BAB
9
Dokter
Teddy mengendarai mobilnya dengan tenang menembus kemacetan jalan raya, mereka
lalu tiba di belokan ke luar kota, menuju jalanan yang sepi. Lana yang selama
ini diam karena menahan rasa tegang dalam perjalanan menoleh dan menatap Dokter
Teddy penuh rasa ingin tahu,
“Kita
akan kemana dokter?”
Dokter
Teddy menoleh lalu tersenyum manis, “Ke rumah di pinggiran kota, tempatnya seperti
villa di pegunungan, kau akan aman di sana dan Tuan Mikail tidak akan bisa menjangkaumu”
Lana
menganggukkan kepalanya dan menatap lurus ke depan, pemandangan di luar adalah hutan
dan jalanan yang berkelok-kelok, malam makin gelap dan Lana mulai merasa
mengantuk. Akhirnya dia menyandarkan kepalanya dengan nyaman di kursi dan mulai
tertidur.
***
Mikail
menatap marah pada perawat yang dibius untuk menggantikan Lana di ranjang. Dua pengawalnya
yang tadi berjaga di kamar Lana berdiri ketakutan dengan wajah lebam bekas pukulan
Mikail,
“Kenapa
kalian bisa sebodoh itu hah?,” suara Mikail terdengar tenang, tetapi intensitas
kemarahannya membuat bulu kuduk dua anak buahnya berdiri.
Para
pengawal itu saling bertatapan mencoba berkata-kata, tetapi tak bisa. Mereka memang
bersalah. Norman sebagai atasan mereka telah menginstruksikan untuk memeriksa siapapun
sebelum masuk dan keluar dari ruangan Lana. Tetapi karena Dokter Teddy tampaknya
terbiasa keluar masuk ruangan ini dengan bebas, mereka jadi lengah dan membiarkannya.
Siapa sangka kalau Dokter Teddy adalah Jackal yang ditakuti itu?
Mikail
masih menatap marah kepada kedua pengawalnya, memikirkan hukuman apa yang cukup
kejam untuk dilimpahkan atas kebodohan mereka. Lana melarikan diri, dan bukan hanya
melarikan diri, Demi Tuhan! Perempuan itu sekarang ada di tangan Jackal.
Norman
datang, menyerahkan setumpuk berkas lagi, mengalihkan perhatian Mikail,
“Sepertinya
dugaan Anda benar Tuan Mikail, profil Dokter Teddy sangat mirip dengan profil Jackal.
Dia lulusan jenius dari kedokteran, kehidupannya sangat misterius, dan menurut desas
desus, ibunya meninggal karena bunuh diri. Dia baru masuk mendaftar ke rumah sakit
ini dua bulan yang lalu, dan ketika kami melakukan pengecekan terhadap masa
lalunya, semuanya kosong, tidak ada satupun data tentangnya, seolah semuanya
dihapus”
“Cari
sampai dapat,” Mikail menggertakkan giginya, “Apapun itu, alamat, nomor mobilnya,
apapun untuk bisa mengarahkan kita kepadanya. Kita harus menemukan Lana, sebelum
terlambat,” Mikail memejamkan mata, sejenak merasakan sesak di dadanya.
Lana
harus selamat, meskipun sekarang hal itu diragukan, karena Lana berada di tangan
Jackal yang sangat kejam. Mikail akan menempuh segala cara untuk mendapatkan Lana
kembali, selamat, dan hidup-hidup.
***
“Lana,
kita sudah sampai,” Dokter Teddy mengguncang bahu Lana lembut. Lana membuka matanya
dan menemukan mobil mereka diparkir di sebuah villa tua berwarna putih yang
sangat indah dihujani cahaya lampu yang remang-remang.
Dokter
Teddy turun terlebih dahulu, lalu membuka pintu penumpang dan membantu Lana
turun. Mereka berjalan bersisian memasuki teras rumah, ketika Dokter Teddy
membuka kunci pintu rumah itu, Lana mengernyit dan bertanya,
“Ini
rumah Dokter Teddy?”
