BAB
16
Mata
Mikail menyala ketika menatap mata Lana. Perempuan ini menatapnya tanpa dosa. Tidakkah
dia tahu bahwa permintaannya ini menambah penderitaan Mikail? Memijit Lana? Dalam
kondisi bergairah dan ingin dipuaskan seperti ini? Bagaimana Mikail bisa menahan
diri, ketika jemarinya menyentuh kelembutan kulit Lana di tangannya?
“Oke,
berbaliklah,” Mikail menggeram lagi. Lana tidak pernah meminta tolong kepadanya,
dan kalau Lana melakukannya, itu berarti Lana benar-benar kesakitan Jemari Mikail
bergerak menyentuh kepala Lana, ke helaian rambut seperti sutera yang terasa lembut
di jemarinya. Helaian itu biasanya adalah tempat Mikail menenggelamkan
kepalanya ketika dia mencapai orgasmenya yang luar biasa nikmat di atas tubuh
isterinya…. Sial! Jangan pikirkan tentang itu, Man!
Mikail
memijit dan seolah belum cukup siksaannya, selama proses itu, Lana terus menerus
mendesah keenakan karena pijatan Mikail. Bahkan kadang mengerang, persis seperti
erangannya ketika Mikail mencumbunya, dan itu luar biasa menyiksanya. Kejantanan
Mikail sudah berdenyut-denyut, dan Mikail merasa dirinya hampir meledak karena
gairah, gairahnya kepada Lana.
“Sudah
cukup?”
“Aku
masih sedikit pusing di sisi ini,” Lana memiringkan kepalanya, memamerkan pundaknya
yang hangat dan halus, membuat Mikail ingin mengigit lembut di bagian lunak di sebelah
sana…
Sial.
Sial. Sial! Sambil terus memijit Lana, Mikail menyumpah terus menerus dalam
hati, Kemudian ketika Lana tampak santai, Mikail melepaskan pijitannya dengan hati-hati.
Bagus.
Lana sudah tertidur. Sekarang mungkin dia akan mandi dengan air dingin, kalau
tidak dia akan terbakar semalaman di atas ranjang ini. Menderita karena tak
terpuaskan. Dengan tak kalah hati-hati, Mikail bergerak turun dari ranjang, hendak
melangkah ke kamar mandi.
“Mikail”
Hampir
saja Mikail mengerang mendengar panggilan Lana, “Apa Lana?,” desis Mikail serak
“Sekarang
aku sudah tak pusing lagi”
Hening.
Mikail
tertegun sejenak, kemudian menyadari arti kata-kata Lana, dia langsung membaringkan
kembali tubuhnya di ranjang, sepenuh gairahnya.
“Bagus,”
bisiknya parau lalu membalikkan tubuh Lana dan melumat bibirnya tanpa ampun,
Gairahnya yang menggelegak tidak ditahan-tahannya lagi, Mikail menyentuh Lana
di mana-mana, menikmati kepemilikannya atas tubuh isterinya, menikmati betapa
tubuh Lana yang lembut dan hangat itu menggelenyar di setiap sentuhannya.
Payudara
Lana tampak lebih berisi, mungkin karena kehamilannya. Ketika akan menyentuhnya
seperti biasanya, Mikail tertegun dan menatap Lana,
“Apakah
aku akan menyakitimu?” Lana tersenyum meminta pengertian, “Sedikit nyeri di
bagian situ,” desahnya.
Mikail
tidak mengatakan apa-apa, lelaki itu hanya mengecup ujung payudaranya, lalu mamainkannya
dengan lidahnya lembut, tangannya menelusur ke bawah dan menyentuh pusat
kewanitaan Lana, menemukan bahwa Lana sudah siap dan bergairah untuknya,
Dengan
menahan dirinya, Mikail menindih Lana dan menyatukan tubuhnya, berusaha menahan
diri supaya berhati-hati, karena isterinya ini sedang hamil, Ya ampun!
Tubuh
mereka menyatu, dan Mikail bergerak selembut yang dia bisa. Tetapi gairah menyala-nyala
di seluruh aliran darahnya ketika akhirnya Lana mencapai orgasme, membawanya
juga terjun bebas dalam jurang kepuasan yang dalam.
***
Hubungan
mereka membaik kembali meskipun sedikit kaku. Dan semakin bertambahnya usia kehamilannya.
Lana menyadari bahwa dia menyayangi suaminya. Ya, Lana menyadarinya ketika dia
merindukan Mikail saat lelaki itu tidak ada di sisinya. Astaga… merindukan Mikail
Raveno adalah hal terakhir yang ada di pikiran Lana, tetapi itu memang terjadi.
