“Ada kesalahan-kesalahan dalam percintaan yang bisa
dimaafkan, tetapi pengkhianatan tidak termasuk salah satu di
antaranya.”
2
Ponsel Sani berbunyi sore itu, dan dia langsung mengangkatnya ketika mengetahui bahwa yang menelepon
adalah mamanya,
“Sani?”
mamanya
langsung
berbicara seperti
kebiasaannya, “Mama harus memperingatkanmu.”
“Memperingatkan apa mama?” Dahi Sani mengeryit dan langsung waspada. Mamanya tidak pernah berucap dengan nada
seserius ini sebelumnya.
“Jeremy.” Suara sang mama
setengah berbisik, “Dia datang kemari pagi ini
dan memohon kepada mama untuk memberikan informasi di mana dirimu.”
“Mama tidak memberitahukannya kepadanya kan?” Sani langsung panik.
Percuma dia pindah ke lain kota kalau pada akhirnya Jeremy mengetahui dia ada di mana.
“Tentu saja tidak sayang.” Sang mama menghela napas panjang, “Tetapi sepertinya dia tidak menyerah, dia
bilang pada akhirnya kalau mama tidak mau mengatakan di mana dirimu, dia akan tetap tahu karena dia akan menghubungi kantor penerbitmu.”
Sani mengernyit kesal. Kalau Jeremy
menghubungi kantor penerbitnya, tentu saja Jeremy akan tahu dimana
dia berada. Dia
mendesah kesal, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa,
Sani hanya tidak menyangka kenapa Jeremy sekeras kepala ini mengejarnya. Apakah lelaki itu tidak bisa menerima bahwa Sani tidak bisa memaafkannya?
“Terima kasih
sudah memperingatkanku mama, ada kemungkinan bahwa dia
sudah tahu di
mana aku berada, aku menginformasikan kepindahanku dan alamat
baruku kepada penerbit. Aku akan bersiap kalau Jeremy nekat dan mendatangiku.”
“Kau tidak apa-apa Sani?” suara mamanya tampak
cemas di seberang sana, membuat Sani tersenyum haru.
“Tidak apa-apa,
mama,
aku
bisa
bertahan.”
Jawabnya
mencoba sekuat mungkin meskipun dalam hatinya dia meragu.
⧫⧫⧫
Perempuan
itu
datang lagi malam ini,
dan
memesan
segelas anggur untuk teman menulisnya. Azka mengernyit, dari info
yang didapatnya dari Albert, Sani adalah seorang penulis novel romance. Tetapi sepertinya Sani sedang murung karena beberapa
kali
perempuan
itu hanya menghela napasnya di depan laptopnya, lalu
mengawasi layar laptop itu
dengan tatapan mata
kosong.
Azka
merasa seperti pengintip yang memalukan ketika berdiri di depan kaca balkon atas dan mengamati Sani seperti ini, tetapi dia tidak bisa menahan diri. Sudah beberapa hari ini Sani
selalu datang. Setiap pukul sembilan lalu akan menulis
sampai dini hari sebelum kemudian pulang ketika terang tanah menyentuh langit. Azka tidak bisa
menahan ketertarikannya
untuk mengintip
ke bawah,
menanti kedatangan
Sani. Dan sejauh ini, perempuan itu tetap datang.
Ada keinginan tertahannya untuk mendekati perempuan
itu, tetapi dia menahan diri.
Dia takut kalau dia terlalu mengganggu, Sani akan merasa segan dan kemudian tidak akan datang lagi.
“Perempuan itu
datang lagi.” Albert yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu ruang kerja Azka bergumam sambil tersenyum penuh pengertian, mengamati Azka. “Kau sepertinya
sangat tertarik kepadanya.”
“Kenapa kau bisa berpikiran begitu?” Azka mundur dari kaca itu dan melangkah menuju kursi
kerjanya. Albert adalah tangan kanannya, orang kepercayaannya. Lelaki itu dulu adalah
pegawai setia ayahnya, dan orang yang paling dipercaya oleh ayahnya. Setelah ayah Azka
meninggal dan dia mewarisinya jaringan kerajaan bisnis hotel dan restoran ini,
Albertlah yang selalu
membantunya, memberinya pendapat dari sisi pengalaman, melengkapi apa yang tidak dimiliki oleh Azka.
