4
Dengan lembut tetapi
bergairah dibaringkannya tubuh Elena. Gadis itu sudah pasrah
dalam pelukannya, dan Rafael amat sangat tergoda untuk memilikinya,
seketika itu juga.
Tubuhnya
menindih tubuh Elena,
jemarinya menyibakkan gaunnya, menelusuri
paha Elena dengan lembut, semakin ke atas, sampai kemudian menyentuh
kewanitaannya. Jemari Rafael memainkannya
dengan lembut, tahu bahwa tempat itu tidak pernah tersentuh
sebelumnya dan sangat sensitif.
Elena mengejang
merasakan sensasi aneh yang menyengat di pusat kewanitaannya
ketika jemari
Rafael bermain di sana. Tempat
yang tidak pernah tersentuh sebelumnya. Rafael begitu ahli, mengetahui titiknya
yang paling sensitif, lalu menggerakkan jemarinya
memutar di sana membuat Elena merasakan kenikmatan aneh yang tidak pernah berani
dia bayangkan sebelumnya.
Sementara
itu
Rafael merespon gerakan Elena dengan bergairah, kejantanannya telah begitu
mengeras, mendesak celananya. Ingin segera merasakan tubuh Elena dan menenggelamkan
diri di kewanitaannya tanpa pembatas apapun.
“Kau menginginkannya
sayang? Jawab aku.” Suara Rafael begitu parau penuh gairah. “Aku tidak ingin memaksamu,
aku ingin kau menyerah karena kau mau.” Kejantanannya yang mengeras menggantikan
jemarinya, mendesak di sana, di pusat kewanitaan Elena yang paling sensitif.
Rafael menunggu,
menunggu Elena menjawab, dia membutuhkan persetujuan Elena, entah dalam bentuk
kata- kata, entah dalam geliatan respon
tubuhnya yang menunjukkan bahwa perempuan itu setuju. Tetapi suasana berubah
menjadi hening, Elena bahkan tidak bergerak di bawah tindihannya.
“Elena?”
Rafael menundukkan kepalanya, wajahnya sangat dekat dengan wajah Elena, napasnya
masih memburu, menunjukkan gairahnya. Tetapi kemudian dia menyadari napas Elena
yang teratur.
Gadis
itu ... tertidur…..
Rafael menahan
dirinya untuk tidak mengumpat. Tubuhnya yang sakit karena gairah tak
tersalurkan mendorongnya untuk menumpahkannya
dalam
kata-kata. Tetapi Rafael berhasil menahan diri. Dia menghela napas
dalam-dalam, sambil menggertakkan gigi karena kejantanannya menggesek tubuh Elena. Rafael memundurkan tubuhnya dengan hati-hati hingga duduk di atas
ranjang. Menatap Elena yang sepertinya sudah tenggelam dalam tidur pulasnya.
Oh Ya Ampun,
akhirnya dia bisa membawa Elena dengan penuh gairah ke atas ranjangnya. Hal yang
tidak pernah dilakukannya kepada perempuan lain, dan Elena bisa-bisanya tertidur!
Dengan pulas pula. Mungkin tadi tidak seharusnya dia membiarkan Elena meminum
anggurnya. Satu gelas anggur rupanya terlalu berlebihan untuk gadis yang tidak
berpengalaman seperti Elena.
Rafael tersenyum ironis
memikirkan semua kejadian tadi.
Disentuhnya pipi Elena
dengan lembut. Tidak bisa menahan
dirinya. Lelaki itu lalu mengecup bibir Elena dengan hati-hati, kemudian dengan
gerakan cekatan dan tak kalah hati- hatinya, dilepaskannya gaun Elena.
Pelan-pelan, hingga gadis itu setengah telanjang hanya mengenakan
pakaian dalam.
Tubuh Elena
terasa begitu menggoda. Sama seperti mimpi-mimpi Rafael
di malam sepinya
ketika merindukan Elena, bahkan pemandangan di depannya
ini jauh lebih baik. Tubuh ini nyata, hangat dan mengundang, seakan
mengajaknya untuk membenamkan dirinya dalam kelembutannya.
“Maafkan aku sayang.” Rafael
lalu melepaskan
baju dalam Elena hingga perempuan
itu telanjang sepenuhnya. Ditatapnya sejenak tubuh Elena, lalu memalingkan
muka. Nuraninya seakan menghantamnya karena dia akan membuat gadis ini benar-benar
mengalami kejutan buruk di pagi hari ketika dia terbangun nanti.
Sejenak
Rafael ragu, lalu dia menghela napas panjang. Dia tidak boleh mundur. Ini adalah
satu-satunya cara untuk membuat Elena terikat dengannya. Dengan
tenang dia lalu melepas kemejanya, kemudian celananya, dan yang terakhir,
semuanya. Hingga dia berdiri telanjang bulat di tepi ranjang, tubuhnya begitu kokoh, berwarna
perunggu keemasan. Warisan darah Spanyolnya
membuat warna kulitnya begitu indah dipandang.
Lalu Rafael naik ke
atas ranjang, memeluk Elena. Gesekan tubuh telanjang Elena yang lembut, membuat kejantanannya mengeras
lagi, keras dan siap.
Rafael menggertakkan gigi untuk
menahan dirinya. Tidak. Belum. Dia tidak akan merenggut
Elena begitu saja, tidak di saat gadis itu tidak siap dan tidak rela menyerahkan
dirinya. Saat ini yang dia perlukan hanyalah tidur dan memeluk Elena dalam kondisi telanjang bulat. Memastikan
apa
yang terjadi esok hari sesuai
dengan rencananya.
Ҩ
Yang dirasakan Elena
ketika pagi hari membuka matanya adalah pening yang luar biasa.
