BIKE
W i sh # 4 1 : me ne mukan Ni ki
(Nat a)
Kring kring!
Niki tidak sadar sudah berapa lama
bunyi yang tidak asing itu terdengar. Ketika mendongak, dia melihat sosok
seseorang dengan senyum pengertian yang membuatnya ingin menangis lagi.
Nata.
“Pulang yuk.”
Cowok itu menepuk-nepuk bagian
belakang sepedanya dengan raut jenaka. Ia bangkit dari sepedanya dan berjalan ke arah Niki, lalu
mengulurkan sebelah tangan untuk membantunya berdiri.
“Ayo.”
Niki menatapnya dengan mata basah.
Mengapa Nata ada di sini? Bagaimana Nata bisa tahu? Tapi, dia merasa begitu
lega melihatnya. Melihat sahabatnya datang untuk menyelamatkannya.
***
Tadinya, Nata mengayuh sepedanya
menuju SMU Pelita sekuat mungkin, berdoa dalam hati supaya dia belum terlambat.
Ketika dilihatnya gadis itu terduduk di luar
pagar, sendirian dengan bahu mungil yang berguncang oleh tangis, Nata
merasa hatinya terenyuh. Ia ingin memeluknya dan melindunginya sepenuh hati,
tapi untuk sesaat dia hanya bisa memandang dan menunggu.
Kenangan perlahan-lahan muncul di benaknya
seperti rekaman video. Tangan kecil yang
menarik ujung bajunya, sosok yang mengikutinya ke mana pun dia pergi. Wajah anak
perempuan yang tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang ompong. Ucapan
menghibur yang keluar dari mulutnya
setiap kali Nata sedang menghadapi masalah—dan ia selalu bisa mengetahuinya
bahkan sebelum Nata berkata apa-apa. Belaian lembut di pundaknya ketika anak
itu menemukan Nata bersembunyi di balik
lemari, malu ketahuan sedang menangis. Sejak kecil, Niki selalu bisa menemukannya. Kali ini,
adalah gilirannya menemukan dan melindungi Niki.
Niki menatapnya dengan air mata
masih mengaliri kedua sisi wajahnya, bibirnya bergetar dan matanya sembab. Nata
tersenyum, lalu menarik gadis itu berdiri.
Awalnya tangan Niki masih dengan
tentatif berpegangan pada tempat duduknya, lalu lama-kelamaan, melingkari
pinggang Nata seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Tidak ada yang berusaha memulai percakapan, hanya
keheningan yang mengisi perjalanan pulang mereka. Nata mengayuh lambat-lambat,
angin menerpa wajahnya dan temaram lampu menerangi jalannya. Ia merasakan
punggungnya basah, dan pelukan pada pinggangnya mengerat. Nata mencengkeram
setang sepedanya erat-erat, mencoba menahan gejolak emosi yang meluap dan
membuatnya ingin melampiaskannya kepada siapa pun yang sudah melukai Niki.
Lo aman di sini Ki, bersama gue.
Entah sudah berapa lama Nata
mengayuh, sampai ia berhenti di depan rumahnya. Niki bergerak turun dari sepeda, buru-buru mengeringkan air mata
dengan kedua tangannya. Nata tahu apa yang akan dilakukannya—mengucapkan terima
kasih sambil memaksakan senyum. Keesokan harinya, mereka akan kembali menjadi
dua orang asing yang berpura-pura seakan kejadian malam ini tidak pernah ada.
“Boleh duduk di trampolin?”
Pertanyaan itu mengejutkan Nata.
Niki sedang menatapnya penuh harap, menawarkan sesuatu yang tidak berani
ditanyakannya sejak mereka berhenti
berteman. Nata mengangguk.
Kain elastis trampolin itu berguncang
mengikuti berat badan mereka. Rasanya, sudah lama sekali sejak
mereka berdua duduk di sini, sekedar ngobrol ngalor ngidul tentang apa
saja, sembari memainkan musik.
“Aku dengerin tape kamu, beberapa
hari yang lalu.”
Nata mendongak, wajahnya memerah.
“Isi kaset itu semua lagu yang pernah
gue buat.” Untuk lo.
Niki mengangguk samar. “Lagu-lagu
itu bagus sekali. Kamu memang berbakat.” Nata memandang Niki tepat
di kedua manik matanya, sudah letih berpura-pura.
“Sejak kapan kita secanggung ini,
Ki? Kenapa kita harus berbasa-basi, nggak bisa lagi ngomong jujur apa yang ada
di pikiran kita?”
Niki yang pertama kali mengalihkan
pandangan. Mereka berdua sama-sama tahu jawabannya.
“Gue nggak minta apa-apa dari lo. Gue
nggak merasa sakit hati karena lo nggak bisa terima perasaan gue, gue
justru lebih sakit hati karena lo menghindari gue. Gue kecewa lo nganggep gue sepicik itu, bahwa gue akan menjadi orang yang berbeda hanya karena
perasaan gue berubah. Gue nggak mau kita berhenti berteman gara-gara
masalah seperti ini.”
“Semua orang selalu bilang, cewek
dan cowok nggak pernah bisa jadi sekedar sahabat. Pada akhirnya, itu bener kan, Nat?”
Nata tersenyum pahit. “Yang gue tau, persahabatan itu nggak memilih.
Persahabatan bukan didasari oleh gender, usia, motif, atau apa pun itu.
Persahabatan yang tulus gak harus punya alasan.”
Senyum Niki berubah sendu. “Kamu
benar. Sejak dulu, aku selalu mengharapkan bentuk cinta yang sempurna.
Kukira kalau aku berteman dengan
murid-murid yang populer dan pacaran dengan cowok yang istimewa, hidupku juga
akan sempurna. Aku baru sadar, nggak ada yang sempurna di dunia ini. Teman
sejati adalah orang-orang yang bisa nerima aku apa adanya, seperti kamu dan Anna.
Aku yang udah ngecewain kalian, maaf ya.”
Nata memotong permintaan maaf itu
dengan meletakkan kedua tangannya di atas bahu Niki, merasakan kulit mereka hangat
oleh sentuhan itu. “Gue maafin, asal mulai sekarang, lo nggak pura-pura nggak
kenal sama gue di sekolah.”
Niki tertawa kecil di balik
air matanya. Nata berusaha tampak tak acuh, tapi dia tahu dia tidak bisa
menghentikan senyum yang kini bermain bebas di wajahnya. “Apa pun yang terjadi,
jangan pernah memperlakukan kami seperti
orang asing lagi.”
Niki mengangguk mantap. Untuk
pertama kalinya malam ini, Nata memperhatikan Niki dalam balutan gaun yang
tidak pernah dilihatnya sebelumnya—berbahan halus, sebatas lutut, dipenuhi
dengan potongn renda-renda. Jalinan rambutnya sudah terlepas, riasan ringan di
wajahnya berantakan dan ada bekas-bekas air mata di sana, namun di matanya,
Niki terlihat sangat cantik.
“Hari ini lo cantik banget.”
Niki belum pernah mendengar Nata
berkata seperti itu. Nata tidak pernah memuji penampilannya, tidak pernah
memperhatikan gaya berpakaian perempuan apalagi berkomentar mengenainya. Wajah
Nata merah padam selagi mengatakannya, dan Niki merasakan senyumnya mengembang,
perasaannya jauh lebih ringan, seolah-olah beban berat telah terangkat.
“Thanks, Nata.”
Mereka berbaring menatap kerlip
bintang yang bertebaran di langit-langit—seperti butiran gula-gula. Nata
mengalas kepalanya dengan sebelah lengan, dan Niki mengandarkan kepalanya pada
bahu pemuda itu, mengenakan sweatshirt sahabatnya yang kebesaran. Hanya mereka
berdua, dan itu saja sudah lebih dari
cukup.
**
FO R GIVE
W i sh # 4 2: t e r t awa ke r as. Be nar - b e nar t e r t awa. (Ni ki )
Niki tidak pernah menyangka akan
bertemu dengan Oliver lagi. Setidaknya,
jika dia bersua dengan pemuda itu secara tidak sengaja, dia yakin dia akan
segera berjalan menjauh ke arah yang berlawanan, sebisa mungkin menghindari kontak
apa pun. Hubungan mereka sudah selesai, diputuskan sebelah pihak. Namun, sampai
sekarang, Niki masih belum bisa melupakan kejadian malam itu.
Karena itulah, ketika Niki menemukan
pemuda itu berdiri di depan pintu rumahnya, dia ingin segera membanting pintu
dan berlari ke kamarnya. Tapi bersembunyi, menghindar, dan berlari adalah
hal-hal yang sudah terlalu sering dilakukannya; terhadap Nata, terhadap
Annalise, terhadap dirinya sendiri. Dia tidak ingin mengakhirinya seperti ini,
membiarkan kata-kata belum selesai terucapkan, lalu menyesalinya kemudian.
Jadi Niki memaksakan diri untuk
memandangnya dan bertanya apa yang dia inginkan.
“Aku mau bicara.”
Mereka mencari privasi di sebuah
lapangan basket kosong tidak jauh dari
sana. Niki merasakan hatinya berdegup kencang, seperti yang selalu
dirasakannya saat berada di dekat Oliver.