Karena itulah Azka menghadiahi Albert cafe ini, tetapi lelaki setengah baya itu menolaknya. Dia hanya ingin tinggal di sebuah apartemen mini di bagian atas cafe
dan tetap ingin bekerja menjadi pelayan meskipun Azka sudah melarangnya.
Tetapi Albert bilang bahwa menjadi pelayan
cafe ini bisa membantunya tetap hidup.
Dia kesepian
dan bercakap-cakap
dengan
para pelanggan
bisa menyembuhkan sepinya,
karena itulah Azka mengizinkan Albert menjadi pelayan di
Garden Cafe
ini.
Albert
meletakkan
kopi panas
untuk
Azka
dan tersenyum, “Kau menyapanya malam itu, kau bahkan tidak pernah menyapa pelanggan lain sebelumnya.”
Azka tersenyum kecut,
rupanya dia terlalu mudah
terbaca oleh
Albert, “Tetapi bukan berarti aku tertarik kepadanya.”
“Oh ya?” Albert mengangkat alisnya, “Sebelumnya kau tidak pernah menginap di cafe ini.” Seperti halnya Albert, Azka mempunyai apartemen sendiri di sisi lain di bagian atas cafe ini. Tetapi dia memang jarang memakainya, karena
dia
selalu pulang ke rumahnya, kawasan hijau dan sejuk di perbukitan
pinggiran kota, dekat dengan area resor hotelnya. “Dan aku hitung,
sejak kau menyapa perempuan
itu, kau selalu datang kemari setiap malam, tanpa absen.”
Azka terkekeh mendengar perkataan
Albert,
“Aku
memang tidak bisa membohongimu ya.”
“Aku sudah mengenalmu
sejak
kecil.”
Albert tertawa, “Kau tidak pernah bertingkah seperti
ini sebelumnya dengan perempuan manapun.” Albert berdehem, “Begitu juga ketika dengan Celia.”
Azka
tertegun ketika nama Celia
disebut. Wajahnya sedikit memucat, dia lalu memalingkan muka dengan murung.
“Tetapi pada
akhirnya semua akan tetap sama bukan?” gumamnya sedih, “Seberapa besarpun aku tertarik kepada perempuan itu, aku tidak akan pernah bisa memilikinya.”
“Kau bisa memilikinya
kalau kau mampu
mengambil
keputusan tegas.”
“Tidak.” Azka
mengernyit
seolah kesakitan,
“Aku memang bukan orang baik. Tetapi aku masih punya hati.”
Tuhan tahu dia sudah
tidak mencintai Celia, tunangannya. Tetapi dia
masih punya hati. Kesalahannya harus dibayar, meskipun perasaannya yang dikorbankan.
⧫⧫⧫
“Azka?” Suara lembut Celia menggugah Azka dari
lamunannya, membuat Azka menoleh dan langsung tersenyum
lembut,
“Iya sayang?”
Celia menyelipkan rambut panjangnya yang indah di belakang telinganya, dan tersenyum lembut,
“Ada apa? Kau tampak begitu murung.”
Azka mendesah, “Ah..iya...
mungkin aku sedikit
tidak enak badan.” Itu yang sesungguhnya. Dia
sungguh merasa tidak enak
badan, dia tidak suka
berada
di sini,
tetapi dia harus. Setiap akhir pekan setelah kesibukan kantornya berakhir, dia harus berada di sini, menghabiskan waktunya bersama Celia, tunangannya. Tetapi pikirannya mengembara, ke cafe itu, tempat perempuan bernama Sani itu selalu datang dan menulis
di sana
sampai dini hari.
Azka tidak sabar untuk segera pergi dari sini
dan menuju
Garden Cafe, mengamati Sani
dari kejauhan.
“Pulanglah.” Bisik Celia lembut, penuh pengertian, “Mungkin kau kelelahan dan butuh istirahat.”
Celia selalu seperti itu, begitu lembut dan penuh pengertian. Apapun yang dilakukan Azka dia selalu mengerti. Apalagi yang sebenarnya Azka cari?
Ditatapnya Celia dengan senyuman
lembut,
kemudian dia menarik Celia mendekat dan mengecup keningnya, “Kau mau kuantar masuk?”
“Tidak Azka, pulanglah, aku bisa masuk sendiri.” Jawab
Celia tanpa kehilangan senyumnya.