Kepalanya serasa berat dan seakan ada suara berdentam-dentam di telinganya.
Cahaya redup Matahari yang menyelinap di balik gorden terasa begitu menyilaukan,
menyakitkan mata dan membuatnya semakin pusing.
Elena mengerang, lalu mencoba
duduk sambil memegangi kepalanya yang pening,
untuk kemudian merasakan hawa dingin
menyergapnya...karena selimutnya melorot sampai ke pinggang. Elena menunduk,
hendak menaikkan selimutnya, hanya untuk menyadari bahwa dia telanjang bulat di
balik selimutnya.
Tunggu
dulu…. Telanjang bulat??
Mata Elena
tiba-tiba tertuju kepada lengan kekar yang melingkarinya dengan posesif. Lengan
itu melingkarinya tepat di bawah buah dadanya yang telanjang. Dengan panik dia menoleh
ke arah pemilik tangan itu dan menyadari bahwa seorang lelaki yang sekarang
sedang tidur satu selimut dengannya. Dan menilik kulit kecoklatannya yang
terpampang jelas di depan matanya, lelaki itu telanjang sama sepertinya!
Astaga,
apa yang terjadi semalam? Elena memutar ingatannya dengan cepat, tetapi apa yang dia ingat hanyalah percakapan samar sebelum minum anggur, dan ciuman
itu… lalu dia tidak ingat apa-apa lagi. Apakah dia telah
berbuat terlalu jauh dengan atasannya
ini? Oh Ya Ampun!
Gerakan
Elena membuat Rafael terjaga dari tidurnya, bahkan cara bangunnya pun begitu elegan.
Elena memandang terpana untuk kemudian mengutuk dirinya karena bukannya panik, malah sempat-sempatnya
mengagumi cara Mr. Alex terbangun.
Bulu mata
gelap Mr. Alex yang tebal bergerak-gerak, untuk kemudian mata tajamnya terbuka,
dan langsung menatap Elena. Mr. Alex rupanya
jenis orang yang langsung
terjaga ketika bangun tidur. Mereka bertatapan
dalam keheningan. Lama.
Sampai
kemudian ada kesadaran di mata Mr. Alex, yang membuat lelaki itu tersenyum
simpul.
“Selamat
pagi.” Gumamnya parau, “Kuharap tidurmu menyenangkan semalam.” Nada sensual
tersemat jelas di sana. Membuat Elena semakin panik. Sapaan itu. Jelas-jelas
ditujukan untuk kekasih yang habis bercinta semalaman. Jadi benarkah mereka
berdua telah berbuat sesuatu yang lebih semalam?
Rafael
bergerak duduk mengikuti Elena. Selimut ikut turun sampai ke pinggangnya, sampai
ke batas dimana kejantanannya yang telanjang hampir mengintip di sana.
Kejantanan lelaki itu mengalami ereksi. Elena mengerang dalam hati. Astaga, kenapa dia langsung
melirik ke sana?
Tetapi bagaimanapun juga dia sangat ingin
tahu. Elena tahu bahwa kejantanan lelaki akan menjadi keras ketika dia bergairah,
dari buku-buku yang dibacanya. Tetapi dia tidak pernah melihatnya langsung. Dan
melihat sesuatu yang menonjol dengan tegak dan tampak keras di balik selimut
yang menutupi pinggang dan selangkangan Mr.
Alex, Elena langsung menyimpulkan bahwa lelaki itu sedang ereksi.
Rafael mengikuti
arah pandangan Elena, dan menyadari bahwa ketegangan di selangkangannya yang membuat
Elena tampak segan dan waspada. Dia lalu mengangkat bahu dan tersenyum meminta maaf.
“Maaf, begitulah yang sering terjadi kepadaku ketika bangun di pagi hari, dia
keras dengan sendirinya.” Dengan gerakan menggoda Rafael menarik selimutnya menuruni
pinggangnya seolah-olah akan menunjukkan kejantanannya yang tersembunyi di
sana.
“Jangan!”
Elena memekik, menutup kedua matanya dengan jemarinya. Dan ketika mendengar
Rafael terkekeh dia langsung membuka jemarinya
dan menatap lelaki itu dengan malu.
“Kau
begitu berbeda di pagi hari. Begitu pemalu.” Rafael dengan lembut mendekatkan
bibirnya ke dahi Elena dan mengecupnya, “Kau
pasti
pusing. Mandilah, akan kubuatkan kopi untukmu.”
Lelaki
itu lalu turun dari ranjang, telanjang bulat, dan seolah-olah tidak malu memamerkan tubuh telanjangnya
di depan Elena. Kemudian melangkah pergi keluar kamar, meninggalkan Elena
sendirian.
Ҩ
Elena membiarkan
seluruh tubuhnya terguyur oleh shower air panas di kamar mandi. Merasa bingung.
Kepalanya masih berdenyut-denyut , tetapi
setidaknya pikirannya sudah mulai fokus.
Dia
telanjang bulat bersama Mr. Alex,
di
atas ranjang di kamar pribadi lelaki itu. Apakah mereka sudah bercinta?
Kalau
begitu, kenapa Elena tidak merasakan perbedaan? Elena tidak pernah bercinta
dengan lelaki lain sebelumnya, jadi dia tidak tahu. Tetapi dari yang dia dengar,
saat pertama adalah saat yang menyakitkan. Dan sakit itu akan terasa hingga
beberapa saat. Tetapi saat ini
dia
tidak merasakan apa-apa. Tidak
ada perbedaan di tubuhnya, tidak ada
rasa nyeri yang katanya akan terasa di kewanitaannya beberapa lama setelah malam
pertama. Elena ragu. Apakah semalam dia benar-benar tidur dengan Mr. Alex?