Diam-diam, dia membenci dirinya sendiri karena masih merasa seperti itu.
“Aku datang untuk minta maaf.”
Niki sudah menduga perkataan itu
akan keluar dari mulut Oliver. Dia pun sudah tahu mengapa. Tapi, ternyata
lebih sulit—lebih menyakitkan, untuk mendengarnya langsung.
“Helena memintaku supaya tetap
membawa kamu ke pesta itu, lalu ninggalin kamu di sana. Tapi, aku nggak bisa....”
Hati Niki melunak. “Kalau kamu nggak
melakukannya, Helena nggak akan mempertemukan kamu dengan Zahra, kan?”
Oliver tampak terkejut mendengarnya. “Kamu tahu
tentang Zahra?”
“Sedikit.” Hanya tahu dengan jelas
kalau kamu begitu mencintainya sehingga memilih dia dibanding aku. “Kenapa akhirnya kamu nggak membawaku ke
prom?”
Oliver menggeleng. “Aku nggak bisa mempermalukan
kamu di depan mereka semua, Niki. Akhirnya, Helena pun bohong mengenai
kepulangan Zahra. Dia merencanakan semua ini untuk membodohi kita.”
“Terima kasih.”
Oliver mendongak lagi, kali ini benar-benar menatap
Niki sejak malam itu. “Terima kasih?
Buat apa?”
“Karena kamu masih punya hati.
Karena kamu memilih untuk jujur sama
aku.” Niki tersenyum samar.
Bahasa tubuh Oliver berubah rileks ketika melihat Niki menerima permintaan maafnya.
Mereka duduk di kursi tembaga yang diletakkan di sudut lapangan, tidak jauh
dari padang ilalang kecil tempat Nata dan Niki dulu sering mencari
jangkrik dan kunang-kunang.
“Zahra itu kakak kelasku, dua tahun
lebih tua. Dia atlet renang sekolah, juga
juara lomba Matematika. Dia murid
kesayangan guru-guru, disukai semua orang, dan banyak cowok yang tergila-gila
sama dia. Waktu orientasi, dia jadi mentorku,
dan sejak saat itu kami sering ngobrol. Waktu aku kelas satu SMU, Zahra pacaran dengan salah satu
guru sekolah kami. Aku selalu bilang
kalau mereka nggak akan bisa sembunyi-sembunyi seperti itu, tapi Zahra nggak
peduli. Beberapa kali aku mengungkapkan perasaanku sama dia, tapi Zahra bilang aku hanya seperti
adik baginya. Sampai suatu hari, hubungan
mereka ketahuan. Mereka putus, guru itu dipecat, dan Zahra dikirim untuk
sekolah ke luar negeri oleh
orangtuanya.”
Oliver menarik napas dan mengembuskannya
pelan-pelan. Wajahnya terlihat lelah dan sedih—ekspresi yang berbeda dari yang selama ini diperlihatkannya kepada semua
orang, Niki baru menyadarinya.
“Aku yang melaporkan hubungan mereka
ke kepala sekolah. Sejak saat itu, Zahra nggak mau lagi menemui aku. Dia nggak mau membalas e-mail dan teleponku.
Kami nggak pernah ketemu lagi, tapi aku nggak bisa ngelupain dia.” Oliver memandang Niki lekat-lekat. “Kamu orang yang
baik, Ki. Aku bener-bener senang setiap kali menghabiskan waktu bersama kamu,
dan kukira aku bisa menyayangi kamu... tapi aku nggak mau melukai kamu lebih
dari ini. Kuharap kamu nggak menganggap
aku orang yang jahat.”
Niki mengangguk kebas, tidak lagi
mendengarkan permintaan maaf Oliver. Selama ini, Oliver memang tidak pernah menyayanginya, tidak
menganggapnya sebagai bentuk cinta pertama yang sempurna. Hanya dirinya yang
sudah bodoh dan berharap lebih.
Oliver tersenyum sedih. “Aku akan kuliah di
Melbourne, berangkat bulan depan. Aku mau menyusul Zahra ke sana, mencoba
memulai dari awal.”
Niki menyapukan pandangan pada
Oliver sekali lagi, melihat sisi dewasa pemuda itu, sosok
yang tidak pernah benar-benar dikenalnya.
“Good luck.” Hanya itu yang bisa
dikatakannya.
Oliver mengangguk, dan mereka berpisah di sana.
“Good bye.”
Niki secepat mungkin melangkah
pergi, supaya Oliver tidak melihat air
mata yang mengalir deras di wajahnya.
***
Nata baru saja kembali dari swalayan kecil di kompleks perumahannya untuk membeli
sekotak susu ketika ia melewati lapangan basket. Niki dan Oliver sedang berada
di sana, berdiri berhadapan dengan bahasa tubuh yang kaku. Ekspresi Oliver penuh penyesalan, sedangkan Niki tampak tidak
nyaman.
Nata menghentikan sepedanya tanpa
suara dan memperhatikan mereka dari kejauhan. Tidak lama kemudian, Niki setengah berlari
meninggalkan Oliver, dan Nata tahu dia sedang
menangis. Niki selalu membuat ekspresi dan gestur seperti itu jika dia menangis.
Tak dapat menahan Sarasalannya, Nata meninggalkan sepeda dan barang
belanjaannya di tepi jalan, lalu berlari mengejar Oliver yang kini sedang berjalan ke arah mobilnya.
“Tunggu!”
Oliver berhenti dan berbalik, hanya untuk mendapati
Nata sudah mencengkeram kerah kemejanya dan mengayunkan sebelah tinjunya di
udara. Untuk sesaat, dia memejamkan mata, menunggu kepalan tangan itu mendarat
di sisi wajahnya, tetapi dirasakannya tekanan pada cekalan tangan Nata meringan
dan akhirnya melonggar.
Nata sedang menatapnya dengan
marah—itu satu-satunya adjektif yang tepat untuk menjelaskannya.
“Gue udah bilang lo nggak boleh
bikin dia nangis lagi,” desisnya.
“Gue dateng untuk minta maaf, dan mengucapkan selamat tinggal.” Oliver
menjawab dengan tenang. “Itu aja.”
Mereka berdua saling berhadapan,
menjaga privasi jarak masing-masing. “Lo
itu pengecut.”
“Definisi pengecut adalah orang yang
nggak punya cukup keberanian untuk mengakui yang sebenarnya.”
Cih. Nata mengusap keringat dengan
sebelah tangan, matanya tidak meninggalkan Oliver. Dia ingin sekali menghajar cowok ini, satu hantaman kuat saja
sudah cukup, tapi dia tidak melakukannya. Sedetik sebelum kepalan tangannya
menyentuh rahang Oliver, Nata teringat
pada Niki, dan dia tidak bisa melakukannya.
“Gue nggak pernah bermaksud nyakitin
Niki. Karena itu gue datang ke sini
untuk menjelaskan semuanya.”
“Tapi, justru itu yang lo lakukan,
nyakitin dia.”
Oliver menggeleng. “Kalau gue pergi begitu saja tanpa penjelasan apa-apa,
selamanya gue akan merasa bersalah
sama dia.”
Nata memaki dalam suara rendah.
“Kalau lo nggak mau nyakitin dia, lo nggak akan bohong sama dia di pesta itu. Lo nggak akan seperti
pengecut ngikutin semua omongan Helena dan ninggalin Niki sendirian di sana.”
Oliver terdiam lama dan suaranya merendah. “Karena
itu gue nelepon lo. Karena Cuma lo yang
bisa menyelamatkan Niki, saat gue nggak
bisa.”
Itu adalah penjelasan paling
pengecut yang pernah Nata dengar. “Jangan pernah muncul lagi untuk nyakitin
Niki. Gue nggak akan maafin lo untuk
kedua
kalinya.” Dia berbalik dan
meninggalkan Oliver, tapi dapat dengan
jelas mendengar seruannya di kejauhan.
“Gue bukan orang yang tepat untuk
Niki. Gue dan lo sama-sama tahu itu.” Nata
terus berjalan.
***
Niki berhenti di depan trampolin,
terengah-engah setengah berlari dari lapangan ke rumah Nata. Air mata masih
mengaliri wajahnya, tidak bisa berhenti walaupun dia berusaha sebisa mungkin
untuk menghentikannya. Dia tidak ingin menangisi berakhirnya hubungannya dengan
Oliver, tidak ingin menunjukkan betapa
lemah dan terluka hatinya.
Dia menerima alasan Oliver, mengerti sakit hatinya. Tapi bagaimana dengan
sakit hatinya sendiri?
“Niki?”
Suara itu mengejutknnya. Niki
mengangkat kepala dan melihat Annalise sedang berdiri di sana, memegang
kameranya dan segulung rol film. Sudah lama sekali Niki tidak melihat Annalise,
raut wajahnya yang khawatir jika salah satu di antara dirinya atau Nata sedang
dilanda masalah.
“Are you alright?”
