3
“Selamat pagi.”
Suara itu menyapa ramah dan Elena menoleh, menatap seorang laki-laki
yang lumayan tampan
sedang berdiri di sebelah mejanya. Lelaki itu tersenyum ramah.
“Selamat pagi juga,” Elena tersenyum juga, berusaha mengingat-ingat,
sepagian ini Donita telah membawanya ke berbagai ruangan di perusahaan ini, memperkenalkannya
sebagai anak baru, tetapi sepertinya dia tidak ingat pernah diperkenalkan
dengan lelaki ini.
Lelaki di depannya, meskipun berpakaian rapi dan berdasi tampak
urakan dan santai,
senyumnya juga seperti anak nakal di dalam tubuh dewasa.
Lelaki itu mengangkat alis, tampak sadar dengan pengamatan
Elena, lalu tertawa dan mengulurkan tangannya.
“Hai, kenalkan, tadi aku sedang keluar kantor jadi tidak sempat
berkenalan, aku Edo, IT Manager di sini, aku tadi mendengar ada anak baru yang
cantik jadi buru-buru ke sini untuk mengajak berkenalan,” katanya dalam canda.
Pipi Elena memerah
mendengar candaan lelaki
itu, tetapi dia menyambut uluran tangan Edo dengan senyum juga.
“Aku Elena.”
Edo meremas tangan Elena sambil tersenyum lucu sebelum
melepaskannya, lalu mengedipkan sebelah matanya.
“Aku tahu tempat makan siang yang enak, mungkin kita bisa…”
“Edo.”
Suara dalam yang
dingin itu menyela
percakapan mereka. Edo langsung menoleh ke arah suara dan tersenyum.
“Oh Mr. Alex, selamat pagi.”
Rafael sedang berdiri di pintu ruangannya, ekspresinya datar
dan tidak terbaca.
“Kebetulan
kau ada di
sini, tolong ke
ruanganku sebentar, ada beberapa hal tentang usulan program baru untuk data
intregrated kemarin yang harus kutanyakan kepadamu.”
Edo memutar bola matanya lucu ketika menatap Elena, lalu
menganggukkan kepalanya dan mengikuti Rafael masuk ke ruangannya.
Sementara itu Elena tersenyum geli sambil menatap punggung
Edo. Meskipun tampak urakan dan tidak serius, lelaki itu tampaknya lelaki yang
baik dan menyenangkan.
Ҩ
Elena merapikan
berkas-berkasnya sambil melirik
jam dinding, sudah jam
delapan malam. Besok
hari yang sibuk untuk Mr. Alex dan syukurlah akhirnya
Elena sudah selesai menyiapkan
semuanya, meskipun akhirnya
dia harus ketinggalan bis karyawan.
Suara di pintu membuat Elena mendongakkan wajahnya dengan waspada.
Mr. Alex berdiri
di sana, sepertinya
baru pulang dari pertemuan bisnisnya di luar.
Lelaki itu mengerutkan
mata melihatnya,
"Kenapa kau masih ada di
sini?"
Mata itu sungguh tajam, Elena membatin, "Eh, saya menyelesaikan
berkas-berkas ini dulu, untuk besok."
Rafael menatap tidak suka, "Lain kali tinggalkan saja
pekerjaan itu dan lanjutkan besok," dia melirik jam tangannya, "Ini
sudah terlalu malam untuk bekerja, seharusnya kau sudah di rumah dan
beristirahat. Aku akan menyuruh supir mengantarmu pulang."
Elena
menggelengkan kepalanya panik,
"Tidak perlu, saya bisa naik
angkot.."
"Ikuti perintah atasanmu,” Rafael menatap tajam membuat Elena
menelan ludahnya, "Sebelum
itu, aku ingin bicara di ruanganku. Kau tidak
keberatan membuatkan kopi untuk kita berdua?"
Ҩ
Kopi itu mengepul panas dan menguarkan aroma nikmat ke
seluruh penjuru ruangan. Elena meletakkan di meja di depan sofa tempat Mr. Alex
duduk dan menunggunya, lalu dengan gugup dia duduk di depan Rafael, menunggu.
Lelaki itu tercenung, seolah bingung mau bicara apa. Tetapi
itu tidak mungkin bukan? Orang sekelas Mr. Alex
tidak mungkin bingung harus bicara apa.
"Kau
sudah tiga bulan
di sini,” Rafael
memulai, "Bagaimana perasaanmu?"
Elena
tersenyum, "Saya senang.
Banyak hal yang
bisa saya pelajari."
"Apakah
rekan-rekan kerja
menciptakan suasana yang kondusif untukmu?"
Elena
mengangguk, "Mereka sangat
baik dan membantu."
Kali ini kening Rafael berkerut, "Kudengar kau dekat dengan
IT Managerku?"
