah payah
lagi," kata Ares lelah. "Gue bukan tipe orang yg ngasih kesempatan
kedua. Itu berlaku buat orang lain. Kenapa dengan lo harus beda?"
"Karna aku sayang sama kamu," kata Reina
jujur.
Ares menatapnya sebentar, lalu tertawa. Reina dapat
mencium bau rokok dari napas Ares.
"Res, aku nggak bohong," kata Reina
serius sehingga Ares menghentikan tawanya. "Aku sayang banget sama
kamu."
"Kayak lo sayang sama Orion?" sambar Ares
cepat. "Kalo gitu, simpen aja rasa sayang lo buat dia. Gue nggak
perlu."
"Nggak sama," kata Reina pelan.
"Dulu, aku pikir, aku sayang sama kalian berdua. Tapi setelah beranjak
dewasa, aku sadar kalo aku lebih sayang sama kamu. Dari kecil aku suka sama
kamu. Kalo sama aku, kamu baik banget, sementara kamu nggak baik sama semua
orang. Aku ngerasa spesial kalo deket kamu, Res. Sepuluh taun ini, aku tumbuh
dengan bayang2 kamu tiap aku mau deket sama cowok. Kamu boleh tanya
papa-mamaku, I was like dying to meet you." Ares memberanikan diri kembali
menatap Reina. Ares tiba2 memiliki ide gila untuk merekam semua kata2 indah
Reina. Walaupun demikian, Ares masih belum ingin percaya.
Reina mendesah. "Aku ngamuk2 minta beiliin
tiket ke sini, tapi papa-mamaku bilang aku nggak boleh pergi karna aku nggak
tau alamat kamu. Aku bilang aku berani cari sendiri setelah sampe di sini, tapi
mereka tetep nggak ngebolehin. Aku bisa apa, Res?"
Ares tetap bergeming, sibuk mencerna segala ucapan
Reina. Hati dan otaknya mulai bergulat. Di satu sisi Ares ingin memercayai
kata2 Reina, tapi di sisi lain Ares takut untuk memercayainya. "Res, kalo
itu belum cukup bukti, ini bukti aku yg terakhir," Reina menyerahkan
gulungan kertas yg diyakini Ares sebagai surat permohonan mereka. Ares
mengernyit heran. "Kalo ini juga nggak bisa ngeyakinin kamu, aku
nyerah," sambung Reina.
Ares tak mengerti dengan sikap Reina. Bukankah tadi
gadis itu sudah membukanya, isinya
supaya Ares dan Orion berdamai? Walaupun tak
mengerti, Ares tetap membukanya juga. Seketika, dia tertegun.
Tulisan itu tulisan tangan Reina sepuluh tahun yg
lalu. Besar2, tegak bersambung, dan berantakan. Tulisannya: 'Reina pengen
selalu bersama Ares, habis Reina suka sama Ares!'.
Ares tidak tahu harus melakukan apa. Dia ingin
melonjak setinggi-tingginya. Dia ingin lari sejauh- jauhnya. Dia ingin
berteriak sekencang-kencangnya. Tapi, dia tidak melakukannya. Ares hanya
membeku di tempat, terlalu terkejut atas perubahan besar dalam hidupnya.
Seseorang mengharapkannya. Seseorang memilihnya.
Seseorang ingin selalu bersamanya. Seseorang suka padanya.
Seseorang itu bernama Reina, gadis yg selama
sepuluh tahun ini memenuhi mimpi-mimpinya.
Gadis yg sangat diinginkannya lebih dari apa pun di
dunia ini. Dan sekarang, gadis itu ada tepat di depannya.
"Res?" kata Reina menyadarkan Ares.
Ares menatap mata Reina lekat2, tapi tak menemukan
setitik pun kebohongan di sini. Walaupun ada, Ares tidak mau tahu. Saat ini,
Ares akan mengambil risiko. Ares tidak pernah mendapatkan kebahagiaan untuknya
sendiri.
Ares membenturkan kepalanya lagi ke pohon, tanpa
melepaskan pandangannya dari Reina. "Kenapa?" tanyanya dengan nada
lelah.
Reina tersenyum simpul. "Karna kamu adalah
kamu."
Sepanjang hidupnya, Ares tidak pernah mendapatkan
jawaban sememuaskan itu. Jadi, Ares tersenyum kepada Reina. Baru kali itu Ares
tersenyum kepada orang yg tepat, dan Reina adalah orang yg tepat.
Reina ikut tersenyum, penuh kelegaan. Akhirnya,
Reina bisa menemukan Ares yg dulu. Ares yg
dicintainya. Ares yg peduli padanya. Reina sangat
bahagia sampai2 ingin menangis.