Batinnya
berharap bahwa kejadian itu tidak benar-benar terjadi, mungkin saja mereka hanya
tertidur bersama dan tidak berbuat terlalu jauh bukan? Tetapi… sikap Mr. Alex
tadi begitu mesra dan sensual, menyiratkan kalau mereka sudah menjadi sepasang
kekasih…
Air mata
menetes di mata Elena, air mata bingung dan frustrasi. Apa yang
harus dia lakukan
kalau dia benar-benar
telah menyerahkan kegadisannya kepada Mr. Alex? Apa yang harus dia lakukan?
Elena mengusap air matanya
dengan tangan gemetar. Dia akan menanyakannya langsung kepada
Mr. Alex, mungkin saja – tidak seperti dirinya – lelaki itu ingat apa yang
terjadi semalam.
Ҩ
“Aku baru tahu ada orang yang bisa mabuk hanya dengan meminum segelas anggur.” Lelaki itu sudah
tampil elegan dan tampan, dengan rambut basahnya yang disisir ke belakang. Mungkin dia mandi di
kamar mandi lain. Dia menyodorkan secangkir
kopi yang mengepul panas ke depan Elena, “Minumlah mungkin ini akan menghilangkan
rasa pusingmu.”
Elena,
yang memakai kembali gaunnya semalam meraih cangkir kopi itu
dan
menggenggamnya dengan kedua tangannya. Suasana sangat canggung baginya meskipun Mr. Alex tampak bersikap santai kepadanya. Dia
merasa sangat murahan saat ini, memakai kembali gaun yang dipakainya semalam.
Seperti wanita dengan gaya hidup bebas yang tidak keberatan bercinta tanpa ikatan
hanya untuk kesenangan semalam.
“Apakah…
semalam kita melakukan
itu?” Suara Elena lirih dan ragu, Membuat Rafael yang
sedang menuangkan kopi untuk dirinya sendiri menghentikan gerakannya dan menoleh,
menatap ke arah Elena.
“Mungkin. Aku tidak ingat.” Rafael sejenak merasa kasihan kepada Elena, gadis itu begitu
pucat dan seperti Rafael duga merasa tidak suka dengan kejutan di pagi hari ini.
“Tapi kemungkinan besar kita melakukannya.” Bagaimanapun juga Rafael tidak bisa
mundur, dia sudah melangkah sejauh ini untuk memiliki Elena.
“Tetapi
saya tidak berdarah, dan tidak ada rasa sakit… “ Elena menelan ludahnya ketika
suaranya hilang di tenggorokan, “Mungkin saja kita tidak melakukannya.”
“Tolong
jangan gunakan ‘saya’ dan ‘anda’ ketika kita bercakap-cakap. Mengingat apa yang
mungkin terjadi semalam, penggunaan kata itu sudah terlalu formal untuk kita berdua.”
Rafael membawa cangkir kopinya dan meletakkannya di meja di depan Elena. Dia lalu
menyusul duduk di hadapan Elena, menatap perempuan itu dengan
mata elangnya yang tajam, “Aku tidak pernah bercinta dengan perawan
sebelumnya Elena, jadi aku tidak bisa memberikan penjelasan kepadamu.” Rafael
tidak bohong mengenai tidak pernah bercinta dengan perawan sebelumnya, dia selalu
memilih kekasih yang sudah berpengalaman, yang bisa memuaskan
hasratnya tanpa perasaan
dan tanpa ikatan. “Tetapi dari yang aku tahu, tidak semua perempuan merasakan rasa sakit
dan berdarah di malam
pertamanya.”
“Kalau
begitu? Apakah kita sudah bercinta?” wajah Elena tampak pucat pasi.
Rafael mengangkat
bahunya, “Aku tidak bisa memastikannya untukmu sayang, sepertinya aku terlalu
mabuk semalam dan tidak ingat semuanya, sama sepertimu.” Itu bohong, Rafael ingat semuanya, setiap detiknya.
“Kurasa kita harus membicarakan
hubungan kita ke depannya.”
“Hubungan
kita ke depannya?”
“Ya. Mengingat kemungkinan aku sudah menodaimu,
yang pasti akan menjadi permasalahan yang sangat besar bagi gadis baik-baik
sepertimu. Aku akan bertanggungjawab.
Kita bisa membicarakan tentang
pernikahan.”
“Pernikahan?!!”
Elena merasakan dirinya
bagai burung beo, hanya bisa menirukan
kalimat-kalimat Mr. Alex. Apakah atasannya ini sedang bercanda? Membicarakan
pernikahan dengan begitu mudahnya? Pernikahan adalah hal yang penting dan sakral
bagi Elena. Dan itu membuatnya langsung menolak mentah-mentah tawaran Mr, Alex,
“Aku tidak bisa menikah denganmu begitu saja…..”
“Kau mungkin
saja sudah mengandung anakku.” Gumam Rafael tenang, “Tidak terpikirkan olehmu
kan Elena?”
Elena tertegun.
Mengandung anak Mr. Alex? Tetapi bukankah itu terjadi kalau mereka benar-benar
berhubungan intim semalam? Sedangkan sekarang mereka sama-sama tidak bisa memastikan
apakah hal itu benar-benar terjadi atau tidak.
“Aku akan
menemui dokter.”
“Dan mengatakan
apa?” Rafael tersenyum sinis, “Bahwa kau tidak ingat sudah bercinta atau belum lalu
ingin mengecek keperawananmu?”
Elena menelan
ludahnya, tentu saja dia tidak bisa melakukan itu, dia akan mati karena malu
sebelum melakukannya. Denyutan di kepalanya semakin terasa, antara bingung dan frustrasi,
membuatnya meringis kesakitan. Rafael melihatnya dan mendorong cangkir kopi Elena
mendekat.