Pipi Elena memerah. Astaga. Darimana Mr. Alex bisa mendapat
informasi macam itu? Dan kenapa pula bos sekaliber Mr. Alex harus peduli dengan
gosip percintaan karyawannya?
Edo. Nama itu
menguar di benak
Elena. Ya. Mereka dekat. Itu karena Edo sangat gigih
mendekatinya. Dia mengajak makan siang bersama, kadangkala dia menghampiri
Elena dan mengajak mengobrol tentang
berbagai hal. Ya. Elena nyaman bersama
Edo, cukup nyaman sampai membiarkan Edo mengantarnya pulang ke asrama beberapa
hari lalu. Lelaki itu berkenalan juga dengan ibu asrama. Tetapi, entah kenapa
ibu asrama tampak tidak
suka dengannya, padahal
Edo begitu baik...
"Elena?" Rafael bertanya lagi,
mengembalikan Elena ke dunia nyata.
Elena mengerjapkan matanya, menatap Mr. Alex dan sadar
bahwa dia belum menjawab pertanyaan lelaki itu.
"Ya.. Kami cukup dekat, hubungan kami cukup baik."
"Begitu," Mr. Alex
tercenung, "Aku cenderung
tidak menyetujui hubungan dekat
dengan rekan sekerja.
Karena berdasarkan
pengalaman, ketika hubungan
itu memburuk, performa di tempat
kerja ikut memburuk."
Elena menghela
napas, "Hubungan kami
belum sejauh itu untuk..."
"Ya. Aku mengerti.
Kalian dekat, tetapi
belum menyentuh konteks asmara.
Tetapi tidak menutup kemungkinan itu akan terjadi
bukan?" Rafael menatap Elena tajam, seolah menembus hatinya.
Elena menganggukkan kepalanya, "Saya tidak bisa membantah
kemungkinan itu, meskipun saya tidak bisa memastikan. Tetapi kalaupun itu
terjadi, saya berjanji akan berusaha untuk tidak mencampurkannya dengan profesionalisme
pekerjaan saya.”
Rafael terdiam dan Elena menanti. Hening lagi, kali ini lama,
dan entah mengapa terasa menegangkan bagi Elena, lalu Rafael tersenyum samar.
"Oke. Kita lihat saja nanti," tatapan mata
lelaki itu begitu misterius, "Pulanglah. Aku sudah menyuruh supirku menunggumu
di depan. Dia akan mengantarmu pulang."
Ҩ
Ketika Elena pergi, Rafael masih tercenung di ruangan kerjanya.
Edo dan Elena hampir menjadi sepasang kekasih, itu yang dilaporkan
oleh Ibu Grace
kepadanya. Rafael memang memintanya mengawasi Elena di tempat
kerjanya. Seminggu yang lalu ibu Rahma juga meneleponnya dari asrama, memberitahunya
bahwa Elena membiarkan Edo mengantarkannya pulang ke asrama. Dan beberapa hari kemudian
Edo mulai rutin datang, bahkan di hari minggu.
Rafael tidak pernah memikirkan kemungkinan ini sebelumnya. Tidak pernah menyangka bahwa mungkin Elena akan bertemu lelaki yang dia sukai di
tempat kerjanya. Seharusnya dia tahu, Rafael mendesah, Elena terlalu cantik. Seharusnya dia
memperkirakan bahwa akan
ada beberapa orang yang tertarik
untuk mendekatinya.
Dan itu mengganggu Rafael, dia harus menghentikan ini semua
sebelum terlalu jauh.
Mata Rafael terpaku pada cangkir kopi Elena. Ada sisa lipstick
di sana. Lipstick Elena, bekas bibir Elena. Lalu, karena didorong oleh
luapan gairah dan
perasaannya, Rafael mengambil
cangkir itu, lalu mengecup lembut bekas bibir Elena di sana.
“Kau akan menjadi
milikku Elena, seperti
yang seharusnya terjadi, karena hanya aku-lah yang berhak menjagamu,”
gumamnya penuh tekad
Ҩ
Seperti seorang pengintai yang mengawasi dari jauh..
Rafael membatin, setengah benci kepada dirinya sendiri yang
berlaku seperti pengintai, mengawasi Elena dan Edo. Mereka berdua sedang
berkencan, tentu saja. Dan Rafael di sini, mengawasi mereka. Jalanan ini memang
dikondisikan bagi pejalan kaki yang ingin menikmati berjalan-jalan sambil berbelanja.
Café-café yang cozy bertebaran dengan nuansa ala barat, berpayung eksotis di
pinggir-pinggir jalan, menawarkan suasana makan yang berbeda. Ada juga penjual
bunga di sana, dan beberapa penjual cinderamata lainnya. Rafael terus mengawasi ketika
Edo mengajak Elena
berhenti di depan penjual
bunga, lalu memberikannya
setangkai mawar putih. Perbuatan sederhana
yang membuat pipi
gadis itu merona merah.