"Nih," Ares tiba2 menyerahkan sebungkus
rokok kepada Reina yg langsung bengong. "Boleh kamu apain aja. Aku nggak
bakal ngerokok lagi." Sekarang, Reina sudah benar2 menangis. Ares sampai
bingung dibuatnya.
Ares terbangun mendadak di esok harinya. Dia
ketiduran. Semalam, Ares berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak jatuh
tertidur. Ares takut semua yg terjadi semalam hanya mimpi. Namun, ketakutan
Ares berlebihan karna begitu bangun, Reina ada di dapur, membantu Ibu
menyiapkan sarapan.
Ares menghela napas, menyeka keringatnya, lalu
melihat Reina sekali lagi. Ini bukan mimpi.
Reina tersenyum manis ke arahnya. Ares terlalu
kaget sehingga tak membalas senyuman itu. Dia malah bangkit, mencuci muka, lalu
kembali terduduk di sofa. Reina masih di sana, wajahnya berubah khawatir.
Ares sendiri menatap Reina bimbang. Walaupun Reina
ada di sana, tidak berarti semua yg terjadi semalam adalah kenyataan.
"Res, sarapan dulu," kata Ibu sambil
mengoleskan selai pada roti yg akan diberikannya pada Orion.
"Ntar aja. Mau nonton berita," kata Ares
tanpa melepaskan pandangan dari Reina yg balas memandangnya heran.
"Aku juga nonton berita ah," Reina
membawa beberapa tangkup roti, lalu duduk di samping Ares.
Sementara Ares menatapnya bingung, Reina tersenyum
jail, lalu menggenggam tangan Ares dan menyembunyikannya di balik bantal. Ares
hanya bisa bengong.
Reina menyerahkan setangkup roti berisi telur pada
Ares. "Sarapan, Res."
Ares memerhatikan roti isi itu, merasakan tangan
Reina yg hangat, lalu menerima rotinya dengan tangannya yg bebas. Ares memakan
roti itu tanpa banyak bicara, karna dia kesulitan hanya untuk menelannya.
Dari dapur, Orion memerhatikan Ares dan Reina. Ada
sesuatu yg tak diketahuinya, Orion tahu betul itu.
"Rei?" panggil Orion membuat Reina
menoleh sedikit. "Jangan lupa lho, ada pertandingan lagi ntar siang."
"Oh, iya," jawab Reina seadanya.
Sebenarnya, Reina tak mendengar sepatah pun
perkataan Orion -juga perkataan si pembawa berita. Reina terlalu senang karna
sekarang tangan Ares sedang menggenggam tangannya erat.
"Hei, hari ini kamu ada acara nggak?"
tanya Reina setelah ruang keluarga sepi. Ayah pergi ke kantor, Ibu ke
supermarket, sedangkan Orion sudah berangkat kuliah.
"Nggak ada," jawab Ares singkat. Hari
ini, dia memang tidak punya jadwal kuliah.
"Kalo gitu, ayo bergerak!" sahut Reina
sambil menarik tangan Ares sehingga Ares bangkit. "Bergerak?" tanya
Ares tak mengerti.
"Jalan!" sahut Reina ceria.
Ares tahu ini akan menjadi hari yg terpanjang dalam
hidupnya.
"Kita ke mana dulu, ya?" kata Reina
riang.
Saat ini, Ares dan Reina sudah berada di mal. Reina
tadi menarik paksa Ares ke luar rumah. Ares sendiri tak begitu menyukai mal dan
hanya pernah beberapa kali saja ke mal seumur hidupnya. Sekali saat
mengantarkan Lala ke toko buku, sekali lagi saat Dipo mengajaknya makan2 dari
hasil usaha mereka yg pertama.
Ares berjalan tanpa semangat. Reina menatapnya
bingung.
"Res? Kamu baik2 aja?" tanyanya, dan Ares
mengangguk pelan tanpa suara.
Reina ikut mengangguk-angguk, tapi tampak bimbang.
Mereka kembali berjalan, beberapa pasang melewati mereka sambil bergandengan
mesra. Reina memandang mereka iri.
"Res? Kamu tau? Biasanya kalo ke mal cowok
ngegandeng tangan ceweknya, lho," kata Reina. "Oh ya?" tanya
Ares sambil memerhatikan beberapa pasangan yg lewat, tanpa mengeluarkan kedua
tangannya dari saku celananya.
Reina menatap Ares tak percaya. Ares berhenti saat
menyadari kalau Reina ternyata sudah
lama berhenti. Ares memutar badan, lalu memandang
Reina heran. "Kenapa kamu? Capek?" tanya Ares tak berperasaan.
