11
“Tamu untuk anda Mr. Alex.” Ibu Grace masih memanggilnya
dengan nama Mr. Alex. Tidak masalah untuknya, Rafael tersenyum, ternyata namanya
bukan masalah buat Elena.
“Aku dengar kau pulang dari bulan madumu, jadi aku mengajak
Mikail kemari.” Damian melangkah masuk, seperti biasanya tanpa
permisi langsung duduk
di sofa besar
di ruangan itu. Seorang laki-laki berbadan ramping, berpakaian serba hitam
mengikuti masuk, pandangannya mengawasi seluruh ruangan dengan tajam, sampai kemudian
bertatapan dengan Rafael.
Mikail Raveno. Rafael membatin. Ini adalah pertemuan kedua mereka
setelah pertemuan singkat
di sebuah pesta waktu
itu. Rafael memilih
datang sendirian ke pesta Mikail waktu itu dan membuat Damian sibuk mencemoohnya.
Damian sempat mengenalkannya dengan
Mikail, tetapi mereka
tidak bisa berbicara lebih,
karena Rafael buru-buru
pergi untuk urusan lain.
“Mikail juga baru pulang dari bulan madunya.” Damian bergumam ketika
Rafael dan Mikail
hanya berpandangan dengan kaku,
saling mengawasi.
“Bulan madu? Bukankah kau sudah menikah lama, Mikail?” Dan
sepengetahuan Rafael, Mikail sudah memperoleh satu putera dari isterinya. Dia melangkah
mendekati sofa dan duduk di sana, mempersilahkan Mikail untuk duduk.
“Bulan madu kedua.”
Mikail menyahut dengan suaranya yang dalam. Entah kenapa kata
‘bulan madu’ itu membuat ekspresi dingin dan kejam di wajahnya melembut.
Mungkin benar kata Damian, lelaki ini benar-benar mencintai isterinya. Kalau begitu,
lelaki ini tidak sejahat yang dikatakan orang. Seorang lelaki yang bisa mencintai
seorang perempuan sepenuh hati, adalah lelaki yang baik,
jauh di dalam hatinya. Rafael merasa
prasangka buruknya terhadap Mikail memudar.
“Bagaimana bulan madumu?” Damian bergumam lagi, menatap
Rafael sambil tersenyum, “Semua berjalan sesuai rencana?”
“Sesuai rencana.” Senyum Rafael melebar, lupa kalaudi depannya
ada Mikail Raveno, sosok yang tidak dikenalnya seakrab Damian, “Dia mengatakan
mencintaiku.”
Damian terkekeh, “Dasar bajingan yang beruntung.”
Diliriknya Mikail, “Rafael lebih beruntung dari kita, dia bisa dengan cepat
mendapatkan cinta isterinya.
Sementara kita harus jungkir balik
mencoba segala cara.”
Mikail ikut tersenyum mendengar kata-kata Damian itu. Dan
suasana kaku di antara mereka menjadi cair. Mereka lalu membicarakan masalah pekerjaan
dan proyek kerjasama mereka, dan pembicaraan mengalir lancar seolah mereka
sudah sering berkumpul dan bercakap-cakap dengan akrab sebelumnya.
“Aku harus pulang.” Mikail melirik jam tangannya, “Aku sudah
berjanji mengantarkan Lana ke dokter.”
“Lana sakit?” Damian
yang sedari tadi sibuk membaca berkas
catatan pengajuan proyek yang mereka bahas mengangkat kepalanya,
Mikail menggelengkan kepalanya,
senyumnya melebar, tak tertahankan. “Bukan. Dia mual dan muntah di pagi
hari. Sepertinya kami membawa oleh-oleh hasil bulan madu kedua kami.”
“Wah. Kau mengejarku
rupanya.” Mata Damian melembut ketika mengingat kedua malaikat kecilnya
dan ibu mereka yang sangat dicintainya, “Sampaikan salamku untuk Lana.
Aku akan mempelajari berkas ini dulu, nanti aku diskusikan hasilnya denganmu.”
“Oke.” Mikail beranjak berdiri, dan Rafael mengikutinya.
Lelaki itu tersenyum
dan mengulurkan tangannya
kepada Rafael yang segera disambut Rafael, mereka bersalaman,
“Semoga kerjasama kita baik ke depannya.”
