“Dan aku masih berdiri di sini, menatap punggungmu yang
berlalu pergi.”
4
“Keenan?”
“Ya ini aku.” Keenan terkekeh, apa yang kau lakukan di sini??
“Aku mengantar
temanku.”
Sani mendongakkan
kepalanya, mencoba
mencari
tetapi Kesha sepertinya
sudah ditelan keramaian jauh di depannya, “Dan sepertinya dia sudah hilang.” Gumam Sani, mendesah kesal.
Keenan tertawa, “Begitulah kalau kau berjalan di
baazar tahunan. Keadaannya selalu seperti ini
setiap tahun, selalu ramai.”
Sani masih menatap ke arah kepergian Kesha. Berharap bahwa sahabat sekaligus editornya itu
akhirnya menyadari bahwa
mereka terpisah dan
kemudian kembali untuk mencarinya.
“Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kepada Keenan kemudian ketika menyadari bahwa laki-laki itu tidak berniat untuk pergi.
“Aku?” Keenan tertawa. Lelaki ini
benar-benar ceria dan banyak tertawa, jauh berbeda dengan Azka, Gumam Sani dalam hati, “Aku lelaki bebas, kudengar di sini ada keramaian jadi aku datang untuk melihat, itu saja.”
“Sani!” itu teriakan Kesha, perempuan itu akhirnya menyadari bahwa dia terpisah jauh
dari Sani. Dia sedang berjuang menembus keramaian untuk menghampiri Sani
yang sudah menepi bersama Keenan di dekat stan sepatu. Akhirnya Kesha berhasil
mendekatinya, napasnya terengah-engah, “Fyuh ramai sekali di sana, kita
bahkan tidak bisa menawar dengan nyaman....” Lalu Kesha tertegun
menyadari lelaki luar biasa tampan yang sedang berdiri bersama Sani, mulutnya bahkan ternganga.
“Hai.” Keenan tersenyum ramah, sepertinya lelaki
itu sudah biasa dipandang dengan tatapan kagum oleh para perempuan, “Aku Keenan, aku kenalan Sani.”
Gumamnya mengulurkan tangannya.
Kesha membalas uluran tangan itu seolah terhipnotis, matanya menatap terpesona pada
Keenan.
Keenan hanya melemparkan
tatapan
geli kepada
Sani, lalu
melangkah menjauh, “Sepertinya kau sudah menemukan
temanmu.” Ditepuknya
pundak Sani dengan akrab,
“Lain kali hati-hati ya.” Gumamnya lalu melambaikan tangan dan melangkah pergi.
Mata Kesha bahkan terpaku sampai Keenan menghilang
dari pandangan matanya.
“Wow...” dia menatap terpesona, lalu
menoleh kepada Sani dengan pandangan menuduh, “Katakan padaku di mana kau menemukan lelaki setampan itu. Dia bilang dia kenalanmu bukan?”
Sani terkekeh melihat betapa tertariknya Kesha kepada Keenan, “Dia saudara kembar pemilik cafe
yang kuceritakan
kepadamu.”
“Setampan itu dan ada dua orang?” Kesha terperangah, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, “Hebat Sani,
aku yang sudah bertahun-tahun di kota ini,
belum pernah beruntung menemukan lelaki dengan penampilan fisik dan senyuman sesempurna itu.
Dan kau baru beberapa waktu disni, kau sudah berkenalan dengan dua laki-laki tampan.”
Sani tertawa tergelak, “Ah kau
melebih-lebihkan.” Dia menatap cemas
ke sekeliling yang
mulai ramai, “Kita pulang saja yuk, aku lelah.”
Untunglah Kali ini Kesha tidak menolak.
⧫⧫⧫
“Aku bertemu dengan gadis itu.” Keenan baru saja datang berkunjung ke Garden Cafe, dan Azka menemuinya di apartemennya. Lelaki itu langsung
waspada ketika
Keenan menyebut tentang ‘gadis itu’.
Dan benar saja,
Keenan langsung melemparkan pertanyaan yang sama sekali tidak disukai oleh Azka.
“Apakah dia alasan kau tidak pernah pulang ke rumahmu lagi dan selalu menginap di sini?”
Azka memasang wajah keras, “Apa maksudmu?”
“Yah. Kau bertingkah di
luar kebiasaanmu, para pelayanmu di rumah
bilang kalau
kau
tidak
pernah
tidur di sana dan selalu tidur di cafe ini. Dan kau juga menyapa gadis itu.” Keenan mengangkat bahu ketika Azka
melemparkan
tatapan tajam kepadanya,
“Aku tahu info
itu
dari gadis itu ketika aku bertabrakan dengannya. Katanya kau menyapanya
ketika dia duduk di cafe itu, dia
bilang mungkin itu budaya cafe ini, sang pemilik menyapa ramah pelanggannya.” Lirikan Keenan berubah penuh arti, “Tetapi kita tahu bahwa itu tidak benar bukan? Kau selalu menghindari semua pengunjung cafe dan hotelmu seperti mereka adalah hama. Kau selalu bersembunyi di balik
sosok pemilik perusahaan yang misterius,
kau tidak pernah menyapa pelanggan sebelumnya, gadis itu adalah satu-satunya pelanggan yang kau sapa.”