“Minum kopimu. Percayalah itu akan
membuatmu sedikit lebih baik.” gumamnya lembut sembari menyesap kopinya
sendiri.
Elena menurutinya.
Menyesap
kopi itu dan merasakan rasa pahit yang kental memenuhi rongga mulutnya, mengembalikan
kesadarannya. Mereka duduk dalam
keheningan, saling berhadapan di meja makan kecil di dapur itu, sampai kemudian
Rafael menghela napas dan memulai pembicaraan.
“Aku tidak akan memaksamu
Elena, yang perlu
kau tahu aku bersedia bertanggung jawab.
Kau perlu tahu aku tidak pernah merusak perempuan yang lugu sebelumnya, dan kemungkinan
kau sudah mengandung anakku…..” Lelaki itu menatap Elena, mencoba berkompromi
karena kasihan melihat wajah Elena yang semakin pucat, “Mungkin kita bisa bertunangan
dulu sampai ada kepastian apa tindakan kita selanjutnya.”
Elena
hanya terdiam, masih bingung dengan apa yang harus dilakukannya.
“Pertunangan
tidak akan merugikanmu. Kita tidak akan mengumumkannya. Hanya antara aku dan kau
dan mungkin beberapa orang terdekat kita. Kita bisa membatalkannya kapan saja
kalau ternyata tidak ada kesepakatan di antara kita.” Rafael mengutuk dirinya
sendiri karena menawarkan pertunangan yang longgar. Seharusnya dia langsung
menikahi Elena, memastikan bahwa gadis itu tidak bisa lari darinya. Tetapi Rafael tidak bisa tergesa-gesa. Karena
ketergesa-gesaan hanya akan membuat Elena semakin menjaga jarak kepadanya. Dia
harus membuat Elena merasa nyaman dengannya, sebelum kemudian, perempuan itu akan
menyerahkan diri kepadanya secara sukarela.
Elena terdiam meresapi kata-kata Mr. Alex.
Lelaki ini pasti sangat jago bernegosiasi, karena dia
bisa merangkai kata- katanya dengan begitu membujuk. Elena merasa dirinya terbujuk.
Perempuan mana yang bisa menemukan
seorang lelaki yang begitu bertanggungjawab kepadanya, mengingat kalau mereka memang
melakukan hubungan intim itu, tidak ada cinta di dalamnya.
“Aku akan
memikirkannya.”
“Kau harus
menerimanya Elena.” Rafael setengah memaksa, tidak mau memberi kesempatan Elena
berpaling lalu lepas darinya, “Kau akan bertunangan denganku dan kita akan membicarakan
pernikahan.” Dengan tegas lelaki itu berdiri dan menatap Elena dengan tatapan
tak terbantahkan, “Tunggu sebentar. Aku akan kembali.” Gumamnya tegas, lalu meninggalkan
Elena.
Tak lama kemudian,
dia
kembali. Membawa sebuah kotak yang jika Elena
tak salah duga berisi
sebuah cincin. Wajah Elena langsung memucat begitu memahami
keseriusan dari pihak Rafael.
“Tunggu
sebentar Mr. Alex …”
“Jangan menolak Elena.” Mr. Alex tersenyum,
“Dan panggil aku dengan namaku,
panggil aku Alex…” Meskipun aku akan sangat bahagia kalau kau bisa memanggil namaku yang sebenarnya dengan
bibir lembutmu, namaku yang sebenarnya… Rafael…, Rafael meringis
ketika suara hatinya seakan menohoknya. Nanti akan tiba saatnya Elena akan memanggil
namanya yang seungguhnya, sekarang dia harus cukup puas dipanggil dengan nama Alex,
tanpa embel-embel
‘Mr’ di
dalamnya. “Aku ingin memakaikan cincin ini di jarimu, tanda kesepakatan pertunangan
pribadi kita.”
“Tapi… aku tidak bisa melakukannya
begitu saja. Oh Astaga, kau juga tidak bisa melakukannya
begitu saja.”
“Aku dan
kau bisa.” Suara Rafael begitu tenang meskipun jantungnya berdegup kencang
ketika meraih jemari Elena, dan memakaikan cincin berlian mungil yang indah itu
di jari Elena, “ Ini adalah cincin warisan dari keluarga ayahku, yang harusnya
diberikan kepada tunanganku. Lihat, pas sekali di
jemarimu. Nah, sekarang kita sudah
bertunangan.” Elena menatap jemarinya yang sudah dilingkari cincin itu dan merasakan
serangan panik melandanya, membuatnya kebingungan.
Ҩ
Ketika
Rafael mengantarkannya pulang, Elena meminta lelaki itu menurunkannya di ujung
jalan. Dia tidak siap menghadapi pertanyaan Ibu Rahma nanti ketika melihat dia
diantarkan lelaki, atasannya, dalam keadaan
dia tidak pulang semalaman. Elena tidak pernah menginap di rumah siapapun sebelumnya,
apalagi
menginap tanpa pamit. Ibu Rahma pasti menunggunya dengan panik dan mencemaskannya
semalaman. Pemikiran itu membuatnya merasa bersalah. Bagaimana
dia akan menjelaskan kejadian ini kepada Ibu Rahma? Apakah dia harus memberikan
kebohongan demi kebohongan lagi?
Mobil
Rafael berhenti di ujung jalan, dia menatap Elena lembut, “Kau benar-benar tidak ingin
diantar sampai ke
rumah?”
Elena langsung menggelengkan kepalanya, “Tidak, terima kasih. Aku akan mencoba menjelaskan
sendiri kepada ibu asramaku.”
“Kau
tinggal di asrama?” Rafael tentu saja bersandiwara, dia hanya harus menanyakan
itu, kalau tidak akan terlihat aneh bagi Elena, “Di mana keluargamu?”