Setelah itu Mikail berpamitan
dan pergi meninggalkan ruangan.
“Dia baik kan. Tidak sekejam yang dikatakan orang. Apakah
kau masih tidak menyukainya?” Damian bergumam, matanya tidak lepas dari berkas-berkas
di tangannya.
Rafael menatap ke arah kepergian
Mikail dan mengangkat bahu. “Well,
aku tidak salah kalau dulu aku tidak menyukainya. Rumor
yang beredar begitu
kental kalau dia sangat kejam dan pemarah. Semua orang takut
kepadanya. Tapi dia berubah setelah menikah ya?”
“Yah dia berubah setelah menemukan Lana isterinya. Kekejamannya
memang tiada tara, sampai mambuat Serena isteriku mencemaskan Lana. Kau tahu, mereka
bersahabat. Tetapi lelaki itu sungguh-sungguh memperjuangkan cintanya. Dan ketika dia mendapatkannya dia menghargainya.” Damian tersenyum ke arah Rafael dan meletakkan berkas-berkasnya, “Dan dari kata-katamu tadi,
aku pikir pernikahanmu juga berjalan semakin baik.
Kau bisa sesegera mungkin
membuat isterimu hamil, lalu membangun keluarga kecil yang bahagia, seperti aku dan
Mikail.”
Rafael menghela napas.
Bayangan akan perut
Elena yang membuncit mengandung anaknya, ataupun bayangan dia akan menggendong
buah cintanya dengan Elena membuat dadanya hangat. Tetapi ketakutan itu tetap ada,
ketakutan yang membuatnya bermimpi buruk akhir-akhir ini. Ketakutan akan terkuaknya
sebuah rahasia yang akan menyakiti Elena.
“Aku belum pernah
bercerita kepadamu tentang isteriku ini, dan kenapa aku sangat
mencintainya.”
“Kupikir kau ingin
menyimpannya untuk dirimu sendiri.” Damian
tersenyum, “Kau tampak
letih Rafael, bukankah pernikahan
ini seharusnya membuatmu bahagia?”
“Aku bahagia.” Rafael menggumam pelan, “Tetapi aku lelah
menyimpan rahasia.”
“Rahasia apa?”
“Rahasia masa laluku
yang terkait dengan
Elena isteriku.” Rafael menghela napas
di masa lalu. Dan Elena tidak menyadari bahwa aku adalah orang yang sama.
Dia mencintai aku yang sekarang...
tetapi kalau dia tahu siapa
aku sebenarnya...”
Damian menumpukan tangannya di dagu, “Apa maksudmu Rafael? Coba ceritakan kepadaku supaya aku bisa mengerti.”
Dan cerita itupun mengalir. Tentang masa lalu Rafael, tentang
kecelakaan itu dan pengusiran yang dilakukan Elena dengan penuh
kemarahan, yang menyadarkan
Rafael setelahnya. Tentang semua usaha Rafael untuk menebus dosanya.
Semua yang dia lakukan untuk membuat hidup Elena mudah, hanya untuk menyadari bahwa
dia sebenarnya amat sangat mencintai Elena dan ingin memilikinya. Akhirnya
Rafael mengambil resiko memiliki Elena, menikahinya. Dengan tetap merahasiakan
masa lalu itu. Rafael menceritakan ketakutan- ketakutannya. Mimpi-mimpi buruknya
akhir-akhir ini yang sangat mengganggu kepada Damian.
Sahabatnya itu hanya menatapnya tajam beberapa lama, lalu menarik
napas panjang. “Wow.”
Gumamnya kemudian, “Aku pikir kisah
cintaku adalah kisah paling rumit di antara semua pasangan. Punyamu lebih rumit
dan penuh rahasia.” Damian menyandarkan tubuhnya di sofa. “Tetapi sebuah pernikahan
harus didasarkan pada kejujuran utuh kedua pasangan, Rafael. Kalau tidak pernikahan
itu tidak punya landasan.”
Damian menatap Rafael
yang hanya terdiam,
“Aku menikahi Serena waktu
itu setelah kami
sama-sama menyatakan cinta, setelah tidak ada ganjalan dan rahasia di antara
kami berdua. Karena itulah kami bisa melalui semuanya dengan baik sampai sekarang.