Lelaki
itu tersenyum lagi dan menggeleng,
“Bukan,
ini properti milik sahabatku yang dititipkan kepadaku, sekarang dia sedang di
luar negeri. Kupikir tempat ini adalah tempat yang paling aman untukmu sekarang-sekarang
ini…. Kau bisa bersembunyi di sini sementara, karena aku tahu Tuan Mikail pasti
sedang sangat marah sekarang dan pasti dia akan menggunakan segala cara untuk
mencarimu”. Lana menggigil mendengar kemungkinan itu, dan membiarkan dirinya
dihela masuk ke dalam vila itu. Bagian dalam villa itu sangat indah, secantik
bagian luarnya, dengan ornamen Belanda yang kuno dan rapi, tampak begitu nyaman
untuk ditinggali,
“Ayo,
kuantar kau ke kamar sementaramu, kau bisa beristirahat di sana, aku yakin kau
pasti capek setelah perjalanan panjang.” Dokter Teddy melangkah melalui anak
tangga dan Lana mengikutinya.
Kamar
untuk Lana adalah kamar sederhana yang tertata rapi, dan ranjang bulu angsa
berseprai putih di tengah ranjang tampak sangat empuk dan menggoda untuk ditiduri.
Tanpa sadar Lana menguap dan Dokter Teddy terkekeh,
‘Tidurlah
Lana, semoga besok pagi kau bangun dengan lebih segar”.
Lana
menganggukkan kepalanya,
“Terima
kasih dokter, terima kasih atas segalanya, saya tidak tahu bagaimana harus berterimakasih
kepada dokter karena sudah menyelamatkan saya dari Mikail”
Dokter
Teddy melangkah ke pintu, senyumnya tampak misterius di balik cahaya remang-remang,
“Tidak
apa-apa Lana, aku senang bisa membawamu ke sini,” Lalu lelaki itu melangkah keluar
dan menutup pintu di belakangnya.
***
Lana
terbangun karena rasa haus yang amat sangat, dia terduduk di ranjang dan sedikit
terbatuk-batuk. Dengan pelan dia memandang ke sekeliling, masih gelap. Mungkin ini
masih dini hari.
Dengan
langkah hati-hati Lana turun dari ranjang, dan keluar dari kamar. Dimanakah dapurnya?
Dia ingin minum….
Lorong
lantai dua tampak gelap, tetapi ada cahaya putih di ujung sana, mungkin itu dapurnya..
pikir Lana dalam diam. Dia lalu melangkah hati-hati menuju cahaya itu, dan terbawa
ke sebuah pintu yang sedikit terbuka di ujung lorong. Lana membukanya, dan tertegun.
Ini bukan dapur. Dia sudah hendak membalikkan badan, ketika pandangan matanya terpaku
pada sesuatu, dan wajahnya memucat.
Di
sana, di salah satu sisi tembok itu penuh dengan foto-foto yang ditempel. Dan
itu bukan foto-foto biasa, itu foto-foto Mikail sedang melakukan aktivitasnya,
beberapa di antaranya ada Mikail yang sedang bersama Lana. Dan melihat ekspresi
Mikail di sana, tampaknya foto-foto itu diambil dengan kamera tersembunyi, tanpa
seizin objeknya.
“Ada
pepatah, kalau rasa ingin tahu yang besar suatu saat akan menjadi penyebab kematianmu”
Lana
terlonjak kaget, mendengarkan suara yang mendesis itu, dia membalikkan badannya
dan berhadapan dengan Dokter Teddy yang berdiri diam di balik bayang-bayang.
Lelaki itu tersenyum, seperti biasanya, tetapi senyumnya yang sekarang bukanlah
senyum manis secerah Matahari, melainkan seringai jahat yang menakutkan.
***
“Kita
sudah berhasil melacak mobilnya,” Norman datang dengan terengah, mendatangi
Mikail yang menunggu sambil mondar-mandir tak tenang di ruangannya.
Mikail
langsung berdiri dan bergegas, dia menyiapkan senjatanya, belati berat yang selama
ini ada di kakinya dan sebuah magnum miliknya. Kalau dia harus membunuh demi
Lana,
akan dia lakukan. Lelaki itu memejamkan matanya, semoga dia tidak terlambat datang.