Azka menghela napas, lalu menyentuhkan jemarinya di rambut Celia dengan lembut, “Terimakasih Celia, sampai ketemu lagi besok ya.”
Celia
mengangguk, memundurkan kursi
rodanya dan memutarnya memasuki rumah. Azka
menunggu sampai pintu rumah itu tertutup, lalu melangkah pergi, tanpa menoleh lagi.
⧫⧫⧫
Dalam perjalanannya
pulang
dari
rumah
Celia, Azka
merenung. Dulu semuanya baik-baik saja. Azka melabuhkan cintanya kepada Celia, dan memutuskan untuk melamarnya.
Tetapi kemudian dia larut, sibuk dalam pekerjaannya dan lupa untuk memberikan perhatiannya kepada perempuan itu.
Celia
yang kehilangan cintanya, akhirnya memutuskan untuk mencari perhatian dari lelaki lain.
Dan
dia mendapatkannya dari sosok lelaki bernama Edo, yang ternyata adalah seorang bajingan.
Bajingan itu merenggut kegadisan Celia yang
sedang
rapuh karena diabaikan oleh Azka. Lalu kemudian meninggalkannya begitu saja dalam kondisi hamil.
Masa-masa itu sangat
menyakitkan
bagi Azka,
ketika Celia datang
kepadanya
dan mengakui
semuanya,
tentu
saja Azka
marah besar.
Mereka
sedang berkendara di
mobil,
di tengah hujan deras ketika Celia mengakui semuanya kepada Azka.
Azka yang marah menginjak gas begitu
kencang untuk meluapkan emosinya hingga kehilangan kewaspadaannya. Mereka
lalu
mengalami kecelakaan fatal,
kecelakaan yang membuat Celiakeguguran anak hasil hubungannya dengan Edo, dan tidak bisa berjalan lagi selamanya.
Azka
sendiri
hanya
mengalami lecet-lecet, dia mendengar kenyataan
bahwa Celia akan lumpuh dan merasakan penyesalan yang luar biasa. Dialah penyebab semua ini, Celia menjadi lumpuh seumur hidup karena
dirinya, karena dialah mereka
mengalami kecelakaan parah itu. Padahal perselingkuhan
Celia kalau ditelaah adalah karena kesalahannya, Azka terlalu sibuk
dengan bisnisnya sehingga melupakan Celia. Bahkan dia hampir tidak punya
waktu untuk tunangannya itu, jadi wajar kalau Celia sampai mengais perhatian dari lelaki lain.
Lalu Azka memutuskan bahwa dia harus bertanggungjawab. Dan pagi itu pula ketika Celia tersadarkan diri dari kecelakaan,
menangis
ketika mengetahui
bahwa dia tidak bisa berjalan lagi,
Azka memeluknya dan
mengatakan bahwa dia akan selalu mendampingi Celia selamanya. Dia memaafkan kekhilafan Celia dan bertekad untuk melangkah ke depan, meninggalkan yang lalu.
Azka mengira itu akan mudah. Toh dia mencintai Celia sebelum kejadian itu, dipikirnya dia hanya perlu memaafkan dan kemudian menjalani keadaan
mereka
seperti sebelumnya. Tetapi kemudian dia
merasakan perasaannya mulai terkikis dan
musnah, setiap menatap perempuan cantik itu.
Lalu menyadari kenyataan bahwa Celia
telah mengkhianatinya dan membiarkan
dirinya disentuh oleh lelaki lain sampai sedemikian jauhnya.
Hari demi hari berlalu, sampai di titik cintanya musnah
begitu saja. Dia menjalani harinya dengan Celia hanya karena dia merasa harus melakukannya. Azka yakin dia bisa melakukannya, toh hatinya sudah mati rasa.
Sampai kemudian dia
melihat Sani, dan terpesona lalu tertarik kepadanya.
Albert memang benar, Azka tidak pernah tertarik kepada perempuan lain sebelumnya. Begitu kuat, begitu memabukkan, membuatnya tak
bisa
memikirkan yang lain. Membuatnya ingin mencoba mendekat bahkan
meskipun dia sadar bahwa dia tidak bisa memiliki perempuan itu.
Sejenak Azka
ragu, dia berada di persimpangan
jalan, satu menuju ke
arah rumahnya dan yang lain menuju ke arah Garden
Cafe. Pada akhirnya Azka
mengarahkan
mobilnya ke arah Garden Cafe. Dia ingin melihat Sani.