Saling mendukung dan mencintai.” Damian
mengangkat bahu, “Kalau
mengambil contoh pernikahan Mikail, hampir sama dengan yang kau lakukan,
dia dan pasangannya sama-sama keras kepada dan tidak mau mengakui kalau mereka
saling mencintai. Awal pernikahan mereka
dipenuhi gejolak dan salah paham, tetapi itu akhirnya mendorong mereka untuk mengungkapkan
isi hati masing-masing dan pada akhirnya mengakui kalau saling mencintai.”
“Aku dan Elena
sudah mengakui saling
mencintai .”
Rafael bergumam, tetapi hatiku tetap tidak tenang.
‘Karena kau seperti berjalan di atas bom yang akan meledak
entah kapan. Itu membuatmu selalu waspada dan mengalami mimpi
buruk.” Damian menatap
Rafael dengan serius, “Kau harus
menceritakan semuanya kepada Elena.”
Wajah Rafael dipenuhi
kesakitan, “Aku tidak
bisa, Bagaimana kalau dia meninggalkanku?”
“Katamu dia mencintaimu. Dia mungkin akan mengamuk dan marah
besar kepadamu. Tetapi aku yakin dia akan menghargai kejujuranmu. Pada akhirnya
dia akan kembali kepadamu.” Damian menghela napas panjang, “Kau harus melakukannya
kawan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, sebuah rahasia tidak akan pernah bisa
disimpan selamanya, kau bisa membayangkan kan betapa buruknya kalau sampai Elena tahu dari orang
lain?”
Rafael tercenung. Menyadari kebenaran dari kata-kata Damian.
Betul juga. Dia tidak boleh menyimpan rahasia ini terlalu lama dari Elena. Dia harus
menjelaskan semuanya. Elena mencintainya, dan Rafael yakin semarah apapun
Elena. Perempuan itu pasti akan memaafkannya pada akhirnya nanti, dan menghargai
kejujuran Rafael
Ya... Rafael akan
mengungkapkan semuanya kepada Elena.
Ҩ
“Bayi Donita sangat lucu dan cantik.” Elena bercerita sambil
menyiapkan air mandi di bathup besar di kamar mandi mereka untuk Rafael yang baru
pulang dari kerja.
“Oh ya? Kau sudah menyampaikan salamku untuknya?” Rafael
melepaskan dasinya dan menyampirkan jasnya di kursi. Lalu melangkah menuju kamar
mandi besar itu dan bersandar di pintu. Elena sedang memeriksa suhu air di kamar
mandi itu, kemudian mengambil handuk-handuk
putih dan melipatnya lalu meletakkannya di rak handuk
di dekat bathup.
“Sudah kusampaikan.
Donita mengucapkan selamat untuk pernikahan kita.” Elena berdiri
dan menatap Rafael, “Aku berpikir untuk mengunjungi ibu Rahma.... kita kemarin
hanya sempat mengabarkan pernikahan
kita melalui telepon,
dia sudah seperti ibuku jadi rasanya tidak sopan kalau kita tidak segera
menemuinya.”
“Akhir pekan nanti aku akan mengantarmu ke Asrama untuk bertemu Ibu Rahma.” Rafael
tersenyum, mengagumi kecantikan isterinya di bawah sinar lampu kamar mandi yang
temaram.
Kamar mandi itu luas, dengan
bathupnya yang sangat besar, muat
untuk dua orang. Tetapi Rafael dan Elena belum pernah mencoba melakukannya, berendam
berdua karena mereka terlalu sibuk setelah kepulangan mereka. Nuansanya hitam dan
putih. Di dominasi oleh marmer hitam dengan semburat abstark
keputihan di seluruh
ruangan, selain itu semua perabotnya berwarna putih bersih,
menciptakan kekontrasan sendiri yang sangat indah. Tetapi Rafael tidak peduli dengan suasana kamar
mandinya, baginya yang paling indah adalah isterinya.
Isterinya yang cantik,
Elenanya yang luar biasa. Yang sekarang
berdiri dengan gaun putih sederhana yang melambai di betisnya, membuatnya tampak
seperti dewi yang turun dari langit dan mempunyai kekuatan untuk menghilangkan
semua kelelahan Rafael.