“Bisakah
kau
bicara langsung saja dan tidak berputar- putar dengan analisa konyolmu?” Azka menyela dengan ketus, membuat Keenan terkekeh,
“Yah, kesimpulannya, kau
tertarik kepada
gadis itu, kepada Sani.” Keenan menatap Azka
dengan waspada, “Begitu juga aku.”
Kemarahan
langsung
merayapi
mata
Azka, membakarnya, “Jangan Keenan.”
“Mau bagaimana lagi? Kita
sepertinya selalu dianugerahi
kutukan perasaan yang sama terhadap perempuan. Bagaimana kalau kita
lakukan permainan seperti masa remaja kita
dulu? Permainan ‘dia
pilih kamu atau aku?’, sepertinya itu akan menyenangkan.” Gumam Keenan setengah tertawa.
Tanpa diduganya Azka bergerak secepat kilat, meraih kerah baju Keenan dan mendorongnya ke tembok dengan mengancam.
“Ini bukan permainan, Keenan dan aku serius, Kalau kau hendak main-main dengan Sani, kau harus menghadapiku dulu.”
Keenan membiarkan dirinya ditekan oleh Azka
di tembok, dia menatap Azka
dengan penuh perhitungan,
“Apa kau lupa Azka? Kau sudah punya Celia.”
“Itu tidak
menghalangiku untuk memiliki
Sani.”
Sahut Azka keras.
Hal itu membuat Keenan tertawa terbahak-bahak, tidak peduli akan tatapan marah Azka,
“Tidak menghalangimu katamu?” Keenan melepaskan tangan Azka yang
mencengkeram
kerah bajunya
dan melangkah menjauh, dia masih tertawa, “Tentu saja itu sangat menghalangi, kau punya
tunangan dan kau akan menikah. Atas pilihanmu sendiri
karena rasa bertanggungjawabmu
yang bodoh itu!
Jadi kau tidak bisa menawarkan hubungan apapun, apapun!
Kepada Sani.” Keenan menatap
Azka dengan menantang, “Tetapi aku beda, aku lelaki bebas.”
“Jangan menantangku, Keenan. Kau tahu bukan apa yang akan aku lakukan kalau aku marah.”
“Aku tahu.” Keenan melirik waspada ke arah Azka, tetapi dia memutuskan untuk tidak
mundur, “Tetapi Sani layak dicoba untuk diperjuangkan.”
Keenan
melangkah
keluar
dari apartemen Azka.
Ketika
sampai di tengah pintu, Keenan menoleh lagi dan tersenyum
manis,
“Sepertinya perang
akan dimulai, kakak.”
Azka tertegun, menatap kepergian Keenan. Diacaknya rambutnya dengan frustrasi. Apa yang
ditakutannya terjadi lagi,
mereka bersaing untuk seorang perempuan.
Seakan beban masalahnya belum cukup berat saja....
⧫⧫⧫
Malam itu Sani pulang terlambat, dia
membahas tentang novelnya di
rumah Kesha dan mereka lupa waktu. Kesha menyuruhnya menginap saja, tetapi Sani memutuskan
bahwa dia harus pulang. Tidur di kamarnya sendiri saja
dia kesulitan,
apalagi harus tidur di rumah orang. Bagaimanapun juga Sani merasa lebih nyaman beristirahat di tempatnya sendiri.
Ketika berjalan turun dari taksi dan hendak memasuki
pintu putar menuju
lobi
apartemennya, Sani
melirik
ke arah Garden Cafe itu di seberang jalan, sudah dua
hari
dia tidak kesana. Apakabarnya Azka? Pikiran itu terus mengganggunya sepanjang hari ini.
Otaknya selalu dipenuhi bayangan lelaki itu yang begitu tampan dan tampak begitu dewasa.
“Sani?”
Sani terperanjat kaget mendengar namanya disebut, dia langsung menoleh dengan waspada. Wajahnya pucat pasi ketika menemukan Jeremy ada di sana. Lelaki itu tampak berantakan dan sedikit tidak fokus.
“Aku menunggumu lama sekali di sini, kau kemana saja?” Nada suara
Jeremy meninggi seolah tidak bisa mengontrol
emosinya. Dan ketika Jeremy melangkah sedikit mendekatinya, dia langsung bisa menciumnya, aroma alkohol yang pekat dan memuakkan. Seolah lelaki itu menghabiskan malamnya dengan meminum alkohol murahan yang menguarkan bau khas.