***
Mata
Lana hanya bisa menatap dalam ketakutan, lelaki di depannya ini sudah berubah total,
dari lelaki ramah dan baik hati menjadi monster yang menakutkan, Tubuh Lana diikat
di sebuah kursi dan Lana sepenuhnya tidak bisa bergerak, di bawah kuasa psikopat
gila yang sekarang sedang berjalan mondar-mandir sambil memainkan pisau di tangannya.
“Membunuh
dengan pisau adalah favoritku,” Dokter Teddy memainkan pisau itu di dekat Lana,
membuat kilatannya menyilaukan dalam kegelapan. “Karena itulah aku dipanggil Jackal,”
lelaki itu terkekeh mengerikan melihat sinar ketakutan yang terpancar dari mata
Lana, “Yah kenalkan, akulah Jackal yang
kalian cari-cari itu”
Lana
mencoba meronta, kengerian merayapi dirinya ketika menyadari bahwa lelaki di depannya
ini bukan saja orang jahat, tetapi dia adalah psikopat menakutkan yang diceritakan
oleh Mikail.
Dokter
Teddy tertawa melihat usaha Lana yang sia-sia untuk melarikan diri, kemudian mendorong
kursi Lana ke dinding dan menekankan pisaunya di pipi Lana,
“Pisau
ini sangat tajam,” Dokter Teddy memain-mainkan pisau itu di pipi Lana, “Aku
ragu apakah Mikail masih mau menjadikanmu pelacurnya kalau mukamu rusak,”
diletakkannya
besi dingin itu di pipi Lana membuat mata Lana terpejam ketakutan.
Tetapi
kemudian kata-kata Dokter Teddy menyulut amarahnya, dia bukan pelacur Mikail!
“Aku
bukan pelacur Mikail!,” dengan Lantang Lana meneriakkan bantahannya. Dan rupanya
bantahannya itu malahan memancing emosi Dokter Teddy,
“Bukan
pelacurnya katamu? Kau tidur dengannya dan menikmatinya, kau menerima segala fasilitas
darinya dengan suka rela, dan kau membayar dengan tubuhmu. Dari pengamatanku,
kau adalah pelacur yang paling disukai dan istimewa di mata Mikail dibandingkan
pelacur-pelacurnya yang lain, dan aku membayangkan kepuasan yang kudapatkan
ketika dia menyaksikan tubuhmu yang sudah mati, penuh dengan sayatan pisau,”
Lalu
Dokter Teddy tertawa dengan mengerikan, “Mari kita mulai ritual ini…. Aku akan
menyayatmu pelan-pelan di bagian-bagian tubuhmu hingga kau akan mati pelan-pelan
kehabisan darah….,” pisau itu berkelebatan dengan main- main di depan Lana,
“Lalu aku akan membuang tubuhmu tepat di depan mata Mikail, pasti aku akan puas
sekali….
Sebelum kemudian akan kuhabisi Mikail dengan
tanganku sendiri,” Dengan tawa mengerikannya yang terkekeh dan menakutkan, Dokter
Teddy mengayunkan pisaunya, dan sekejap, Lana merasakan pedih karena sayatan
besi tajam itu di lengannya.
***
Mikail
memasuki rumah itu dengan marah, Norman dan yang lain-lain sudah mengepung
villa putih itu. Villa itu tenang dan sepi seolah tidak ada siapapun di sana.
Lalu mata Mikail mengarah ke pintu di ujung lorong yang setengah terbuka, dan
melangkah kesana, lalu masuk dengan marah ketika melihat apa yang terjadi di
sana.
Dokter
Teddy sudah melukai Lana dengan dua sayatan berdarah di lengan Lana, membuat Lana
meringis menahan sakit dan nyeri dalam kondisi terikat di kursi dan hampir
kehilangan kesadarannya.
“Lepaskan
dia, Jackal,” suara Mikail dingin, mencoba menahan kemarahannya dengan terkendali.
Lelaki itu sedang memegang pisau di dekat Lana, dia tidak ingin Lana terluka lebih
dari ini.