⧫⧫⧫
Ketika dia memasuki pintu cafe itu, matanya mencari di sudut yang biasa, dan
menemukan Sani. Perempuan itu sedang mengetik seperti biasa
ditemani segelas anggur merah yang tinggal tersisa setengahnya.
Sejenak Azka ragu, tetapi kemudian dia mendekat, “Aku
heran anggur itu tidak membuatmu mengantuk.” Sani langsung mendongak mendengar
sapaannya,
ada
tatapan terkejut di sana ketika melihat Azka berdiri di
depannya. Tetapi kemudian dia tersenyum lembut.
“Aku punya penyakit susah tidur
akhir-akhir ini.
Kata
Albert anggur ini bisa membantu, tetapi sepertinya aku kebal.” Azka tersenyum,
“Kalau kau ingin
mengantuk
jangan
ikuti nasehat Albert, minumlah susu putih.”
“Susu
putih?” Sani mengeryit, “Aku
tidak
suka susu putih, rasanya terlalu gurih dan menguarkan aroma yang aneh di hidung, membuatku mual.”
Kali ini Azka benar-benar terkekeh geli, “Aku baru kali ini
mendengarkan deskripsi yang begitu menarik tentang susu putih.” Godanya, “Apa yang
sedang kau tulis?”
Tanpa sadar Azka
menarik kursi dan duduk di depan Sani.
“Roman percintaan.” Pipi
Sani memerah, menyadari
bahwa dia ditatap oleh lelaki yang begitu tampan, dengan mata
cokelat muda dan rambut berantakan yang tampak sangat menggoda. Tetapi kemudian dia mengeraskan hati.
Semakin tampan seorang lelaki
berarti semakin berbahaya dirinya. Gumamnya dalam hati.
“Roman percintaan? Dan sepertinya kau
sedang kehabisan ide?”
Bagaimana lelaki ini
tahu?
Sani mengangkat bahunya, “Tokoh utama di
ceritaku
saling membenci, dan aku merasakan dorongan kuat untuk membiarkannya seperti itu.”
Azka terkekeh, “Tetapi kau
tidak bisa membiarkannya
seperti itu?”
“Tidak bisa.” Gumam Sani
penuh penyesalan, “Karena ini cerita roman,
dan cerita
roman
karanganku harus berujung Happy Ending.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
“Kenapa harus
Happy Ending?” Azka menatap
ke arah
Sani dengan tajam, membuat Sani sedikit salah tingkah.
“Karena di kehidupan
nyata kadangkala Happy Ending bukanlah milik kita.” Ingatan Sani langsung
melayang kepada Jeremy dan dia
tersenyum pahit, “Karena itulah setidaknya novelku bisa menjadi pengobat luka hati.”
“Kau benar-benar penulis novel yang baik dan memikirkan perasaan pembacanya.” Gumam Azka sambil tersenyum, yang ditanggapi Sani dengan mengangkat bahunya.
“Aku hanya ingin menyajikan kisah
yang indah
untuk pembacaku.”
“Misi yang luar biasa baik, dan aku yakin itu bisa membantu semua orang, karena kadang di
dunia nyata ini kita tidak selalu berakhir indah.” Azka bangkit dari
duduknya dan menganggukkan kepala
sopan, “Silahkan
lanjutkan menulis, maaf atas gangguanku.”
⧫⧫⧫
Azka sedang mengenakan
dasinya untuk berangkat
ke
kantor pusatnya di
area resor hotelnya ketika pintu apartemen pribadinya di lantai dua cafe
itu diketuk. Dia mengernyitkan keningnya, hari masih pagi. Cafe di
bawah memang buka duapuluh empat jam, tetapi yang pasti tidak akan ada yang berani mengetuk pintunya sepagi ini.
Bahkan Albertpun tidak akan melakukannya.
Dengan jengkel sekaligus
ingin
tahu,
Azka membuka
pintu ruang kerjanya dan
menemukan Keenan berdiri di sana. Saudara kembarnya.
“Kenapa kau kemari pagi
sekali?” Azka mengernyit,
menatap adiknya ingin tahu. Azka dilahirkan lebih dulu 3 menit sebelum Keenan. Karena itulah dia selalu menganggap dirinya sebagai kakak. Lagipula, secara kepribadian, dia
memang lebih dewasa dibandingkan Keenan. Keenan terlalu berpikiran bebas, dia bahkan tidak mau memegang perusahaan warisan ayah mereka dan
memilih mengejar impiannya menjadi seorang pelukis. Kadang Azka merasa iri kepada Keenan karena kemampuannya untuk
merasa bebas dan lepas dari tanggung jawab.