Dengan satu pertanyaan itu, Niki
kembali terisak. Annalise beranjak maju, dan tanpa ragu, melingkarkan kedua
tangannya pada bahu Niki serta menariknya dalam pelukan. Niki tersedu-sedu di
sana, dan Anna memeluknya dalam diam, tidak memerlukan jawaban, penjelasan, apa
pun, hanya ada di sana untuknya.
Tidak lama kemudian, dirasakannya kehangatan tubuh
Nata turut mengelilingi mereka. Nata beraroma susu dan keringat, bau yang sangat
menenangkan. Perlahan, air mata Niki mengering dan dia merasa jauh lebih
tenang.
“Barusan gue ketemu Oliver. Hampir aja gue tonjok dia sampai bonyok.” Nata berkata
sambil mengepalkan kedua tangannya.
Niki ternganga kaget.
“Tapi, nggak jadi.” Nata tersenyum.
“Karena gue tau lo nggak akan mau gue
berbuat begitu.”
Niki tertawa di antara tangisnya,
diikuti dengan Annalise yang terSarah lembut di sebelahnya.
“Aku punya sahabat seperti kalian,
tapi aku malah menjauh.” Niki mengusap air matanya cepat-cepat, lalu
menggenggam tangan kedua sahabatnya, Nata dengan tangan kiri, Annalise dengan tangan
kanan. “Maaf ya.”
“Apologies accepted.” Annalise
menyeringai.
“Setuju.” Nata mengangkat tangannya
yang masih berbalut tangan Niki. Mereka tertwa bersama, tangan saling terpaut.
***
H EL ENA
Menjelang ujian akhir semester,
tidak banyak pertandingan basket antarsekolah yang diadakan. Hal ini membuat
jadwal latihan cheers semakin berkurang, dan Niki bersyukur untuk itu. Kini,
dia tidak lagi bertegursapa dengan Helena. Di kelas, mereka terpisah dalam sudut yang berlawanan,
Niki dengan Nata dan Annalise, Helena dengan teman-temannya. Terkadang, jika
berpapasan dengan sesama cheerleader, mereka akan tersenyum sekilas pada Niki,
tetapi tidak pernah benar-benar memulai percakapan seperti yang dulu mereka
lakukan. Awalnya Niki merasa tidak nyaman, seperti kehilangan teman dekat, tapi
dia akhirnya sadar, bahwa sebenarnya teman-teman itu tidak pernah menjadi
miliknya.
Bukankah lucu jika persahabatan
harus memiliki sebuah alasan? Lebih lucu lagi karena sebuah hubungan pertemanan
bisa putus begitu saja hanya karena alasan itu sudah tidak lagi eksis. Niki merasa sedih jika memandang murid-murid
perempuan berseragam cheers sedang berkumpul di sudut ruangan, tertawa-tawa tanpa
dirinya. Dulu dia sempat menjadi bagian
dari mereka.
Dia pun tahu Helena mengharapkan dirinya
berhenti dari tim. Keluar begitu saja,
dengan alasan tidak tahan diperlakukan seperti orang asing, dan merasa tidak
lagi diterima di sana. Tapi, Niki tidak ingin berbuat begitu untuk melayani ego mereka. Jika dia sudah kehilangan
teman-temannya, dia tidak ingin kehilangan cheers juga.
Hari
ini pertandingan basket tahunan antara SMU Pelita dan SMU Harapan
dilaksanakan lagi. Tepat setahun yang lalu, acara inilah yang mempertemukan
Niki dengan Oliver.
Kapten basket yang kini menggantikan
posisi Oliver berdiri di tengah lapangan
sambil men-dribble bola. Niki masih
ingat dulu Oliver melakukan hal yang
sama, memicingkan mata untuk mencari anggota timnya yang sedang berda dalam
posisi bebas. Pandangan mereka sempat bertemu untuk sepersekian detik, lalu pecah
oleh gerakan lawan yang mencoba merebut bola
itu dari tangan Oliver. Sudah
lama sekali, tapi masih segar dalam ingatan
seakan baru terjadi kemarin.
Niki melakukan gerakan rutin yang
sudah dilatihnya tanpa semangat. Kenangan-kenangan itu terasa masih mentah
dalam benaknya. Oliver, Helena, Nata,
malam itu.
Dia bahkan tidak sepenuhnya sadar
bahwa gerakannya sudah melencong jauh dari
anggota cheers yang lain.
***
Helena membiarkan air dari keran shower menitik turun dan membasahi tubuhnya
seperti gerimis. Dia selalu menyukai perasaan setelah memenangkan sebuah
pertandingan, merasa menjadi bagian dari
kemenangan itu, walau hanya berada di samping untuk menyemangati.
Hanya saja, hari ini dia tidak
merasa menang. Entah karena alasan apa,
adrenalin yang sama tidak
dirasakannya, hanya kehampaan yang amat sangat.
Dia mengingat wajah Niki ketika
melihat Oliver dalam gandengan
tangannya. Wajah Oliver ketika
mengetahui bagian dari rencananya, dan
tatapan mata pemuda itu ketika berbalik untuk meninggalkannya. Pandangan itu
lebih menyakitkan daripada kata-kata penuh amarah dan kesedihan yang dia
harapkan dari Oliver.
Air mata kini berbaur dengan air dingin,
mengguyur wajahnya yang kotor oleh keringat dan debu. Helena memutar keran,
berharap dentuman air menyembunyikan isakannya supaya tidak terdengar oleh
siapa pun.
***
Niki meletakkan peralatan mandinya
di sisi wastafel, membersihkan wajahnya dengan sepotong kapas. Dia selalu
menunggu hingga anggota cheers lain sudah pulang sebelum menyelinap ke dalam ruang
ganti untuk membersihkan diri,karena dia merasa tidak nyaman bertukar pakaian
di tengah orang-orang yang tidak bersahabat dengannya.
Samar-samar, didengarnya suara
tangisan dari salah satu ruang mandi
yang sedang digunakan. Niki tidak tahu masih ada orang di sana, karena tadi
dilihatnya sekelompok murid perempuan berjalan keluar dari ruangan itu sambil tertawa-tawa.
Dengan tentatif, ia menghampiri
kubikel yang tertutup oleh tirai plastik, mengulurkan tangan untuk
menyibakkannya, tapi lalu berubah pikiran dan memutuskan untuk menunggu,
menemani siapa pun yang ada di sana hingga tangisannya mereda.
***
Baik Niki maupun Helena sama-sama
terkejut ketika mendapati satu sama lain
di ruangan itu. Helena keluar dengan rambut basah, tetapi yang mengejutkan Niki
adalah betapa pias wajahnya, bibirnya pucat dan kedua matanya merah. Dia belum
pernah melihat Helena terlihat rapuh—sama sekali. Helena selalu terlihat composed, percaya
diri, penuh otoritas.
“Helen?”
Helena mengangkat dagu dengan angkuh
dan mengubah ekspresinya, tapi Niki tidak tertipu.
“Kamu... nggak apa-apa?”
Mereka saling menatap, memikirkan
seribu satu makna yang terkandung dalam satu pertanyaan sederhana itu. Mereka
sama-sama tidak pernah menanyakannya kepada satu-sama lain, mungkin karena mereka
tidak pernah menjadi seakrab itu untuk saling memperlihatkan sisi rapuh
masing-masing. “Lo masih peduli?”
Mata Niki menyipit mendengarnya.
“Kita pernah berteman, Helen. Aku masih nganggep kamu salah satu teman
dekatku.”
Helena terSarah hambar. “Bahkan, setelah
hal-hal jahat yang gue perbuat?”
“Hal-hal yang kamu lakukan itu beralasan, bukan?”
Niki sering kali memikirkan kejadian
malam itu, perkataan Helena yang menusuk, pengakuan Oliver yang membuatnya kecewa, dering lonceng sepeda
Nata. Dan, yang paling tidak bisa dilupakannya adalah sorot mata mereka,
terutama Helena. Saat itu, dia mengartikannya sebagai perasaan menang telah
menyakiti Niki, bangga telah membawa Oliver
ke sisinya, tapi kini Niki menyadari, pandangan mata itu penuh
kesedihan.
Sudah berapa kali dia melewatkan
ekspresi yang sama? Ketika dia bercerita
penuh semangat mengenai perkembangan hubungannya dengan Oliver, dia hanya memikirkan kesenangannya sendiri,
tanpa memperhatikan perubahan raut wajah Helena. Niki lupa betapa sering Helena
menyebut nama Oliver sebelum pertandingan basket antarsekolah itu dimulai,
melupakan pandangan memuja yang disapukan Helena pada pemuda itu saat mereka
berkumpul di lapangan, dan senyumnya ketika membicarakan Oliver.
Niki terlambat menyadari bahwa
dialah yang sudah melukai Helena. “Maaf.”
Helena mendongak cepat, mengira
dirinya salah dengar. “Maaf?” ulangnya ragu. Niki mengangguk. “Maaf, karena aku
juga nggak pernah menjadi teman yang baik untuk kamu. Aku nggak pernah sadar
kalau kamu sangat menyayangi Oliver.”
Helena menggeleng, ekspresi wajahnya
letih. “Lo pasti senang udah menemukan kelemahan gue, tapi gue
nggak butuh dikasihani.”