Reina mengangakan mulutnya, mendengus kesal
sebentar, lalu berjalan cepat ke arah Ares untuk mengeluarkan kedua tangan dari
sakunya secara paksa. Ares bengong melihat kelakuan Reina. Setelah berhasil
mengeluarkan tangan Ares, Reina menggandeng tangan kanannya, lalu menarik Ares
untuk melanjutkan perjalanan.
Ares merasa malu atas kelambatan berpikirnya. Tapi,
dia lebih merasa malu karna sekarang dia menggandeng seorang gadis di tempat umum.
Keadaan dan waktu memang sudah membuat Ares menjadi buta dalam hal
memperlakukan gadis.
Walaupun demikian, Reina tak mempermasalahkannya.
Reina sudah sangat senang karna bisa bersama Ares. Reina membelikan beberapa
kaus untuk Ares. Awalnya Ares selalu menolak dan mengembalikan semua kaus ke
tempatnya semula, tapi saat Ares lengah, Reina langsung mengamailnya kembali
dan membayarnya.
Sudah sekitar dua jam Ares dan Reina mengitari mal,
dan Ares sudah cukup lelah. Tapi sepertinya Reina tidak memiliki tanda2 itu.
Ares memerhatikan Reina yg sedang asyik memilih- milih sepatu.
Ares masih belum memercayai ini. Reina sedang
bersamanya. Sebelumnya, Ares hanya pernah membayangkannya saja. Tapi saat ini
benar2 terjadi, Ares tak bisa melakukan apa pun terhadapnya. Ares terlalu gugup
hingga otaknya terasa kosong.
"Res? Bengong mulu. Ayo jalan lagi,"
Reina kembali meraih tangan Ares.
Ares hanya mengikutinya pasrah. Karna tak pernah
berolah raga, kaki Ares terasa kram setiap kali melangkah.
Tahu2, Reina melihat boks foto. "Res, kita
foto yuk!" ajaknya.
"Ah, nggak pake!" sahut Ares, tak sengaja
menyentak tangan Reina. Seumur hidupnya, Ares tak pernah difoto, kecuali untuk
keperluan sekolah.
Reina langsung pasang ekspresi merajuk. Ares
berdecak. Ares tak menyukai hal2 seperti ini.
Menurutnya, ini hanya membuang-buang waktu, juga
uang.
"Ayolah Res... Masa kita nggak punya foto?
Sekali... aja. Ayo dong!" sahut Reina memohon. Ares menatapnya kesal
sejenak sebelum akhirnya luluh oleh tatapan mata Reina.
"Ya udah. Sekali aja ya," kata Ares
membuat Reina melonjak gembira.
Reina segera menghampiri penjaga counter foto, lalu
menarik Ares memasuki boks seukuran satu kali satu setengah meter itu. Ares
mengikutinya dengan ogah-ogahan.
"Res, senyum ya, please... senyum buat aku,
oke?" pinta Reina.
Ares tak mengatakan apa pun. Ares hanya menatap
pantulan wajah di layar depannya. Wajah yg persis dengan orang yg dibencinya.
Inilah tepatnya yg menyebabkan Ares tak pernah mau berhubungan dengan apa pun
yg menyangkut wajahnya.
"Res?" sahut Reina membuat Ares sadar.
Ares menatap Reina dengan pandangan memohon untuk
tiak jadi berfoto. Reina langsung paham. Reina mengacak rambut Ares sehingga
rambut ikalnya jatuh di depan matanya. "Udah nggak mirip Orion lagi,
kok," kata Reina, lalu mengecup dahi Ares cepat.
Ares membatu beberapa saat, merasakan
saraf-sarafnya tiak dapat berfungsi lagi. Reina sendiri
tersenyum nakal dan mulai mengoperasikan mesin foto
setelah beberapa saat mempelajarinya. "Senyum ya Res," pinta Reina
lagi, dan mesin mulai mengeluarkan aba2.
Ares tidak punya kesulitan untuk tersenyum lagi.
"Wah, Ares cute deh," komentar Reina
sambil mengamati hasil foto boks tadi. Wajah Ares seketika memerah.
"Tambah cinta jadinya," sambung Reina lagi.
Ares tahu berhasil tidak membuat es krim di mulutnya
menyembur ke mana2 walaupun telinganya memanas.
Reina tertawa kecil melihat ekspreri Ares, lalu
mulai menyendok es krim dan memasukkan ke mulutnya. Tapi dia tidak berhati-hati
sehingga es krim itu belepotan di sekeliling mulutnya. Reina tampaknya tidak
sadar, sementara Ares sudah ingin tertawa.
"Rei, itu," kata Ares. "Mulut kamu
belepotan."
