BAB
3
“Sakit!!,”
Lana
menjerit, berusaha mendorong tubuh Mikail. Tubuhnya berteriak antara kesakitan
dan keinginan untuk dipenuhi gairahnya. Sebutir air mata menetes dari sudut
matanya, sisa-sisa dari kesadarannya yang tertinggal.
Mikail
mendesakkan dirinya sedalam mungkin, akhirnya berhasil menembus penghalang itu,
mengabaikan jeritan kesakitan Lana.
Ketika
akhirnya jeritan Lana mereda. Mikail mengangkat kepalanya, dan mengecup lembut
bibir Lana yang terbuka dan terengah-engah,
“Setelah
ini…. Aku akan mengajarkanmu bagaimana memuaskanku,” ucapan itu menggema di
dalam ruangan, bagaikan janji dari sang kegelapan.
Dan
Lana, sudah benar-benar kehilangan kesadarannya, tubuhnya menggeliat merasakan
kenikmatan yang menggelenyar ketika rasa sakit itu akhirnya menghilang.
Berganti dengan kenikmatan panas yang membagikan gelenyar menyiksa ke seluruh
tubuhnya.
Mikail
merasakan gerakan pinggul Lana, merasakan denyutannya yang menggenggam panas tubuhnya,
yang tertanam jauh di dalam tubuh Lana. Mendesak dengan berani, menarik Mikail
lebih dan lebih dekat lagi.
Mikail
menggertakkan gigi, menahan diri, membiarkan Lana menggerakkan pinggulnya, mencari
kenikmatannya sendiri dengan sesuka hati.
Dan
tidak butuh waktu lama ketika akhirnya perempuan itu mencapai pemenuhan kepuasannya,
“Oh…
oh … Astaga…,” Lana memejamkan mata ketika kenikmatan itu meledak dan membanjiri
tubuhnya dengan rasa panas yang tak tertahankan.
Dan
walaupun Mikail bisa memperpanjang kenikmatannya sendiri, pemandangan akan orgasme
Lana dan denyutan Lana yang meremas dirinya, jauh di dalam sana, membuatnya
tidak bisa menahan diri lagi. Detik itu pula, Mikail meledakkan gairahnya bergabung
dengan Lana dalam gairah yang melemahkan.
***
Entah
apa yang membuat Lana terbangun dari tidurnya yang lelap, rasa sakit yang aneh
di badannya, ataukah cahaya terang yang mendadak muncul entah dari mana. Lana membuka
matanya. Sekilas pandangannya terasa kabur, dan dia mencoba untuk memfokuskan
dirinya.
Kamar
itu, dengan nuansa putih yang feminim….
Kilasan-kilasan
ingatan berkelebat di benaknya, dia masih di sekap di sini, di dalam kamar di rumah
Mikail yang jahat. Dengan panik Lana terduduk
dari ranjangnya, dan selimutnya melorot hampir jatuh menutupi dadanya, melorot?
Lana menundukkan kepalanya, dan menyadari kalau dia telanjang bulat di balik selimutnya,
apa yang….. “Selamat Pagi”
Suara
maskulin itu terdengar dekat sekali dan Lana menolehkan kepalanya kaget, Pemandangan
di hadapannya membuat jantungnya bergejolak. Mikail ada di sana, di ranjangnya,
mereka ada dalam selimut yang sama, dan menilik kepada selimut Mikail yang hampir
saja melorot di pinggulnya, mereka sama-sama telanjang!
Lana
masih terperangah menatap pemandangan di depannya. Mikail berbaring dengan angkuhnya,
jelas-jelas telanjang bulat di balik selimutnya, dan menatapnya dengan tatapan berhasrat
yang memiliki.
Dengan
panik Lana menarik selimutnya hampir untuk menutupi seluruh dadanya, tetapi gerakannya
itu malahan membuat selimut Mikail melorot dan hampir memperlihatkan kejantanannya.
Dengan malu Lana memalingkan kepalanya dan disambut dengan senyuman jahat Mikail.
Keberanian
dan kemarahan Lana langsung muncul ketika menyadari rasa pedih di antara ke dua
pahanya. Lelaki ini memperkosanya! Entah apa yang terjadi semalam, Lana tidak
ingat sama sekali. Tapi yang pasti, dia sudah dinodai oleh iblis berhati kejam ini.