“Bukankah kita berdua sama-sama
terluka oleh hal yang sama?”
Helena tersenyum pahit, menyadari
kebenaran di balik pertanyaan itu. “Dia
pernah suka sama lo, sedangkan dia
sama-sekali nggak punya perasaan apa-apa buat gue. Benci, mungkin.”
Niki tahu alasan sebenarnya Helena
melakukan hal itu bukan sekedar untuk melukainya, tapi untuk membuktikan
sesuatu—perasaan Oliver yang sesungguhnya.
Dia juga paham bagaimana rasanya mengetahui bahwa cinta yang kita miliki selama
ini bertepuk sebelah tangan, dan kita tidak dapat melakukan apa-apa untuk
mengubahnya.
“Oliver bilang dia akan pergi ke Australia untuk
nyusul Zahra. Dia nggak nyalahin kamu untuk sesuatu yang udah seharusnya dia
lakukan sejak dulu.”
Helena menggeleng. “Lo nggak tahu,
gue udah memperhatikan Oliver selama bertahun-tahun, sejak kami
bertemu di pesta ulang tahun Zahra. Dia nggak ingat gue sama
sekali, karena pandangannya
selalu mengikuti gerak-gerik Zahra. Lagi pula, siapa yang nggak jatuh cinta
sama Zahra? Dia sempurna, punya
segalanya. Tapi dia nggak bisa menerima Oliver,
malah berhubungan dengan seorang guru yang udah menikah. Gue invisible di hadapan Oliver. Dia nggak pernah ngeliat gue, padahal gue
selalu berusaha sebisa mungkin untuk terlihat. Dia banyak pacaran dengan
cewek-cewek lain setelah ditinggal Zahra, sampai akhirnya dia ketemu lo. Kenapa
harus lo? Kenapa dia bisa ngeliat lo dan cewek-cewek itu, dan bukan gue?”
Niki tidak berusaha menjawab pertanyaan
itu. Perlahan, dia mendekat dan menyentuh lengan Helena dengan gestur
bersahabat.
“Kita nggak bisa memaksakan perasaan
seseorang untuk menyukai kita. Yang bisa kita lakukan Cuma merelakan, berharap
supaya dia bahagia.” Niki tidak dapat menahan diri untuk menyelipkan sebuah
canda. “Walau yang jelas dia rugi besar
karena udah ngelewatin cewek-cewek hebat seperti kita, ya, kan?”
Helena mengangguk, diwajahnya tersungging
seulas senyum tulus yang pertama kali Niki lihat, walau kedua matanya
berkaca-kaca. Mereka mungkin tidak lagi bersahabat, tapi Niki senang dapat
memulai halaman baru dengan seseorang yang bisa disebutnya teman.
***
SURAT UNTUK NATA
Nata melongok ke dalam kotak
pos, menemukan beberapa amplop di
dalamnya. Tagihan kartu kredit milik Dhanny, katalog, undangan untuk kedua
orangtuanya, lalu sepucuk surat beramplop putih yang ditujukan untuknya.
Nama
sekolah yang tertera di sudut amplop membuat hatinya bergejolak.
Beberapa bulan yang lalu, dia pernah mengirimkan aplikasi dan tape audisi atas
rekomendasi guru musiknya, lalu melupakannya segera setelah mengeposkannya.
Sekolah itu adalah salah satu sekolah musik terbaik di Amerika, dan dia tidak
terlalu berharap dapat diterima, karena banyak sekali anak-anak berbakat yang
gagal masuk ke sana.
Disobeknya ujung amplop dengan
perasaan tidak enak. Kata-kata yang tercetak pada lembaran suratnya membuat
Nata gelisah.
Nata mengumpulkan surat itu dan
menyelipkannya ke dalam saku, mencoba
melupakan.
***
“Nat.”
Sebuah tangan mungil dikibaskan di
hadapan wajahnya, membuatnya tersadar dari
lamunan.
“Nat!”
Suara itu kian tak sabaran. Nata
mengerjapkan mata dan memfokuskan pandangan pada Niki yang sedang menatapnya
dengan aneh.
“Kenapa sih, dari tadi bengong melulu.”
Nata baru menyadari bahwa sedari
tadi suaranya menggema di ruangan. Niki sedang memasang tape berisi lagu-lagu
yang direkamnya. Suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. Dengan satu
gerakan, dimatikannya tape, menghentikan lagu
yang baru memasuki reff.
Niki merengut. “Kenapa dimatiin?”
“Jelek.”
“Bagus. Kalo jelek kenapa sering kuputar, coba?” “Jelek.”
“Bagus.” “Jelek.”
Niki mengembuskan napas kesal. “Kamu selalu pesimis, padahal lagu-lagu ini
bagus sekali, lho. Nggak kalah sama
lagu-lagu yang sering diputer di radio.”
“Kalo lo ngedengerin suara lo
sendiri menyanyikan lagu-lagu ini, lo akan ngerti kenapa gue ngerasa risih.”
Niki mengangkat bahu, lalu menarik
kaset itu dari tape dan memasukannya ke
dalam walkman miliknya. “Kalau kamu nggak mau dengerin, biar aku aja.”
Sejak memiliki kaset itu, Niki
semakin sering mendorongnya untuk menulis lebih banyak lagu, juga mengambil kesempatan untuk manggung di
kafe-kafe kecil. Dia selalu berkata
bahwa lagu-lagu Nata harus didengarkan oleh semua orang, ada dalam setiap CD
player dan dikumandangkan di stasiun radio terkenal.
Hiperbola, Nata tahu, karena lagunya
tidak sebagus itu. Masih perlu banyak perbaikan di sana-sini, dan permainan
gitarnya tidak sempurna. Lagi pula, dia benci mempertunjukkan lagunya di depan
khalayak ramai, dan ini sudah menjadi rahasia umum.Nata ingin belajar musik
lebih banyak lagi, di sebuah lingkungan yang profesional. Itulah satu-satunya
alasannya mengirimkan aplikasi ke sekolah itu. Dan, kini begitu surat penerimaannya
tiba, dia malah tidak tahu harus berbuat apa.
Dhanny yang menemukan gumpalan surat
itu di tepi tong sampah ketika sedang berkunjung ke kamarnya. Rasa penasaran
membuatnya meraih lembaran lecek itu dan meluruskannya untuk membaca isinya.
“Kamu daftar ke universitas musik di
luar negeri?”
Nata tertegun. “Disuruh sama guru musik di sekolah,” dia berusaha menjawab
senetral mungkin.
“Dan kamu diterima untuk audisi
kedua. Lalu, kenapa surat ini mau dibuang?” Nata menyambar surat itu. “Bukan
dibuang, tapi tercecer.”
Abangnya tidak percaya, dia tahu
itu. “Kamu mau pergi?” “Masih belum tahu.”
“Ini kesempatan yang jarang datang,
lho.”
Nata juga tahu itu. Gurunya sudah menceritakannya
berulang-ulang, bahwa sekolah musik itu menetapkan standar yang tinggi dengan
acceptance rate hanya tujuh persen. “Aku masih belum bisa memutuskan.”
“Karena Niki?”
Sebagian besar, ya. Dia tidak ingin
meninggalkan Niki, Annalise, sekolah, rumahnya. Niki, terutama. Siapa yang akan menjaga gadis manja itu jika dia
tidak ada? Lagi pula, bukankah banyak sekolah musik yang bagus di Jakarta?
“Dia udah dewasa, Nat.” Dhanny
melanjutkan seakan-akan dia bisa membaca penjelasan dalam kepala Nata dengan
gamblang. “Membuat pilihan bukan berarti harus meninggalkan salah satu.
Kamu masih bisa memiliki
keduanya—persahabatan dan cita-cita.”
Nata menatap abangnya datar.
Tidak semudah itu. Baginya, pilihan
adalah menentukan mana yang lebih penting bagi
dirinya.
Bagaimana jika dia kembali dan Niki
sudah berubah? Atau, justru dia yang berubah?
***
“Pergilah, Nat, it’d be silly to
waste such a big opportunity.”
Nata sudah mengira Annalise akan
berkata begitu, dengan nada yang sama seperti abangnya. Sebenarnya, dalam hati
dia pun tahu itu adalah jawaban yang benar, tapi dia masih menyimpan secercah
keraguan. Surat itu masih saru di antara sampah yang tidak lagi diinginkannya.
“Kalau memang nggak kepengen pergi,
kenapa harus ragu?”
Nata ingin pergi. Nata ingin
belajar. Nata ingin menjadi seseorang. Tapi, mengapa sulit untuk menjelaskan?
“Jangan bilang-bilang ke Niki dulu
sebelum gue memutuskan ya, Ann?”
pintanya pada Annalise. “Gue butuh waktu.”
Annalise hanya menggeleng-geleng
dengan pasrah, lalu menyipitkan mata untuk mengamati Nata. Ia mengambil
gumpalan surat penerimn itu dari tempat
sampah dan meletakannya di meja Nata,
sebuah pesan agar ia memikirkannya
baik-baik.