Sejenak
suasana hening. Keheningan yang pahit bagi Elena, tetapi meresap ke dalam benak
Rafael, membuatnya dipenuhi rasa bersalah.
“Tidak
ada. Aku sebatang kara di dunia ini.” Elena menjawab pelan, lalu membuka pintu
keluar, “Terima kasih sudah mengantarkanku pulang.” gumamnya sebelum menutup
pintu dan melangkah pergi.
Rafael masih
menatap Elena melangkah menjauh sampai menghilang di tikungan, sebelum kemudian
tersadar dan menekan sebuah nomor di ponselnya.
Suara Ibu
Rahma yang cemas langsung terdengar di seberang sana, “Rafael, syukurlah. Elena
tidak pulang semalaman, aku tidak bisa menghubungi ponselnya, dan ponselmu juga
tidak diangkat… “
“Ibu ...
Elena bersama saya semalam.”
Hening.
Lalu suara di seberang sana menyahut hati-hati.
“Apakah
kau melakukan sesuatu di luar yang seharusnya?”
Rafael menghela
napas, “Tidak Ibu Rahma, percayalah. Saya tidak merusak
Elena kalau itu yang
ibu
maksud. Saya hanya membuat Elena percaya
bahwa saya sudah melakukannya.”
“Oh…” Ibu Rahma meghela napas panjang di seberang sana, “Ibu
mengerti.”
Ҩ
Syukurlah
Ibu Rahma bisa mengerti penjelasan Elena, meskipun dengan terbata-bata dia berbohong
bahwa dia menginap di rumah teman kantornya semalam. Elena tidak terbiasa berbohong
sebelumnya sehingga kebohongannya pasti terlihat jelas di matanya yang panik. Tetapi
rupanya Ibu Rahma tidak menyadarinya, perempuan itu rupanya sudah cukup
senang karena Elena sudah pulang dengan selamat.
Elena melangkah masuk ke kamarnya dan melirik
ke arah jam tangannya. Hari ini hari minggu
dan sudah pukul tiga siang. Perjalanan dari rumah Mr. Alex ke asramanya cukup
jauh dan harus menembus kemacetan. Biasanya di hari
minggu Elena akan menemani Ibu Rahma
berbelanja untuk keperluan makan malam anak-anak asrama. Tetapi dengan berat
hati dia tidak ikut hari ini dan membiarkan Ibu Rahma ditemani oleh anak asrama
yang lainnya.
Elena membaringkan
tubuhnya di ranjang dengan mata nyalang menatap
langit-langit. Dia telah berganti
pakaian dengan pakaian
rumahan, gaun pestanya
tersampir di
punggung kursi seolah-olah menuduhnya.
Bagaimana
mungkin semua bisa berubah secepat ini? Semalam bahkan dia masih yakin bahwa dia
dan Edo akan menjadi sepasang kekasih. Elena berencana menjawab ‘ya’ kepada Edo
seusai pesta. Tetapi kenyataan kemudian berkata lain. Edo ternyata lelaki yang
tidak bisa menahan nafsu dengan pergaulan yang begitu bebas, yang tidak bisa
diterima Elena.
Tetapi
dia sendiri juga melakukannya bersama Mr. Alex - meskipun dia belum yakin, dan mereka
dalam kondisi mabuk- tetap saja itu tidak bisa dibenarkan. Elena merasa
mengkhianati semua norma yang selama ini selalu dipegangnya dengan teguh. Tanpa
sadar air matanya menetes lagi, air mata kebingungan, dan tak tahu harus mengungkapkannya
kepada siapa.
Ҩ
Ponselnya
berdering terus menerus, membuatnya terbangun. Elena rupanya sudah tertidur pulas
tanpa sadar ketika menangis di kamarnya tadi. Dengan mata perih dia melihat ke arah
ponselnya yang masih berkedip dengan nada dering yang berbunyi makin
nyaring, seolah tidak mau menyerah sebelum Elena mengangkatnya.
Elena menggapai
dan meraih ponsel itu. Nama ‘Edo’ tertera di sana. Seketika membuat jantungnya
berdenyut, sakit. Dipegangnya ponsel itu tanpa niat mengangkatnya. Lama HP itu
berdering seolah Edo tidak mau menyerah di seberang
sana. Sampai kemudian deringannya mati, membuat Elena menghela napasnya
lega.
Tetapi kemudian ponselnya berbunyi pelan, sebagai tanda sebuah pesan masuk. Elena mengintipnya.
Dari Edo. Dibacanya pesannya.
– Aku
akan tiba di Asrama sebentar lagi. Kita harus bicara langsung – Edo
Elena mendesah, dia sungguh-sungguh
tidak siap bertemu Edo sekarang ini. Tetapi lelaki
itu sungguh memaksa, dan Elena tahu Edo sangat gigih, lelaki itu tidak akan
menyerah sebelum Elena menemuinya.
Ҩ
Edo benar-benar
datang sore itu, tampak sangat tampan dengan sweater hijau tuanya dan celana hitam
yang membungkus ketat kaki panjangnya. Tetapi Elena tidak bisa merasa tertarik lagi.
Bayangan Edo bercumbu dengan penuh gairah
dengan perempuan
itu membuatnya merasa mual.
Karena itulah dia berdiri agak jauh dari Edo di teras asrama itu dan menatap Edo
dengan dingin,
“Tidak ada yang
perlu dibicarakan
lagi.” Gumamnya pelan, berusaha tenang.