Azka
sendiri tidak bisa. Perusahaan ayahnya harus dikendalikan. Dan karena Keenan tidak bisa diandalkan, maka
dia mengambil alih seluruh tanggung jawab itu di pundaknya.
Mungkin dia
memang ditakdirkan untuk selalu memikul
tanggung jawab terhadap orang lain di pundaknya, pikirnya pahit.
Sementara
itu Keenan tampak
tidak peduli, dia melangkah masuk ke apartemen Azka dan membanting tubuhnya di sofa,
“Aku sedang menerima proyek melukis untuk desain kantor di
dekat resor kita. Pekerjaan itu baru selesai tadi pagi dan aku memutuskan untuk berkunjung ke rumahmu pagi ini sekaligus menumpang tidur. Tetapi kata
pelayan sudah berhari- hari kau tidak ada di sana dan tidur di Garden Cafe.” Keenan merengut, “Jadi aku terpaksa menyusul kemari.”
Azka
meraih jasnya dan melirik adiknya tanpa ekspresi, “Kau bisa menumpang tidur di kamar.” Gumamnya tenang, “Aku harus bekerja.”
“Kau tampak tidak sehat.” Gumam Keenan ketika mengamatinya, “Dan kurus. Apakah memimpin perusahaan ini membuatmu begitu sibuk sampai lupa mengurus dirimu?”
Mereka berdua memang sudah lama
tidak bertemu, hampir enam bulan lebih.
Itu karena Keenan memutuskan ke Belanda, untuk mengunjungi guru melukisnya di
sana. Adik
kembarnya itu baru pulang sebulan yang lalu, tetapi mereka
sama-sama sibuk
hingga sekaranglah pertemuan mereka yang pertama setelah enam bulan berlalu.
Azka
sendiri mengamati adiknya yang tampak begitu segar dan tanpa beban, lalu mengernyit,
“Salah satu dari
kita harus menjalankan perusahaan ini.” “Kau tidak perlu melakukannya, kau tahu itu.” Keenan
memundurkan
tubuhnya dan menyandarkan
dirinya di
sofa,
“Perusahaan itu bisa saja kau serahkan kepada para tangan kanan ayah, selama ini bukankah mereka juga yang menjalankannya?”
“Tetapi perusahaan ini tetap butuh seseorang yang mengendalikannya, Keenan.” Azka bergumam tajam. “Aku bukan
orang bebas yang
bisa melepaskan
tanggung jawab seperti dirmu.” Sindirnya.
Keenan malahan
tertawa, “Dan kaupun
memikul tanggung jawab itu, ciri
khas seorang Azka.” Wajahnya berubah serius, “Sama halnya seperti yang kaulakukan kepada Celia.”
“Aku tidak mau membicarakannya.” Azka langsung
memalingkan muka, berusaha
memutus percakapan. Mereka
pasti akan berakhir dengan adu argumentasi ketika membicarakan Celia.
Keenan adalah salah
satu orang yang menentang keras ketika Azka
melanjutkan
pertunangannya dengan
Celia. Dia tentu saja tahu tentang pengkhianatan Celia dan menganggap
Azka bodoh
karena memikul tanggung jawab terhadap
Celia.
Padahal kecelakaan yang dialami
Celia seharusnya bukanlah kesalahan Azka.
“Tidakkah kau bertanya-tanya bahwa sebenarnya ada jodohmu
di luar sana?”
Keenan
terus
mengejar,
tidak peduli akan ekspresi membunuh yang dilemparkan Azka kepadanya, “Tidakkah kau ingin tahu bahwa pasangan jiwamu sedang menunggu jauh di sana? Menanti untuk kau temukan? Kalau kau terus terpaku pada Celia, yang jelas-jelas tidak kau cintai, kau akan
kehilangan
kesempatanmu untuk menemukan
jodohmu yang sesungguhnya.”
“Aku tidak menyangka kau bisa begitu puitis.” Azka berusaha menghindar dari bahasan tentang Celia. Dia sedang tidak mau memikirkannya.