“Kemarilah” Rafael mengulurkan tangannya, “Aku
merindukanmu.”
Elena tersenyum dan menerima uluran tangan Rafael, membiarkan
dirinya dihela masuk ke dalam pelukan lelaki itu. Rafael memeluknya dengan erat
kemudian mengangkat dagu Elena dan mengecupnya lembut.,
“Apakah kau merindukanku Elena?”
“Sangat.” Elena tersenyum, “Aku terbiasa melihatmu setiap
saat.” Jemarinya menelusuri wajah Rafael yang tampan dengan lembut. “Rasanya berbeda
kalau kau tidak ada.”
Rafael meraih jemari Elena dan mengecupnya lembut, “Mungkin kau
bisa masuk ke
kantor lagi dan
menjadi asistenku.”
Elena tersenyum, “Ide bagus.”
“Dan perusahaanku akan
bangkrut dalam sekejap, karena sang pemiliknya terlalu
sibuk menyetubuhi asistennya di kantor.”
“Rafael.” Elena berseru, mencela kata-kata
Rafael yang vulgar. Membuat Rafael terkekeh, dikecupnya
pucuk hidung Elena dan dihelanya masuk ke
kamar mandi. Lelaki itu menatap
bathup dengan air hangat yang tampak menggoda,
“Ayo, ikut mandi bersamaku,.” “Tetapi aku sudah mandi.”
Tatapan
Rafael kepada Elena
sangatlah sensual, melumerkan
Elena sampai meleleh,
“Mandi bersamaku akan
lebih bersih, Aku
akan membantu menggosok punggungmu,
dan membersihkan tempat manapun
yang susah kau jangkau sendirian.”
Dengan menggoda lelaki itu melepaskan kemejanya, membuangnya ke lantai
kamar mandi, celananya menyusul kemudian. Membuatnya telanjang bulat dengan
tubuh kokoh dan otot yang keras di tempat-tempat yang pas, dibalut warna kulit
perunggu kecoklatan yang indah.
Elena menelan ludahnya, terpesona oleh sihir sensual
yang dipancarkan suaminya.
”Ikut?” Rafael mengulurkan tangannya lagi dan Elena
menerimanya, membiarkan Rafael menelanjanginya dan mengajaknya masuk ke bathup.
Lelaki itu bersandar di kepala bathup dan menarik Elena
ke pangkuannya. Elena
bersandar dengan nyaman
di dada Rafael yang bidang. Seluruh
punggung dan bagian belakang tubuhnya
menempel dengan seluruh
bagian depan tubuh Rafael, mereka berendam dengan nyaman,
aroma minyak aromaterapi mawar mulai memenuhi ruangan, bercampur dengan air
hangat yang merendam tubuh mereka.
Jemari Rafael bergerak nakal dan mengusap buah dada
Elena. Buah dada itu licin terkena minyak mawar yang bercampur air hangat
dengan puting yang tegak karena terkena angin, Rafael memainkannya dengan
lembut membuat Elena mengerang dan menggerakkan
pinggulnya. Merasakan kerasnya
kejantanan Rafael yang menekan-nekannya dari belakang.
“Angkat sedikit pinggulmu sayang.” Rafael membantu
Elena bergerak, dan
dengan mudah memasukkan kejantanannya yang sudah begitu
keras, menyatukan dirinya dengan kewanitaan Elena yang sudah begitu siap
menerimanya. Mereka mengerang bersama-sama, menikmati penyatuan yang begitu
erotis itu. Kemudian Rafael menggerakkan pinggulnya pelan, menggoda Elena,
membuat isterinya menggeliat penuh gairah, jemarinya menyentuh titik sensitif
di antara kedua paha isterinya dan memainkannya sambil terus bergerak dengan
ritme yang teratur,
menciptakan riak pelan
di air mandi mereka.
“Aku mencintaimu Elena.” Suara Rafael parau, lelaki itu
menunduk dan melumat telinga Elena dengan sensual, bibirnya lalu menjelajahi
leher dan pundak
Elena dari belakang, menjilatnya dengan
erotis, sementara di
bawah sana, pinggulnya bergerak
dengan teratur bersama dengan pinggul
Elena, membawa mereka berdua bersama-sama mendekati puncak kenikmatan.