***
Akhir-akhir ini, Niki merasa Nata
terlihat kurang bersemangat. Dia sering bengong kalau diajak bicara tentang
ujian akhir. Gitarnya diletakkan jauh-jauh di sudut lemari, lagu-lagu yang dulu
sering disenandungkannya hampir tidak pernah terdengar lagi. Setiap kali Niki
memutar tape pemberian Nata keras-keras, cowok itu pasti segera mematikannya.
Terkadang, dia memandang
Niki lama, seakan sedang berusaha menemukan sebuah
jawaban. Akhir-akhir ini, Niki tidak bisa mengerti Nata.
“Ada apa, sih?” Begitu dia selalu bertanya.
“Nggak ada apa-apa.” Begitu juga
jawaban otomatis itu selalu terdengar.
Nata juga enggan membicarakan
pilihan kampusnya. Ketika Niki membicarakan kehidupan kampus yang tampaknya
menyenangkan, Nata terlihat masa bodoh
dengan semuanya.
“Kalau udah jadi mahasiswa nanti,
kita masih tetap bisa hangout bareng, Nat. Kalo jam kuliahnya pas, kita bisa
janjian makan siang juga, sama Anna. Seru banget, bisa belajar pake baju bebas,
nggak terikat peraturan macam-macam dan nggak ada hukuman kalo membolos. Rasanya jadi kayak orang dewasa, iya nggak?”
Nata hanya mengangguk tanpa banyak
komentar.
Niki tidak jadi meneruskan
ocehannya. Ia terdiam menatap Nata lama, menunggu hingga sahabatnya jengah dan
mendelik ke arahnya.
“Ada apa sih!” cetus Nata dengan
tidak senang. “Kenapa gue diperhatiin
kayak objek penelitian begitu?”
“Justru aku yang harusnya nanya
gitu, Nat. Kamu kenapa, sih? Akhir-akhir
ini selalu begitu, menghindari pembicaraan. Bete tau, dicuekin kayak gitu.”
“Jadi gue harus gimana?”
“Cerita dong, kalau ada yang ganggu
pikiran.”
Nata menghela napas. Dia tahu pada
akhirnya dia harus memberi tahu Niki yang sebenarnya. Dalam beberapa hari ini,
dia sudah membicarakan kepergiannya ke Amerika dengan guru musiknya, juga
keluarganya dan Annalise. Mereka semua sangat mendukung, apalagi kesempatan
semacam ini jarang datang dua kali. Kini yang belum dilakukan Nata adalah
memberitahu Niki, dan ini adalah bagian yang tersulit untuknya. Bagaimana
caranya, jika setiap hari yang bisa dibicarakan Niki adalah betapa senangnya
jika mereka bisa kuliah di tempat yang sama?
Setiap kali ingin buka mulut, Nata berhenti dan menyimpan kembali
kata-katanya. Dia tidak ingin ada ekspresi kecewa di wajah mungil itu.
Namun, ketika memandang wajah Niki
yang bahagia, Nata sadar akan sangat tidak adil jika tidak segera memberi
tahunya. Sekarang, Niki memandanginya dengan intens, menunggu apa pun jawaban
Nata yang bisa menjelaskan perilaku anehnya belakangan ini. Nata menghela napas,
lalu berdiri dan berjalan ke arah meja
belajarnya, membuka laci paling atas tempat surat-surat mengenai
kepergiannya ke Amerika tersimpan. Lembaran surat penerimaan masih terletak
paling atas, lecek karena Nata pernah berusaha melenyapkannya. Diambilnya
kertas itu dan diberikannya tanpa kata-kata kepada Niki.
Niki menerimanya dengan ekspresi
bingung. Diluruskannya lembaran tersebut dan dibacanya sekilas. Nata menunggu
perubahan raut wajah Niki, seperti yang telah diduganya. Perubahan itu datang.
Terkejut, pada awalnya, lalu gembira, lalu sedih. Berubah kecewa.
“Ini surat apa?” Dia bertanya
walaupun isinya sudah jelas.
“Surat yang menyatakan gue diterima di sekolah musik, di New york.” Nata
berusaha menjelaskannya sedatar mungkin, tetapi tidak dapat menghentikan
gejolak aneh dalam suaranya.
“Aku nggak tahu kamu apply ke
sekolah di luar negeri.”
Nata mengangguk. “Gue apply beberapa
bulan yang lalu atas rekomendasi Pak Gunawan, yang juga alumni sekolah itu.
Gue nggak nyangkan akan diterima,
makanya gue nggak pernah bilang
sama siapa-siapa.”
“Kamu udah mutusin untuk pergi ke
sana?” Pertanyaan itu bernada menuduh. “Gue nggak tahu.” Nata meringis dalam
hati. Dia tidak ingin berbohong pada Niki, bahwa ada sebagian besar dari dirinya yang sudah memutuskan bahwa dia ingin
mengambil kesempatan langka ini.
“Semua orang udah tau? Orangtua
kamu, Kak Dhanny, Anna?”
Nata menunduk, tidak dapat menjawab.
Dia tidak menemukan jawaban untuk berkata-kata, kata-kata yang akan memperbaiki
kesalahannya dan mengobati Sarasalan Niki.
Niki tersedak dengan tawanya
sendiri, tetapi kedua matanya berlinang air mata. “Selamat ya, Nat. Kamu memang hebat.”
Nata merasa hatinya kecut ketika air
mata pertama meluncur di pipi Niki. Dia
telah membuat Niki menangis. Selama ini, dia berjanji akan menghajar jahanam
mana pun yang membuat Niki menangis, tapi ternyata dialah si berengsek itu.
Dipandangnya gadis itu meremukkan
surat penerimaannya sekali lagi, lalu
beranjak keluar dari kamarnya tanpa
sepatah kata pun.
***
Niki meremas erat-erat surat di
kepalan tangannya dengan gemas, lalu melemparkannya ke ujung ruangan. Bola
kertas itu memantul sedikit di ujung tempat sampah lalu berguling ke lantai.
Patutkah ia kesal? Bukankah seharusnya dia gembira karena Nata
berada satu langkah lebih dekat menuju mimpinya?
Dia tidak menghiraukan ketukan samar
pada pintu kamarnya. Didengarnya pintu berderit terbuka, juga langkah kaki yang
berjalan mendekat. Annalise.
Niki menoleh, bekas air mata masih
menodai wajahnya, Annalise mengulurkan sebelah tangan untuk menghapusnya.
Dibelainya helaian anak rambut Niki yang menempel di sisi wajahnya yang basah,
lalu menyelipkannya di balik telinga.
“Kamu marah karena Nata akan pergi atau karena dia memutuskan tanpa memberi
tahu kamu?” tanyanya lembut.
“Aku marah karena aku jadi orang
terakhir yang tahu.” Niki menatap Annalise. “Aku marah sama diri sendiri karena aku egois. Lebih egois
lagi karena aku nggak mau dia pergi.”
Raut Annalise berubah muram. “Kita
semua nggak mau dia pergi, Ki. Nata nggak berani memutuskan kepergiannya karena
mikirin kita, terutama kamu. Tapi terkadang, kita harus membiarkan dia membuat
pilihan yang terbaik.”
Pertanyaannya adalah, yang terbaik
untuk siapa?
***
Wish # 4 3 : saling memiliki, apapun
yang terjadi (Nata, Niki , dan Annalise )
Sudah tengah malam. Nata bolak-balik
berjalan mengelilingi kamarnya, menghempaskan tubuh di atas tempat tidur,
melongok ke luar jendela, bahkan mencoba
untuk tidur, tapi tidak berhasil. Akhirnya ia menyerah dan menyambar gagang
telepon, hmpir saja menekan digit-digit angka yang dihafalnya di luar kepala, jika tidak menyadari bahwa sudah
terlalu malam baginya untuk menelepon. Oh ya, Niki juga sedang marah padanya.
Frustasi karena insomnia dan rasa
tidak nyaman yang menyesakkan dada, Nata bangkit lalu berjalan ke luar melalui pintu belakang di dapur. Tiba-tiba
saja ia ingin melompat-lompat di atas trampolin, sekedar untuk melampiaskan
Sarasalannya.
Nata tidak menyangka akan menemukan
Niki di sana, mengenakan setelan piyama putih dengan corak kelinci, berbalut
selimut perca yang selalu dipakainya setiap malam. Niki tampak terkejut juga
ketika melihatnya tapi tidak ingin berkata-kata, hanya menatapnya dingin.
“Ngapain lo malam-malam di sini
sendirian?” Pertanyaan itu terdengar kasar, padahal Nata tidak bermaksud
begitu.
“Mau ngerasain gimana rasanya duduk
sendirian di sini, setelah kamu pergi nanti.”
Entah mengapa jawaban itu justru
membuat Nata sedih.
“Ki, gue minta maaf.
Karena gue egois, dan gue berengsek. Untuk pertama kalinya gue akuin hal itu.”
Sudut-sudut bibir Niki terangkat,
hampir membentuk seulas senyum, dan Nata merasa sangat lega melihatnya.
“Gue tau seharusnya gue langsung ngasih tahu lo saat daftar ke
sekolah itu, juga waktu gue diterima.
Tapi sebelumnya gue mau mikirin
keputusan gue matang-matang, supaya nggak ada penyesalan di kemudian hari.