Dada Rafael terasa panas. Kurang ajar Edo. Lelaki itu merusak
semua rencananya dengan mendekati Elena. Rafael semakin mantap
untuk menyingkirkan lelaki
itu, dengan langkah yang cukup
elegan tentu saja.
Suara tawa pelan
membuat Rafael mengalihkan perhatian dari pasangan
yang berbahagia itu. Rafael menoleh ke arah Alice yang duduk di dalam
mobil disebelahnya.
“Kenapa kau tertawa?”
Bibir Alice yang
berwarna merah mencebik,
“Karena tatapanmu itu, kau seolah-olah ingin membunuh laki-laki itu.”
“Memang.”
Alice mengkerutkan alisnya,
“Jadi dia yang
harus kuincar? Dia tampak jatuh cinta kepada gadismu itu, kau yakin dia
bisa tergoda olehku?”
“Semua laki-laki normal akan tergoda olehmu kalau kau memutuskan
merayu, Alice. Karena itu aku meminta tolong kepadamu,” gumam Rafael tenang.
Alice tertawa lagi, “Kau tidak tergoda olehku, apakah ada sebab
khusus atau memang kau bukan lelaki normal?”
“Ada sebab khusus,” Rafael langsung menutup diri, “Kau sudah
setuju untuk membantuku dan tidak bertanya-tanya.”
“Oke, aku tidak
akan mengganggumu dengan pertanyaan-pertanyaanku,” Alice
tersenyum menggoda, “Apakah sebab
khususmu itu itu adalah gadis itu?”
“Alice,” nada suara Rafael
penuh peringatan. Membuat Alice
mengangkat bahunya dan menyerah, tidak bertanya lagi. Lelaki ini memang tidak
bisa diajak bercanda, batinnya dalam hati.
“Jadi kapan aku harus melaksanakan rencanamu itu?”
“Akhir pekan ini,
aku akan mengadakan
pesta akhir tahun, mengundang
beberapa kenalan dan karyawanku di rumahku. Kau dekati Edo saat itu.”
“Oke, Rafael. As You Wish.”
Ҩ
“Pesta tahunan yang diadakan oleh Mr. Alex selalu meriah,”
Donita tersenyum sambil duduk di depan meja Elena. Dia sudah
tampak kepayahan membawa
perutnya yang semakin membesar,
cuti hamilnya tinggal beberapa
hari lagi, tetapi dia tampak
bersemangat, “Makanannya benar-benar kelas tinggi, Mr. Alex
benar-benar tidak pelit kepada kami, para karyawannya. Kau tidak boleh melewatkannya.”
Elena tertawa dan
memainkan pena di
tangannya,
“Apakah semua karyawan diundang?”
“Tentu saja. Dan sebagian besar tidak akan melewatkannya. Pesta
akhir tahun di
rumah Mr. Alex merupakan salah satu hal yang
ditunggu-tunggu, kau akan datang kan Elena?”
Edo sudah
mengajaknya untuk datang
bersama. Elena membatin dalam
hati, tiba-tiba merasa
hatinya hangat. Dia belum
lama kenal dengan
Edo, tetapi entah
kenapa semua terasa pas. Mereka
bisa mengobrol berjam-jam tanpa merasa bosan.
Bahkan Elena sadar bahwa hubungan mereka bisa berjalan lebih jauh.
“Pipimu memerah,” Donita tertawa, “Kau akan datang dengan
Pak Edo ya?”
Pipi Elena makin
memerah, dia menatap
Donita hati-hati, “Apakah sejelas
itu?”, tanyanya berbisik. “Apanya?”
“Tentang hubungan kami,” Elena mendekatkan bibirnya ke
telinga Donita dan berbisik pelan, “Bahkan Mr.Alex sempat menanyakannya
kepadaku.”
Donita mengernyitkan keningnya, “Mr.Alex menanyakan kepadamu?
Wah itu tidak pernah terjadi sebelumnya, setahuku beliau tidak pernah
mempedulikan gosip percintaan karyawannya,
kalau sampai Mr.
Alex bertanya, mungkin gosipnya sudah meledak sedemikian
rupa,” Donita terkekeh, “Tapi tidak ada ruginya, kalian pasangan yang cocok,
dan Pak Edo akhirnya berlabuh juga.”
Elena gantian mengernyitkan keningnya, “Akhirnya berlabuh
juga? Apa maksudmu?”
“Ups,” Donita seolah merasa bersalah telah kelepasan bicara, “Aku
tidak bermaksud membuka
keburukan Pak Edo. Tetapi
sepertinya sejak bertemu denganmu beliau sudah berubah. Dulu Pak Edo terkenal
playboy, suka gonta ganti pacar dengan status yang tidak jelas. Tapi manusia
kan bisa berubah dan kuharap kehadiranmu bisa merubah Pak Edo menjadi lebih baik.”