Dokter
Teddy membalikkan tubuhnya dan tersenyum melihat Mikail berdiri di ruangan itu,
“Ah…
sang pangeran penyelamat akhirnya datang,” dengan tenang Dokter Teddy mengacungkan
pisaunya ke arah Mikail, “Kau lihat Mikail, pelacurmu ini sedang dalam proses meregang
nyawa, tadinya aku ingin mempersembahkannya mati dan tersayat kepadamu. Tetapi rupanya
kau terlalu cepat datang”.
“Aku
akan membunuhmu, kau tahu itu,” geram Mikail marah. Tawa Dokter Teddy membahana
ke seluruh ruangan. “Tentu saja, sekarangpun aku tahu bahwa seluruh pengawalmu sedang
mengepung tempat ini, siap menembakku kapanpun aku lengah,” dengan cepat Dokter
Teddy bergerak ke sebelah Lana dan menempelkan pisau tajam itu ke lehernya,
“Tapi sebelum kau membunuhku, aku akan membunuh pelacur ini dulu”.
Lana
terkesiap, menahan sakit dan ketakutan ketika besi dingin itu menempel di lehernya,
lapisannya yang tajam telah menyayat lehernya, menimbulkan sedikit perih di sana.
“Kalau
kau lakukan sesuatu kepadanya, aku bersumpah kau akan mati dengan mengerikan,”
Kali ini Mikail sudah tidak bisa menahan kemarahannya, “Aku akan membunuhmu
dengan
pelan dan mengerikan hingga kau akan merasakan setiap detik-detik menjelang
kematianmu”
“Kau
ketakutan Mikail, kau takut aku menyakiti pelacur ini, bisa kulihat di matamu,”
Dokter Teddy menatap Mikail dengan senyuman gilanya, memain-mainkan pisaunya di
leher
Lana, “Satu sayatan saja, aku akan memotong nadinya, tepat di leher… darahnya akan
memancar keluar dan dia akan mati dengan cepat… tepat di depan kedua matamu…dan
aku rela mati demi kepuasan menyaksikan adegan itu,” Lalu dengan gerakan secepat
kilat, Dokter Teddy mengangkat pisaunya, lalu membuat gerakan menghujam untuk menikam
leher Lana.
Lana
memejamkan matanya, menanti detik-detik kematiannya. Tetapi kemudian dia tidak
merasakan sakit, apakah memang kematian tidak terasa sakit? Dengan ragu di
bukanya matanya, dan dia terkesiap dengan pemandangan di depannya.
MIkail
sedang menahan pisau itu, dengan tangan telanjang. Bagian tajam pisau itu mengiris
telapak tangannya, tetapi lelaki itu menggenggam pisau itu tanpa ekspresi, meskipun
darah mulai bercucuran dari tangannya, mengenai Lana. Sekali lagi, Mikail menyelamatkan
Lana dari kematian. Dokter Teddy tampak terperangah dengan gerakan Mikail yang
tak disangkanya itu, dia berusaha menarik pisaunya dari genggaman Mikail, tetapi
Mikail menarik pisau itu dan melemparnya jauh-jauh,
“Aku
akan menghajarmu sebelum membunuhmu…,” Mikail menerjang dokter Teddy ke lantai,
dan mereka bergulat saling memukul. Tetapi Dokter Teddy, Jackal itu tidak terbiasa
berkelahi dengan tangan kosong sehingga dia kewalahan, Mikail terus dan terus menghajarnya
tanpa ampun, ketika kemudian rintihan Lana menghentikannya.
Mikail
melihat Lana kehilangan kesadarannya, mulai oleng dalam kondisi terikat di kursi,
Perhatian Mikail teralih, dan dia berdiri untuk meraih Lana, pada saat itulah,
Dokter Teddy yang sudah babak belur mencoba meraih pisau yang dilemparkan Mikail
tadi, dia berhasil meraihnya dan mengarahkannya untuk menikam punggung Mikail
dan…DOR!
Tubuh
Dokter Teddy ambruk ke lantai karena tembakan itu. Mikail menoleh ke belakang,
melihat Dokter Teddy ambruk dengan pisau masih di tangannya, dan dia lalu menoleh
ke pintu, ke arah Norman yang memegang pistol di tangannya.