Gue nggak bisa bilang, karena gue tahu lo pasti kecewa.”
“Kamu kepingin banget masuk sekolah
itu kan, Nat?” Ketika Nata tidak menjawab, Niki menatapnya sendu. “Aku ngerti,
kok. Maaf, karena aku jadi alasan yang ngebebanin kamu dalam ngambil
keputusan.”
Nata tercekat saat mendengar
permintaan maaf itu. “Jangan bilang begitu.”
Niki tersenyum, walau masih dengan
air mata di pelupuk matanya. “Bodoh. Aku akan selalu ngedukung kamu, apa pun
yang kamu pilih. Selama itu adalah impian kamu.”
Nata tidak dapat menahan diri untuk
beranjak mendekat dan menarik tubuh mungil itu dalam pelukannya, tidak lagi
berpikir apa yang seharusnya dia lakukan dan tidak lakukan. Gadis dalam pelukannya tidak meronta, justru mengulurkan
kedua lengan untuk balas melingkari pinggangnya. Mereka berpelukan dalam diam,
dua sahabat yang saling mengerti dan menerima bahwa mimpi yang berubah menjadi
kenyataan adalah hal terbaik yang dapat terjadi pada seseorang. Walaupun salah
satu dari mereka harus berkorban untuk
itu.
***
D EP AR T UR E
Hari
ini, Nata dan Niki berjanji untuk menghabiskan hari terakhir Nata di
Jakarta bedua saja. Niki berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menangis,
apa pun yang terjadi, tapi janji itu sepertinya lebih mudah diucapkan daripada
dilaksanakan.
Menjelang kepergian Nata, ia
berusaha keras untuk tampak gembira, memasang ekspresi bangga walaupun
sejujurnya ia masih menyimpan sedikit luka di hati. Puncaknya adalah ketika dia
dan Annalise membantu mengepak barang-barang Nata. Melihat separuh isi kamar
Nata yang kini berpindah ke dalam koper, entah mengapa Niki merasa tertekan.
Dia tidak menyadari bahwa dia sedang menangis hingga Annalise menegurnya
lembut.
Buru-buru, Niki menyusut air
matanya, berharap teman-temannya tidak akan mempermasalahkannya lebih lanjut.
Tapi, Nata meletakkan tumpukan pakaian yang telah dilipat rapi, berjongkok di hadapannya dan berkata dalam
nada lembut yang jarang digunakannya.
“Lo nggak perlu ngerasa harus
pura-pura senang di depan gue, Ki.
Gue juga ngerasain hal yang sama dengan lo.”
Niki mengangguk, mati-matian
berusaha menghapus air matanya yang kini mengucur deras dan tidak bisa
dihentikan. Annalise merasakan matanya sendiri basah dan ia menyelinap keluar,
meninggalkan dua sahabatnya sendirian. Dia juga butuh waktu untuk menata
perasaannya.
Selagi bergerak ke arah dapur untuk membuat
secangkir teh hangat, ia berpapasan dengan Dhanny yang memegang sekantung besar
keripik kentang pedas di tangannya.
“Hai.” “Hei.”
Mereka berdua berdiri di dipan,
memandang ke luar jendela. Matahari
bersinar cerah, kebun kecil keluarga
Nata tampak terawat dengan bugenvil warna-warni yang mekar pada saat yang
tepat, tapi Annalise merasa mendung dan kelam. Dia tidak pernah
mengungkapkannya, tapi mengetahui bahwa keputusan Nata akan pergi sudah final
juga membuatnya merasa sedih.
“Besok Nata akan pergi.” Annalise mengangguk
kaku.
“Kamu juga nggak mau dia pergi,
kan?”
AAnn mendekatkan cangkir ke bibir,
sesekali meniup minuman di dalamnya supaya cepat dingin, sengaja mengulur waktu
untuk menjawab. “Semua orang nggak mau Nata pergi.” Dia berusaha menjawab dengan netral.
“Tapi, kamu masih sayang sama dia.”
Itu bukan pertanyaan. Hanya pernyataan
yang membuat hatinya lebih miris lagi.
“Gimana perasaan Kakak waktu Sivia pergi?”
Dhanny tidak berusaha menghindari
pembicaraan ketika mendengar pertanyaan tersebut, tidak juga memasang ekspresi
sedih. Dia hanya tersenyum, senyum seseorang yang sedang mengenang masa lalu tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang
harus disesali.
“Sivia orang yang tegas. Dia bilang
ada tiga jenis orang di dunia ini; orang yang memiliki mimpi lalu memilih untuk
mengejarnya sampai dapat, orang yang memiliki mimpi, tapi tidak melakukan
apa-apa untuk menjadikannya nyata, dan orang yang sama sekali
tidak mempunyai mimpi. Sejak kecil,
dia tahu kalau dia akan pergi jauh dari
sini, dan aku nggak bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya pergi.”
“Kakak pernah memintanya untuk
tinggal?”
“Ya. Tapi, dia bilang aku egois
kalau memaksanya tinggal, bodoh kalau mengorbankan diri sendiri untuk
mengikutinya ke sana. Karena kami punya
mimpi yang berbeda. Dia ingin jadi penari, sedangkan saat itu aku masih nggak
tahu apa yang kuinginkan. Kalau mengikutinya, aku tahu aku hanya jadi beban
buat dia, begitu juga sebaliknya. Perasaan kami
saat itu tidak cukup kuat untuk mempertahankan apa yang kami punya.”
Mengapa sangat mudah bagi seseorang untuk mengorbankan cinta demi
cita-cita? Annalise ingin tahu.
Dhanny menatapnya tenang, dan saat
itu juga Annalise mengetahui jawabannya. Karena cinta tidak ingin bertahan
dalam hati dua orang yang tidak menginginkan hal yang sama. Karena jika salah satunya tidak memiliki
ruang yang cukup untuk cinta, maka cinta itu akan beranjak pergi.
***
Wish # 4 4 : menjadi anak-anak lagi,
yang tidak pernah memusingkan
banyak hal rumit (Nata)
Niki menyiapkan berbagai kudapan di
basecamp mereka. Marshmallows bakar berbalut selai cokelat. Nachos saus keju
kesukaan Nata. Gelato matcha dan yogurt rasa blueberry. Soda dingin dan
jus jeruk.
Mereka duduk bersebelahan,
mendengarkan musik sambil memandangi bintang. Hangat kulit Nata bergesekan
dengan lengannya, membuatnya merasa aman. Sesekali, Niki melihat kerlip siluet
pesawat melintas di kejauhan, dan ia merasakan tendangan kecil dalam hati, teringat bahwa besok pagi sahabatnya juga akan dibawa pergi oleh
salah-satu benda tersebut.
Sudah belasan tahun mereka melakukan
hal ini setiap malam, sebuah rutinitas yang sama kentalnya seperti minum air. Bagaimana dengan
esok? Niki memaksa dirinya sendiri untuk
memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Apa pun untuk mengalihkan pikirannya.
“Inget nggak waktu kamu pertama kali
ngajak aku duduk di atas trampolin ini?” Saat itu, mereka berdua berusia tujuh tahun.
Trampolin baru itu terlalu besar untuk tubuh mereka yang mungil sehingga Niki
selalu merasa dia tenggelam dalam kegelapan hitam pekat kain raksasa itu. Orangtua
mereka mewanti-wanti supaya mereka tidak terlalu sering bermain di luar hingga larut malam, tapi baik Niki maupun
Nata tidak terlalu memedulikan nasihat itu. Merasakan angin semilir di wajah
mereka selagi berada di udara, di bawah
langit yang cerah mengikuti terbenamnya matahari adalah salah satu hal terbaik
yang pernah mereka rasakan.
“Ingat,” Nata menjawab dengan senyum
di nada suaranya, “waktu itu lo jatuh.” Pada
hari kedua, Niki mengusulkan mereka berdua melakukan kontes untuk menentukan
siapa yang bisa melompat lebih tingga. Niki melepaskan kedua sepatunya, lalu
mulai memantulkan tubuh di atas trampolin, merasakan adrenalin yang luar biasa hanya dengan melompat dan melayang di
udara selama beberapa detik. Namun saat mendarat, salah satu kakinya menyentuh ujung
trampolin dan dia terpantul ke luar,
terjerembab ke atas tanah. Niki hanya ingat tangannya terpelintir dalam
posisi tak wajar, seluruh tubuhnya sakit
bukan main, sedangkan Nata berteriak-teriak histeris seperti kesetanan.
“Pertama kali aku masuk ambulans.” Niki mengingat dengan senyum. “Gue juga.”
Saat itu, Nata memaksa ikut masuk ke
dalam ambulans bersama Niki, tidak pernah melepaskan tangannya sedetik pun.
Niki mendapat lima jahitan di dagu, sekujur tubuhnya lebam dan luka-luka,
tetapi untungnya tidak ada yang patah. Sejak saat itu, trampolin dilipat dan
mereka dilarang menyentuhnya lagi, tapi setiap malam Niki dan Nata
mengendap-endap untuk berbaring di atasnya, memandang ke atas dan merasakan
guncangan-guncangan kecil hasil gerakan
tubuh mereka. Tidak pernah lagi diadakan
kontes melompat.
