2
Dia memang tampan. Sangat tampan. Sayang terlalu tampan, bukan
tipeku. Elena langsung
memutuskan pada tatapan pertama
mereka. Pria berdarah Spanyol dengan kulit emas tembaga dan rambut ikal yang
hitam legam serta mata yang dalam itu tampak terlalu berbahaya untuk dijadikan tipenya.
Sementara itu bos
barunya itu hanya
menatapnya dengan tatapan menilai-nilai, menimbang-nimbang. Sehingga hening
cukup lama dan Elena tak juga dipersilahkan duduk.
"Duduklah." Mr. Alex tampak tersenyum kecil,
seperti puas karena telah memutuskan sesuatu, "Kau tahu siapa aku?"
Pertanyaan apa itu? Batin Elena tanpa sadar mengernyit. Tentu
saja dia tahu.
Mr. Alex tersenyum lagi, seperti menyadari retorika dalam
pertanyaannya,
"Ah, maaf aku sedikit gugup."
Sekali lagi Elena mengernyit, gugup? karena bertemu dengannya?
Tidak mungkin. Pasti bosnya ini sedang gugup karena sesuatu yang lain.
"Kita belum berkenalan." Lelaki itu lalu mengulurkan
jemarinya yang ramping ke arah Elena dan mau tak mau Elena menyambut uluran
tangan itu.
"Kita langsung bersikap informal saja ya, mengingat
aku dan kau akan sering sekali berhubungan.
Apalagi saat Donita memulai periode cuti hamilnya, kau bisa memanggilku
dengan sebutan Mr. Alex saja."
gumam lelaki itu setelah melepaskan genggaman tangannya yang
kuat.
'Saja'. Elena kadang-kadang merasa geli dengan ketajamannya menganalisa
kata perkata, tetapi
itu memang tidak bisa ditahannya.
Kenapa Mr. Alex menggunakan kata 'saja' di akhir kalimatnya? Seolah-olah dia
memiliki nama lain, bukankah namanya memang Alex?
Lelaki itu berdehem. "Mungkin kau bertanya-tanya kenapa kau
dipanggil masuk ke
perusahaan ini. Aku mempunyai referensi dari universitasmu
bahwa kau adalah lulusan terbaik disana, dan aku sangat senang memberikan pengalaman dan ruang untuk lulusan-lulusan baru sepertimu agar bisa mengeksploitasi
kecerdasan dan kemampuan kalian. Aku senang mempekerjakan lulusan-lulusan
baru", Mr. Alex tampak
tersenyum dan Elena
sedikit bergetar ketika menyadari, bahwa jika tersenyum lelaki
itu tampak luar biasa tampan,
"Karena lulusan baru
biasanya lebih mudah
diajari cara-cara modern, mereka
mudah menyerap ilmu
dan yang pasti mereka sangat
bersemangat."
Mr. Alex berhenti sejenak untuk melihat apakah Elena mendengarkan kata-katanya,
lalu melanjutkan, "Itu juga
yang kuharapkan darimu, kemampuan untuk menyerap ilmu baru dengan cepat dan
semangat yang luar biasa tinggi, bisa?"
"Bisa," Elena menjawab dengan cepat dan mantap.
Dia yakin bisa, dia sangat bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru di sini.
Dunia kerja adalah hal baru baginya dan dia yakin dia memiliki kemampuan untuk
belajar secara cepat.
"Bagus," Mr. Alex mengangguk puas, "Melihat
dari bagusnya angka akademismu, aku
yakin kau juga akan bagus pada prakteknya. Kalau begitu, selamat datang di
perusahaan ini Nona Elena,
semoga kerjasama kita
baik sampai kedepannya",
lelaki itu mengulurkan tangannya lagi, dan tersenyum sangat manis, "Aku
sangat mengharapkanmu Elena"
Elena menerima uluran tangan itu dengan formal.
"Baik, saya akan berusaha sebaik mungkin," kemudian dia berdiri dan berpamitan kembali
ke ruangannya.
"Oh. Elena?"
Elena yang sudah di depan pintu dan bersiap membukanya menoleh
ke arah Mr.
Alex yang masih
duduk tegak di kursinya,
"Aku dengar kau menggunakan transportasi umum kemari?"
