BAB
5
Sudah
hampir dua minggu Lana dikurung di dalam kamar putih ini, tidak boleh keluar
sama sekali. Hari-hari Lana dilalui dengan menatap ke luar dari jendela lantai dua
ke pekarangan rumah Mikail.
Lana
sudah merasa begitu muak dan frustrasi karena bosan. Setelah memaksakan kehendaknya
malam itu, Mikail tidak pernah mengunjungi Lana lagi.
Mungkin
dia sedang bersenang-senang dengan kekasih barunya. Lana mencibir, mencoba mengabaikan
perasaan seperti tercubit di dadanya. Tetapi kalau memang benar begitu, kenapa
Mikail tidak melepaskannya?
Apakah
karena lelaki itu tahu bahwa Lana berniat membunuhnya, jadi dia menawan Lana di
sini karena menganggap Lana ancaman yang berbahaya? Kalau begitu kenapa Mikail
tidak membunuhnya sekalian?
Beberapa
lama terpaku di jendela, Lana menyadari bahwa ada kesibukan yang tidak biasa di
luar sana. Beberapa mobil tampak lalu lalang keluar masuk rumah Mikail yang biasanya
lengang. Sehari-hari pemandangan yang didapat Lana hanyalah pemandangan pengawal-pengawal
Mikali dan beberapa pelayan yang lewat di halaman depan rumah.
Kali
ini Lana melihat ada mobil bunga dan mobil katering. Apakah Mikail akan mengadakan
pesta? Kalau iya, mungkin saja kesempatan Lana untuk melarikan diri bisa muncul
kembali.
Sedang
larut dalam lamunannya, tiba-tiba pintu kamar putih membuka. Lana bahkan tidak menolehkan
kepalanya sedikitpun. Karena yang masuk ke kamar ini selalu hanya Norman yang
mengantarkan makanan, dan pelayan yang membersihkan ruangan dan membawakan
pakaian ganti untuknya – tentu saja di bawah pengawasan Norman.
Lana
tidak pernah berinteraksi dengan Norman lagi setelah kejadian kemarin, dan sepertinya
lelaki itu juga tidak berniat untuk mengajaknya berbicara. Lagipula rasa bersalah
yang ditanggung Lana terlalu besar. Karena dialah Norman dihajar oleh Mikail,
bekas-bekas hajaran itu masih ada dari memarmemar di wajah Norman dan hidungnya
yang patah.
Setiap
melihat Norman, Lana disergap perasaan ngeri dan rasa bersalah yang luar biasa.
Mikail mengancam akan membunuh siapapun yang lengah dan membiarkan Lana lolos. Apakah
sepadan mengorbankan satu nyawa demi meloloskan diri?
Lana
memang tidak kenal dengan Norman, tetapi kalau mendapatkan kebebasan dengan
mengorbankan nyawa orang lain, tetap saja terasa tidak benar baginya…. “Lana.”
Itu
suara Mikail. Lana terlonjak saking kagetnya. Dia menolehkan kepalanya, dan Mikail-lah
yang berdiri di tengah ruangan, lelaki itu tadi sepertinya terdiam, mengamati
Lana yang sedang melamun sambil memandang Lana yang sedang menatap ke luar jendela.
Otomatis
Lana mengepalkan tangannya, reaksi impulsifnya ketika menyadari aura Mikail
yang berkuasa memenuhi ruangan. Mikail melirik tangan Lana yang terkepal, dan
senyum sinis muncul di bibirnya. Lelaki itu menolehkan kepalanya ke belakang dan
Lana baru menyadari ada orang lain di belakang Mikail, seorang laki-laki berbadan
kecil dan sedikit gemulai,
“Ini
Theo,” gumam Mikail tenang, “Dia akan mempersiapkanmu untuk nanti malam,”
Setelah berkata begitu, Mikail melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dan meninggalkan
kamar itu.
Mempersiapkannya
untuk apa?
***
“Kau
sebenarnya cantik sekali Nona, hanya saja kau tidak pandai berdandan,” Theo bergumam
dengan suara gemulainya, memoles wajah Lana yang masih memejamkan matanya di
depan cermin,
Sementara
Lana masih memejamkan matanya, diam karena didandani oleh Theo…. Kalau Mikail menyuruhnya
didandani, maka dia pasti akan diperbolehkan untuk turun ke pesta yang diadakan
Mikail. Hal itu berarti ada kesempatan baginya untuk melarikan diri dari rumah
ini.