Edo di sisi
lain menatap Elena dengan pandangan penuh penyesalan. “Aku minta maaf Elena. Aku
tahu mungkin kau merasa jijik dan muak kepadaku. Di awal malam aku memintamu menjadi kekasihku
dan mengatakan mencintaimu, tetapi kemudian kau menemukanku sedang berbuat
mesum dengan perempuan
lain.” Lelaki
itu mengacak
rambutnya dengan frustasi,
“Aku sendiri tidak tahu apa
yang terjadi dengan diriku, aku juga jijik dan muak
kepada diriku sendiri.”
Elena hanya
diam. Tidak bergeming, bahkan melihat Edo tampak begitu menyesal dan frustasi
tidak membuat
rasa ibanya muncul, entah kenapa. Dia seperti
sudah mati rasa kepada lelaki itu.
“Aku
ingin kau mempertimbangkanku kembali, kemarin aku khilaf dan aku tidak tahu kenapa
aku melakukannya. Alice, perempuan itu memang perempuan gampangan yang suka merayu
laki-laki manapun yang dia mau. Entah kenapa malam itu aku menjadi targetnya,
aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa menolak, mungkin karena aku sedikit mabuk.
Mungkin juga karena hal lainnya, entahlah Elena, yang pasti aku tidak pernah sengaja
berniat mengkhianatimu. Aku mencintaimu Elena. Kuharap kau mengerti
bahwa
itu hanya kekhilafan dan aku
tidak akan melakukannya lagi.”
Bagaimana
dia bisa yakin bahwa Edo tidak akan melakukannya lagi? Beberapa saat kemudian lelaki
itu mengatakan mencintainya, tetapi beberapa
saat yang lain dia mencumbu perempuan lain. Elena
tidak bisa menerima
Edo lagi, dengan alasan apapun. Perasaan
apapun yang pernah ada di dalam hatinya kepada Edo sekarang sudah mati.
“Maafkan
aku Edo.” Elena menatap Edo dengan sedih, “Aku sungguh tidak bisa.”
“Bahkan kalau aku berlutut
di kakimu dan memohon satu kesempatan lagi?” Edo menatap Elena
penuh harap.
“Jangan lakukan, itu tidak akan berhasil…” Elena menghela
napas panjang, “Perasaanku sudah mati.”
Edo menatap
Elena dengan tajam, “Apakah karena Mr.Alex?”
Elena terperanjat, tak menduga akan menerima pertanyaan seperti itu dari Edo, “Apa
maksudmu?”
“Mr. Alex.”
Suara Edo menjadi tajam. “Aku kemari semalam, dan menungguimu sampai pagi di mobil,
di depan asrama, tetapi kau tidak pulang. Apakah kau bermalam dengannya Elena?
Apakah dia berhasil merayumu dan membuatmu tidak bisa menerimaku lagi?”
“Kau
bicara apa Edo?”
“Aku tahu
ada yang aneh dari ini semua. Alice, sahabat Mr. Alex yang sebelumnya tidak pernah melirikku, meski dia terkenal dengan reputasinya mempermainkan laki-laki, tetapi tiba-tiba dia merayuku dengan panasnya di pesta Mr. Alex.
Dan kebetulan juga kau dan Mr. Alex yang menemukan kami. Lalu kau tiba-tiba bermalam
dengan Mr.Alex.” Edo tiba-tiba mendekat, lalu mencengkeram tangan Elena dan
membawanya ke depan wajahnya, “Dan kau mengenakan cincin ini! Apakah ini dari Mr.
Alex, Elena?? Benarkah Elena??”
‘Lepaskan
Edo! Sakit!” Elena meringis, berusaha melepaskan cengkeraman Edo di tangannya, Cengkeraman
itu begitu kuat sehingga membuatnya nyeri.
Tetapi Edo rupanya terlalu terbawa emosinya….
“Lepaskan
dia.”
Suara
yang tegas dan berwibawa itu membuat Edo tersadar dan melepaskan tangan Elena. Mereka
menoleh bersamaan dan mendapati Ibu Rahma berdiri di sana, perempuan itu rupanya
sudah pulang dari berbelanja.
“Saya harap
anda bersikap sopan ketika bertamu di asrama ini. Kalau tidak anda tidak diterima
di sini.” Ibu Rahma melewati Edo yang masih tertegun, lalu menghela tubuh Elena
ke pintu, “Ayo masuk
Elena.” Ibu Rahma
membawa Elena masuk dan menutup pintunya dari dalam, meninggalkan Edo sendirian di luar. Lelaki itu masih berdiri
di sana beberapa saat, lalu menyerah dan melangkah pergi. Sejenak kemudian terdengar
suara mobilnya pergi meninggalkan halaman asrama, membuat Elena menghela
napasnya.
“Kau
tidak apa-apa Elena?” suara Ibu Rahma terdengar di belakangnya. Elena bahkan hampir lupa kalau
sang ibu asrama masih berdiri di belakangnya.
“Eh… saya
tidak apa-apa ibu.”
“Syukurlah
ibu
datang pada saat yang tepat, ibu tidak
menyangka Edo yang tampaknya baik bisa berlaku kasar kepadamu.” Ibu Rahma
menatapnya ragu, “Kalau
ada
yang perlu kau ceritakan agar hatimu lebih lega, ibu siap nak.
Elena menggelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa ibu, saya hanya ingin menenangkan diri.”
Ibu Rahma
menganggukkan kepalanya dan tersenyum penuh pengertian, lalu melangkah meninggalkan
Elena sendiri. Elena berdiri diam
dan
memegang tangannya yang sakit, pegangan kasar Edo tadi telah membuat kulitnya sedikit memar. Elena
menggosoknya untuk menghilangkan rasa nyerinya. Pandangannya tersapu kepada cincin berlian indah di jari manisnya, yang tadi dipasangkan Mr. Alex dengan mantap di
sana. Edo mungkin terlalu terbawa emosi sehingga menghubungkan semuanya dalam pikiran negatifnya dan bahkan mengkambinghitamkan Mr. Alex
sebagai dalang atas semuanya. Sungguh pemikiran
yang bodoh. Bagaimana mungkin Mr. Alex yang
menyuruh Alice merayu Edo? Tidak ada untungnya sama sekali untuk Mr. Alex.