Gerakan Rafael makin cepat dan makin bergairah dan air
di sekitar mereka beriak, mengikuti gerakan mereka.
“Terimalah cintaku sayang, terimalah aku.” Rafael
mengangkat pinggulnya, menekankan dirinya dengan begitu kuat, menyatu jauh di kedalaman pusat diri Elena, dan menyemburkan ledakan kenikmatannya di
dalam sana. Membawa Elena bersama-sama mencapai orgasme bersamanya.
Mereka lalu terengah bersama dalam diam yang syahdu. Elena
menyandarkan kepalanya
di dada
Rafael, menikmati debar jantung Rafael yang berpacu cepat setelah orgasmenya dan gerakan naik turun dadanya yang tersengal. Setelah tubuh mereka tenang, Elena merasa mengantuk, tetapi Rafael menegakkan tubuhnya,
“Hei cantik,
kau
tidak boleh tertidur di bathup. Berbahaya, kau bisa tenggelam.” Dengan lembut dia mengajak
Elena berdiri melangkah keluar dari
bathup dan mengarahkannya ke
pancuran, “Ayo, aku akan menggosok punggungmu.” Lelaki itu
menyalakan pancuran air panas yang langsung menyiram mereka dari
atas.
Dan mereka bercinta sekali lagi di bawah pancuran.
Ҩ
“Apa kabarmu?” Rafael
langsung bertanya begitu mendengar suara Victoria menyahut
teleponnya.
Suara diseberang sana terdengar mendengus kasar, “Oh. Hai
Rafael, tak kusangka kau masih ingat menelepon
adikmu yang kau biarkan terjebak dengan seekor ular di sebuah pulau
terpencil.” Rafael tertawa mendengar
nada sarkatis di
suara Victoria,
“Mendengar suaramu, aku
berkesimpulan kalau kau baik-baik saja.”
“Aku baik-baik saja, hanya sedang bosan setengah mati.”
“Bagaimana dengan Luna?”
Victoria mendesah, “Luna baik-baik saja. Dia sudah
hampir sembuh dan
sangat menyebalkan, kami
saling membenci satu sama lain dan tidak tahan seruangan, kurasa itu
juga yang memberi motiviasi kepadanya untuk
sembuh lebih cepat. Dia akan pulang
lusa. Aku juga.”
Rafael mengerutkan keningnya, “Menurutmu apakah dia punya
rencana untuk mengganggu lagi?”
“Siapa yang bisa tahu apa yang ada di balik kepala
cantiknya itu.” Victoria tertawa, “Kau harus waspada Rafael. Dia sepertinya menyerah
sekarang. Aku berusaha menunjukkan kepadanya bahwa dia sama sekali tidak punya
harapan.”
“Yah semoga dia melangkah mundur. Aku sudah terlalu sibuk untuk direpotkan
dengannya.” Rafael mengehela
napas dalam-dalam, “Aku akan mengungkapkan semua kepada Elena.:
“Kau yakin?” suara
Victoria merendah,
“Menurutmu Elena akan mengerti?”
“Aku tidak tahu.” Rafael mendesah, “Tetapi dia mencintaiku.
Dan tidak adil kalau aku terus merahasiakan kenyataan ini dari dirinya.
Lagipula aku takut
kalau suatu waktu dia mendengar
kenyataan itu dari orang lain. Kepercayaannya padaku akan hancur total kalau
itu terjadi.
Victoria terdiam, tidak bisa membantah kebenaran yang
ada di dalam kata-kata
Rafael. Memang benar.
Rahasia tidak akan bisa
selamanya tersimpan. Lagipula
paling baik kalau Elena mendengarnya langsung dari Rafael
daripada dia mendengarnya dari orang lain lalu merasa bahwa Rafael telah
membohongi dan menipunya selama ini.
“Kapan kau akan mengatakannya?”
“Dalam waktu dekat.” Rafael mengerang dan mengacak rambutnya frustrasi.
“Kurasa aku harus
menyiapkan diri dan keberanian
dulu, dan menunggu waktu yang tepat.”
“Semoga semuanya lancar kak.” Victoria ikut merasakan
kegelisahan Rafael, “Kabari aku ya.”
“Pasti. Doakan aku Vicky.”