“Kau
sungguh iblis yang tidak bermoral, mengambil keuntungan dari perempuan yang sangat
membencimu!,” desis Lana menahan marah, masih tidak mau menatap Mikail
Mikail
terkekeh mendengar suara geram Lana, “Membenciku?,” dengan santai lelaki itu berdiri,
tak malu dengan tubuh telanjangnya yang berotot, “Lihat aku Lana, kau meninggalkan
tanda-tanda di tubuhku, kau sangat bergairah semalam, seperti Kucing betina yang
mencakar di sana sini untuk dipuaskan…. Dan atas gairahmu semalam, aku tidak yakin
kalau kau membenciku” Lana melirik sekilas ke tubuh telanjang Mikail yang berdiri
di samping ranjang, mukanya merah padam karena malu.
Bekas-bekas
itu ada, tanda-tanda merah di dada, di pinggul Mikail, di dekat kejantanannya….
Apakah dia yang melakukannya??
“Ya.
Kau yang melakukannya.” Ada senyum di suara Mikail, “Dengan sangat bergairah dan
lapar. Aku cuma berbaring di sana dan kau menyantapku bulat-bulat, sepanjang malam”
Kelebatan
ingatan akan percintaan yang panas muncul di ingatan Lana, samar-samar dan tidak
jelas. Tapi dia tidak mampu mengingat semuanya, kenapa dia tidak mampu mengingat
semuanya?
Lana
teringat minuman yang di berikan Norman semalam, dan rasa muaknya memuncak ketika
menyadari ada sesuatu yang dicampurkan di situ, dengan mata menyala-nyala.
Dikuasai oleh kemarahan yang campur aduk menjadi satu, Lana menantang tatapan
Mikail, mencoba tidak mempedulikan ketelanjangan Mikail.
“Aku
selalu mendengar kau jahat dan licik, tapi aku sungguh tak menyangka kau serendah
itu, menggunakan obat untuk memaksa perempuan yang jijik kepadamu supaya mau melayanimu!”
Sepertinya
kata-kata Lana mengena di hati Mikail karena rahang lelaki itu tampak mengeras,
marah. Dengan kasar, Mikail menyambar jubah sutra hitamnya dan mengenakannya. Lalu
dengan gerakan tiba-tiba, naik ke atas ranjang dan mencengkeram rahang Lana
dengan sebelah tangannya. Cengkeraman itu terasa keras dan menyakitkan sehingga
Lana mengernyit. Tetapi Lana menahan diri untuk tidak mengaduh, dia tidak mau memberikan
kepuasan kepada lelaki itu.
“Apapun
yang kau katakan, satu hal yang pasti, kau sudah menjadi milikku. Dan seperti
yang kubilang, segala sesuatu yang menjadi milik Mikail Raveno tidak akan pernah
bisa lepas, kecuali aku melepaskanmu.. atau aku membunuhmu!”
Dengan
kasar Mikail melepaskan cengkeramannya di rahang Lana, membuat tubuh Lana terdorong
lagi ke ranjang. Lalu dengan langkah tegas, Mikail melangkah keluar kamar
sambil membanting pintu di belakangnya.
***
Lana
masih termangu di ranjang, lalu kilasan rasa sakit di antara pahanya menyadarkannya.
Noda darah itu tampak mencolok di seprai putih itu, tampak menertawakannya.
Sungguh
ironis, keperawanannya terenggut oleh bajingan berhati iblis yang ingin dibunuhnya.
Tubuh Lana gemetar, dipenuhi oleh rasa campur aduk yang menyesakkan ketika dia
mencoba berdiri.
Noda
merah di ranjang itu sangat mengganggunya, hingga dengan kasar Lana merenggut
seprai itu dan membantingnya ke lantai. Napas Lana terengah-engah dan entah kenapa
kemudian tubuhnya ambruk ke lantai, menangis penuh emosi.
Ingatannya
melayang kepada ayah dan ibunya, kepada dendamnya yang belum terbalaskan, dan
kepada nasibnya yang membuatnya terperangkap di sini, dalam cengkeraman musuh
besarnya.
Kini
dia terpuruk di sini, dalam cengkeraman Mikail, dan yang sangat menyakitkan dia
tidak berdaya menghadapi lelaki itu.
Lana
mengusap air matanya tiba-tiba. Tidak! Dia sudah cukup menangis, dia harus melawan,
dengan segala cara!
Dengan
pelan Lana melangkah ke kamar mandi, dia harus mandi dan menghapus semua jejak
dan noda yang ditinggalkan Mikail di tubuhnya.
Mikail
boleh saja menodainya, tetapi bukan berarti lelaki itu memilikinya. Lana wanita
bebas, wanita bebas yang bertekad untuk menghancurkan Mikail. Tunggu saja, dia
hanya belum punya kesempatan.