Elena mengangguk. "Benar, saya menggunakan angkutan umum,"
jawabnya mengernyit dan bertanya-tanya, bukankah informasi seperti ini
sepertinya kurang penting untuk diketahui oleh seorang big boss?
"Dan aku tahu lokasi rumahmu cukup jauh", Mr. Alex
tampak merenung, berpikir, lalu menatap Elena dengan tegas, "Aku akan
mengusahakan kendaraan operasional
untukmu. Kami memiliki fasilitas antar jemput karyawan khusus untuk karyawan
yang lokasi tempat tinggalnya jauh. Mungkin kau bisa bertanya kepada Donita
untuk mendaftar."
"Itu bagus sekali," mata Elena berbinar tanpa
dapat ditahan, fasilitas antar jemput karyawan ini akan sangat membantunya.
Elena bisa mengirit biaya pulang pergi ke kantor yang memerlukan berganti
angkot tiga kali dalam satu periode perjalanan,
dia akan bisa menabung. "Terima
kasih Mr. Alex, saya akan bertanya kepada Ibu Donita.”
Mr. Alex mengangguk, dan Elena melangkah keluar dari ruangan
itu.
Ҩ
Dia tidak mengenaliku.
Tanpa sadar Rafael
menarik napas panjang, merasa lega. Dengan pelan diusapnya wajahnya. Bersyukur
bahwa Elena tidak menyadari betapa gugupnya dia tadi. Betapa dia berjuang menampilkan
sosok tegas yang berwibawa. Karena sosok seperti itulah yang bisa menutupinya dari
kecurigaan Elena.
Aku bukan lagi manusia yang tidak punya harga diri seperti
dulu, Elena. Kau pernah mengatakan kepadaku
untuk datang padamu ketika
aku sudah punya
harga diri lagi. Sekarang aku
punya, harga diri
beserta semua atributnya, kedewasaan, kebijaksanaan, kebaikan
hati. Tetapi entah kenapa, aku masih merasa tak pantas
menemuimu. Aku ini, manusia yang tak termaafkan.
Rafael mendesah pelan dan menyandarkan kepalanya di kursinya.
Sampai kapan dia harus begini? Tidak bisa mengakui dirinya yang
sebenarnya di depan
satu-satunya perempuan yang
menjadi tujuan hidupnya? Sampai kapan dia harus begini? Bersembunyi? Malu
mengakui diri? Rafael tidak punya jawaban, dia hanya merasa saat ini lebih baik
dia memilih jalan pengecut, bersembunyi di balik bayang-bayang sosok Alex.
Bukankah dengan begini kau bisa lebih bebas menjaganya?, suara
hatinya berbisik dan
Rafael menganggukkan kepalanya tanpa sadar.
Ya. Keputusannya tepat. Akan lebih baik jika Elena tidak pernah mengetahui
identitas dirinya yang
sebenarnya. Luka hati perempuan
itu sudah sembuh, sangatlah tidak tepat kalau dia merusaknya dengan pertemuan
dari masa lalu yang pasti akan membuka luka lama itu.
Ҩ
“Mr. Alex," panggilan itu membuat Rafael yang sedang menekuri
perjanjian kontrak terbaru mereka dengan sebuah perusahaan properti mengangkat
kepalanya. Rafael sebenarnya tidak begitu suka dengan panggilan itu, tetapi di perusahaan
ini dia harus dipanggil dengan nama 'Alex", karena dia menginginkan Elena
bekerja disini. Kalau dia tetap memakai nama Rafael, kemungkinan besar hal itu
akan membuat Elena curiga dan kalau
Elena sampai tahu semuanya hal itu akan menggagalkan rencananya.
Sekretaris
Rafael, muncul di
pintu, tampak gugup,
"Itu…Tuan Damian ingin bertemu."
Rafael
mengernyitkan kening, Damian
adalah CEO - Untuk perwakilan Indonesia dari perusahaan
asing yang menjalin kerjasama dan menanamkan modal di perusahaan ini. Mengingat betapa
dingin dan sinisnya
penampilan Damian, pantaslah
kalau sekretarisnya menjadi begitu gugup.
"Persilahkan beliau masuk."