“Bereskan
dia,” Mikail memerintah cepat, lalu perhatiannya sepenuhnya terarah kepada Lana,
tidak dirasakannya telapak tangannya yang tersayat dalam, dia membuka ikatan
Lana, dan perempuan itu langsung jatuh ambruk ke pelukannya
***
Ketika
kesadarannya kembali, Lana berada di ruangan putih itu, dan dia memejamkan matanya
lagi, tak pernah sebelumnya dia merasa begitu bersyukur berada di ruangan ini.
Kengerian
masih merayapinya, membayangkan pisau yang berkelebatan di mukanya, di tubuhnya,
di lengannya…. Aduh!
Lana
merasa nyeri yang amat sangat dan menoleh ke arah lengannya, lengannya itu sudah
dibalut perban yang amat tebal, nyerinya masih terasa tetapi lebih karena trauma
mendalam Lana akibat pengalaman buruknya itu. Lana terduduk, MIkail telah menyelamatkannya,
sekali lagi. Kenapa lelaki itu menyelamatkannya? Apakah benar karena dia dianggap
sebagai pelacur istimewa Mikail? Karena dia melayani Mikail dengan tubuhnya? Dengan
pucat Lana memalingkan mukanya, merasa dirinya begitu rendah.
Lelaki
itu menyelamatkannya. Lana memejamkan matanya, membayangkan bagaimana Mikail,
menghalangi pisau yang hendak menikamnya dengan tangannya. Lana masih ingat darah
yang mengalir itu, dan mau tidak mau Lana menyadari kalau dihitung-hitung sudah
beberapa kali dia diselamatkan oleh Mikail. Kenapa lelaki itu menyelamatkannya?
Itu adalah pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Bertahun-tahun Lana menumbuhkan
kebencian di hatinya, memupuk rasa dendam yang mendalam, dengan pengetahuan
bahwa Mikail yang jahat telah menghancurkan keluarganya. Yah, Mikail memang jahat.
Tetapi selain mengurung Lana, dia memperlakukan Lana dengan baik.... Apakah dia
memang menganggap Lana sebagai kekasihnya?
Pipi
Lana memerah membayangkan itu semua. Apakah semua kebaikan Mikail murni disebabkan
karena dorongan gairah?
Seharusnya
Lana merasa terhina, tetapi tidak, perasaannya terasa hangat tanpa dia mau. Dia
tidak boleh merasa seperti ini. Kebenciannya adalah satu-satunya senjata menghadapi
lelaki itu... Kalau sampai Lana merasakan perasaan lebih kepada Mikail... Lana
menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir perasaan yang menggayutinya.
Dengan
gemetar dia meraba lengannya yang di perban, dan menangis. Seluruh kehidupannya
berubah hanya dalam waktu singkat, seluruh rencana yang dibuatnya matangmatang
telah hancur, dan dia sekarang terpuruk di sini. Kembali dalam cengkeraman lelaki
iblis itu, dan bahkan sekarang berutang nyawa kepadanya.
“Jangan
menangis”.
Lana
terlonjak ketika suara itu terdengar di dekatnya, dengan ketakutan dia menoleh
dan mendapati Mikail di sana, duduk di sofa tak jauh dari ranjang dan mengamatinya.
Dengan
kasar Lana menghapus air matanya dan menatap Mikail marah,
“Semua
ini gara-gara kau!,” serunya menuduh, “Kalau kau tidak melibatkanku dalam kehidupanmu
yang penuh musuh itu, aku tidak akan mengalami ini!”
“Dan
kalau kau tidak gampang tertipu oleh bujuk rayu dokter yang selalu tersenyum
itu, kau tidak akan diculik dengan mudah,” sela Mikail tajam.
“Aku
hanya ingin lepas darimu, kenapa kau tidak melepaskan aku?,” kali ini Lana berteriak
penuh frustrasi, “Aku mohon aku sudah muak berada di sini… aku…”
“Tidakkah
engkau bahagia di sini Lana?,” Mikail mendekat ke ranjang dan menyentuh dagu Lana
dengan jemarinya. Pada saat itulah Lana melihat, telapak tangan Mikail di balut
perban, “Aku memenuhi kebutuhanmu, aku memberimu apa yang tidak bisa kau beli dengan
uangmu sendiri, apakah menurutmu itu tidak cukup?”