“Aku seorang seniman, meskipun aku pelukis, tetap saja
aku bisa puitis.” Keenan tertawa, “Berbeda dengan dirimu yang
begitu kaku.” Wajahnya melembut, “Aku
hanya ingin kau berhenti menyiksa dirimu, kak.”
Apakah sejelas itu?
Azka berusaha memasang wajah datar, “Kalau kau ingin
aku sedikit lebih baik, bantulah aku di perusahaan.”
‘Tidak.” Keenan langsung menjawab cepat, “Berkemeja rapi, memakai jas dan dasi bukanlah gayaku. Aku bisa mati
bosan kalau bekerja di kantor.” Dengan santai dia
melangkah
berdiri dan menuju kamar Azka, “Selamat menikmati harimu.” Gumamnya santai lalu menghilang ke dalam kamar.
⧫⧫⧫
Sani sedang melangkah keluar dari pintu
putar
apartemennya, hendak menuju ke supermarket terdekat untuk
membeli bahan
makanan sebagai pengisi kulkasnya
ketika langkahnya membeku di trotoar.
Mobil warna biru itu dengan pelat nomor yang
sangat dikenalnya.
Itu mobil Jeremy...
Dan benar saja,
lelaki itu melangkah keluar dari mobilnya dan berdiri tepat di depan Sani,
“Hai Sani.” Sapanya seolah-olah tidak pernah terjadi apa- apa di antara mereka, “Apa kabarmu? Aku kemari untuk mengunjungimu, aku merindukanmu.” Bisiknya lembut.
Bisikan itu dulu
pernah membuat hati Sani hangat. Tetapi sekarang tidak lagi, dia menggertakkan giginya dengan marah,
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Jeremy mengangkat bahunya, “Mengunjungimu tentu saja, kau pikir apa? Aku harap setelah kau puas dengan tingkah kekanak-kanakanmu kita bisa bercakap-cakap dengan kepala dingin.”
Tingkah kekanak-kanakannya, katanya?
Sani menahan dirinya untuk maju dan menampar
Jeremy. Berani-beraninya lelaki itu muncul di
depannya seolah tidak bersalah dan mengganggu ketenangan hidupnya lagi.
“Aku tidak
mau
bercakap-cakap denganmu. Minggir.”
Gumam Sani
marah, ketika Jeremy dengan sengaja menghalangi jalannya di trotoar yang sempit itu.
Tetapi Jeremy tidak bergeming, dia malahan semakin sengaja menghalangi Sani lewat.
“Kita harus bicara Sani, ayolah hentikan sikap kekanak-
kanakanmu itu dan berbicaralah dengan dewasa.”
“Aku rasa aku sudah mengambil keputusan dewasa dengan
mengakhiri
pertunangan
kita. Menyingkirlah Jeremy dan biarkan aku lewat.”
Sani berusaha mencari jalan melewati Jeremy, tetapi karena lelaki itu menghalangi
jalannya, dia merengut
kepada Jeremy dengan tatapan menghina,
“Ah sudahlah!” Gumamnya marah lalu membalikkan tubuhnya, hendak berbalik dan meninggalkan Jeremy.
Sayangnya gerakannya kurang cepat, Jeremy sudah meraih lengannya dan mencekalnya,
“Dengarkan
aku dulu
Sani, kau harus mendengarkan
aku!” seru Jeremy mulai emosi. Lelaki itu bahkan tidak
peduli akan lirikan orang-orang di sekitar mereka.
Sani malu, sungguh-sungguh malu. Dengan sekuat tenaga dia
berusaha melepaskan cekalan tangan Jeremy
di lengannya, berusaha melepaskan diri
dari Jeremy. Dia jijik, dia benci, dan dia sangat muak kepada laki-laki ini.
Di tengah
usahanya melepaskan diri, sebuah mobil
berwarna merah menyala menepi ke
trotoar di dekat mereka.
Azka turun dari mobil dan mengernyit, dari kejauhan dia sudah melihat lelaki itu mencengkeram lengan Sani
dan
Sani yang berusaha melepaskan diri.
Pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri
untuk mendekat,
“Bisakah kau lepaskan perempuan itu? Tampaknya dia
tidak mau berurusan denganmu.” Gumamnya dingin.
Membuat Sani dan Jeremy menoleh bersamaan.
YOU'VE GOT ME FROM HELLO - SANTHY AGATHA - BAB 3
No comments:
Post a Comment