“Nah,
sudah selesai, coba buka matamu,” gumam Theo. Ada nada puas dalam suaranya, Lana
membuka matanya pelan-pelan karena bulu mata palsu terasa memberati matanya. Dan
dia terpana menatap sosok yang balas menatapnya di depan cermin itu.
Yang
menatapnya bukannya Lana, perempuan yang seumur hidupnya sangat jarang berdandan,
yang ada di depannya adalah perempuan yang sangat cantik. Luar biasa cantiknya dengan
riasan yang tidak terlalu tebal tapi sangat pas di semua sisi.
Theo
memang perias yang sangat berbakat, dan sangat terkenal tentunya dengan tarif
sekali riasnya yang amat sangat mahal. Lana sering sekali mendengar nama perias
ini di media sebelumnya, tapi tidak pernah berfikir bahwa dia akan merasakan tangan
dingin sang perias berbakat ini.
Matanya
tampak begitu lebar, kuat, sekaligus rapuh dengan polesan warna cokelat keemasan,
dan Theo sedemikian rupa menonjolkan struktur tulang pipinya yang tinggi sehingga
tampak menarik dan aristrokat…. Dan bibirnya dipoles dengan lipstik warna peach
dengan nuansa yang membuat bibirnya seolah-olah selalu basah.
Lana
menyentuh pipinya ragu, dan bayangan cantik di depannya juga menyentuh pipinya.
Mata Lana terpaku, masih terpana akan bayangan di depannya.
Theo
mendecak kagum melihat hasil karyanya sendiri, kemudian bergumam, mengalihkan
perhatian Lana,
“Kau
paling berbeda dari kekasih-kekasih Tuan Mikail sebelumnya,” Theo meringis,
“Bukan berarti kau kurang cantik, tapi kau kurang glamour, kurang mempesona.
Kekasih-kekasih Mikail sebelum-sebelumnya selalu cantik luar biasa, bagaikan
dewi”
Lana
mendengus sinis, apakah Mikail juga menyuruh perias ini untuk mendandani kekasih-kekasihnya?
Theo
sibuk merapikan peralatannya di belakang Lana sambil terus bergumam, “Tapi kau istimewa, harusnya kau bersyukur, Tuan
Mikail tidak pernah menyuruhku mendandani kekasih-kekasihnya yang lain,” gumaman
Theo itu telah menjawab pertanyaan Lana sebelumnnya, “Dan yang paling sensasional
adalah gaun ini, Tuan Mikail menyuruhku memesannya langsung dari perancangnya di
Paris. Pesanan khusus karena diselesaikan hanya dalam waktu 1 minggu, gaun ini khusus
dibuat untukmu, tiada duanya di dunia ini. Theo berseru kecil dengan feminim, tampak
terpesona dengan sesuatu di tangannya, “Kau harusnya bersyukur karena Tuan Mikail
memperlakukanmu dengan istimewa”
Lana
menoleh, ingin tahu apa yang begitu menarik perhatian Theo, dan sekali lagi dia
terpesona. Di tangan Theo, digantung di gantungan baju yang elegan, ada sebuah gaun
yang luar biasa indahnya.
Gaun
itu dibuat dari bahan sutera hijau berkilau dengan kristal kecil menyebar di sepanjang
gaun, memberikan efek kilauan yang menakjubkan. Kaki gaun itu melebar ke samping
dan menjuntai dengan indahnya. Gaun itu adalah gaun terindah yang pernah dilihat
oleh Lana, dan gaun itu untuknya?
“Pakailah
gaun ini, kau harus siap dalam setengah jam. Tuan Mikail ingin melihatmu sebelum
ke pesta,” gumam Theo, menghamparkan gaun hijau itu di ranjang lalu melangkah
keluar dari kamar.
Kata-kata
terakhir Theo sebelum pergi itu menyadarkan Lana dari keterpesonaannya akan keindahan
gaun itu.
Mikail
telah memperlakukannya sama seperti kekasihkekasihnya, yang bisa diperintah sesuka
hati seperti boneka!
Kali
ini dia tidak akan membuat Mikail puas. Lana bukan kekasih Mikail dan dia bukan
boneka yang bisa diatur-atur sesukanya, Mikail harus menyadari itu
***
Mikail
masuk dan Lana menunggu dengan penuh antisipasi. Mikail mengenakan jas hitam
legam yang rapi. Rambutnya yang sedikit panjang hingga menyentuh kerah disisir ke
belakang, membuatnya tampak seperti iblis tampan yang begitu menggoda.