Reina menatap Ares sebal. "Res, nggak sopan
ngomong kayak gitu ke perempuan. Kamu harusnya ngebersihin," Reina
menyerahkan tisu kepada Ares yg jelas kebingungan. "Ayo, bersihin. Aku kan
nggak bisa liat," katanya lagi sambil menyodorkan wajahnya.
Ares menatap Reina ragu2 sebentar -merasakan
gejolak hebat dalam hatinya, juga gemetar yg hebat pada tangannya- lalu
akhirnya menyerahkan kembali tisu itu kepada Reina. "Kamu aja deh. Takut
nyolok mata," kelit Ares cepat.
Reina menghela napas kesal, lalu mengambil tisu itu
dan mengelap es krim di bibirnya. "Emangnya kamu kenapa? Buta?"
sindirnya, membuat Ares hanya tersenyum simpul.
Setelah itu, Reina memerhatikan Ares yg tampak
tenang memakan es krimnya. Reina benar2 jatuh cinta kepada laki2 ini. Dia tak
seperti laki2 lain yg pernah dijumpai Reina. Ares terlihat sangat dewasa di
luar segala permasalahannya, sekaligus terlihat seperti anak kecil yg sangat
butuh perhatian.
Tanpa sengaja, Ares menyenggol es krimnya sehingga
es berwarna putih itu menghiasi pipinya. Reina dengan sigap membersihkannya,
tapi tanpa menggunakan tisu. Reina malah menjilat jarinya yg belepotan es krim
dari pipi Ares, membuat Ares mengangakan mulutnya lebar2. "American,"
komentar Ares sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Idiot," balas Reina, lalu tertawa
renyah.
Orion menatap jam dinding. Pukul lima tiga puluh
sore, dan Reina masih belum tampak. Tadi siang, Reina tidak menepati janjinya.
Reina tidak datang untuk menyemangati Orion.
Mendadak pintu depan terbuka, membuat Orion
tersadar. Reina memasuki rumah, diikuti Ares. Orion memandang mereka penasaran.
Ares membawa begitu banyak kantung belanjaan dengan berbagai merek. Orion
menduga Reina baru saja pergi ke mal dengan Ares.
"Oh, hai, Ri," sapa Reina ceria begitu
melihat Orion.
Orion menatap Reina tak percaya. Bisa-bisanya gadis
itu mengucapkan 'hai' saat dia baru mengingkari janjinya.
Ares melewati Orion dan meletakkan belanjaan Reina
di samping sofa. Tanpa memedulikan ekspresi Orion yg terlihat marah, dia
mengambil jus jeruk dari lemari es dan meneguknya sampai habis. Setelah itu,
dia membawa sepotong brownies keluar rumah menuju gazebo. Reina baru saja
hendak mengikuti Ares, tapi Orion mendengus keras.
"Aku nggak percaya ini," kata Orion
geram.
"Apa?" tanya Reina polos sambil menatap
Orion bingung.
"Apa? APA? Reina, pertandingan?" sahut
Orion. Reina segera menepuk dahinya.
"Ya ampun!" sahut Reina, lalu segera
menghampiri Orion. "Ri, sori! Sori banget! Aku lupa!" Orion
mengangguk-angguk skeptis. "Kamu abis jalan sama Ares?" tanyanya
dingin.
"Iya," jawab Reina dengan nada bersalah.
"Tapi aku nggak ada maks-"
"Jadi jalan sama Ares lebih penting dari
pertandinganku," kata Orion, lalu melangkah gontai menuju kamarnya.
"Aku ngerti."
Orion menghilang di balik pintu kamarnya. Reina
menjambak rambutnya, lalu terduduk di sofa menyesali kecerobohannya. Reina jadi
membenci dirinya sendiri, dan dia tidak bisa membiarkan ini berkelanjutan.
Jadi, Reina bangkit dan melangkah ke kamar Orion.
Dia mengetuk pintunya.
"Ri, maafin aku ya? Aku janji nggak bakal lupa
lagi deh," kata Reina sambil mengetuk pintunya lagi. "Ri? Rion?
Please, don't do this to me... Besok aku tonton deh..."
"Besok nggak ada pertandingan," balas
Orion dari dalam kamar.
"Ya udah, pokoknya, pas ada pertandingan lagi,
aku pasti dateng! Aku janji!" sahut Reina lagi. Orion terdiam sebentar,
lalu membuka pintunya. "Rei, tadi aku kalah," katanya pelan.
"Aku nyari kamu di bangku penonton, kamu nggak ada. Aku jadi nggak konsen
takut ada apa2 terjadi sama kamu. Tapi kamu malah jalan sama Ares."