Sembilan
bulan telah berlalu, sekarang perut Lana sudah benar-benar buncit dan gerakannya
lamban. Lana bahkan sudah tidak bisa melihat lututnya sendiri karena terhalang
perutnya.
Dengan
lembut Lana mengusap perutnya, mungkin karena anak ini, mungkin juga karena perubahan
hormon. Lana tidak tahu, yang pasti setiap dia ada di dekat Mikail, perasaannya
menjadi hangat.
Oh,
Mikail tidak berubah. Masih sama, begitu dingin, kaku, dan menakutkan bagi para
pegawai dan rekan-rekan kerjanya, sekaligus begitu penuh kasih sayang di
ranjang. Gaya bercinta Mikail berubah sejak Lana hamil,, bahkan ketika usia
kehamilan Lana beranjak makin tua, lelaki itu tidak menyentuh Lana lagi. Dia
hanya mengusap lembut rambut Lana sebelum tidur. Dan meskipun masih belum
kelihatan bisa menerima kehamilan Lana, setidaknya Mikail terlihat mencoba
berkompromi.
Benarkah
Mikail sebenarnya mencemaskannya? Benarkah Mikail sebenarnya tidak
menganggapnya sebagai boneka pengganti Natasha? Lana tidak tahu. Memikirkan itu
semua membuat dadanya terasa sesak. Teringat akan sikap Mikail selama
kehamilannya. Lelaki itu memang bersikap lembut dan baik kepadanya, tetapi
lelaki itu selalu berpura-pura bahwa kehamilan Lana tidak ada.
Lana
tahu Mikail seperti memperhatikannya. Pernah di suatu siang, ketika Lana
membawa buku-buku yang berat untuk dibawa ke kamarnya, dari sekelebat matanya,
Lana tahu bahwa Mikail sudah akan berdiri untuk membantunya mengangkat
buku-buku itu, tetapi tertahan karena Norman sudah membantunya duluan. Pernah
juga Lana membaca buku tentang kehamilan dan persalinan di ranjang, tetapi
Mikail bahkan tidak mau meliriknya dan berpura-pura tidur. Lana juga teringat
ketika usia kandungannya lima bulan, Mikail pernah memeluknya dalam tidur,
mereka bercumbu siap bercinta, kemudian bayi itu menendang. Terasa kencang
hingga menohok ke perut Mikail. Mikail langsung mundur, mengucapkan berbagai
alasan dan beranjak pergi.
Sebegitu
paranoidkah Mikail dengan kehamilannya? Sebegitu takutkah Mikail dengan bayi
ini? Bukankah keberhasilan Lana mengandung bayi ini hingga usia sembilan bulan
tanpa permasalahan yang berarti sebenarnya sudah bisa membuktikan kepada Mikail
bahwa Lana adalah calon ibu yang kuat dan sehat?
“Padahal
kau tidak tahu apa-apa, Nak,” Lana mengusap perutnya dengan sayang, “Maafkan
ayahmu yang konyol itu”
“Nyonya,
ada yang ingin bertemu,” Norman tiba-tiba muncul di pintu, mengalihkan Lana
dari lamunannya.
Serena
muncul di belakang Norman, menggendong anak kecil yang begitu tampan, mungkin
baru berusia dua tahun. Anak itu seperti malaikat dengan mata biru pucatnya
yang menyala-nyala, mata Damian,
“Aku
dengar tanggal kelahiran pangeran kecil ini sudah dekat, dua minggu lagi ya?,”
Serena masuk, meletakkan Romeo dengan lembut di sofa dan memeluk Lana. Sejak
pernikahannya dengan Mikail, Lana bersahabat erat dengan Serena, dan Mikail
membiarkannya karena memang Serena adalah satu-satunya teman Lana.
“Bagaimana
kondisimu sayang?,” mereka duduk di sofa, berhadap-hadapan, mata Serena menatap
ke perut Lana yang terlihat membuncit, “Kau harus banyak istirahat dan menjaga
diri, awal-awal kehamilan adalah saat-saat yang paling penting”
Lana
menganggukkan kepalanya dan tersenyum, “Semoga anak ini kuat, aku hanya merasa
pusing-pusing dan mual setiap saat’ Serena tertawa, “Aku juga merasakan hal
yang sama ketika mengandung Romeo, tapi di awal kehamilan bukan di akhir
kehamilan,” dengan sayang dia melirik putera pertamanya yang sekarang sudah
melompat dari sofa dan asyik bermainmain di karpet dengan balok-balok yang
dibawanya dari rumah, “Rahasianya ada pada teh mint dan biskuit asin, makan itu
setiap bangun pagi dan kau akan bisa mengatasi morning sickmu”
“Terima
kasih Serena,” Lana menyentuh lengan Serena, benar-benar tulus dengan
ucapannya. Berhari-hari dilewatkannya bersama Mikail yang selalu bersikap bahwa
bayi itu tak pernah ada di perut Lana, kini rasanya begitu menyenangkan bisa
bercakap-cakap berbagi keluhannya dengan teman yang mengerti dirinya.