Lelaki
itu melangkah memasuki ruangan dan Lana merasakan Mikail tertegun sejenak menatap
wajah Lana yang sudah dirias sedemikian cantiknya.
Tetapi
kemudian mata Mikail menatap ke arah Lana yang masih mengenakan baju biasa yang
selalu digunakannya di kamar itu. Mata Mikail menggelap seolah ada badai yang
akan menerjang di sana,
“Kenapa
tidak kau pakai gaunmu?,” desis Mikail pelan. Lana mundur selangkah, menyadari intensitas
kemarahan dalam suara Mikail. Lelaki satu ini mungkin menderita post power sindrome
sehingga mudah naik darah kalau keinginannya tidak diikuti, batin Lana dalam
hati.
“Aku
tidak mau,” Lana menegakkan dagunya menantang, meski batinnya sedikit kecut.
“Gaun
itu khusus dipesankan untukmu,” kali ini suara Mikail sedikit menggeram,
menahan kesabaran.
Lana
melirik gaun indah itu, gaun itu luar biasa indahnya, dan Lana sudah jatuh cinta
pada gaun itu sejak pandangan pertama. Tetapi dia tidak boleh mengenakan gaun
itu, meskipun batinnya berteriak-teriak ingin merasakan gaun secantik itu sekali
saja.
Tidak!
Dia tidak boleh mengenakan gaun itu, itu sama saja dengan mengakui penguasaan Mikail
atas dirinya.
“Aku
tidak mau memakainya,” Lana berhasil mengeraskan suaranya hingga terdengar Lantang,
“Aku bukan bonekamu yang bisa kau perintah-perintah semaumu!”
“Boneka
katamu?,” Mikail melangkah maju dan otomatis Lana melangkah mundur, “Kau pakai
baju itu atau aku akan memperkosamu sekarang juga di lantai. Supaya kau tahu
bagaimana aku memperlakukan bonekaku!”
Jantung
Lana berdetak sekejap merasa takut akan ancaman Mikail. Apakah Mikail akan melaksanakan
ancamannya? Tetapi melihat mata yang menyala karena marah itu, Lana tiba-tiba sadar
bahwa Mikail tidak main-main. Lelaki ini menyimpan iblis di dalam dirinya, dan
ketika iblis itu keluar, Mikail tidak akan segan-segan berbuat kejam.
Salah
sendiri kau menantang Iblis ini, Lana! Lana mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
“Lana,
kenakan gaun ini atau aku akan benar-benar membuatmu menyesal,” Mikail mulai mendesis
marah.
Tangannya
meraih gaun hijau itu dan melemparnya dengan sembarangan ke arah Lana yang langsung
menangkapnya dan memegang gaun itu dengan hati-hati.
Mikail
memperlakukan gaun semahal dan seindah ini layaknya memperlakukan kain lap. Lelaki
iblis ini memang tidak paham keindahan! Tanpa sadar kebencian Lana meluap lagi
kepada Mikail, dorongan untuk menantang Mikail
amatlah besar. Meskipun sisi lain dirinya berteriak untuk tidak menantang Mikail
lebih jauh lagi.
Mereka
berdua berdiri berhadap-hadapan, udara di antara mereka sangatlah tegang. Senyap
dan tanpa suara, hanya dua mata yang saling menatap dan saling menantang.
“Pakai
gaun itu, Lana,” kali ini Mikail melangkah mendekat, seolah tak sabar.
Lana
langsung mundur selangkah lagi, menjauhi Mikail, jantungnya berdegup kencang.
Dia mulai merasa takut,
“Baiklah,
aku akan memakainya, kau keluar dulu dari sini!’, teriaknya marah karena dipaksa
menyerah, air mata hampir menetes dari matanya.
Tetapi
Mikail bergeming, lelaki itu menggertakkan gerahamnya menahan marah, “Aku tidak
akan pergi. Kesempatanmu sudah habis, tadi aku sudah berbaik hati memberikan
kesempatan padamu untuk ikut pesta dan memakai gaun bagus. Sekarang cepat pakai
gaun itu,” Mikail tidak menaikkan suara sama sekali, tapi kemarahan di dalam
suaranya menjalar ke udara dan memaksa Lana melakukan apa yang diinginkannya.