"Aku sudah masuk tanpa kau persilahkan." Damian melangkah masuk tanpa peduli, dan
menggangguk kepada sekretaris Rafael untuk membuatnya pergi dan langsung duduk di
sofa ruang tamu Rafael.
"Kau membuatnya takut." gumam Rafael sambil melirik
pintu yang ditutup sekretarisnya dengan pelan. Dia melangkah ke arah bar
pribadi di pojok ruangannya dan menuangkan brendi untuk Damian, dan kopi untuk
dirinya sendiri.
Damian melirik pintu dan mengangkat bahu, sambil menerima
gelas brendi dari tangan Rafael,
"Kau harus sedikit lebih keras kepada bawahanmu kalau
ingin dihormati," Damian
menatap Rafael tajam,
berubah serius, "Aku ada dua undangan pesta makan malam di rumah Mikail
Raveno dan aku mengira kau mungkin bisa
datang ke sana juga dan berkenalan dengannya."
Kopi yang ditelan Rafael tersedak di tenggorokannya. "Apa?"
Rafael butuh mendengar ulang lagi, merasa tak percaya dengan indera
pendengarannya, “Mikail Raveno?”
"Ya, berkenalan dengan Mikail Raveno," Damian tersenyum tipis melihat
ketidakpercayaan di mata Rafael, "Kenapa
kau tampak begitu
terkejut? Kau tahu
kan aku menjalin hubungan bisnis
dengannya?"
"Aku tahu kau menjalin hubungan bisnis dengannya, tapi
aku tidak menyangka kau berteman dengannya sampai-sampai menghadiri persta di
luar urusan bisnismu." Rafael bersungut-
sungut, dan duduk di sofa, di hadapan Damian.
Damian menggeleng, masih tersenyum. Dan menurut Rafael,
lelaki itu sudah lebih banyak tersenyum dari yang biasa ditampilkannya. Sepertinya
pernikahannya dengan Serena telah membuatnya menjadi orang yang
murah senyum.
'Aku tahu kau
tidak menyukai Mikail
Raveno.” Itu pernyataan bukan pertanyaan.
“Ya. Aku tidak suka. Aku memang tidak berhak menghakimi seseorang
dari gosip yang
kudengar, tetapi reputasi akan
watak Mikail Raveno
memang sangat menakutkan. Aku
bahkan mendengar bahwa dia dijuluki ‘Sang Iblis’ dan aku tidak suka tipikal
pengusaha kejam semacam itu.”
“Mereka
berlebihan, dia tidak
sejahat itu.”, Damian terkekeh, “Lagipula isteriku
bersahabat dengan istri Mikail.”
"Istri Mikail?", Rafael membelalakkan matanya, "Ah ya, perempuan yang
menimbulkan gosip heboh
beberapa waktu lalu karena Mikail
menculiknya ya? Mungkin perempuan itu memang
bisa menaklukkan Mikail, aku
dengar Mikail Raveno menjadi ‘jinak’ setelah isterinya itu melahirkan seorang
putra untuknya.”
Damian terkekeh. “Mikail sudah menemukan keberuntungannya,
dia jatuh cinta kepada istrinya.”
"Dan dari senyummu
yang aneh itu, pasti kau hendak mengatakan
kalau Mikail bernasib sama denganmu, sama-sama takluk karena cinta kepada istri
kalian.”
"Memang," tak ada bantahan dari Damian, lelaki
itu tampak bangga mengakuinya. Dia lalu meletakkan amplop undangan berwarna
keemasan itu di meja kopi, "Ini undangannya, dan datanglah dengan membawa
pasanganmu," mata Damian berkilat geli, "Entah kau pandai merahasiakan
pasanganmu atau memang kau tidak tertarik. Kau tidak pernah terlihat menjalin
hubungan dengan siapapun dan itu membuat kami bertanya-tanya tentang orientasi
seksualmu"
Rafael langsung terbahak, "Aku menunggu yang terbaik."
Damian mengganggukkan kepalanya.
"Well menurut pengalamanku, kita
memang akan menyerah
kepada yang terbaik, semoga yang
terbaikmu itu segera datang."
Rafael
merenung, lalu membayangkan
Elena. 'yang terbaiknya’
memang sudah datang.