“Aku
bukan pelacur,” desis Lana tajam, “Kekayaan dan ketampananmu sama sekali tidak
ada pengaruhnya untukku, yang aku inginkan hanya kematianmu, karena kau telah
menghancurkan keluargaku. Tetapi jika itupun tidak kudapatkan, aku sudah cukup
puas bisa lepas darimu!,” Lana menatap Mikail dengan tatapan menantang.
Lelaki
itu menatap Lana tajam, lalu mengangkat bahunya dan menatap Lana lurus-lurus, "Sudahlah,
Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu,” ditatapnya Lana dengan serius,
“Bagaimana kondisimu?",
Mikail
menunduk dan mengamati Lana. Lana terdiam, otomatis memalingkan wajah dari Mikail,
"Lana", Mikail memanggil Lana dengan penuh penekanan, membuat Lana
akhirnya mau menatap matanya,
"Aku
baik-baik saja", jawab Lana ketus, "Biarpun aku tahu semua ini terjadi
karena kau dan musuh-musuhmu".
Mikail
terkekeh, "Hmm... Mengingat kau sudah kembali galak kepadaku, aku yakin
kau sudah sembuh", Mikail menyentuhkan jemarinya di pipi Lana,
"Maafkan aku".
Lana
tertegun karena permintaan maaf Mikail, dia menatap Mikail dengan hati-hati.
"Kenapa kau meminta maaf?"
"Karena
membuatmu terlibat dalam situasi ini", lelaki itu mengangkat bahu, "Situasi
seperti ini tidak akan bisa terhindarkan, mengingat kondisiku. Tetapi kau harus
tahu, ketika kau bersamaku, aku akan menjagamu"
Lana
mendengus,
"Aku
lebih memilih tidak bersamamu. Kalau aku sendirian aku pasti akan lebih baik-baik
saja"
Mikail
menatap Lana tajam, "Tidak bisa, situasi kemarin membuat kau dikenal sebagai
kesayanganku. Orang yang mengincarku pasti akan mengincarmu, karena kaulah yang
paling lemah. Itu membuatmu harus selalu bersamaku, di bawah perlindunganku",
Mikail menatap Lana lurus-lurus, "Kau adalah kelemahanku"
Pipi
Lana memerah, bukan cuma karena arti mendalam dalam kata-kata Mikail. Tetapi karena
cara Mikail mengucapkannya, begitu erotis dan penuh makna seolaholah Mikail mengucapkan
sesuatu yang sensual dari perkataannya yang biasa itu. Dan Mikail tampaknya
sengaja. Sialan lelaki itu. Dia sengaja mengucapkan kata-katanya dengan nada
sensual untuk mempengaruhi Lana.
“Kau
bebas keluar masuk seisi rumah ini, tapi aku mohon padamu, jangan mencoba melarikan
diri dari rumah ini. Aku memang jahat, tapi aku akan menjagamu, tidak demikian halnya
dengan musuh-musuhku,” Mikail mengangkat tangannya yang terluka untuk mengusap
rambutnya, dan Lana langsung teringat peristiwa itu, ketika Mikail dengan cepat
menggenggam pisau itu, menghalanginya untuk terluka, tanpa sadar dia bergidik
ngeri.
“Ya,”
gumam Mikail, memperhatikan reaksi Lana, “Kau
seharusnya
takut Lana, karena mereka semua akan melakukan apa saja untuk melukaiku lewat dirimu.
Kau aman disini, bersamaku. Dan aku yakin kau berpikiran sehat sehingga tahu bahwa
kau lebih baik bertahan di sini”
***
Kebebasan
keluar masuk kamar ini dinikmati oleh Lana sepenuhnya. Oh, dia memang masih bermaksud
pergi, tapi tidak sekarang. Dia masih trauma akan kejadian itu. Setidaknya di
rumah ini dia aman. Norman masih mengawasinya diam-diam ketika dia mondar-mandir
keluar kamar, terutama ketika dia berjalan-jalan di taman. Tetapi Lana belajar
untuk mengabaikannya.