Dengan
menahan air mata, dan menahan malu, Lana melepas pakaiannya di depan tatapan
Mikail yang berdiri kaku menatapnya, kemudian mengenakan gaun itu. Gaun itu
luar biasa bagusnya, meluncur pelan membungkus tubuhnya dan terasa sangat pas.
Sejenak Lana melupakan perasaan frustrasi atas pemaksaan Mikail dan larut dalam
keterpesonaan atas keindahan gaun itu di tubuhnya. Mikail mengamati Lana sejenak
dalam balutan gaun indah itu. Lana tampak seperti dewi hutan yang diturunkan dari
khayangan, luar biasa cantiknya.
“Bagus,”
geram MIkail, lalu dengan gerakan cepat meraih gaun itu dan merobeknya dari
tubuh Lana.
Lana
terpana ketika Mikail merobek gaun itu di bagian dada. Gaun seindah dan sebagus
itu rusak sudah, dengan robekan kain dan benang yang berjuluran, dan kristal-kristalnya
jatuh bertebaran dengan suara dentingan pelan di lantai. Mata Lana
berkaca-kaca, tidak menyangka Mikail akan sekejam itu, merobek sebuah gaun yang
sedemikian indahnya demi memamerkan arogansi dan kekuasaannya. Sungguh lelaki
yang kejam!
“Kenapa
kau tampak ingin menangis?,” Kau tidak mau memakai gaun ini bukan?,” gumam Mikail
sambil menatap Lana tajam, “Maka kukabulkan permintaanmu”
Dengan
gerakan tiba-tiba, Mikail meraih Lana, mencengkeram punggung Lana merapat ke
arahnya. Lana mencoba meronta tapi tak berdaya
“Mulai
sekarang kau harus berfikir ulang kalau mau menantangku. Aku bukan orang baik dan
aku tidak segan segan berbuat kejam,” Bibir Mikail terasa dekat dengan bibir Lana,
dan napas lelaki itu sedikit terengah.
Kepala
Mikail menunduk dan sejenak Lana merasa pasti bahwa Mikail hendak menciumnya. Tetapi
entah kenapa leher lelaki itu menjadi kaku dan mengurungkan niatnya.
Mikail
mendorong Lana menjauh. Lalu membalikkan tubuhnya ke arah pintu,
“Theo!,”
suara Mikail sedikit keras ketika memanggil perias wajah yang gemulai itu.
Pintu
terbuka, dan Theo terburu-buru masuk. Lelaki itu terkesiap mendapati kondisi
Lana yang penuh airmata dengan baju itu – baju eksklusif rancangan desainer
terkenal, satu-satunya di dunia, yang sangat mahal dan pasti membuat iri semua perempuan
itu – sekarang menjuntai sobek di dada Lana dengan kondisi menyedihkan dan tak
karuan. Riasan mahal masterpiece untuk wajah Lana juga tak karuan karena bekas
air mata di wajah Lana.
“Bereskan
dia,” Mikail tidak menatap Lana lagi, lelaki itu langsung keluar dan membanting
pintu di belakangnya dengan marah.
***
"Kau
benar-benar nekat menantang tuan Mikail seperti itu", Theo bergumam setengah
menggerutu. Dari tadi lelaki gemulai itu memang sibuk menggerutu karena harus
memulai dari awal mendandani Lana. Apalagi ketika tatapannya terarah pada gaun
hijau Lana yang sekarang teronggok seperti sampah di lantai, Theo akan mendesah
secara dramatis, lalu menggerutu lagi dengan kata-kata tidak jelas.
Untunglah
Theo membawa gaun cadangan. Gaun itu cukup bagus meskipun tidak semewah dan seindah
gaun hijau yang sudah dirobek oleh Mikail. Warnanya merah marun dan berpotongan
sederhana, membungkus tubuh Lana dengan sempurna. "Nah sudah selesai",
Theo meletakkan kuas bibir di meja dan menatap bayangan Lana di cermin, "Lumayan
cantik, meskipun tidak semewah tadi."
Lana
tanpa dapat ditahan melirik ke gaun hijau di lantai itu dan menghembuskan napas
sedih. Tetapi bagaimanapun juga, dibalik kekecewaannya ada kepuasan karena setidaknya
dia bisa menunjukkan kalau dia bisa melawan Mikail.
Betapa
mengerikannya lelaki itu kalau marah, Lana mengernyit. Sejak usahanya yang terakhir
kali untuk melarikan diri, penjagaan atas dirinya diperketat. Ada dua orang laki-laki
berjas hitam dan berbadan kekar yang berjaga di depan pintunya.