“Pasti. Aku menyayangimu kak.” “Aku juga Vicky.”
Telepon ditutup. Menyisakan kegelisahan di dalam diri Rafael.
Kegelisahan yang mulai melingkupinya, bercampur dengan ketakutannya. Takut Elena
akan meninggalkannya.
Ҩ
Edo mengawasi rumah Rafael dari kejauhan, dan mengetahui
bahwa setiap hari Rafael berangkat kerja dan Elena dirumah bersama para pelayan.
Dia tidak bisa bertamu begitu saja
ke rumah Rafael.
Para pelayan itu mungkin ada
yang menjadi mata-mata Rafael yang mengawasi dan langsung
melaporkan kalau Edo
datang ke sana,
dan Rafael akan langsung pulang dan menggagalkan
semuanya.
Edo harus bertindak
hati-hati, dia harus
menggiring Elena supaya berada di luar
rumah dan bertemu dengannya, ditempat mereka tidak akan diganggu,
di tempat di mana dia bisa leluasa membeberkan semua rahasia busuk Rafael. Dan
setelah itu Elena pasti akan sangat membenci Rafael.
Edo tersenyum, menikmati saat-saat kemenangannya yang akan
segera tiba. Tidak lama lagi.
Ҩ
“Aku akan keluar sebentar
untuk membeli kue.” Elena berpamitan
kepada pelayan di rumahnya, dia hendak membeli kue untuk di bawa ke asrama
tempat ibu Rahma berada esok hari. Supir pribadinya sudah menunggu dan Elena masuk
ke dalam mobil, menuju ke sebuah cafe bakery yang cukup elegan di pusat kota.
Di sana ada kue brownies panggang yang sangat enak, Elena akan membeli beberapa
sebagai buah tangan untuk dibawa besok.
Ketika mobil mencapai
parkiran bakery itu, ponselnya berdering, dia melihat nama
Edo di layar ponselnya dan menghela napas. Kebetulan. Pikirnya. Dia sudah berpikir
untuk menghubungi Edo dan berbicara, menyelesaikan salah paham di antara
mereka dan berharap
mereka bisa berbicara
baik- baik, lalu berpisah tanpa ada ganjalan lagi di antara mereka. Dia
meminta supir menunggu dan melangkah keluar, memasuki bakery itu lalu
mengangkat teleponnya.
“Halo.” Elena menyapa Edo, dengan suara ramah. “Hai Elena.
Apa kabar?”, suara Edo terdengar kaku.
“Kabarku baik Edo, kuharap kau juga sehat-sehat saja.”
Elena menjawab. Terbawa oleh suasana kaku dan formal yang dibawa Edo.
Sejenak suara Edo di seberang sana hening, lalu lelaki itu
berucap dengan nada datar, “Aku mendengar tentang pernikahanmu.” Napas Edo agak
tercekat, “Selamat ya.”
Elena tersenyum, setidaknya Edo mau memberinya selamat, itu
pertanda lelaki itu mempunyai niat baik kepadanya, “Terima kasih Edo. Maafkan
aku tidak sempat mengabari. Semuanya begitu terburu-buru dan tiba-tiba saja aku
sudah menikah.”
Edo terkekeh pahit
di seberang sana,
“Apakah kau mencintainya Elena?”
Elena menganggukkan kepalanya tanpa sadar, “Ya Edo, aku
mencintai Rafael.”
Hening lagi, Kali ini agak lama.
“Aku ingin bertemu.” Gumam Edo akhirnya. Elena menghela
napas, “Kebetulan aku juga berpikiran
sama, kurasa kita harus bercakap-cakap untuk menyelesaikan beberapa hal yang
mengganjal di antara kita...”
“Kapan kau bisa?”
“Aku harus menanyakannya kepada Rafael dulu.” Elena
tentu saja tidak bermaksud
bertemu diam-diam dengan
Edo, dia akan meminta izin pada Rafael dulu, dia yakin Rafael akan mengijinkannya kalau
Elena bisa menjelaskan alasannya dengan tepat.
“Tidak!
Jangan!” Edo menyela dengan
cepat, membuat Elena
mengernyitkan keningnya,
“Jangan apa Edo?”