Elena merenung. Benarkah Edo dulunya playboy? Tetapi lelaki
itu sangat sopan, sangat menghormatinya, sangat baik. Mungkin benar
kata Donita, Edo
sudah berubah lebih
baik. Elena sangat berharap begitu.
Ҩ
Malam pesta itu, Edo
menjemputnya meskipun agak terlambat. Lelaki
itu tampak rapi
dan elegan dengan
kemeja dan jas santai warna biru tuanya, “Maafkan aku terlambat,” Edo menatap
Elena menyesal setelah dia menjalankan mobilnya, “Tadi ban mobilku kempes di jalan.”
Elena
menganggukkan kepalanya dan
tersenyum, “Tidak apa-apa, Edo.”
Edo menatap Elena
lama dengan pandangan
penuh arti, membuat Elena bingung. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Tidak kenapa-kenapa,” lelaki itu mengalihkan pandangannya
dengan senyum dikulum, “Hanya saja kau sangat berbeda dengan
perempuan-perempuan lain yang pernah dekat denganku. Mereka
pasti akan merajuk dan marah-marah
jika aku telat menjemput, meski dengan alasan apapun. Tetapi kau berbeda,
kau menerima alasanku dengan penuh pengertian.”
Elena hanya tersenyum menanggapi pernyataan Edo, tetapi
kemudian Edo menggenggam sebelah tangannya dengan lembut. “Perasaanku
kepadamu juga berbeda
Elena. Kuharap kau merasakan hal
yang sama.”
Apakah itu pernyataan cinta? Elena bertanya-tanya dalam
hati, menatap Edo, mencari jawaban.
“Maukah kau menjadi kekasihku Elena? Aku mencintaimu, dan
aku berjanji akan
menjadi kekasih yang baik.”
Elena menatap Edo
dalam senyum, lalu
terkekeh,
“Jawabannya nanti saja yah setelah pesta.”
Edo membalas senyum
Elena, lalu terkekeh
geli, “Dasar, kau sengaja
ya, mau menyiksaku
sepanjang pesta, harap-harap
cemas akan jawabanmu?”
Mereka lalu tertawa bersama.
Ҩ
Benar kata Donita kemarin, Mr. Alex benar-benar tidak pelit
kepada para karyawannya. Pesta yang diadakannya di rumahnya sangat elegan
dengan menu makanan yang mewah dan luar biasa. Para pelayan berdiri hilir mudik
menawarkan makanan kecil dan minuman di nampan. Sementara di meja prasmanan,
makanan tampak tidak ada habis-habisnya.
“Ramai sekali di sini,” Edo menggenggam lengan Elena dengan
lembut, “Mungkin kita harus minggir supaya tidak tertabrak.”
Mereka terlambat datang ke pesta itu. Karena Edo terlambat menjemputnya
tadi, jadi mereka ketinggalan
acara pembuka, sambutan oleh Mr. Alex sebelum acara makan-makan dimulai. Sekarang
semua tamu sudah
membaur saling bercakap-cakap
satu sama lain, menikmati hidangan. Pesta
ini diadakan di
kebun di halaman
belakang rumah Mr. Alex yang sangat indah. Rumah itu bergaya western dengan
cat putih mendominasi keseluruhan bangunannya. Dan warna lain yang dominan adalah hijau.
Warna itu memenuhi hamparan
rumput luas yang tertata rapi, dengan lampu-lampu kuning yang temaram, menambah
keeksotisan suasana pesta. Sementara itu, meja prasmanan dihidangkan di gazebo
luas, di tepi kolam renang.
Pemilik pesta itu, Mr. Alex tampaknya tidak ada. Elena membatin,
matanya sudah mencari kemana-mana, tetapi dia tidak bisa menemukan sosok itu.
“Aku akan mengambilkanmu minum,” Edo bergumam lembut,
“Tunggu di sini ya.”
Elena menganggukkan kepalanya dan tersenyum, lalu membiarkan
Edo menembus kerumunan orang yang lalu lalang, mencari minuman. Dia berusaha
mencari-cari orang yang dikenalnya, tetapi tidak menemukannya, Donita bilang
dia tidak mungkin datang dengan kandungannya yang sudah sebesar itu, meskipun sebenarnya
dia sangat ingin.
Elena berdiri di tempat itu beberapa saat, melayani beberapa
teman yang menyapanya. Tetapi lama kemudian dia mengernyit karena Edo tak
kunjung datang.
“Kau datang sendirian
di sini?” suara
itu sangat familiar, membuat
Elena menoleh dengan tegang. Dan benar juga. Mr. Alex yang berdiri di sana,
dengan segelas minuman di tangannya, menatapnya dengan pandangan yang tidak terbaca.
“Eh tidak,” Elena menoleh ke belakang, mencari sosok Edo
yang tak kunjung datang, “Saya datang bersama Edo.”