Malam
ini adalah pertama kalinya Lana diberi kelonggaran, untuk turun, keluar dari kamar
ini. Kalau Lana cukup waspada, mungkin dia bisa melarikan diri dari rumah ini.
"Nah,
pakai sepatu ini", Theo meletakkan sepatu emas yang cantik di karpet, "Lalu
aku akan mengantarmu turun, Tuan Mikail menunggu di bawah, karena pesta sudah
dimulai".
***
Ketika
Lana menuruni tangga, seketika itu juga hatinya terasa kecut. Semua orang yang hadir
di pesta ini berpakaian spektakuler, semuanya pasti gaun rancangan terbaru dari
desainer terkenal.
Para
laki-laki berjas tampak berkumpul dan mengobrol di satu sudut dekat perapian, dan
para perempuan tampak berkelompok dengan sahabat-sahabatnya menyebar di semua
sisi ballroom itu. Sebuah meja sajian besar di sudut menyajikan berbagai jenis
makanan mewah. Bartender di satu sudut sibuk melayani permintaan tamu dan para pelayan
berpakaian hitam putih hilir mudik, menawarkan nampan-nampan hidangan dan sampanye
yang mengalir tak ada habisnya.
Ketika
Lana menuruni tangga, semua pandangan tertuju padanya, hingga Lana merasakan tangannya
berkeringat. Lana mencari-cari Mikail, tetapi lelaki itu sepertinya tidak ada.
Dengan gugup, merasa terasing di keramaian, Lana berdiri diam, di sudut dekat
jendela, memilih untuk mengamati daripada membaur. Dia mengernyit ketika menyadari
bahwa di setiap akses pintu keluar, semuanya berdiri dua atau tiga orang pengawal
Mikail dengan jas hitam yang serupa dan tampak selalu waspada. Lana harus
melewati mereka kalau ingin keluar dari tempat ini.
"Itu
kekasih Mikail yang terbaru?", sebuah suara sinis terdengar, rupanya
pemilik suara sengaja supaya Lana mendengarnya.
Lana
menoleh dan mendapati segerombolan perempuan perempuan cantik tengah berbisik-bisik
dan menatapnya dengan tatapan benci. Salah seorang perempuan, yang paling
cantik dengan gaun hitamnya yang sangat seksi terang-terangan mengamati Lana
dengan pandangan meremehkan dari atas ke bawah,
"Aku
mendengar Mikail mengajaknya tinggal bersama bayangkan! Tidak ada satupun perempuan
yang pernah diajak Mikail tinggal bersama.... Kupikir dia perempuan yang sangat
cantik! Ternyata dia biasa saja, mungkin Mikail sedang mabuk saat membawanya
tinggal bersama"
"Aku
pikir juga begitu", perempuan di kelompok itu, yang bergaun merah muda
menyahut dengan suara yang tak kalah sinis "Mengingat sejarah kekasih-kekasih
Mikail selalu luar biasa cantiknya... Tapi lihat dia, dia tampak tak cocok
berada di sini, dia pasti bukan perempuan berkelas!"
"Gaunnya
gaun lama, rancangan keluaran bulan lalu, dia pasti gadis miskin", suara perempuan
lain berambut kemerahan dengan gaun biru muda, berbisik jahat, ikut memanaskan
suasana, "Dia mempermalukan Mikail dengan penampilannya"
"Dia
tak pantas bersanding dengan Mikail, berani bertaruh, sebentar lagi Mikail
pasti muak dan mencampakkannya", perempuan seksi berbaju hitam itu mengibaskan
rambutnya angkuh, "Begitu melihatku, Mikail pasti akan menyukaiku dan
membuangnya"
Pipi
Lana memerah mendengar hinaan-hinaan yang dilemparkan terang-terangan kepadanya,
Sabar Lana, desisnya dalam hati. Perempuan-perempuan jalang itu terbiasa hidup
kaya sehingga kadang tak punya sopan santun. "Menungguku, sayang?"
suara Mikail terdengar dekat sekali di belakang Lana hingga ia terlonjak kaget.
Lana menoleh dan mendapati Mikail berdiri santai, sedikit bersandar di jendela di
dekatnya. Lelaki itu tampaknya sudah lama berdiri di sana, dia pasti mendengar
jelas semua hinaan-hinaan yang dilontarkan kepadanya tadi. Pipi Lana makin merona,
merasa malu sekaligus terhina. Mikail mendekat, dan perempuan-perempuan di gerombolan
itu tampak terkesiap dengan ketampanannya. Lelaki itu memang tampan, Lana menggumam
dalam hati. Merasa kesal karena mau tak mau dia harus mengakui kebenaran yang
terpampang di depannya.