***
Lana
hanya duduk di kursi putih itu putus asa sebab setelah sekian lama berkeliling
ruangan, memeriksa setiap sudut di kamar mandi dan jendela, tetap benar-benar tidak
ada celah yang bisa digunakan sebagai jalannya untuk melarikan diri.
Putus
asa, Lana duduk sambil memeluk lututnya, Kalau begini, bagaimana caranya dia
bisa keluar dari rumah ini? Sedangkan keluar dari kamar ini saja dia tidak mampu.
Matanya melirik ke pintu kamar. Pintu yang terkunci itu satu satunya jalan.
Tetapi
yang bisa keluar masuk dari pintu itu hanya Mikail, dan juga seorang lelaki bertampang
dingin bernama Norman, yang selalu ada di sebelah Mikail setiap ada kesempatan.
Lelaki bertampang dingin itu sepertinya ditugaskan untuk mengantarkan makanannya.
Pikiran
Lana berputar… memang rasanya tidak mungkin, jika tidak dicoba dia tidak akan
tahu…
Seperti
sudah diatur, pintu kamar itu terbuka, dan Lana langsung terduduk tegak waspada,
menanti siapapun yang akan masuk.
Norman
muncul di sana membawa nampan makanan, wajahnya datar tanpa ekspresi seperti
biasa. Dan Lana langsung sengaja memasang wajah kesakitan,
“Aku
minta tolong….,” rintihnya sesakit mungkin. Norman mengernyit dan mendekat,
“Ada
apa nona?’
“Aku…
aku mau muntah… tolong aku,” Lana meremas perutnya, berusaha semeyakinkan mungkin.
Dan
sepertinya Norman tidak curiga, lelaki itu mendekat, dan menatap Lana,
“Kau
mau dibantu ke kamar mandi?” Lana mengangguk lemah. Dengan tangan kuatnya, Norman
membantu Lana berdiri dan memapah tubuh Lana yang lunglai ke kamar mandi. Ketika
Norman membuka pintu kamar mandi, Lana berakting seolah-olah muntahnya akan keluar,
hingga Norman langsung bergegas membawanya ke kamar mandi, Di wastafel, Lana menundukkan
kepalanya seolah-olah akan muntah hebat,
“Handuk…
tolong….,” gumam Lana lemah, melirik ke arah lemari handuk yang ada di ujung ruangan
kamar mandi, Masih tanpa curiga, Norman melangkah ke arah lemari handuk. Saat
itulah dengan secepat kilal Lana melompat dan berlari ke arah pintu keluar
kamar mandi.
Norman
menyadari kalau dia ditipu ketika melihat kelebatan langkah cepat Lana. Dia berusaha
mengejar tapi terlambat, Lana yang melompat gesit sudah keluar dari kamar mandi
dan membanting pintunya dari luar, lalu menguncinya rapat-rapat.
Dengan
napas terengah karena pacuan adrenalin, Lana menyandarkan tubuhnya di pintu kamar
mandi, memejamkan mata, tak peduli akan gedoran-gedoran marah Norman dari
dalam,
“Kau
tidak akan bisa melarikan diri,” ancam Norman, berteriak dari dalam, “Tuan
Mikail pasti akan menemukanmu, dan aku bersumpah, kalau kau sampai membuat Tuan
Mikail marah, kau akan menyesalinya”
Teriakan-teriakan
Norman makin keras dibarengi dengan gedoran-gedorannya di pintu, Kata-kata Norman
sempat membuat hati Lana kecut, tapi dia menggelengkan kepalanya, Mikail memang
lelaki kejam, tetapi Lana tidak boleh takut. Dia harus berani menantang Mikail,
menunjukkan pada lelaki itu kalau dia bukanlah perempuan yang bisa ditundukkan
dengan begitu mudahnya.
Dengan
langkah hati-hati, Lana membuka pintu putih yang tak terkunci itu, matanya mengintip
sedikit keluar, khawatir kalau-kalau ada penjaga yang menjaga di pintu. Tetapi
rupanya Mikail beranggapan Lana terlalu lemah sehingga tidak perlu menempatkan penjaga
di pintu. Lorong itu kosong. Dengan hati-hati Lana melangkah keluar. Suara
gedoran-gedoran pintu kamar mandi dan teriakan Norman masih terdengar ketika Lana
keluar, tetapi ketika Lana menutup pintu putih besar itu, suara itu lenyap dan menjadi
senyap. Rupanya ruangan putih tempatnya dikurung itu kedap suara.