"Ri, sori banget," sesal Reina dengan
pandangan memohon. "Ri, please, maafin aku... Aku lupa banget... Nggak
lagi2 deh! Janji!" sambungnya, lalu mengacungkan jari kelingkingnya.
Orion menatap Reina sejenak, lalu tersenyum.
"Aku pegang janji kamu," katanya sambil mengaitkan jari kelingkingnya
ke jari Reina.
Sementara itu, Ares melempar mereka tatapan tajam
sebelum masuk ke kamar mandi.
"Res! Tunggu!" sahut Reina begitu Ares
sampai di pagar.
Pagi itu, Ares akan berangkat kuliah. Reina
berlari-lari kecil menyusulnya. Ares menatapnya heran sesaat, lalu membuka
pagar dan meneruskan berjalan. Reina mengikutinya.
"Mau ngapain kamu?" tanya Ares akhirnya.
"Mau ikut kamu ke kampus," jawab Reina.
Ares mengernyitkan dahi, lalu kembali berjalan
tanpa menunggu Reina. "Aku jalan kaki," kata Ares lagi.
"Nggak apa2," Reina mencoba menyamakan
langkahnya dengan Ares, tapi langkah Ares terlalu besar.
"Aku naik angkutan umum," kata Ares lagi,
takut Reina tidak mengerti maksudnya. "Bus umum. Kamu tau kan?"
"Tau," Reina menjawab dengan ekspresi
bingung, tak mengerti apa yg dipermasalahkan Ares. Ares mulai kesal.
"Kenapa kamu nggak ikut Orion aja sih? Dia kan naik motor."
"Tapi aku maunya bareng kamu," kata Reina
manja sambil memeluk tangan Ares.
Ares tak punya pilihan lain selain membiarkannya.
Ares menghela napas lega. Akhirnya, mereka bisa
juga sampai dengan selamat di kampus, setelah tadi di bus Reina hampir dikerjai
beberapa laki2 brengsek. Begitu naik bus yg penuh sesak, Reina langsung menjadi
pusat perhatian. Ares harus berjuang keras untuk melindunginya. Ares juga
sempat memarahi Reina karna memakai rok mini yg membuat beberapa tangan usil
ingin menjawilnya -walaupun tak pernah kesampaian karna Ares selalu menampar
tangan-tangan itu.
Reina menoleh dan berjalan mundur tepat di depan
Ares. "Ares! Ayo cepet dikit! Lambat, ah!" serunya sambil melambaikan
tangan.
Ares menganggapnya sebagai pemandangan yg indah.
Rambut Reina yg panjang tertiup angin sehingga melayang lembut. Senyuman indah
yg terlukis di wajah Reina membuat Ares tak ingin berhenti menatapnya.
"Res, ntar selama kamu di kelas, aku liat
Orion latihan ya," kata Reina, membuat khayalan indah Ares seketika
terbang tertiup angin. "Terserah," kata Ares dengan ekspresi datar.
Reina tertawa kecil, lalu berbalik dan berlari
meninggalkan Ares. Entah kenapa Ares merasakan sesuatu akan terjadi saat Reina
berpaling. Sesuatu yg buruk.
Setelah selesai kuliah, Ares mencari sosok Reina.
Selama di kelas, Ares tak bisa berhenti memikirkan perasaan aneh yg tadi timbul
saat melihat Reina pergi. Ares terlalu takut meninggalkannya dengan Orion. Ares
takut Orion akan kembali mengambil satu-satunya miliknya.
Ares melangkah cepat ke arah lapangan basket dan
mendapati Orion sedang duduk di bangku penonton, tapi Ares tidak mealihat
Reina. Ares mengedarkan pandangannya ke seluruh taman, tapi Reina tidak ada di
mana pun.
"Lo liat Reina?" tanya Ares pada Orion.
Orion tampak terkejut, tapi langsung membuang muka.
"Tadi katanya pengen nyari minuman." Ares menatap Orion benci, lalu
mengalihkan pandangan ke arah lapangan basket. Raul ada di seberang lapangan
bersama kroco-kroconya, sedang mengawasi Ares dan Orion.
Tiba2, perasaan itu muncul lagi. Ares memicingkan
matanya ke segala arah dengan panik. Beberapa saat kemudian, terdengar
keributan dari arah depan kampus. Ares dan Orion berpandangan sebentar, lalu
berlari bersama-sama ke luar kampus.
Ares berlari dengan sekuat tenaga, tapi dengan
cepat dia kehabisan napas. Rokok telah membuat napasnya jauh lebih pendek.
Orion telah mendahuluinya, dan Ares baru sampai di depan kampus beberapa menit
setelahnya.