Elena menatap ke halaman
dengan cemas….Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Ҩ
Mr. Alex menatap Elena yang berdiri di depannya dengan mantap. Baru beberapa menit yang
lalu
Elena melangkah masuk ke ruangannya, melepas cincin itu dari jemarinya,
dan meletakkannya di meja, di depannya.
“Aku
tidak bisa melanjutkan pertunangan ini, Mr. Alex.”
Rafael menatap
Elena dalam-dalam. Ada ketegasan yang dalam di balik sikap rapuh Elena.
Ketegasan yang sama yang dirasakan Rafael
bertahun lalu ketika perempuan itu mengusirnya dengan kasar dari
rumahnya, mengetuk nuraninya sampai terasa sakit. Dia tidak
boleh gegabah menghadapi Elena, kalau dia gegabah, perempuan itu akan lari.
“Panggil
aku Alex.” Rafael menaatap Elena dalam, “Aku pikir kita kemarin
sudah mencapai kesepakatan,
Elena..” gumam Rafael tenang. Menolak
untuk menatap cincin yang diletakkan Elena di depannya, dan memundurkan
tubuhnya, bersandar di kursinya.
“Kemarin
aku
masih bingung.” Elena memeluk dirinya sendiri, seakan berusaha
melindungi dirinya. “Aku sudah memikirkannya
semalaman dan kupikir semua ini adalah
kesalahan. Aku tidak bisa menerima
pertunangan ini karena sebuah kecelakaan semalam. Tidak. Tidak
bisa.”
“Kenapa
kau tidak bisa?”
“Kenapa
pula kau bisa?” Elena setengah menjerit, setengah frustasi dengan ketenangan
datar yang ditampakkan Mr. Alex.. Apakah bagi lelaki itu, masalah ini serupa
dengan masalah bisnis yang harus diselesaikan dengan sikap datar dan tanpa perasaan?
“Ini pertunangan yang akan mengarah kepada pernikahan. Pernikahan adalah hal
yang sakral dan serius, tidak bisa dilakukan
begitu saja, mungkin
kau bisa melakukannya, tetapi aku tidak.”
“Jadi kau
pikir aku tidak serius dalam mengajukan pertunangan dan pernikahan ini.” Dengan
elegan Rafael berdiri, mengitari meja dan bersandar di sana,
“Aku sungguh
serius, dan aku bertanggungjawab atas perbuatan yang mungkin kulakukan
padamu malam itu. Baru kali ini mungkin aku temukan seorang perempuan yang menolak lelaki yang ingin bertanggungjawab kepadanya.”
“Tetapi
kita tidak saling mencintai.”
“Pernikahan
yang didasarkan oleh cinta yang terlalu menggebu-gebu biasanya adalah pernikahan
yang paling cepat berakhir.” Rafael tersenyum dingin, “Percayalah, aku cukup berpengalaman
dengan teman-temanku. Mereka menikah
karena cinta, karena tergila-gila satu sama
lain.
Seolah tidak bisa dipisahkan. Tetapi beberapa saat kemudian, ketika cinta itu pudar, mereka tidak punya apa-apa
lagi.” Mata Rafael semakin menggelap. “Pernikahan yang ideal adalah pernikahan
yang dilakukan atas dasar
saling pengertian,
kesepakatan, saling menghormati
dan… ketertarikan seksual yang dalam.”
“Apa?”
“Kurasa
kau sudah mendengar kalimat terakhirku tadi Elena.” Senyum Rafael berubah dalam dan
sensual, “Mengenai ketertarikan sensual aku tidak bisa membantahnya” Lelaki itu
menyingkap jasnya,
dan menunjukkan
kejantanannya yang menegang
di balik celananya, “Ini selalu bergairah setiap aku bersamamu.”
“Kau
sungguh menjijikkan!” Elena berteriak frustasi, frustasi karena sikap Mr. Alex telah
membangkitkan sesuatu dalam dirinya, gelenyar panas yang mengalir pelan tapi
pasti. Dia memundurkan
langkahnya dan berusaha
pergi dari ruangan
itu secepat mungkin. Tetapi Rafael bergerak cepat, menarik lengannya dan memeluknya erat.
Mendekapnya dengan kencang seakan
tidak mau melepaskannya. Elena meronta tetapi Rafael lebih kuat, lelaki itu mengetatkan
lengannya, mencoba meredam gerakan Elena.
Ketika Elena
tidak berhenti meronta, Rafael menarik punggung Elena ke arahnya dan mencium
bibirnya, tidak tanggung-tanggung langsung melumatnya. Dan langkahnya berhasil
karena rontaan Elena melemah. Ciuman Rafael berhasil membuat Elena lemah dan tak
berdaya. Lelaki itu lalu melepaskan bibirnya, tetapi belum melepaskan
pelukannya. Napasnya terasa panas dan terengah
di bibir Elena, dahi mereka saling menempel,
dan mereka begitu dekat sampai Elena merasa terperangkap dalam tatapan
Mr. Alex yang begitu tajam.
“Maafkan aku Elena. Maafkan aku.” Rafael berbisik lembut mencoba menenangkan, “Aku tidak
ingin menyakitimu.”
Kata-kata
Rafael membuat Elena berkedip
dan merasa ragu. dia menatap laki-laki itu dengan bingung. Tadi Mr. Alex
tampak begitu sensual dan mengancam, menciumnya tanpa permisi. Sekarang lelaki
ini berubah menjadi begitu lembut dan menyentuh hati. Apa
sebenarnya yang ada di
benak laki-laki ini?