Dengan
rambut coklat yang sedikit acak-acakan, mata coklat muda yang dalam tapi tajam,
bibir tipis yang melengkung jantan, dan tulang pipi tinggi yang membentuk sudut
wajahnya sedemikian rupa, diimbangi dengan jas hitam legam yang membungkus tubuh
ramping berototnya dengan pas, membuatnya tampak seperti malaikat tampan dengan
nuansa jahat yang mempesona.
Mikail
tampaknya tahu sedang diperhatikan dengan terkesima oleh gerombolan perempuan-perempuan
muda itu, tetapi dia sama sekali tidak menatap mereka. Matanya terpaku menatap Lana,
dan senyum miring muncul di bibirnya, "Kau cantik sekali sayang",
Mikail meraih Lana, merangkul pinggang Lana dengan lembut, lalu mengecup hidung
Lana mesra, "Dari semua perempuan di ruangan ini, kau yang paling cantik.
Yang lainnya cuma sampah", Mikail mengucapkan kata-kata itu dengan lantang,
yang terdengar langsung oleh gerombolan perempuan itu. Suara terkesiap terdengar
dari sana, dan ketika Lana menoleh, perempuan perempuan itu tampak berdiri
dengan wajah merah padam, malu luar biasa atas hinaan Mikail. Lalu dengan
berbagai alasan, mereka membubarkan diri dan berpindah tempat.
Mikail
terkekeh, melihat tingkah mereka. Lalu menunduk dan menatap Lana, senyumnya langsung
hilang,
"Jangan
coba-coba melarikan diri -dan jangan mencoba meminta tolong pada siapapun di sini,
mereka tidak akan bisa menolongmu, dan kalau sampai aku tahu kau melakukannya,
kau akan dihukum", bisiknya dingin. Sikapnya berubah kaku dan dia melepaskan
pelukannya dari Lana dan tanpa kata-kata lagi meninggalkan Lana.
Lana
termangu, masih terpesona oleh pertunjukan sandiwara kasih sayang yang diperagakan
Mikail tadi. Apakah lelaki itu sengaja melakukannya untuk membelanya dari gerombolan
perempuan-perempuan jahat itu?
"Sungguh
kekasih yang baik", sebuah suara lembut terdengar di belakangnya. Lana menoleh
dan berhadapan dengan perempuan cantik berbaju putih yang tersenyum lembut kepadanya.
Mungkin perempuan inilah satu-satunya tamu pesta ini yang mau menyapanya.
"Siapa?",
Lana mengernyit ketika menyadari komentar perempuan itu barusan, Perempuan itu
tertawa kecil, bahkan tawanya pun terdengar merdu, Lana membatin dalam hatinya.
"Mikail
Raveno, kekasihmu", Perempuan itu mengedikkan bahunya ke arah kepergian Mikail,
"Dia membelamu dengan gagah berani dihadapan perempuan-perempuan menjengkelkan
itu..ups", perempuan itu menutup bibirnya dengan jemarinya yang lentik,
"Aku tidak boleh mengatakannya, tapi mereka memang menjengkelkan bukan?
Kalau bukan karena suamiku, aku tidak akan mau menghadiri pesta ini dan berbaur
dengan mereka", perempuan itu tertawa lagi.
Dia
perempuan yang bahagia, Lana membatin dalam hati. Perempuan cantik yang bahagia,
ralat Lana. Dengan gaun putih keemasannya yang indah, tatanan rambut sempurna,
make up sederhana, dan tatapan matanya yang berbinarbinar penuh cinta. Perempuan
di depannya ini tampak
memancarkan
kebahagiaan. Suaminya pasti sangat mencintainya, Lana mengambil kesimpulan dalam
hati.
"Ah
ya maaf, aku mengoceh ke sana kemari, tetapi lupa memperkenalkan diri",
perempuan itu mengulurkan tangannya dan tersenyum, "Aku Serena"
Senyum
ramah perempuan itu menular, Lana membalas uluran tangan Serena dan ikut tersenyum
lebar,
"Lana",
gumamnya memperkenalkan dirinya, "Terima kasih sudah mau menyapaku"
Serena
tersenyum lagi, dan menatap ke arah gerombolan perempuan-perempuan tadi yang
sekarang sudah saling berpencar dan asyik bergosip satu sama lain,
"Jangan
pedulikan mereka, mereka hanya iri padamu" Lana mengernyit,
"Iri
padaku? Kenapa?"