Serena
menatap Lana prihatin, “Bagaimana dengan Mikail?,” Serena tahu kisah tentang
Natasha tentu saja.
Lana
mendesah,
“Dia
bersikap seolah-olah anak ini tidak ada…. Dan dia… tidak pernah sekalipun
mengatakan bahwa dia menyayangi aku.. aku jadi tidak yakin apakah aku hanya
pengganti Natasha atau..”
“Lana….,”
Serena menyela dengan lembut, “Kadang-kadang ada laki-laki yang tidak bisa
mengungkapkan cinta dengan kata-kata. Kau sendiri, pernahkah kau mengungkapkan
cinta kepada Mikail?
“Tidak
mungkin! Dia akan menggilasku begitu saja kalau aku mengatakannya,” pipi Lana
merah padam. Serena tersenyum, “Dan apakah kau mencintai suamimu, Lana?’
“Aku
tidak tahu,” Lana memegang pipinya yang mulai terasa panas, “Perasaanku
berubah,,,, dulu aku begitu membencinya, tetapi kemudian aku dihadapkan pada
kenyataan demi kenyataan, bahwa dia bukan seperti yang aku kira… Lalu aku
memandangnya dengan lebih baik… sekarang bahkan aku merindukannya ketika dia
tidak ada, apakah itu cinta, Serena?’ Senyum Serena melembut, “Aku pernah ada
di posisi di saat aku bertanya-tanya tentang perasaanku, rasanya memang
membingungkan Lana. Kuharap kau menyadari perasaanmu terlebih dahulu sebelum
kau meminta Mikail menjelaskan perasaannya".
Lana
menganggukkan kepalanya, kemudian serangan kram itu datang. Hanya sekejap
seperti hantaman yang begitu keras. Ketika Lana menggerakkan tubuhnya, hantaman
itu terasa lagi. Lebih keras dan menyakitkan. Lalu dia merasakan basah, basah
yang aneh.
Dia
mendengar suara Serena yang terkesiap, dan mengikuti arah pandangan Serena, ke
tengah pahanya….. di sana, merembes darah yang banyak menembus pakaiannya.
Wajahnya
pucat pasi, apakah bayinya akan lahir lebih cepat dari tanggal perkiraan?
Tetapi setahu Lana proses kelahiran bayi tidaklah seperti ini, biasanya
didahului dengan air ketuban yang pecah atau keluarnya darah…tapi bukan
pendarahan seperti ini. Ketika merasakan hantaman rasa sakit yang terus menerus
memukulnya, Lana mengernyitkan matanya, darah itu terus mengucur, terus, dan
terus hingga membasahi roknya. Ada sesuatu yang salah di sini!
“Oh
Tuhan, Lana, aku harus memanggil ambulance…” Norman langsung datang dengan
sigap, begitu pula para pelayan, tetapi ketika kesakitan yang begitu kuat
menghantamnya untuk kesekian kalinya, Lana tidak kuat. Kegelapan langsung
menelannya, membuatnya tak sadarkan diri.
***
Ketika
Mikail menerima telepon itu, dia sedang berada ditengah meeting penting. Dia
langsung melupakan semuanya dan meluncur secepat dia bisa ke rumah sakit tempat
Lana katanya dibawa.
Terengah
Mikail berlari ke ruang gawat darurat dan hampir bertabrakan dengan Norman.
Napas
Mikail terengah dan menatap Norman yang tampak pucat dan cemas, Mikail melihat
darah. Darah di lengan dan baju Norman yang kebetulan berwarna putih,
“Kenapa
ada darah di bajumu,” suara Mikail bergetar, menahan perasaan cemas yang mulai
menggelegak. “Nyonya… nyonya pendarahan.. saya menggendongnya…”
Pendarahan??
Kenapa ada darah? Mau tak mau ingatan
Mikail
melayang ke masa bertahun-tahun lalu ketika Natasha mengalami keguguran,
pendarahan yang sama, kesakitan
yang
sama.
“Di
mana Lana??!”