Sani langsung merasakan jantungnya berdegup kencang, Jeremy sedang mabuk. Dan sepertinya dia mabuk
berat. Bahkan dalam keadaan sadarpun, Sani tahu bahwa Jeremy
sering kali tidak bisa
mengendalikan emosinya, apalagi dalam keadaan mabuk.
Mata Sani berkeliling waspada, memandang semua orang. Adakah yang bisa menolongnya di
sini? Dia mulai panik ketika menyadari bahwa suasana sekeliling sudah sangat
sepi. Hanya ada beberapa pedagang rokok dengan lampu remang, itupun jauh di sudut sana. Sani tidak yakin kalau dia berteriak
pedagang itu akan mendengarnya.
Mata Sani melirik ke Garden Cafe di seberang jalan. Cafe itu masih
buka tentu saja, meskipun sudah
jam
dua
malam,
tetap penuh
pengunjung. Tetapi sayangnya para
pengunjung itu berada di dalam, sedang dihibur oleh aliran musik slow yang menenangkan hati di sana.
Tidak ada yang bisa menolong Sani kalau Jeremy lepas
kendali....
“Kenapa kau kemari lagi, Jeremy.” Tanya Sani hati-hati, berusaha mundur dan tetap menjaga
jarak, meskipun lelaki itu terus mencoba mendekatinya.
“Kenapa?’ Jeremy tertawa, “Karena kau bodoh dan pendendam.” Suaranya
meninggi lagi,
“Kau membesar- besarkan masalah seolah-olah aku melakukan kesalahan yang sangat besar. Kau menolak memaafkanku
dan mengusirku seolah aku ini
sampah.” Jeremy tersenyum sinis, “Mungkin jangan-jangan kau dulu tidak
mencintaiku, karena
kalau orang yang mencintaiku, tidak akan mungkin dia
tidak bisa memaafkanku.”
Oh Astaga, lelaki ini sungguh tidak tahu malu. Membesar- besarkan masalah katanya? Perempuan mana di
dunia ini yang bisa memaafkan kelakuan seperti itu dari tunangannya, di
saat perkawinan mereka tinggal menghitung bulan?
“Aku rasa lebih
baik kau enyah dari kehidupanku Jeremy.
Aku
sudah sangat muak kepadamu, dan aku tidak mungkin mau kembali kepadamu.” Sani terpancing emosi
sehingga nada penuh kebencian keluar dari
suaranya.
Hal itu memancing Jeremy, tatapan lelaki itu membara,
dipenuhi
oleh
alkohol yang
diminumnya.
Dia tiba-tiba
saja sudah melompat dan mencengkeram kedua lengan Sani dengan kasar hingga terasa menyakitkan.
“Tidak mau
kembali
kepadaku?” Jeremy
terkekeh, suaranya
menakutkan dan aroma
alkohol kembali
menguar
dari sana, membuat Sani
ketakutan dan berusaha meronta dengan panik. Tetapi lelaki itu sangat kuat dan semakin Sani meronta, semakin
kuat Jeremy
mencengkeramnya, hingga terasa sakit.
“Sakit! Jeremy, kau menyakitiku!”
Sani mencoba meronta, mulai menjerit.
Tiba-tiba
tubuh Jeremy
tertarik dengan kasar ke belakang sehingga hampir terjengkang. Lengan yang menarik
Jeremy itu lalu
mendorong Jeremy dengan kasar hingga jatuh terbanting di trotoar.
Sani langsung mengenali penyelamatnya, itu
Azka. Lelaki
itu mengenakan pakaian hitam-hitam sehingga
membuat Sani tidak menyadari kapan lelaki itu datang dan mendekat. Tetapi bagaimanapun juga,
dia
menyukuri kehadiran Azka di
saat yang tepat untuk menyelamatkannya.
“Kau lagi.”
Meskipun mabuk, Jeremy rupanya mengenali Azka dari insiden siang itu. “Sebenarnya kau ini siapa? Kenapa selalu
mengganggu urusanku dengan tunanganku?” Jeremy bangkit dari duduknya dan berdiri dengan posisi waspada, siap menyerang.
“Mantan tunangan.”
Azka bergumam tenang, tubuhnya lebih tinggi dan lebih kuat daripada Jeremy. Dan dia memegang sabuk hitam dalam ilmu bela diri, menghadapi Jeremy akan sangat mudah baginya. “Sebaiknya kau menyingkir dari
sini dan tidak mengganggu Sani lagi, kalau tidak kau akan menghadapiku.”
Jeremy membelalakkan matanya marah, sejenak tampak berpikir untuk menyerang Azka. Tetapi kemdian dia memilih
mundur ketika melihat
nyala membunuh
di mata Azka.
Dia akan kalah kalau menghadapi lelaki ini, entah kenapa dia tahu.