“Lalu di mana
dia?” Mr. Alex
mengernyitkan keningnya, tampak tidak suka.
“Dia…. Katanya dia sedang mengambilkan minuman.” “Oh,”
Rafael menatap ke arah pandangan Elena, “Dia bodoh membiarkan
pasangannya sendirian di
sini, bisa-bisa pasangannya
dicuri orang,” Matanya yang tajam melembut dan Elena bisa
melihatnya, ternyata Mr.
Alex menyimpan kelembutan di
dalam dirinya, dibalik sikap dingin yang selalu ditampilkannya.
“Kau mau
kutemani masuk dan
mencari kekasihmu? Mungkin dia
tersesat di dalam sana,” Rafael mengedikkan bahunya ke arah bagian dalam rumah.
“Eh, tidak… mungkin saya akan menunggu di sini.”
“Kita akan mencarinya, lagipula aku butuh Edo, ada beberapa
hal tentang pekerjaan yang ingin kubicarakan dengannya,” dengan lembut Rafael
menghela Elena supaya melangkah bersamanya, memasuki pintu kaca besar yang menjadi
pembatas antara taman kolam renang dengan bagian dalam rumah.
Beberapa orang tampak duduk di bagian dalam rumah, asyik
bercakap-cakap di semua sudut. Elena memandang ke sekeliling, juga ke bar yang
menyediakan minuman, tetapi Edo tidak ada di sana.
“Mungkin dia ada
di atas,” Rafael
mengedikkan bahunya ke arah tangga menuju lantai dua yang tampak temaram.
“Apakah lantai
atas juga dibuka untuk
pesta?” Elena menatap Mr. Alex
dengan ingin tahu.
Lelaki itu tersenyum miring menanggapi.
“Tidak. Tapi di sana ada kamar mandi. Mungkin Edo memutuskan
memakai kamar mandi di lantai atas. Ayo,” Sekali lagi Rafael menghela Elena
mengajaknya menaiki tangga.
Ҩ
Sepertinya tidak ada tamu yang naik ke lantai dua, mungkin
sudah menjadi peraturan umum bahwa lantai dua adalah area pribadi pemilik rumah
dan bukan area pesta. Mr. Alex mungkin salah, Elena melirik ragu kepada
laki-laki yang sedang
berjalan di sebelahnya, Edo tidak mungkin berani naik ke lantai dua rumah Mr. Alex tanpa izin.
“Kamar mandi di
lantai
dua
ada di ujung
lorong,” Rafael menunjuk, “Biasanya ada
beberapa tamu yang ingin tahu yang
tersesat di sini,” mereka terus
berjalan menuju ke area kamar mandi di ujung lorong, sampai sebuah suara mengalihkan perhatian mereka.
Suara itu sudah pasti adalah desahan seorang perempuan, sebuah desahan yang
menyiratkan arti yang tak terbantahkan. Pipi
Elena memerah, itu suara perempuan yang sedang bercinta. Meskipun tidak berpengalaman setidaknya Elena bisa membedakan suara desahan seperti itu. Diliriknya Mr. Alex yang berdiri di sebelahnya, apa yang akan dilakukan Mr. Alex mengetahui
ada orang
yang bercinta
di salah satu kamar di
rumahnya? Apakah yang sedang bercinta itu tamu rumah ini?
Rafael hanya melirik
ke arah Elena dan
mengangkat bahu sambil tersenyum miris.
“Rupanya
ada
yang sedikit lupa
diri
di pestaku ini. Tunggu
sebentar, aku akan mengingatkan mereka agar
mencari kamar di motel terdekat dan tidak mencemari salah satu kamar tamuku.”
Masih sambil tersenyum, Rafael membuka pintu kamar itu lebar-lebar. Elena menatap dan langsung mundur selangkah
dengan kaget. Pemandangan di depannya membuat jantungnya serasa mau lepas.
Ҩ
Yang ada di depan mata Elena sungguh tak terduga. Sama sekali tidak terduga. Tangannya gemetar, menutup mulutnya yang mengeluarkan suara terkesiap karena kaget.
Di depannya, tampak Edo, setengah duduk dengan kepala bersandar di kepala ranjang, rambut Edo
acak-acakan,
jasnya sudah terlepas entah dimana, kemejanya terbuka kancingnya, menampakkan kulit dadanya yang kecoklatan.
Dan…
seorang perempuan cantik sedang duduk mengangkangi pinggangnya, perempuan itu
setengah telanjang, dengan gaun yang sudah melorot sampai ke pinggang. Dua insan itu sedang berciuman dengan begitu panas, pinggul si wanita menggesek- gesek selangkangan Edo dengan begitu bergairah. Mereka
tampak lupa diri.
Rafael melirik sekilas ke arah Elena yang pucat pasi, lalu dia bergumam sedikit keras.