“Setiap kali ngambek, pasti lo ngumpet
di sini dan nggak mau pulang.” Nata tidak ingat lagi berapa kali dia menemukan
Niki yang bersembunyi di kebun ini, entah menangis cengeng sehabis diomeli karena
nilainya jeblok, atau merajuk karena tidak diizinkan pulang malam. Tempat ini
jadi semacam tempat rahasia mereka.
“Aku pernah liat kamu ngajak Anna ke
sini.” Niki berkata dalam suara kecil. “Waktu itu aku marah, karena tempat ini
adalah tempat kita berdua. Mungkin egois kalau aku ngomong begitu, tapi entah
kenapa aku nggak senang kalau ada orang lain yag duduk di sini selain aku.”
“Kamu cemburu sama Anna?” Nata memainkan senyum nakal di
wajahnya, membuat Niki mencubit pinggangnya keras-keras.
“Kalau kamu nggak ada nanti, aku
akan ngajak cowok lain duduk di trampolin ini. Nanti baru kamu tahu gimana
rasanya.”
Nata berubah cemberut. “Nggak
boleh,” tithnya tegas. “Malam ini, kita di sini aja, ya?”
Permintaan itu diekspresikan dengan
sangat polos dan manja sehingga Nata mengiyakan sambil menyembunyikan senyum di
wajahnya. Dia ingin menghabiskan malam-malam berbintang, mengobrol dengan Niki
di sampingnya, selamanya.
***
Hampir pukul lima pagi. Nata terjaga dari tidurnya, merasakan gelap masih mengelilingi
mereka. Semalaman, dia dan Niki mengobrol ngalor-ngidul hingga subuh, hingga
mereka berdua akhirnya tertidur. Nata merasakan hangat tangan kecil Niki dalam genggamannya. Entah bagaimana,
kedua tangan mereka saling menemukan satu sama
lain dan berpegangan erat, seakan tidak ingin terlepas.
Di ufuk timur, dua bintang yang
sangat terang membentuk dua titik di langit. Tidak, bukan bintang. Nata menyadari bahwa apa yang
dilihatnya adalah planet Jupiter dan Venus, dalam sebuah fenomena alam yang
dibacanya di halaman Astronomi koran pagi
kemarin. Beberapa saat sebelum matahari terbit, kedua planet tersebut
dapat dilihat dengan mata telanjang, berdekatan membentuk segitiga dengan
bulan.
Nata menggoncang bahu Niki, yang
meracau sejenak sebelum membuka mata dengan malas.
“Bangun Ki, liat tuh.”
Niki tidak berkata apa-apa, tapi
Nata tahu ia sudah sepenuhnya terjaga. Menahan napas, memperhatikan kedua
planet bersinar, berdekatan seperti dua sahabat yang saling menjaga.
Jari-jari Niki menggenggam tangan
Nata dengan lebih erat. Nata melakukan hal yang sama.
***
Perjalanan menuju bandara diisi keheningan
yang menyesakkan. Nata duduk bersama Niki di kursi belakang, tangan gadis itu
erat-erat mencengkeram lengan kemejanya seakan tidak merelakannya pergi. Nata
pun tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan, hanya sesekali mengulurkan
sebelah tangan untuk menyandarkan kepala Niki di pundaknya. Dhanny yang sedang
menyetir dan Annalise yang duduk di sampingnya menangkap gestur itu melalui
kaca spion, lalu tersenyum samar.
Mereka berempat duduk berdempetan di
ruang tunggu bandara yang penuh. Jarum ham merangkak pelan menuju waktu keberangktan
Nata. Panggilan yang ditujukan kepada seluruh penumpang pesawat yang akan
berangkat ke New York sudah diumumkan dua kali, tetapi Nata tidak kunjung
beranjak dari kursinya untuk menuju antrean imigrasi. Tiket di tangannya
dicekal hingga lecek, satu-satunya bukti nyata yang mengingatkannya bahwa dia
sudah harus pergi. Sampai akhirnya ia menghela napas berat, lalu bangkit dan
menatap mereka satu per satu—abangnya,
Annalise, lalu Niki.
“Gue harus pergi.”
Kalau bisa, Nata tidak ingin mengucapkannya,
tapi dia tidak punya pilihan. Air mata perlahan-lahan mengalir di kedua sisi
wajah Niki, walau wajahnya tersenyum. “Aku akan kuat, Nat. Aku janji.”
Dengan satu gerakan cepat, Nata
menarik Niki ke dalam pelukannya, tidak memedulikan orang-orang di sekitarnya
yang sedang memperhatikan. “Kalau begitu jangan nangis, dong,” dia berbisik,
tapi suaranya sendiri serak. “Gue akan telepon sesering mungkin. Kalau ada
perlu, lo juga bisa hubungi gue kapan
aja.”
Nata merasakan anggukan Niki.
Pelukannya mengendur dan dipandangnya wajah Niki dalam-dalam, ingin menghafalkan
garis wajah itu baik-baik. Dia menahan
diri untuk tidak mengatakan sekali lagi
bahwa dia menyayangi Niki, dan akan melakukan apa saja untuknya.
Dia bahkan rela untuk tinggal,
seandainya saja Niki memintanya sekarang. Nata merasakan matanya mulai berair,
tapi berusaha untuk menyembunyikannya. Walaupun membenci kebiasaan yang
kekanakan itu, dia mengulurkan jarinya dan mengaitkannya pada kelingking mungil
Niki sebagai janji. “Jaga diri baik-baik, ya.”
Sekali lagi Niki mengangguk. Annalise dan Dhanny
menyentuh lengan Nata, mengucapkan selamat jalan. Mereka saling berpelukan
singkat. Panggilan ketiga samar-samar terdengar melalui speaker, dan Nata
merunduk untuk mengecup kening Niki, membekaskan seluruh rasa cintanya pada
gadis itu di sana.
Gue
akan segera pulang. Dan, saat itu, gue
gak akan melepaskan lo lagi.
Dia berbalik dan berjalan menjauh,
berusaha untuk tidak menoleh ke belakang lagi, pandangannya kabur oleh air mata
yang tidak jadi menetes.
***
W i sh # 4 5 : aku nggak mau Nat a p e r gi (Ni ki )
Siluet tubuh Nata menghilang di
balik kerumunan orang yang memadati
bandara. Niki tidak terlalu merasakan kehadiran orang lain di sana,hanya
kehampaan yang amat sangat. Keningnya masih hangat akibat ciuman singkat
barusan. Ketika menyaksikan Nata menjauh, tiba-tiba saja ia merasakan separuh
jiwanya ikut pergi meninggalkan dirinya.
Untuk pertama kalinya, ia menyadari
sesuatu yang sangat penting. Dia menyayangi Nata—tidak, bukan hanya menyayangi.
Dia mencintai sahabatnya itu.
Niki tidak dapat lagi membendung air
mata yang sedari tadi berusaha ditahannya. Annalise maju dan merangkulnya erat,
mengusap punggungnya dan memisikkan kata-kata lembut untuk menenangkannya.
“Aku sayang banget sama Nata, Ann.” Niki berkata lirik di antara
isakannya. Gerakan Annalise terhenti ketika mendengar pernyataan yang mendadak
itu.
“Kenapa kamu nggak bilang sama Nata sebelum dia pergi?”
Niki menggeleng. “Karena hanya
dengan begini, dia akan tetap pergi untuk mengejar mimpinya.”
Annalise terdiam, menemani Niki yang
terus menangis di sampingnya, air matanya sendiri meleleh tanpa bisa
dihentikan.
***
Niki mendorong pintu kamar Nata,
lalu perlahan berjalan masuk dan memandang sekeliling. Segalanya terlihat
kosong tanpa Nata. Gitar cowok itu tidak ada di sana. Tidak ada tumpukan kertas yang berserakan di atas
karpet, kertas-kertas yang berisi partisi lagu
dan musik yang baru separuh dibuat. Kamar itu masih kental dengan aroma khas
pemiliknya, walau sudah hampir sebulan Nata meninggalkannya. Entah apa yang
membuat Niki menyelinap masuk ke sana—untuk mencari sisa-sisa diri Nata,
mungkin, karena ia merindukannya.
Pandangan matanya berhenti pada
sekotak kaset yang diletakkan di atas meja belajar. Benda tersebut terlihat asing
dalam ruangan kosong yang tak berpenghuni.
Niki meraih kaset itu, lalu
memasukkannya ke dalam tape dan memencet tombol play. Petikan gitar yang lembut
mengisi keheningan, mengiringi suara Nata yang menyanyikan sebait lagu pendek.
Bulan emas tinggal separuh
Bintang-bintang sangat pemalu Kau terduduk di sampingku Aku lantas mencintai
bayangmu Kau menoleh untuk tersenyum Hatiku berserakan... lebur dan lepuh Hanya
satu lagu itu yang terekam dalam kaset.
Niki tercenung. Di mana, ya, dia pernah mendengar kata-kata yang sama? Untaian kalimat itu sepertinya tidak asing.