Di depan kampus ternyata sedang terjadi tawuran
antar SMA. Ramai sekali sehingga Ares kehilangan Orion. Satpam kampus segera
mengunci pagar supaya anak2 SMA yg brutal itu tidak memasuki wilayah kampus.
Ares berlari ke pagar tanpa memedulikan larangan semua orang, lalu mulai
mencari sosok Orion.
Orion tidak bisa berkelahi. Walaupun badannya besar
dan bertenaga, Orion selalu kalah dalam berkelahi. Ares mencari-cari dalam
keramaian, tapi dia tidak bisa menemukan Orion.
"Res!" Terdengar suara Orion dari
belakangnya.
Ares menoleh, ternyata Orion baik2 saja. Dia ada di
wilayah kampus, tapi wajahnya menyiratkan kepanikan yg luar biasa. Baru saja
Ares akan menarik napas lega, Orion kembali berteriak.
"Res! Reina di sana!" sahut Orion sambil
menunjuk ke arah keramaian.
Ares menolehkan kepalanya, lalu mendapati Reina
sedang menunduk ketakutan di seberang jalan. Dia berteriak-teriak minta tolong,
tapi tak seorang pun menolongnya. Ares merasakan darahnya mendidih, lalu mulai
menggoyang-goyangkan pagar agar terbuka.
"Ares! Sedang apa kamu?!" sahut satpam
panik.
"Buka pagarnya, Pak! BUKA SEKARANG!"
sahut Ares kalap.
Satpam tidak mau melakukannya sehingga Ares nekat
memanjat pagar dan meloncat ke luar. Dia menyeruak di antara kerumunan yg
membawa batu dan balok kayu, lalu berlari sekuat tenaga ke arah Reina yg
menunduk sambil melindungi kepalanya. Tubuhnya tampak gemetar. "Rei!"
sahut Ares membuat Reina mendongak.
Reina sangat senang melihat Ares. Tadi, dia hanya
keluar sebentar untuk membeli minum, tapi
tak menyangka akan terjadi tawuran.
"Kamu nggak apa2, Rei?" sahut Ares lagi
sambil melindungi kepala Reina dari serangan berbagai benda terbang. "Ayo
masuk kampus!"
Reina baru akan berdiri ketika dia melihat sebuah
batu melayang tepat ke arah mereka. "Awas Res!" sahut Reina, dan Ares
segera merunduk tepat di atasnya.
Ares merasakan sesuatu telah menghantam kepalanya,
dan seketika bagian belakang kepalanya menjadi hangat. Reina menekap mulutnya,
sementara Ares merasa tak ada waktu untuk terkejut. Ares segera menarik Reina
menyebrangi jalan, lalu melindunginya sementara Reina memanjat pagar kampus.
Beberapa anak SMA berusaha memukuli Ares tanpa
alasan yg jelas. Ares terpaksa memukul beberapa di antara mereka, untuk
melindungi dirinya sendiri agar tak celaka. Ares tak menyadari betapa dia sudah
terlibat begitu jauh dalam perkelahian itu. Dia tak mendengar ketika sirine polisi
berbunyi.
Yg berikutnya dia tahu, dia sudah berada di dalam
truk menuju kantor polisi.
Ares menyandarkan kepala ke dinding sel. Kepalanya
terasa sangat sakit dan berdenyut hebat. Darahnya sudah mengering, tapi Ares
tak begitu peduli. Ares sedang memikirkan bagaimana nasib Reina.
"Antares?" sahut seorang polisi muda.
Ares menoleh. "Kamu boleh keluar. Orangtua kamu sudah menjemput."
Dengan terhuyung, Ares bangkit lalu berjalan dengan
gontai. Ayah sudah menunggunya di depan kantor polisi, ekspresi wajahnya
mengeras saat melihatnya muncul. Dengan segera, Ares tahu bahwa ini akan
menjadi akhir hidupnya.
Seharusnya Ayah tak usah menjemputnya saja.
"BERAPA KALI AYAH BILANG, JANGAN BIKIN MASALAH
LAGI!" sahut Ayah setelah menempeleng Ares untuk kesekian kalinya.
Ares ambruk ke lantai dengan posisi berlutut. Ares
berusaha keras meredam emosinya yg membuncah.
"IKUT TAWURAN! MASUK KANTOR POLISI! MAU KAMU
APA SIH?! BELUM CUKUP KAMU BUAT AYAH MALU??" sahut Ayah sambil menampar
Ares sekali lagi. Ares bergeming. "SELALU BIKIN MASALAH! SELALU BERKELAHI!
KAMU PIKIR KAMU HEBAT, APA?! KAMU MAU NANTANG AYAH, HAH??" Ayah menarik
kerah baju Ares, lalu mengangkatnya sampai Ares berdiri. "AYO! PUKUL AYAH!