Ҩ
Rafael memarkir mobilnya di tempat biasa, di sebuah sudut,
tertutup bayang-bayang sebuah pohon besar yang teduh. Matanya menatap
ke arah bangunan asrama
tua itu. Tempat yang sangat dihafalnya dan mungkin
merupakan satu-satunya tempat yang paling sering dikunjunginya secara berkala.
Lalu Elena melangkah keluar dari sana, Rafael melihat jamnya,
selalu tepat jam Sembilan di hari Minggu. Elena akan pergi berbelanja kebutuhan
asrama ke pasar. Gadis itu tampak ceria dan sehat. Syukurlah, Rafael mendesah
dalam hati.
Matanya mengikuti Elena dengan waspada ketika perempuan
itu berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum untuk
mengantarkannya ke pasar,
dan Rafael mengernyit ketika
sebuah angkutan yang penuh sesak berhenti di depan Elena dan perempuan itu
masuk ke dalamnya.
Dia tidak boleh
naik angkutan umum
lagi. Putusnya dalam hati, Rafael
harus mengusahakan sesuatu. Setelah yakin bahwa Elena sudah benar-benar pergi,
Rafael mengangkat ponselnya.
"Saya sudah menunggu disini," gumamnya tenang.
Tak lama kemudian,
sosok ibu Rahma
keluar dengan hati-hati dari
asrama, dan melangkah ke tempat parkir Rafael yang biasa.
Dengan sopan Rafael membukakan pintu dan ibu asrama itu
melangkah masuk.
"Dia sangat senang karena diterima di perusahaan
itu," Ibu Rahma memulai percakapan sambil tersenyum.
Mau tak mau Rafael
tersenyum, membayangkan Elena bahagia membuatnya tak bisa menahan
senyum lebarnya.
"Saya senang, apakah dia merasa curiga? Apakah dia membicarakannya?"
Rafael menatap Ibu Rahma dengan sopan. Wanita di depannya ini adalah mantan
asisten mamanya yang sudah pensiun dan kemudian karena tidak mempunyai sanak keluarga,
mengajukan diri untuk menunggui asrama putri tersebut.
Asrama ini sebenarnya adalah salah satu dari asrama milik
yayasan sosial yang dikelola oleh Mama Rafael. Dan ketika Mama Rafael
menceritakan semua rencana Rafael, Ibu
Rahma menawarkan diri dengan senang hati untuk membantu. Dan Rafael sangat
menghormati wanita ini, hampir seperti dia menghormati mamanya sendiri.
"Dia sempat curiga." Ibu Rahma tersenyum melihat
kecemasan di mata Rafael, "Tapi saya sudah berusaha menghilangkan
kecurigaannya itu, lagipula nilai-nilai ijazahnya memang sangat bagus jadi
tidak menutup kemungkinan perusahaan-perusahaan besar bersaing memperebutkannya."
Rafael menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkirnya
semula di bawah pohon besar itu dengan tenang, mengarahkan mobilnya menuju
rumahnya. Karena setiap minggu, Ibu Rahma akan berkunjung ke rumahnya untuk bertemu
dengan mamanya. Setiap minggu itulah Rafael akan memanfaatkan waktu itu untuk
mengevaluasi dan memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dari Ibu Rahma tentang
Elena.
"Mungkin memang saya terlalu berlebihan, seharusnya saya
menempatkannya sebagai staff biasa dulu, tapi saya tidak tahan, saya lelah
melihatnya secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Saya ingin bisa berinteraksi
langsung dengannya."
"Saya mengerti," Ibu Rahma tersenyum penuh kelembutan,
"Tetapi tidak adakah ketakutan di hati anda kalau nanti lama-kelamaan
Elena akan menyadari siapa anda sebenarnya?”
Pandangan Rafael menerawang ke depan. "Saya tidak tahu...
saya menganggap ini semua seperti pertaruhan yang melibatkan hidup dan mati
saya... Anda tahu kan betapa saya sangat menginginkan pertemuan ini, bisa
bertatapan langsung dengan Elena, bisa berbicara langsung. Saya sangat menginginkan pertemuan
ini.... sekaligus takut...
sebab jika Elena sampai mengenali
saya... maka selesailah sudah semuanya."
Dengan penuh rasa
keibuan, Ibu Rahma mengamati
sosok disampingnya itu.