“Aku
ingin kau mendengarkan aku dulu.” Lelaki itu mengangkat bahu ketika kejantanannya
yang keras menyentuh Elena, membuat Elena langsung mendongakkan kepalanya dan menatap
Rafael dengan pandangan menuduh. “Aku tidak bisa mengendalikannya.” Rafael tersenyum.
“Maafkan aku. Aku akan melepasmu kalau kau berjanji tidak akan pergi sebelum aku menyelesaikan kata-kataku. Kuharap kau mengerti
dan bisa memahami.”
Elena masih
menatap Mr. Alex dengan waspada, tetapi kemudian menemukan kesungguhan di mata
laki-laki itu. Akhirnya dia menyerah dan mengangguk. Dengan lembut lelaki itu lalu
melepaskannya dan mengedikkan bahunya ke arah sofa.
‘Duduklah.”
Elena duduk
dan Rafael menyusul duduk di depannya. Menatapnya dengan lembut.
“Dari semua alasan yang kupaparkan nanti, aku pikir kita pasangan yang cocok, Elena. Aku akan
sangat senang memiliki isteri sepertimu, yang kau tahu sendiri… sangat menggugah
gairahku.” Lelaki itu kembali tersenyum
meminta maaf, “Dan aku pikir aku tidak terlalu buruk untuk seleramu."
Terlalu tampan.
Terlalu sempurna. Terlalu segalanya hingga terasa menakutkan. Elena membatin.
“Aku merasa
bertanggungjawab ketika menidurimu malam itu. Memang itu perbuatan yang sama-sama
tidak kita sadari. Tetapi aku tidak pernah merusak perempuan lugu sebelumnya,
aku sudah pernah mengatakannya bukan? Dan aku….. aku merasa berdosa kepada adikku
kalau sampai aku tidak bertanggungjawab dan menikahimu.”
“Merasa
berdosa kepada adikmu?”
“Ya. Kau
ingat Victoria? HR Manager di perusahaan ini?”
Elena
sudah tentu ingat. Dia tidak akan melupakan perempuan cantik dan berwibawa yang
memberikan kesan luar biasa kepadanya itu. Jadi perempuan itu adalah adik Mr.
Alex? Pantas, mereka berdua sama-sama
menyimpan keanggunan yang misterius di balik kulit keemasan
dan rambut gelap yang eksotis.. Tetapi apa hubungan Victoria dengan semua ini?
“Victoria
pernah berhubungan dengan kekasihnya saat
remaja. Hubungan mereka berjalan terlalu jauh sampai Victoria hamil. Tetapi kekasihnya
meninggalkannya. Dia… dia
hancur, berkali-kali mencoba bunuh diri dan kehilangan semangat. Untung kami
bisa membangkitkannya lagi hingga dia
menjadi perempuan tegar seperti sekarang. Tetapi sejak saat itu aku berjanji
bahwa aku tidak akan menyakiti perempuan lugu manapun dan menghancurkannya,
seperti yang dilakukan laki- laki itu pada adikku.”
Rafael memajukan tubuhnya dan meraih
tangan Elena dari seberang meja dan menggenggamnya lembut, “Menikahlah denganku
Elena. Aku yakin ini semua akan berakhir baik.”
Ҩ
“Hebat.
Kau menjadikan aku perempuan yang pernah ditipu kekasihku di masa
remaja lalu menggugurkan kandungan dan mencoba bunuh diri
berkali-kali?” Victoria berkacak pinggang di depan Rafael, “Hebat kakak. Dan
setelah ini , Elena akan memandangku dengan tatapan iba sembunyi- sembunyi.”
Rafael tersenyum
melihat kemarahan adiknya, lalu menatap Victoria lembut sambil tersenyum,
adiknya itu tidak pernah bisa marah terlalu lama padanya kalau dia menatapnya
seperti itu. “Maafkan aku Vicky, harus mengarang cerita
bohong seperti itu. Tetapi
aku kehabisan ide. Dan
hanya
itu yang terpikirkan. Aku tahu Elena mempunyai rasa empati yang besar,
dan dia akan menerimaku kalau hal itu aku lakukan demi adikku. Seorang perempuan
yang sama sepertinya.”
“Kau memang
hebat dalam berbohong dalam waktu sempit.” Victoria menyipitkan matanya, masih belum
memaafkan kakaknya karena mengarang cerita tentang dirinya untuk melelehkan hati
Elena, “Dan aku duga kau berhasil?”
Rafael tersenyum, “Dia menerima cincin itu lagi dan mempertimbangkan lamaran pernikahanku.”
Victoria menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir dengan obsesi kakaknya terhadap Elena.
“Aku tak bisa menahan kemauanmu
kak…. Aku harap kau tidak menyakiti dirimu sendiri nanti.” Victoria menatap Rafael dengan hati-hati,
“Malam itu kau tidak menyentuhnya bukan?”
“Tidak.” Rafael bergumam tak jelas, “Aku hanya membuatnya berpikir bahwa
kemungkinan besar aku telah merusaknya.”
“Oke. Sepertinya tujuanmu tercapai. Kau
akan memiliki Elena, bahkan mungkin menikahinya. Tetapi semua
ini didasarkan oleh kebohongan, sadarkah kau Kak? Apakah kau tidak takut kalau nanti semua kebohongan itu terungkap? Kalau nanti Elena mengetahui yang sebenarnya?”
Rafael terdiam, lama.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi
nanti.” Suaranya
pelan, ditelan oleh kepahitan, “Yang terjadi, biarkan terjadi…”
No comments:
Post a Comment