Edo berdehem di
seberang sana, “Kau
tahu, aku kan masih bekerja di perusahaan Mr. Alex.....
eh... Rafael...” Suaranya merendah, “Akan sangat tidak mengenakkan bagiku kalau
sampai Rafael tahu aku mencoba menemui isterinya, mengingat aku dulu pernah dekat
dengan isterinya.”
“Tetapi aku tidak bisa bertemu diam-diam denganmu, kalau
Rafael tahu...”
“Rafael tidak akan
tahu. Aku mohon
Elena...aku tidak akan menyita
lama waktumu, aku Cuma butuh beberapa lama di tempat umum yang kau pilih,
sehingga tidak akan memicu salah paham dan fitnah terhadap kita...” Edo
menghela napas panjang, “Aku mohon Elena. Hanya satu kali pertemuan untuk
menjelaskan semuanya dan setelah itu kalau kau mau, aku tidak akan mengganggu
hidupmu lagi.”
Elena
termenung memikirkan kata-kata
Edo, dia menarik napas panjang,
“Baiklah, kapan dan dimana?”
“Hari ini bisa?”
Elena melirik jam tangannya. Masih jam dua siang. Dia
punya waktu panjang sebelum pulang ke rumah dan menanti suaminya pulang dari
pekerjaannya.
“Aku sedang membeli kue di bakery” Elena menyebut nama Cafe
dan Bakery tempat dia berada, “Kalau mau kau bisa datang kemari.”
“Oke kedengarannya bagus. Aku akan kesana beberapa saat
lagi. Saat ini aku masih di kantor, aku akan mencari alasan untuk keluar.”
Setelah itu Edo menutup teleponnya.
Elena lalu memilih beberapa kue dan membayarnya, dia menuju
ke mobil dan meminta supir membawa kue-kue itu pulang dulu,
dan menjemput Elena
nanti. Elena akan menelepon ke rumah minta dijemput.
Karena dia akan bertemu dengan seorang teman dulu selama mungkin satu atau dua
jam,
Supir itu mengikuti instruksinya dan membawa mobil pulang
ke rumah. Dengan langkah pelan Elena memasuki cafe dan bakery yang cukup ramai
itu lalu memilih tempat duduk dan memesan cokelat panas untuk dirinya, dan menunggu.
Ҩ
Edo datang hampir satu jam kemudian. Lelaki itu masih
tampan dengan senyumnya
yang luar biasa
menawan. Meskipun senyuman itu
tidak bisa menggetarkan
hati Elena lagi, dia telah
tertawan oleh suaminya, Rafael Alexander yang tiada duanya, dan tidak ada
laki-laki manapun yang bisa mengalahkannya.
Edo menyalami Elena dan tersenyum meminta maaf lalu duduk
di depan Elena,
“Maafkan aku terlambat, aku tadi melarikan dari kantor.”
Lelaki itu tersenyum dan mengamati Elena, “Kau tampak makin cantik Elena, makin
bersinar.”
Seperti biasa Edo
sangat pandai merayu,
Elena membatin sambil tersenyum, “Terimakasih Edo.”
Edo menghela napas panjang, seolah bingung ingin berkata
apa, kemudian setelah lama, dia mengangkat kepalanya dan menatap
Elena dalam-dalam, “Elena,
kau tahu aku mencintai dan menyayangimu, dan aku
ingin kau bahagia.” Suaranya lembut,
“Tetapi kemudian
aku mencemaskanmu ketika
mengetahui bahwa kau ditipu.”
“Ditipu?” Elena mengerutkan keningnya bingung.
“Ya ditipu. Pernikahanmu ini terjadi atas dasar
kebohongan, kau ditipu mentah-mentah
Elena, dan aku tidak rela kau diperlakukan seperti itu.”
“Apa maksudmu Edo?”
suara Elena berubah
tajam, apakah Edo bermaksud memfitnah Rafael lagi?
“Jangan marah dulu, dengarkan aku dulu baru kau boleh memutuskan
akan berbuat apa.” Edo menatap Elena dengan kejam ketika melemparkan bom itu,
“Selama ini kau
dibohongi Elena.
Rafael Alexander, adalah orang
yang membunuh ayahmu dalam kecelakaan sepuluh tahun yang lalu.”
UNFORGIVEN HERO - BAB 12
No comments:
Post a Comment