“Aku rasa kalian harus
mencari
hotel, dan meninggalkan rumahku.”
Suara Rafael tenang, namun tak terduga bagi pasangan yang sebelumnya terlalu larut dalam nafsu. Edo yang tersadar pertama
kali. Dia menoleh ke arah Rafael, lalu berseru kaget ketika
melihat Elena. Dan
dengan gerakan reflek langsung
mendorong
perempuan yang
mengangkanginya
itu
menjauh
dari tubuhnya.
Ekspresi
keduanya
tampak berseberangan. Edo tampak pucat pasi dan penuh rasa bersalah, sedangkan perempuan itu, meskipun tadi terdorong oleh
Edo
sampai hampir jatuh, tampak begitu tenang, berdiri dengan elegan sambil merapikan gaunnya, lalu tersenyum manis.
“Well, tak kusangka kita tertangkap basah di sini sayang,” bisiknya sambil melirik mesra kepada
Edo, “Mungkin benar kata
sang tuan rumah, kita harus pindah ke hotel.”
“Diam Alice!” Edo menyusul berdiri
sambil berusaha
merapikan pakaiannya, dia lalu menatap Elena
dengan cemas, “Elena, aku bisa menjelaskan, semua ini hanyalah salah paham.”
Salah paham? Elena mengigit bibirnya untuk menahan perasaan. Bagaimana mungkin ini salah paham, di
depan matanya sendiri dia melihat Edo sedang bercumbu dengan begitu panasnya. Padahal beberapa jam
sebelumnya lelaki
ini menyatakan cinta dan memintanya sebagai kekasihnya. Bagaimana mungkin ini bisa dikatakan salah paham? Pemandangan di depannya jelas-jelas merupakan bukti bahwa Edo
ternyata
masih lelaki
yang sama,
pemain perempuan
seperti yang
dikatakan oleh Donita. Mungkin dia memang
sedang mengincar Elena sebagai korbannya. Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi seorang pemain perempuan selain mendapatkan seorang gadis yang masih lugu dan mudah ditipu.
Dan bodohnya..
Elena mempercayai Edo, dia bahkan memiliki perasaan indah yang ditumbuhkannya dengan begitu bodoh kepada lelaki itu.
Hatinya terasa sakit, sakit dan
sesak yang membuatnya tak mampu berkata-kata. Dikepalkannya
kedua tangannya, dia
bahkan tak mampu menatap Edo, dipalingkannya kepalanya dengan mata yang terasa panas membasah.
“Elena…” Edo
mengerang melihat mata Elena yang mulai berkaca-kaca, “Sungguh aku tidak
melakukannya dengan sengaja, aku terlalu banyak minum dan
Alice menggodaku dan aku….”
“Aku menggodamu?” Alice melipat lengannya dengan senyum
simpul, “Kau yang
menyeretku ke kamar
terdekat karena tidak bisa menahan gairah.”
“Diam Alice!” sekali lagi Edo
membentak perempuan bernama Alice itu. Dia lalu berusaha mendekat ke
arah Elena, “Elena, aku….”
“Menjauhlah dari Elena,” Rafael melangkah ke depan Elena, menghalangi Edo, “Aku
harap
kalian
segera meninggalkan tempat ini.”
Edo terpaku, menatap ke arah Elena, menyadari bahwa perempuan itu bahkan tidak mau menatap ke arahnya. Dia menghembuskan
nafas
dan menatap
Elena penuh
harap, “Aku harap kita bisa berbicara nanti,” lelaki itu menyerah dan melangkah pergi meninggalkan kamar.
“Well aku rasa aku harus pergi juga,” Perempuan
bernama Alice tampak ceria, sama sekali tidak
terpengaruh dan merasa malu karena terpergok bercumbu dengan
seseorang di kamar orang lain
pula. Alice merapikan gaun dan rambutnya
dengan genit, lalu melangkah melewati Rafael dan Elena. Dalam kilatan satu detik, yang tentu saja tidak dilihat oleh Elena, Alice mengedipkan matanya kepada Rafael.
Ҩ
“Kau mau minum?”
Pesta sudah usai. Para tamu sudah pulang. Hanya Elena
yang masih duduk di dapur modern milik Rafael. Setelah kejadian tadi Rafael mengantarnya ke sana dan menyuruhnya duduk menenangkan diri, menyuruh pelayan menyediakan cokelat
hangat untuknya,
lalu meninggalkannya
untuk menemui para tamunya, dan berjanji akan
mengantarkannya
pulang nanti.
Selama ditinggalkan sendirian Elena terus merenung, kejadian tadi berulang-ulang di matanya. Dan sangat tidak disangkanya. Begitu bebaskah kehidupan Edo sehingga dia
bisa bercumbu begitu saja dengan sembarang wanita yang ditemuinya
di pesta? Rasa
sakit
menusuk
dadanya, membuatnya menghela nafas berkali-kali.