"Ah
kau pasti tak pernah mendengar dunia luar", Serena tertawa lagi, "Gosip
menyebar dengan cepat di dunia elit ini. Kau adalah perempuan yang paling hangat
dibicarakan akhir-akhir ini"
"Kenapa?",
Lana menatap Serena penuh ingin tahu.
"Karena
Mikail Raveno, taipan paling dingin di sini, mengajakmu tinggal bersamanya di rumahnya",
Serena mengedikkan dagunya, "Meskipun memiliki banyak kekasih, Mikail dikenal
berprinsip mensterilkan rumahnya dari kehadiran perempuan. Tidak pernah ada
satu perempuanpun -selain pelayan -yang bisa tinggal di rumah ini. Bahkan
katanya, kekasih-kekasihnya yang dulu belum pernah ada yang menginap di rumah
ini, Mikail lebih memilih menemui kekasih-kekasihnya di hotel miliknya",
Serena menatap Lana dan tersenyum, "Kaulah satu-satunya perempuan yang
diajaknya tinggal dirumahnya, dan bahkan tak keluar-keluar sampai sekarang. Mereka
semua merasa iri, karena apa yang kau alami adalah impian mereka semua, tinggal
bersama dengan bujangan paling diminati di sini"
Lana
tercenung. Mereka semua tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Lana bukan kekasih
Mikail, dia tinggal di rumah ini bukan sebagai kekasih Mikail, tetapi lebih seperti
tawanan. Dia disekap dan dilecehkan semau Mikail.
"Apakah
kau juga salah satu dari mereka? Mengagumi ketampanan Mikail?"
Spontan
Serena tertawa mendengar pertanyaan Lana.
"Tidak,
menurutku suamiku yang paling tampan di dunia ini. Aku tidak sempat mengagumi lelaki
lain", Serena tersenyum dan matanya berbinar penuh cinta ketika membayangkan
suaminya.
Lana
memalingkan muka, tiba-tiba merasa sedih menyadari betapa beruntungnya Serena dibandingkan
dirinya. Perempuan itu tampak begitu bahagia dan tanpa beban, sedang dirinya, bahkan
dia tidak tahu akan dijadikan apa dirinya oleh Mikail. Mata Lana berkaca-kaca ketika
membayangkan kegagalan rencananya untuk melukai Mikail yang malah membuatnya
terjebak dalam cengkeraman lelaki iblis itu.
Serena
memperhatikan raut kesedihan di wajah Lana, dan dahinya berkerut,
"Kenapa
Lana? Kau sakit?"
Lana
menatap Serena lagi, perempuan ini baik hati, mungkin saja Serena bisa menolongnya...
"Tolong
aku...", Lana berbisik lemah, takut suaranya ketahuan, oleh Mikail ataupun
para pengawalnya yang bertebaran di mana-mana, "Tolong aku keluar dari sini"
Serena
mengernyit, jelas-jelas merasa kaget mendengar permintaan Lana, matanya menatap
penuh tanda tanya,
"Apa
Lana? Tapi... Bukankah.."
"Disini
kau rupanya, aku mencarimu kemana-mana sayang", suara yang dalam itu mengalihkan
perhatian Serena dari Lana.
Lana
menoleh dan terpesona menatap Lelaki yang melingkarkan lengannya di pinggang Serena
dengan posesif. Lelaki itu luar biasa tampan, dengan rambut cokelat yang
berpadu nuansa keemasan dan mata sebiru langit. Serena rupanya tidak main-main
ketika mengatakan bahwa suaminya luar biasa tampan. Lana pun, kalau memiliki
suami setampan itu, pasti tidak akan mau melirik lelaki lain.
"Damian",
Serena bergumam lembut, pipinya memerah, tampak malu-malu atas kemesraan terang-terangan
yang dilakukan Damian. Suami Serena tampak amat sangat mencintai isterinya,
Lana berkesimpulan dalam hati. Lelaki itu menatap Serena seolaholah akan melahapnya.
"Kita
harus segera pulang. Mari kita berpamitan dulu pada tuan rumah"
"Tapi
Damian, kita baru sebentar di sini... Apakah sopan kalau..."