Sore
itu, suasana rumah sangat sepi, dan Lana berjalan menelusuri area lantai satu
rumah itu. Rumah itu sangat luas dengan lorong-lorong yang tidak tahu akan menuju
kemana, sepertinya tidak cukup satu hari untuk menjelajahi keseluruhan rumah itu.
Lana berhenti di sebuah pintu yang terbuka dan sedikit mengintip. Dia terpesona
menemukan rak-rak tinggi yang memenuhi dinding-dindingnya, penuh dengan buku!
Dengan
bersemangat Lana memasuki ruangan itu, dan berdiri terkagum-kagum sambil mengamati
buku-buku di dalam rak itu. Mikail rupanya penggemar buku-buku sastra klasik, berbagai
bacaan tampak menggoda siap untuk dinikmati,
“Kau
sepertinya suka membaca,” suara Mikail mengejutkan Lana, dia menoleh dan saat itu
baru menyadari kalau Mikail duduk di sudut ruangan, di meja kerjanya yang besar
dan mempelajari berkas-berkas perusahaannya, lelaki itu menatapnya dengan mata
cokelatnya yang tajam.
Dengan
angkuh Lana mendongakkan dagunya, “Ya aku suka membaca, tetapi buku-buku mahal
di sini termasuk yang tidak bisa kubeli,” Lana tanpa sadar mengernyit.
“Kau
boleh membaca di sini,” Mikail menawarkan tampak begitu berbaik hati. Tetapi
Lana merasakan ada sesuatu di sana, sesuatu yang berbeda yang sedikit menakutkan
baginya. Ketegangan seksual yang memenuhi ruangan ini terasa begitu tidak nyaman.
Dan meskipun tawaran Mikail terasa begitu menggoda, Lana tidak berani.
“Aku
tidak akan mengganggumu,” Mikail mengangkat alis melihat Lana nampak ragu-ragu.
“Aku tidak akan mengganggumu, Lana,” lelaki itu mengulang lagi katakatanya,
“Aku bahkan tidak akan berdiri dari kursi ini”
Lana
menatap Mikail curiga, “Tidak bisakah aku meminjam buku-buku ini dan membawanya
ke kamarku?”
Mikail
menggelengkan kepalanya. Oh, tentu saja bisa, gumam Mikail dalam hati, tetapi
dia akan kehilangan kenikmatan menggoda Lana, dia ingin Lana terpaksa berada di
ruangan ini, bersamanya, “Tidak bisa buku-buku itu mahal, aku tidak yakin kau
akan menjaganya dan tidak merusakkannya”
Kata-kata
Mikail terasa menyinggung Lana, jangan-jangan Mikail bahkan menyangka Lana
ingin mencuri buku-buku mahalnya. Kurang ajar lelaki itu. Tetapi ajakan Mikail
untuk membaca buku di ruangan yang sama terasa begitu menggoda. Dan lelaki itu jelas-jelas
menantangnya, menyadari betapa besarnya ketegangan seksual di antara mereka, dan
memaksa Lana menunjukkan diri apakah akan menjadi pengecut ataukah berani menghadapi
Mikail.
Lana
sedikit mengentakkan kakinya dan melangkah mendekati sofa, diambilnya salah satu
buku di rak itu dan dia duduk, berusaha tampil nyaman di sana.
Mikail
tersenyum. Gadis itu jelas-jelas ingin menantangnya. Dan kehadiran Lana di ruangannya
sangat menarik perhatiannya, dia bahkan tidak tertarik lagi akan pekerjaan di
mejanya. Dilipatnya kedua tangannya di meja dan dia mengamati Lana yang sedang berakting
membaca itu dengan intens.
“Kenapa
kau menatapku seperti itu?,” Lana akhirnya mencetuskan apa yang ada di dalam pikirannya,
Mikail sudah sejak beberapa menit lalu hanya duduk dan menatapnya. Lelaki itu
memang tidak mengganggu, bahkan lelaki itu sama sekali tidak beranjak dari tempat
duduknya. Tetapi pandangan matanya yang intens dan penuh gairah itu terasa sangat
mengganggu. Membuat seluruh saraf tubuh Lana mengejang ke dalam gelenyar panas
yang membuat suhu ruangan ber-AC itu tiba-tiba terasa panas.