Setidaknya dia belum jatuh cinta terlalu dalam kepada Edo, setidaknya dia belum menumbuhkan perasaannya terlalu jauh…
Rupanya lama sekali
Elena berkutat dengan pikirannya, karena pesta
pada akhirnya usai. Mr. Alex datang menemuinya, dan duduk bersamanya di dapur, melihat cangkir cokelat hangatnya yang hampir kosong dan menawarkan
minuman lagi.
Elena
menggeleng menjawab pertanyaan Rafael.
Tidak. Dia tidak ingin minum apapun. Dia
hanya ingin pulang dan mungkin menangis sendirian di kamarnya.
“Saya hanya
ingin pulang…”
gumam Elena
akhirnya,
melirik jam di dinding dapur yang sudah semakin malam.
Rafael mengikuti arah
lirikan Elena dan tersenyum
lembut, “Aku akan
mengantarkanmu pulang, jangan cemas…. Apakah kau baik-baik saja Elena?”
Pipi Elena memerah. Tidak.
Dia
tidak baik-baik saja. Dia patah hati dan
merasa dikhianati, dan juga malu.
Malu
kepada Mr. Alex
yang menatapnya dengan
penuh perhatian kepadanya saat ini. Malu mengingat percakapan mereka beberapa malam
yang lalu tentang hubungannya dengan Edo. Mr. Alex
pasti menertawakan kebodohan dan kepolosannya dalam hati karena dia begitu mudah ditipu.
“Tidak semua laki-laki seperti Edo,”
Rafael membalikkan badan, melangkah menuju bar yang ada
di samping dapur. Dan menuang minuman,
lalu
meletakkan
salah satu gelasnya di depan
Elena, “Ini minumlah.”
“Ini apa?” Elena mengernyit, menatap ke arah gelas minuman di
depannya. Cairan itu berwarna bening dan keemasan.
“Itu champagne. Rasanya manis dan tidak
begitu keras. Mungkin bisa sedikit menenangkanmu.”
Elena menatap
gelas itu dengan ragu. Menimbang- nimbang. Seumur hidupnya dia tidak pernah
meminum minuman beralkohol dan tidak yakin akan reaksinya setelah meminum itu. Apakah
dia akan mabuk dan menari-nari seperti orang gila nantinya?
Rafael mengamati
Elena yang tercenung sambil menatap gelasnya dan tersenyum.
“Satu gelas
tidak akan membuatmu mabuk. Kau bisa menyesapnya pelan-pelan. Kalau kau merasa
tidak mampu, kau bisa berhenti tanpa menghabiskannya.”
Elena menghela napas panjang. Oke. Dia merasa layak meminum segelas champagne mahal setelah apa yang
dialaminya tadi. Dengan cepat dia meneguknya. Rasa manis langsung menyebar di rongga
mulutnya diikuti
rasa hangat yang pekat. Dan
kemudian terbatuk-batuk.
Rafael mengernyitkan
alis melihat cara Elena minum champagne-nya lalu tertawa.
“Aku bilang
disesap, sayang,
jangan diteguk sampai habis, kau akan kehilangan aromanya kalau
begitu,” lelaki itu mendekati Elena yang terbatuk-batuk lalu mengusap
punggungnya dengan lembut, “Kau tidak apa-apa?”
Elena menganggukkan
kepalanya, tiba-tiba menyadari kedekatan Rafael yang terasa panas di
belakangnya.
“Saya rasa,
saya harus pulang sekarang,” Elena meletakkan gelasnya dan mencoba berdiri, dia
agak terhuyung, sehingga Rafael harus memegang lengannya.
“Baiklah, aku akan mengantarkanmu pulang. Ini sudah terlalu malam,” dengan lembut
Rafael menggandeng lengan Elena dan membawanya keluar. Ketika melangkah,
tiba-tiba Elena terjatuh, membuat Rafael harus menangkapnya lagi. Kali ini
setengah memeluknya begitu dekat.
Rafael menatap
wajah yang sangat menggoda, yang
begitu dekat dengannya, bibir itu…. Astaga, bibir itu begitu ranum dan lembut,
pasti terasa manis ketika disesap, mengalahkan rasa champagne yang paling mahal
sekalipun. Rafael lupa diri, dan kemudian, tanpa peringatan, ditariknya Elena ke
dalam pelukannya dan dikecupnya bibirnya lembut.
Elena terkejut,
luar biasa terkejut ketika lelaki ini, atasannya tiba-tiba memeluknya dengan
begitu erat dan mengecup bibirnya. Tetapi kecupan itu tidak dimaksudkan sebagai
paksaan. Mr. Alex menciumnya dengan lembut, tetapi tidak kasar, lelaki itu seolah
memberi kesempatan
Elena menolak kalau dia tidak mau.