KAMU HEBAT, KAN? KAMU JAGOAN, KAN? AYO!"
Ares hanya menatap Ayah tanpa ekspresi sementara
kedua tangannya terkepal erat2. Sekuat tenaga, dia menahan diri. Ares tak mau
berbuat khilaf dengan memukul Ayah.
Ayah mengempaskan Ares ke lantai sehingga kembali
berlutut, lalu terduduk di sofa ruang keluarga sambil memegang dadanya erat2.
Jantungnya pasti kambuh lagi.
"Kamu ini Res, apa sih yg ada di otak kamu?
Apa cuma berkelahi? Apa kamu nggak bisa membuat Ayah bangga? Apa kamu bahkan
nggak bisa membuat Ayah merasa punya seorang anak, bukannya preman?" keluh
Ayah dengan volume yg jauh lebih kecil. "Apa yg bisa membuat kamu berhenti
berkelahi, hah? Apa? Kematian? Apa kamu baru bisa berhenti setelah kamu bunuh
anak orang atau kamu mati? Apa Res?"
Ares tak menjawab. Hatinya terasa terlalu sakit.
Kalau Ares bicara sekarang, Ares pasti akan berteriak, atau malah menangis.
Ayah mendesah pelan, lalu bangkit sambil memegangi
dadanya. Sebelum pergi, dia melirik Ares.
"Ayah nggak akan heran kalau suatu saat kamu
yg menyebabkan kematian Ayah," kata Ayah lelah, lalu terseok ke dalam
kamarnya.
Selama beberapa menit, Ares terduduk dalam diam.
Matanya nyalang menatap sofa tempat tadi Ayah duduk, pikirannya berkecamuk. Tak
lama, Orion masuk ke rumah dan menatap Ares kasihan. Ibu muncul setelahnya,
juga dengan tatapan yg sama. Reina, yg masuk terakhir, tampak berlinang air
mata. Dia menekap mulutnya lalu segera berlari ke dapur.
Orion mengamati Ares, bibirnya bergerak seperti
hendak mengatakan sesuatu. Tapi, dia urung melakukannya dan masuk ke kamar
setelah menggelengkan kepala. Ibu baru saja akan menghampiri Ares ketika Ayah
berteriak dari dalam kamar meminta obat jantungnya. Ibu segera tergopoh-gopoh
mencarikan obat untuknya, lalu masuk kamar.
Reina kembali dengan baskom penuh air, lap, dan
beberapa balok es. Reina membantu Ares naik ke sofa. Ares tampak sangat kacau.
Bagian belakang kepalanya berdarah, sedangkan pelipis serta mulutnya robek.
Ares hanya menunduk. Dia tidak berani membalas
tatapan Reina. Hatinya begitu hancur. Reina memasukkan lap ke air yg sudah
diberi es batu, memerasnya lalu mulai membersihkan luka pada pelipis Ares.
Reina memegang pipi Ares, lalu menariknya sehingga Ares mau tak mau berhenti
menunduk dan melihat Reina. Reina dengan sabar mengelap darah pada luka Ares.
Reina tampak berusaha menahan tangis, tapi air matanya tetap mengalir dari
kedua matanya. Reina berhenti mengelap, lalu menatap kedua mata Ares. Reina
mengerti kesedihan Ares yg mendalam hanya dengan melihat matanya.
Ares pun tak bisa menahannya lagi. Air mata mulai
menetes dari matanya. Reina mengusap kepala Ares, lalu menariknya ke
pelukannya.
Untuk beberapa lama, Ares menangis di pelukan Reina
seperti anak kecil. Dia meredam isaknya dengan membenamkan kepalanya dalam2 ke
bahu Reina sementara Reina hanya bersabar menunggu, sambil mengusap kepala Ares
yg bocor dan dipenuhi darah kering. Setelah tangis Ares mereda, Reina kembali
membersihkan darah pada luka2 Ares. Ares memerhatikan Reina yg sibuk bekerja.
"Sakit, Res?" tanya Reina lirih saat Ares
sedikit berjengit saat luka di kepalanya dibersihkan. "Nggak
seberapa," jawab Ares pelan.
Reina sangat mengerti apa yg dimaksudkan Ares. Luka
di hati Ares pasti terasa jauh lebih menyakitkan dibandingkan luka luar mana
pun yg pernah diderita Ares.
Setelah selesai membersihkan kuka, Reina segera
membalutkan perban ke kepala Ares, memberi obat pada luka di pelipisnya, dan
akhirnya memberikan obat pereda nyeri. Ares menelan pil itu tanpa banyak
bicara.