Mungkin lagu yang sempat diputarkan di
radio? Atau sajak yang pernah dibacanya dalam sebuah buku sastra?
Tunggu sebentar. Puisi. Puisi yang disalin pada selembar kertas polos yang
diselipkan ke dalam amplop biru, salah satu surat yang diterimanya pada hari
Valentine. Ya, dia ingat sekarang.
Ternyata, bukan seorang penggemar
rahasia tak bernama yang mengirimkan surat itu untuknya, tapi Nata. Nata yang
selalu memperhatikannya, menjaganya, menyayanginya. Niki memejamkan mata dan
membiarkan lagu itu bermain berulang-ulang,
tersenyum sambil membisikan sutas doa
dalam hati. Tersenyum karena mengetahui Nata telah meninggalkan
lagu itu untuknya.
***
EP IL O G
Niki mengunyah cepat sandwich isi telur
yang menjadi menu makan siangnya hari ini, lalu buru-buru menyambar telepon
genggam yang bergetar di atas meja. Ia
tersenyum ketika melihat nama peneleponnya di layar.
"Hei, Anna!"
"Hei, Ki, lagi ngapain?"
Niki mengepit telepon di antara
pipi dan bahu sambil terus memeriksa
setempuk berkas di hadapannya. "Biasa, nyambi makan sambil menilai hasil
ulangan anak-anak. Kamu?"
"Baru selesai meeting dengan
redaksi, dan sekarang mau nge-drop beberapa foto permintaan klien di kantornya.
Oh ya, paket kirimanku udah nyampe belum?"
"Mmmm... sebentar." Niki
mengobrak-abrik surat-surat yang berserakan di atas mejanya. Sekali lagi ia mengingatkan diri sendiri agar segera membereskan segunung barang yang sudah
menumpuk di sana, malu mengingat mejanya memang sudah melewati tahap berantakan
yang normal. Beberapa saat kemudian, ia menemukan sebuah paket berbentuk segi
empat dengan namanya dalam tulisan tangan Annalise di bagian depan, lalu
menyobeknya hingga terbuka.
Sebuah bingkai sederhana yang
terbuat dari kaca, dengan selembar foto diselipkan di dalamnya.
Niki masih ingat foto itu—diambil pada hari kelulusan SMU, yang juga merupakan
hari ulang tahun Niki yang kedelapan belas. Niki, Nata, dan Annalise membolos
upacara kelulusan dan pergi ke pantai tanpa sepengetahuan guru. Dalam foto itu,
mereka bertiga tersenyum lebar, masing-masing saling merangkul, seragam mereka
basah kuyup. Niki tersenyum, ujung jemarinya menyentuh permukaan bingkai dengan
rindu.
"It's my birthday present for
you. Happy birthday, Niki."
"Thanks, Ann. Aku suka banget
hadiahnya."
Tiba-tiba, Niki merasa sentimentil.
Tidak terasa, lima tahun telah berlalu
menggantikan hari cerah di pantai itu. Dia rela melakukan apa saja untuk
kembali ke masa-masa itu, saat mereka hanyalah anak-anak yang polos, saat
persahabatan saja sudah cukup.
Annalise sepertinya dapat membaca
perubahan emosinya, karena ia lalu menyambung dengan suara lembut, "We'll
always have each other. Kita bertiga."
Niki mengangguk walau Annalise tidak
bisa melihatnya. Dia pun percaya pada hal itu.
***
Nata berdiri di depan pagar sekolah
lamanya dengan kedua tangan dalam saku. Sekolah itu tidak berubah, masih dengan
cat biru muda yang sama walau terlihat
dimakan usia. Pak Tugiran yang selalu
menjaga pagar telah digantikan oleh seorang laki-laki muda berseragam satpam,
sedang berusaha menghalau penjual asongan yang berkumpul di depan sekolah.
Sebuah gedung baru telah dibangun di
sebelah gedung tempatnya bersekolah dulu. Ruang-ruang kelasnya masih tampak
sama walau kini terlihat lebih modern.
Nata menyusuri satu-per satu, bersyukur telah datang pada sore hari seusai jam
pelajaran sehingga dia dapat mengenang kembali masa kecilnya tanpa gangguan.
Rasanya sudah lama sekali sejak
dia terakhir menginjakkan kaki di sana. Ketika berdiri di bawah naungan
pohon besar yang sudah puluhan tahun menjaga sekolah itu, Nata melihat bayangan
dirinya sendiri sedang berlari menuju pagar, Niki mengikuti di belakangnya.
Mereka berdua terengah-engah, memohon pada Pak Turigan supaya membukakan pintu
dan membiarkan mereka masuk, sebelum mereka dihukum karena terlambat. Nata
melihat dirinya menyendiri di balik
pilar, memandangi Niki yang
sedang bersenda-gurau bersama teman-temannya. Dia melihat Niki yang masih
kental dalam ingatannya, berbalut seragam cheers, melakukan gerakan dalam
formasi piramid yang selalu membuatnya menahan napas, takut gadis itu jatuh.
Dia melihat mereka berdua bersepeda pulang, tangan Niki memeluk pinggangnya.
Selama ini, Nata tidak pernah
melupakan Niki. Kepergiannya ke Amerika tidak mengubah apa-apa, perasaannya
masih sama seperti dulu.
Teriakan seseorang membuatnya menoleh
mencari asal suara. Suara tawa anak-anak yang mengerjai gurunya dalam sebuah
permainan petak umpet tidak jauh dari
sana membuat Nata berhenti untuk memperhatikan.
Sang guru, seorang perempuan muda,
berdiri memutari kebun belakang, mengenakan celana jeans biru tua dan kemeja
putih berlengan pendek. Rambutnya yang lurus panjang sepinggang, kulitnya kuning
langsat. Ia mengenakan sepatu hak tinggi berujung runcing. Kedua matanya
ditutupi oleh saputangan, bibirnya membentuk senyum jenaka sambil
memanggil-manggil sekelompok anak kecil
berderagam merah putih yang sedang berlarian di sekelilingnya.
"Kirana! KeDhan! Kalian di
mana?"
Hati Nata berdesir. Dia terpaku di
sana, tidak mampu bergerak, bahkan ketika perempuan itu berjalan semakin dekat,
lalu tersandung supaya tidak jatuh. Nata mengulurkan tangan untuk memegangi
kedua bahunya, menahan napas saat perempuan itu melepaskan ikatan di matanya
sambil tersengal.
Mereka berdua saling berpandangan.
Tawa perempuan itu surut, mulutnya menganga seakan tidak memercayai
pengelihatannya. Dia sepertinya ingin berseru, tapi justru hanya berbisik
dengan suara tercekat.
"Nata."
***
Niki terpaku lemas, lidahnya berubah
kelu begitu mengenali siapa yang sedang
berdiri di hadapannya. Tubuhnya gemetar saat ia mengambil satu langkah mundur.
Perubahan pertama yang Niki sadari
mengani Nata adalah tinggi badannya. Dulu,
Nata memang tergolong jangkung, tapi sekarang tingginya jauh melampaui
Niki. Tubuhnya kekar, bahunya bidang, dan tangannya besar. Rambutnya dipotong
cepak, wajahnya lebih dewasa dan dagunya dipenuhi bintik-bintik halus. Tapi banyak
hal mengenai Nata tidak berubah—senyumnya, pandangan matanya, sentuhannya.
Mereka berpandangan untuk waktu yang
cukup lama, berhadapan tidak hanya
sebagai sepasang sahabat yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tetapi juga sebagai individu yang memiliki banyak hal
yang belum sempat tersampaikan.
Ia ingin berkata bahwa dia sudah
menemukan mimpinya—menjadi seorang guru. Ia ingin bilang bahwa Annalise kini
sudah mendapatkan tambatan hatinya dalam sosok Kak Dhanny. Ia ingin Nata tahu
bahwa mereka semua baik-baik saja.
Niki selalu menunggu Nata—ingin
mengetahui perasaan apa yang akan terefleksikan saat ia menatap langsung pada
dua bola mata pemuda itu. Ingin tahu
apakah semuanya sudah berubah, sudah terlambat, atau lebih baik tidak
terucapkan seperti kalimat yang disimpannya dalam hati pada hari kepergian
Nata, lima tahun yang lalu.
Tapi, ketika mereka berdiri tidak
jauh dari satu sama lain dan saling berusaha menata hati, Niki
menyadari bahwa ada beberapa hal yang tidak perlu dikatakan hanya untuk membuatnya
nyata. Dia tahu jelas apa yang ingin Nata katakan kepadanya melalui pandangan
mata itu, dan dia yakin Nata pun mengerti isi hatinya.
Tidak ada yang berubah. Mereka masih saling
memiliki; dulu, sekarang, dan selamanya.
"Gue udah kembali, Ki."
Niki menyambut ucapan itu dengan senyum.
"I've missed you."
Nata membalas senyumnya, tangan
kanannya menyentuh jari-jari Niki dan menggenggamnya erat. "I know."
***
Plain melodies
Simple guitar chords
Your
humming to my song
Lyrucs of the heart
...and the rhymes of the moon
Make the best night music Night music
That belongs to you and I
***
No comments:
Post a Comment