“Aku
hanya ingin mengetahui seberapa jauh kau akan pura pura berakting membaca.
Setelah itu mungkin kau bisa menyadari betapa besarnya ketegangan seksual di antara kita,” gumam Mikail dengan tenang, tidak bergeser
sedikitpun dari tempat duduknya, tetapi tampak begitu mengancam. Pipi Lana memerah
mendengar perkataan Mikail itu, dengan marah dibantingnya buku itu di sofa dan
berdiri, “Kurasa sebaiknya aku pergi”
“Takut,
Lana?,” Mikail bergumam dengan nada mencemooh, “Kau takut kalau kau akan menyerah
dalam pelukanku ya? Aku tadi menawarimu di sini, ingin melihat seberapa jauh
kau berani berdua saja bersamaku di dalam satu ruangan… ternyata kau lari ketakutan
seperti kelinci yang akan dimangsa”
Oh
Ya! Tatapan Mikail kepadanya memang seperti elang yang akan memangsa kelinci buruannya.
Lana merasa sudah sewajarnya dia ingin menyelamatkan diri.
“Aku
akan keluar dari sini”
‘Kau
memang harus keluar dari sini, karena kalau tidak pilihanmu hanya satu, berbaring
di ranjangku”
“Itu
hanya ada dalam mimpimu!,” Lana setengah berteriak, berlari ke pintu dan membanting
pintunya keras-keras, masih didengarnya tawa Mikail mengiringi kepergiannya.
***
“Lana,”
suara Mikail mengagetkan Lana yang sedang termenung di balkon. Balkon yang sama
tempat dia dilempar Mikail dengan cara mengerikan ke kolam di bawahnya beberapa
waktu yang lalu.
Lana
menoleh dan mendapati Mikail sedang berdiri diambang pintu balkon, menatapnya dengan
tenang. Lelaki itu sepertinya baru saja pulang dari tempat kerjanya, Lana tidak
tahu, karena dari balkon ini pemandangannya hanyalah halaman belakang dan kolam
renang yang luas.
“Kenapa
kau berdiri di balkon malam-malam begini?,” Mikail mengernyit mengamati hujan rintik-rintik
yang turun makin deras, bahkan airnya bercipratan mulai membasahi Lana yang memang
berdiri sambil menatap halaman di bawah.
Sejak
Lana dibebaskan, inilah pertama kalinya dia bisa menikmati hujan secara langsung.
Dulu ketika dikurung di kamar putih Lana hanya bisa menikmati hujan dari jendela,
tanpa menyentuhnya. Sekarang bisa merasakan percikan air membasahi tubuhnya
terasa begitu luar biasa untuknya.
“Aku
sedang menikmati hujan,” Lana membalikkan tubuhnya membelakangi Mikail, mencoba
mengacuhkan lelaki itu.
“Kau
akan membuat dirimu sendiri sakit,” Mikail mulai menggeram, tampaknya lelaki
itu menahan marah.
Lana
menoleh lagi dan menatap Mikail dengan menantang, “Entah apa yang kau katakan
tentang memberikan kebebasan padaku itu bohong, atau kau memang suka mengatur-atur
dan menggangguku. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan kuharap kau tidak menggangguku”
“Oke,”
Tatapan Mikail kepada Lana terasa membakar di suasana hujan yang begitu dingin,
“Terserah, silahkan buat dirimu sendiri sakit, aku harap kau tidak merepotkanku
nantinya".
Lelaki
itu membalikkan badan, tetapi setelah beberapa langkah dia memutar tubuhnya
kembali dan menatap Lana,
“Setelah
kau siap aku ingin bicara denganmu”
“Tentang
apa?,” Lana mengernyitkan kening, mulai merasa terganggu dengan interupsi-interupsi
dari Mikail. Dia sedang ingin menikmati hujan dan lelaki itu tampaknya selalu
muncul di saat yang tidak tepat dan mengucapkan kata-kata yang tidak tepat pula.
“Nanti,
ini mengenai ulang tahunmu yang ke dua puluh lima”
***
No comments:
Post a Comment