"Ssshh",
Damian menghentikan protes Serena dan menyentuh bibir Serena dengan jemarinya
lembut, "Aku lebih ingin berada di rumah, bersama isteriku", gumamnya
penuh arti.
Siapapun
mengerti apa maksud kata-kata Damian. Bukan hanya Serena, pipi Lana pun memerah
mendengar nada kepemilikan penuh gairah Damian kepada isterinya. Serena
menyentuh lengan Damian lembut, mengalihkan perhatian Damian yang tampaknya tidak
bisa lepas dari isterinya kepada Lana,
"Ini,
kenalkan, Lana", gumam Serena lembut.
Lana
mengulurkan tangannya dengan sopan, dan Damian menjabat tangannya, lalu menatapnya
dengan tajam. Membuat Lana merasa nyalinya sedikit menciut di bawah hujaman tatapan
tajam dari mata sebiru langit itu.
"Lana
yang itu?", ada tanya dalam suara Damian, Serena menyentuh lengan Damian
lagi, mengingatkannya, lalu menatap Lana penuh permintaan maaf, "Gosip cepat
menyebar, bahkan di kalangan laki-laki", gumamnya pada Lana, meminta pengertian.
Lana
tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ada sedikit kekecewaan terbersit di hatinya.
Damian sepertinya rekan bisnis Mikail. Kalau begitu, pupus sudah harapannya
meminta bantuan kepada Serena.
"Ayo
sayang, kita berpamitan", Damian mengangguk pada Lana, lalu menarik
pinggang isterinya untuk mengikutinya.
"Tunggu
sebentar", Serena mengeluarkan kartu emas kecil dari tasnya, "ini kartu
namaku", digenggamkannya kartu nama itu di jemari Lana, "Hubungi aku
kapan saja kau mau. Aku pikir kita bisa bersahabat"
Dan
kemudian, pasangan sempurna itu menjauh dan tenggelam di keramaian pesta. Meninggalkan
Lana yang masih berdiri terpaku di sana, menggenggam kartu nama itu erat-erat seolah
hanya itulah tiket penyelamatannya.
***
"Dia
meminta tolong kepadaku", Serena mengernyit sambil merebahkan kepalanya di
dada Damian. Lelaki itu masih berbaring santai dengan mata terpejam, menikmati
saat-saat tenang setelah percintaan mereka yang panas,
Mata
Damian terbuka, menatap Serena penuh ingin tahu, "Siapa sayang?"
"Lana,
kekasih Mikail"
Damian
tercenung, lalu mengangkat bahunya, "Kurasa kita tidak usah ikut campur dalam
urusan Mikail Raveno. Dia rekan bisnis yang luar biasa, dan aku senang perusahaanku
menjalin kerjasama dengan perusahaannya, Tetapi dari segi pribadi...", Damian
mengusap-usapkan jemarinya di
punggung
telanjang Serena, "Aku tidak terlalu menyukainya"
"Kenapa?",
Serena menatap Damian ingin tahu,
"Yah...
Mikail terkenal sangat....kejam. Dia berpenampilan dingin dan kaku, tetapi ketika
terusik, dia tak punya ampun. Kadang-kadang aku sedikit tak simpati atas sikap
tak berbelas-kasihannya"
"Kalau
begitu aku semakin mencemaskan Lana", Serena mengingat permohonan Lana tadi
kepadanya, "Dia minta tolong kepadaku untuk membantunya melepaskan diri dari
rumah itu. Pandangannya begitu tersiksa, apakah mungkin Mikail menyanderanya di
rumah itu dengan paksa?"
"Mungkin
saja", Damian mengecup dahi Serena lembut, "Tetapi seperti kataku tadi,
itu bukan urusan kita"
"Setidaknya
maukah kau mencoba berbicara dengan Mikail? Kau ada pertemuan besok pagi dengannya
kan?", Serena menatap Damian penuh permohonan. Ada kecemasan di suaranya, apalagi
ketika mengingat betapa Lana tampak sangat tersiksa ketika memohon kepadanya tadi.
Damian
terkekeh, lalu menggulingkan tubuhnya menindih tubuh Serena, "Baiklah tuan
puteri, akan kucoba", didekatkannya wajahnya ke wajah Serena, menggoda bibir
Serena dengan usapan bibirnya yang panas, "Sekarang bisakah kita menghentikan
pembicaraan kita tentang orang lain dan bercinta lagi?"
Serena
tidak menolak, bercinta dengan Damian selalu menjadi kegiatan yang luar biasa menyenangkan
***
No comments:
Post a Comment