Lana
melangkah lagi melewati lorong itu. Tidak ada pintu lain di lorong itu, arahnya
langsung ke tangga spiral yang besar menuju ke pintu depan. Dengan hati-hati, Lana
mengintip dari ujung tangga ke arah bawah. Kosong. Kemanakah para penjaga yang
dia lihat kemarin?
Pelan
dan waspada, Lana melangkah menuruni tangga. Dia sudah berhasil menyeberangi
ruangan dan memegang handle pintu besar itu, ketika suara dingin yang mulai
dikenalnya terdengar tepat di belakangnya,
“Kau
pikir kau akan kemana?”
***
Terlonjak
kaget, Lana membalikkan badan dan hampir menabrak dada bidang Mikail. Lelaki itu
berdiri dekat sekali di belakangnya, dan menekannya ke pintu, tatapannya menyala
penuh kemarahan, seperti iblis yang siap membakar musuh-musuhnya.
“Berani
sekali kau mempermalukan Norman seperti itu, dan berani sekali kau mencoba melarikan
diri dari rumahku,” Tangan besar Mikail mencengkeram lengan Lana dengan kasar
lalu menyeret Lana yang tidak bersedia.
Lana
meronta-ronta, mencoba bertahan, tetapi Mikail tidak peduli, tetap menyeret Lana
dengan kekuatan besarnya. Hingga Lana mau tidak mau harus terseret-seret mengikuti
daripada tangannya putus.
Mikail
menyeret Lana menaiki tangga dan kembali menuju kamar putih tempat Lana tadi
dikurung.
Di
sana beberapa pengawal Mikail berkumpul, dan Norman berdiri di sana. Rupanya dia
berhasil menghubungi Mikail dan dibebaskan dari kamar mandi.
Lana
mengernyit dalam hati, seharusnya tadi dia lebih cepat, atau mungkin dia pukul
kepala Norman dengan sesuatu sehingga lelaki itu pingsan dan tidak bisa menghubungi
teman-temannya dengan segera.
Mikail
melepaskan cengkeramannya lalu mendorong Lana ke depan dengan kasar,
“Kau
lihat Norman? Perempuan kecil seperti ini, dan kau, pengawalku yang sudah bertahun-tahun
lamanya bisa-bisanya dibodohi seperti ini”
Norman
hanya terdiam, menatap Mikail dengan muka datar, sepenuhnya mengabaikan keberadaan
Lana. Hingga Lana mengernyit, apakah lelaki ini memang tidak punya ekspresi?
“Dan
kau Lana,” Mikail melepas jasnya dan menggulung lengan kemejanya, “Ini adalah
peringatan untukmu. Kalau kau membodohi salah satu pegawaiku lagi untuk melarikan
diri, kau akan membuang satu nyawa, karena aku akan langsung membunuh pegawaiku,”
Tanpa
dinyana, Mikail menghantam Norman dengan satu pukulan telak hingga kepala
Norman mundur ke belakang, darah menetes dari sudut bibirnya.
Lana
terkesiap mundur dan makin terkesiap ketika Mikail menghajar Norman, lagi dan lagi
tanpa perlawanan hingga lelaki itu jatuh berlutut dengan memar dan bibir berdarah
yang mengotori kemejanya.
Mikail
mundur satu langkah ketika Norman terjatuh, dia menoleh dan menatap Lana,
“Kalu
lihat itu Lana? Setiap kau mencoba melarikan diri, aku bersumpah akan ada nyawa
yang berkorban untukmu. Mereka semua yang lengah hingga memberi kesempatan
padamu untuk lari, akan kubunuh!,”
Dengan
kejam Mikail mengarahkan pukulannya sekali lagi ke arah Norman. Lana berteriak,
spontan mencengkram lengan Mikail yang terayun, mencegah Mikail menghabisi
Norman,
“Jangan….
! Jangan ! Aku yang salah, aku yang salah! Jangan bunuh dia! Aku yang salah ! “,
teriaknya panik.
Mikail
terdiam dan mematung, ketika akhirnya dia menatap Lana, matanya sedingin es. Lelaki
itu tampak amat sangat marah kepada Lana.
“Jadi
kau mengaku salah..,” Mikail mundur lagi dan Lana merasa lega luar biasa karena
lelaki itu tidak jadi melampiaskan kemarahannya kepada Norman yang sudah berlutut
tak berdaya di lantai.