Dengan lirikan sinis, dipandangnya Sani, “Ternyata kau begitu mudah melupakanku, baru beberapa lama kita berpisah
dan kau sudah menemukan lelaki
baru.
Mungkin kau tidak sesuci apa yang
kau
tampilkan selama ini.”
Setelah melemparkan tatapan merendahkan, Jeremy melangkah setengah terhuyung-huyung ke arah mobilnya.
Azka memastikan Jeremy memasuki mobilnya dan pergi sebelum menyentuh pundak Sani hati-hati. Sani
tampak tegang dan ketakutan meskipun perempuan itu berusaha tegar,
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut. Sani baru merasakan seluruh tubuhnya gemetar ketika semua sudah berakhir,
dia
menatap Azka tak berdaya, “Aku tidak apa-apa.” Jawabnya serak, tetapi kakinya tiba-tiba lemas
sehingga Azka harus menopangnya,
Lelaki itu merangkulnya dengan lembut tapi
sopan.
“Ayo kuantar kau ke atas.” Gumamnya tenang, menghela Sani memasuki lobi apartemen itu dan melangkah ke dalam lift.
Di depan pintu kamarnya, barulah Sani menyadari
kesalahannya. Dia tidak
mungkin membiarkan Azka memasuki
apartemennya, sekali lagi dia hampir bisa dikatakan tidak mengenal Azka dengan baik. Lelaki ini bisa saja
psikopat yang mengincar perempuan-perempuan yang tinggal sendirian bukan?
“Aku.. eh, terima kasih..” Sani bersandar pada
pintu. Ia berusaha bersikap sopan dan melepaskan diri dari pegangan Azka di pinggangnya.
Azka mengangkat alis melihatnya, “Kau lemas dan gemetar." Gumamnya tenang, “Aku akan mengantarmu masuk.”
“Tidak!” Sani hampir berteriak dan merasa malu ketika Azka menatapnya seolah dia
sedang kerasukan, “Aku.. aku bisa masuk sendiri, terima kasih.”
Dia mencari-cari
kartu kunci pintunya
di dalam tas, tetapi tidak bisa menemukannya. Dengan panik dia mengaduk- aduk tasnya. Dan tetap tidak menemukannya.
Azka masih menunggu di
situ, menatap kepanikannya dengan tenang dan tanpa kata-kata.
Lama kemudian Sani mencari dan kemudian dia mengangkat kepalanya
dengan panik, “Kuncinya tidak ada.” Gumamnya lemah dan ingin menangis, “Mungkin.. mungkin ketinggalan di
rumah temanku...” airmata mulai membuat matanya terasa panas.
Sebenarnya ini bukan masalah
yang pelik, Sani tinggal menghubungi keamanan atau resepsionis di bawah untuk meminta kartu cadangan dan
dia akan bisa membuka pintunya.
Sani hanya perlu
alasan
untuk
menangis,
perlakuan kasar dan merendahkan Jeremy kepadanya tadi sangat melukai
hatinya. Dan meskipun di depan dia
berusaha tampil tegar, dia masih merasakan luka dan perih itu. Tanpa kata, Azka meraih kepalanya dan meletakkannya di dadanya,
“Shh.... menangislah.” Bisiknya
lembut dan seketika itu juga benteng pertahanan diri Sani bobol. Dia menangis sekuatnya, untuk pertama kalinya
setelah sekian lama.
Menumpahkan
kepedihannya, menumpahkan kemarahan dan kebenciannya kepada semua hal yang terjadi antara dirinya dan Jeremy. Dia
menumpahkan semuanya di
dada Azka, lelaki yang bahkan baru dikenalnya beberapa waktu lalu.
Dengan tenang Azka mengusap rambutnya, setelah merasa Sani sedikit tenang, dia menjauhkan pundak Sani dari pelukannya dan berbisik lembut,
“Sini tasmu, sepertinya kau terlalu panik
ketika mencarinya tadi.”
Dengan patuh
Sani
menyerahkan
tasnya, Azka
mencarinya
dengan
hati-hati. Dan dalam sekejap dia menemukan kartu
kunci itu, terselip di bagian paling bawah tasnya.
Azka menggenggamkan kartu kunci itu ke dalam jemari Sani, dan tersenyum lembut,
“Masuklah dan beristirahatlah.” Bisiknya pelan. Sani
mengusap airmatanya dan menatap
Azka dengan
sendu.
“Terima kasih.” Bisiknya serak.
Tanpa diduga,
Azka
menarik
Sani
kembali
ke pelukannya, lalu mengecup dahinya lembut, “Sama-sama.” Lalu lelaki itu
membalikkan tubuhnya, meninggalkan Sani tanpa kata-kata.
YOU'VE GOT ME FROM HELLO - SANTHY AGATHA - BAB 5
No comments:
Post a Comment