Dan Elena tidak punya tenaga untuk menolak. Aroma jantan itu, parfum bercampur
harumnya anggur memenuhi seluruh inderanya, membuatnya tertarik tanpa daya. Dia
tidak pernah sedekat ini dengan lelaki sebelumnya, sehingga rasa ingin tahu memenuhi
dirinya. Mungkin ketika dia mendapatkan akal sehatnya nanti dia akan menyalahkan
anggur yang diminumnya. Tetapi sekarang Elena hanya ingin merasakan ciuman itu,
merasakan lebih jauh lagi.
Rafael memperdalam
kecupannya menjadi lumatan- lumatan bergairah,
bibirnya membuka dan melumat bibir manis
Elena, menjilatnya lembut lalu menyesapnya dengan penuh gairah, darah Rafael menggelegak,
gairahnya yang begitu lama tidak tersalurkan tiba-tiba semakin naik, membuatnya
mempererat pelukannya, dan memperdalam lumatannya. Ciuman itu yang semula hanya
dilakukan untuk mencicipi, berubah menjadi kebutuhan untuk memiliki, merasakan
keseluruhannya.
“Elena,” Rafael mengerang penuh gairah,
suaranya dalam dan tersiksa, “Oh ya
ampun, setiap saat aku selalu membayangkanmu. Membayangkan bisa menyentuhmu
seperti ini, menyiksa diriku hingga seluruh tubuhku terasa sakit karena merindukanmu.
Aku pikir aku pantas menerima itu, sebuah hukuman untukku… Tetapi sekarang,
sekarang kau ada dalam pelukanku, dan aku tidak tahu harus bagaimana,” lelaki itu
berucap pendek-pendek
dengan nafasnya
yang tersengal, dengan bibir yang begitu dekat
dengan bibir Elena sehingga membagi panas nafasnya.
Elena mendengarkan ucapan Rafael itu, tetapi
pikirannya terlalu berkabut untuk mencernanya. Dia hanya menangkap bahwa Rafael
membayangkannya. Membayangkannya? Benarkah?
Tetapi kemudian seluruh pertanyaan di benaknya lenyap ketika lelaki itu melumat
bibirnya lagi. Kali ini tanpa batasan apapun,
bibir lelaki itu panas,
dan terbuka
dan melumat keseluruhan bibirnya
seolah ingin melahapnya.
Elena
tidak pernah menduga sama sekali, Mr. Alex yang begitu dingin dan seolah tidak
berperasaan bisa menjadi lelaki yang begitu penuh gairah dalam berciuman. Ciuman
itu membuatnya lemas, sehingga harus bergantung pada tubuh Mr. Alex. Kedua lengannya
melingkari tubuh Mr. Alex dan atasannya itu seolah
tidak keberatan. Lelaki itu membungkukkan tubuhnya lalu setengah mengangkat
tubuh Elena, seolah ingin menghapus batasan tinggi badan di antara mereka, dan melumat
Elena dengan menggila, sepenuh gairahnya.
“Kau
sangat menikmati ciumanku rupanya, sayang,” bibirnya menggoda, menjilat lembut,
lidahnya menelusup pelan sebelum kemudian menciumnya lagi dengan bergairah,
“Aku juga.”
Rafael menatap
Elena, perempuan itu sepertinya sudah takluk
ke dalam
cumbuannya. Apakah karena pengaruh anggur? Rafael tidak mau
Elena takluk kepadanya
karena anggur, dengan lembut digodanya
Elena lagi hingga perempuan itu mengerang, kebingungan dengan gairah aneh yang
baru pertama dirasakannya.
“Elena
yang begitu polos dan suci…kau tidak tahu betapa inginnya aku menjadi orang pertama
yang merusakmu…”
Bibir mereka
masih bertautan dalam kecupan dan pagutan-pagutan yang panas. Kemudian jemari Rafael
mulai menelusuri lengan Elena, naik turun di sepanjang lengannya dengan panas
dan penuh gairah.
Elena merasakan
sekujur tubuhnya panas. Entah karena pengaruh anggur yang diteguknya tadi, entah
karena elusan Mr. Alex. Mungkin satu gelas anggur yang diteguknya langsung di
saat perdananya mencicipi champagne terlalu berlebihan baginya. Kepalanya mulai
berkunang-kunang, tetapi walaupun begitu
seluruh inderanya masih hidup. Dipenuhi oleh jutaan sensasi aneh yang
menyelimutinya.
Rafael sendiri masih sibuk
melumat bibir Elena,
bibir yang dirindukannya sejak lama,
bibir yang hanya bisa dibayangkannya di malam-malam kesepiannya. Lelaki itu
mulai lupa diri, diangkatnya tubuh Elena yang setengah mabuk dan di bawanya ke
kamarnya.
Bahasanya nggak sesuai
ReplyDelete