“Dokter
masih menanganinya Tuan”
“Mikail,”
suara Serena yang lembut mengalihkannya, “Kondisi Lana kritis, dokter bilang
ada yang salah dengan posisi plasentanya, yang mengakibatkan pendarahan. Mereka
sedang berusaha mengeluarkan bayinya”
“Bagaimana
dengan Lana?,” suara Mikail bagaikan erangan menahan siksaan, “Lana tidak
sadarkan diri sejak dibawa ke ambulance, Mikail,”
Serena
memandang Mikail cemas, “Mereka sedang berusaha di dalam sana,” Serena menoleh
pada ruang operasi di sudut dengan lampu merah yang menyala di atasnya, “Yang
bisa kita lakukan hanyalah berdoa”
Berdoa?
Mikail sudah lama tidak berdoa, dia pernah berdoa sebelumnya. Jiwanya yang
kelam ini dulunya putih bersih. Percaya bahwa yang namanya Tuhan itu ada dan
selalu tersedia untuk menolongnya. Tetapi Tuhan ternyata tidak ada ketika
Natasha yang dulu dicintainya meregang nyawa. Tuhan tidak ada. Itulah yang
dipercaya Mikail setelah menguburkan Natasha, sekaligus menguburkan seluruh
kepercayaan yang dulunya pernah di pegangnya.
Mikail
membuang hatinya, menjadi manusia berjiwa kelam yang jahat, dan kemudian lama
kelamaan wataknya berubah menjadi kejam. Tidak ada yang bisa menyentuh belas
kasihan Mikail, tidak ada lagi.
Sampai
ayah Lana datang dan menunjukkan foto anaknya untuk ditawarkan padanya. Mikail
menyadari kemiripan itu, meskipun penampilan Lana di foto berbeda dengan
Natasha, dengan kacamata tebal dan potongan rambut kunonya.
Mikail
tidak menampik, ketika membuat perjanjian pernikahan di usia Lana yang ke dua
puluh lima itu murni karena ingin menjadikan Lana sebagai pengganti Natasha.
Tetapi
kemudian entah kenapa Mikail jatuh cinta kepada Lana, entah sejak kapan Mikail
tidak tahu. Mungkin sejak dia selalu menerima foto-foto hasil pengintaian dari
Norman yang membuatnya sadar bahwa Lana telah berkembang menjadi perempuan yang
mandiri. Mungkin setelah percintaan yang dahsyat di malam pertama itu, atau
mungkin juga setelah perkawinan mereka, Mikail tidak tahu. Yang dia tahu pasti,
Lana tersimpan di hatinya. Hati yang dulu sudah dia buang, Ternyata selama ini
hatinya masih ada di sana, menunggu untuk diisi kembali.
Dan
sekarang, isteri dan anaknya sedang meregang nyawa di ruang operasi. Dan yang
bisa Mikail lakukan hanyalah menunggu di sini seperti orang bodoh.
Isteri
dan anaknya astaga! Bahkan Mikail selalu menutup mata, berpura-pura bahwa dia
tidak mengakui keberadaan
anak
itu, selalu mengalihkan mata ketika menatap perut Lana yang semakin dan semakin
membuncit setiap harinya. Lana berjuang sendirian selama masa-masa
kehamilannya.
Sangat
jauh dari yang dilakukannya ketika Natasha mengandung, dia merawatnya, dia
menjaganya di setiap langkahnya. Memastikan Natasha sehat dan bahagia di setiap
detiknya. Dan sekarang, kepada Lana, isterinya, yang sesungguhnya sangat
dicintainya, Mikail telah berbuat luar biasa jahat. Bagaimana jika nanti tidak
ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya? Tuhan… jika dia benar benar ada,
Mikail rela berdoa di setiap detiknya demi keselamatan Lana.
“Kalau
Lana tidak dapat diselamatkan…,” Suara Mikail tertelan di tenggorokannya, “Aku
belum pernah bilang kalau aku mencintainya”
Norman
menundukkan kepalanya, tidak tahu bagaimana caranya menghibur tuannya yang
sedang cemas. Sementara Serena diam-diam menyusut air matanya. Jadi lelaki ini,
yang katanya begitu kejam dan jahat, ternyata mencintai isterinya. Ternyata
mencintai Lana. Dengan sepenuh hatinya Serena berdoa,
Kau
harus hidup Lana, suamimu di sini, mencemaskanmu.
Dia
kelihatan sangat menderita, dulu dia jahat dan kejam dengan hati yang hitam,
tetapi kau telah sedikit demi sedikit mengangkatnya ke dalam cahaya. Dan kalau
kau meninggalkannya, mungkin dia akan terpuruk lagi, jatuh ke dalam jurang yang
lebih kelam
***
No comments:
Post a Comment