Ares memerhatikan Reina yg sibuk membereskan
alat-alatnya. Ares beruntung masih memiliki Reina. Jika Reina tiak ada, Ares
pasti sudah berpikiran untuk bunuh diri sekarang. Ares tidak sekuat itu. Selama
ini, Reina lah yg menjadi alasannya hidup.
Reina kembali dari dapur dan duduk di samping Ares.
Reina menoleh, menghela napas, lalu menatap kedua mata Ares.
"Jadi? Mau cerita sesuatu?" tanyanya
lembut, membuat Ares tiba2 merasa aman untuk pertama kalinya.
Semuanya keluar dari mulut Ares begitu saja. Ares
menceritakan kepada Reina tentang ketidakadilan yg diterimanya semenjak kecil,
tentang dirinya yg selalu dibandingkan dengan Orion, tentang dirinya yg bahkan
tidak pernah menjadi prioritas kedua, tentang dirinya yg selalu disalahkan atas
apa yg tidak dilakukannya, semuanya mengalir bagaikan air. Reina
mendengarkannya dengan saksama, sesekali menekapkan mulut, tidak percaya atas
cerita Ares.
"Orion yg pinter, Orion yg atlet, Orion yg kelas
aksel, Orion yg dapet beasiswa, Orion yg anak baik2, semua selalu tentang
dia," kata Ares emosi. "Tapi begitu menyangkut aku, semua diam.
Bahkan banyak temen Ayah yg nggak tau dia punya anak kembar. Ayah begitu malu
punya anak kayak aku! Anak yg nggak bisa diandelin! Anak yg bahkan nggak bisa
baca tulis!"
Reina menatap Ares bingung. Ares pun sadar kalau
dia belum memberitahu Reina bahwa dia menderita disleksia.
"Rei, aku disleksia," kata Ares pelan
sambil menyerahkan kertas dari kaleng biskuit yg selalu dibawanya ke mana2
kepada Reina. Dapat ditebak, reaksi pertama Reina adalah terkejut saat
membacanya. "Jangan kasihanin aku," sambung Ares kesal. "Aku
nggak butuh itu."
"Nggak," kata Reina cepat, lalu
mengalihkan pandangannya dari kertas kumal itu. "Kamu tau, Res? Aku malah
kagum sama kamu. Aku nggak tau kamu disleksia. Kamu hebat banget bisa
nyembunyiin itu sampe sekarang. Kamu pasti udah berusaha mati-matian."
"Kamu nggak tau gimana rasanya," Ares
memegangi kepalanya. "Aku harus belajar di tengah malam sampe subuh setiap
mau ulangan. Aku baca semua buku itu sampe termuntah-muntah. Aku hampir putus
asa."
"Tapi kamu berhasil," Reina tersenyum
penuh rasa bangga. "Kamu hebat. Kamu orang terhebat yg pernah aku temuin.
Kamu mungkin bukan atlet, kamu mungkin bukan penerima beasiswa, tapi yg membuat
kamu lebih, kamu menang dari diri kamu sendiri. Banyak atlet yg nggak bisa
ngelakuin itu."
Ares menatap Reina yg sudah lebih dulu menatapnya.
"Apa kamu pikir begitu? Apa yg aku lakuin itu
kamu anggep hebat? Karna aku ngelakuin itu cuma supaya keberadaanku
diakui," kata Ares pelan. "Cuma bias semua orang nyangka aku masih
cukup normal. Tapi pada akhirnya, semua orang menganggap aku bego, karna sekuat
apa pun aku berusaha, aku selalu ada di balik bayang2 Orion." "Kamu
hebat," Reina menatap Ares lekat2. "Walaupun orang lain nggak liat
itu, tapi aku liat. Aku bukan orang lain." Ares balas
menatap Reina, tak pernah merasa selega ini dalam
hidupnya. Akhirnya, dia menemukan tempat untuk berbagi. Selama ini, hatinya
nyaris tak muat untuk menerima penderitaan apa pun lagi.
Tapi sekarang, sepertinya Tuhan telah mengirim
seorang Reina untuk menolongnya keluar dari semua masalah ini. "Kamu
tau," kata Ares dengan suara serak. "Cuma kamu satu-satunya hartaku.
Satu-satunya yg pernah aku miliki di dalam hidup aku." "Res,"
Reina meraih tangan Ares dan menggenggamnya. "Walaupun seluruh dunia udah
berpaling dari kamu, kamu harus yakin, kamu bakal nemuin aku sebagai
satu-satunya orang yg masih menghadap kamu." Ares menganggukkan kepalanya
lemah, merasakan obat tadi mulai bekerja pada tubuhnya, lalu terlelap dengan
senyuman di wajahnya.
No comments:
Post a Comment