Rafael sedang berkonsentrasi menyetir, pandangannya lurus
ke depan dan tidak menyadari kalau wajahnya diamati. Ibu Rahma sudah mengenal Rafael sejak lama,
karena dia sudah
menjadi asisten mama
Rafael sejak Rafael masih kecil.
Dia sendiri yang menjadi saksi betapa nakal dan pemberontaknya Rafael
di masa mudanya,
dia juga yang menjadi saksi ketika kecelakaan itu
telah mengubah Rafael 180 derajat. Dari seorang pemuda ugal-ugalan yang sombong
dan hanya mengandalkan nama ayahnya, menjadi pengusaha yang berjuang
dengan kekuatannya sendiri seperti sekarang.
Tidak. Ibu Rahma memutuskan, Elena tidak akan mengenali
Rafael yang sekarang. Rafael yang sekarang jauh berbeda dengan Rafael yang
dulu. Kebandelan masa remajanya sudah berubah menjadi sikap dewasa yang penuh
wibawa. Fisiknya sudah berubah menjadi lebih dewasa pula, dan aura kesombongan
dan keangkuhannya telah berubah menjadi kebijaksanaan yang tenang. Ibu Rahma
yakin, Elena tidak akan bisa mengenali Rafael yang sekarang sebagai pemuda kaya
yang dulu telah merenggut nyawa ayahnya.
"Saya sangat tahu perasaan anda, dan saya akan mendoakan
yang terbaik, untuk anda dan untuk Elena juga. Dia anak yang baik, anak yang
baik luar dan dalam. Hatinya sangat lembut, dan saya yakin, suatu saat nanti
akan datang waktu di mana Elena akhirnya akan memaafkan anda."
Rafael
tersenyum sedih mendengar
kata-kata Ibu Rahma, dimaafkan?
Itu terdengar terlalu mewah baginya. Dia
tidak pernah sedikitpun berani memohon agar dimaafkan, karena dia tahu
permohonan itu akan terlalu muluk untuknya. Dia bersalah, dan dia tak
termaafkan, sesederhana itu. Yang diabutuhkan sekarang hanyalah agar Elena
bahagia. Kebahagiaan
Elena entah sejak kapan, telah menjadi obsesi kehidupannya.
Ҩ
Elena memasuki lift dengan tergesa-gesa sambil membawa map
berisi berkas-berkas yang kemarin diserahkan Donita kepadanya. Malangnya,
karena kurang berhati-hati, map itu terlepas dari tangan Elena dan berhamburan
di lantai lift. Membuat Elena dengan gugup langsung berjongkok dan memunguti
kertas-kertas itu di lantai. Sampai kemudian dia sadar ada sepasang kaki dengan
sepatu mahal dan terbungkus celana panjang hitam dari bahan khasmir yang mahal
pula sedang berdiri di hadapannya.
Elena
mendongakkan kepalanya dan bertatapan
langsung dengan Mr.
Alex, bos barunya.
Lelaki itu berdiri dengan elegan
dan menatap Elena
yang berjongkok di bawahnya dengan sinar geli di matanya,
“Butuh bantuan?”
Elena langsung merenggut seluruh kertas-kertas yang berhamburan
di lantai itu secepatnya,
“Eh tidak Mr. Alex… maaf, saya ceroboh…”
Tiba-tiba Mr. Alex sudah berjongkok di depannya, tangannya
yang kuat tetapi berjemari ramping itu membantu Elena memungut kertas-kertas
yang berserakan, lalu tanpa kata menyerahkannya kepada Elena.
“Eh… te…terima kasih.”
gumam Elena gugup
sambil memasukkan kertas-kertas itu kembali ke dalam map.
“Lain kali tidak perlu terburu-buru, tidak akan ada yang memarahimu.”,
Mr. Alex meluncur berdiri dengan anggun bertepatan dengan pintu lift yang
terbuka. Lelaki itu lalu melangkah pergi, meninggalkan Elena yang masih berjongkok
di dalam lift.
Yuhuuu thanks yg udah kasih linknya 🙏cieee Abang Damian sma Mikail nongol nih yeee😇
ReplyDeleteSuka banget dengan ceritanya,
ReplyDelete