“Aku
hanya ingin keluar dari tempat ini,” teriak Lana marah, frustrasi karena Mikail
menggunakan ancaman licik untuk mencegahnya melarikan diri.
“Kau
milikku, dan tidak ada milikku yang bisa keluar dari sini tanpa seizinku”
“Atas
dasar apa??,” Lana berteriak marah, “Aku bukan milik siapa-siapa, apalagi lelaki
jahat sepertimu. Aku cuma mau keluar dari sini, aku muak terhadapmu, muak atas
semua yang ada di sini….Aku cuma mau keluarr!!!!
“Kau
mau keluar hah??,” Mikail mencengkeram lengan Lana lagi, di tempat yang sama hingga
Lana merasa lengannya memar,
“Mari kita keluar!”
***
Tak
ada yang berani menolong ketika Lana berteriak-teriak dalam seretan Mikail.
Sepertinya
kemarahan Mikail adalah hal biasa di rumah ini dan tidak ada satupun yang berani
melawan laki-laki itu. Mikail membawa Lana ke ujung lorong, ke jendela kaca
lantai dua yang mengarah langsung ke balkon.
Dengan
kasar Mikail mendorong Lana keluar lalu mendesaknya ke ujung balkon, hingga
kepala Lana mengarah ke bawah dan menatap ngeri ke kolam renang yang sangat
luas di bawahnya.
Kolam
itu tampak sangat bening dan dalam. Lana bergidik. Dia tidak bisa berenang, apakah
Mikail akan mendorongnya ke bawah?
Mikail
benar-benar mendesak tubuh Lana sampai ke ujung balkon, membuat kepalanya terbungkuk
ke bawah, sementara tangannya di kekang oleh Mikail di belakangnya,
“Kau
lihat itu? Salah sedikit aku melemparmu ke bawah, kepalamu bisa pecah terkena
ubin pinggiran kolam,” napas Mikail sedikit terengah oleh kemarahan, “Kau perempuan
tak tahu diuntung, harusnya kau bersyukur atas kebaikan hatiku padamu dan keluargamu,
hingga kau masih bisa hidup sampai sekarang…. Tahukah kau kalau aku bisa dengan
mudah mencabut nyawamu kapanpun aku mau”
“Tuhan
yang berhak mencabut nyawaku, bukan iblis seperti kau.” Lana berteriak berusaha
menantang meski jantungnya makin berpacu kencang diliputi ketakutan luar biasa.
“Perempuan tidak tahu terima kasih,” Mikail mendorong Lana lagi sampai ke ujung, “Ada kata-kata
terakhir?”
Lana
memalingkan kepalanya sehingga tatapan matanya
yang
penuh kebencian bertemu dengan mata dingin Mikail,
“Terima
kasih karena sudah membebaskanku” Lalu tubuh Lana terlempar, melayang di udara
kemudian meluncur ke bawah, ke kolam renang yang dalam itu. Setidaknya kalau aku
mati, aku sudah mencoba membalaskan dendam kita, Ayah….
Sedetik
kemudian, tubuh Lana terbanting menembus permukaan kolam lalu tenggelam. Lana
tidak berusaha menyelamatkan diri, membiarkan tubuhnya makin tenggelam dalam kolam
itu. Matanya menggelap dan memejam, dan entah
berapa banyak air kolam yang tertelan olehnya. Napasnya terasa sesak dan paru-parunya
terasa mau pecah.
Oh
Tuhan… aku akan mati….
***
Ketika
Lana sudah sampai di titik akan kehilangan kesadarannya, terdengar ceburan lain
yang tak kalah kerasnya di kolam.
Tak
lama kemudian, sebuah lengan yang kuat merengkuhnya dan mengangkat tubuhnya,
lalu membawanya ke permukaan. Tubuh lemas Lana dibaringkan di lantai di pinggiran
kolam, lalu dia merasakan perutnya di tekan dengan ahli hingga aliran air yang
tertelan keluar.
Lana
memuntahkan banyak air dan terbatuk-batuk kesakitan. Paru-parunya masih terasa begitu
sakit dan nyeri Siapakah penolongnya? Apakah dia memang belum diizinkan mati? Tangan
kuat itu terus menekan hingga seluruh cairan terpompa keluar dari perut Lana. Mata
Lana mulai buram, kesadarannya semakin hilang, ketika suara itu terdengar
tenang di atasnya,
“Panggil
Dokter”
Itu
suara Mikail. Apakah Mikail yang menyelamatkannya? Lagipula… kenapa lelaki itu
menyelamatkannya?
***
No comments:
Post a Comment