BAB
6
Kopi
sudah dihidangkan, pertanda meeting santai itu sudah usai. Beberapa lelaki memilih
keluar untuk merokok, sedang Damian duduk diam di ujung sofa, mengamati Mikail yang
masih sibuk mempelajari berkas-berkas di tangannya.
Mikail
bukanlah lelaki yang bisa membaur, lelaki ini penyendiri, dan wataknya yang terkenal
membuat orang- orang segan mendekatinya. Damian tidak akrab dengan
Mikail,
mereka hanya berbicara tentang bisnis. Dan apabila menyangkut bisnis, Mikail cukup
kooperatif. Kerja sama mereka telah membuahkan banyak keuntungan bagi perusahaan
masing-masing.
Damian
ragu untuk menanyakan perihal Lana kepada Mikail. Rasanya terlalu aneh untuk membahas
masalah itu di sini. Tetapi isterinya – Serena yang cantik – telah berhasil membuatnya
berjanji untuk melakukannya.
Damian
berdehem, menarik perhatian Mikail dari berkas berkas yang ditelusurinya dengan
serius,
“Kami,
aku dan isteriku bertemu dengan kekasihmu semalam”
Kepala
Mikail langsung terangkat seperti disentakkan, ia menatap Damian dengan waspada,
“Oh
ya?,” nada suaranya santai, tetapi ketegangan dalam suara Mikail tidak bisa menipu
Damian, ada sesuatu di sini, batin Damian dalam hatinya, ada sesuatu yang
dirahasiakan
Mikail…
“Yah,
dia berkenalan dengan isteriku kemarin, dan berbicara panjang lebar dengannya,”
Damian berusaha memancing Mikail dan sepertinya pancingannya kena karena mata Mikail
menyipit dan menatapnya curiga.
“Apakah
dia mengatakan sesuatu kepada isterimu?” Damian menatap Mikail lurus-lurus,
“Dia
meminta tolong kepada isteriku untuk diselamatkan, supaya dia bisa keluar dari
rumahmu”
Bibir
Mikail mengetat membentuk garis tipis, lalu dia segera berdiri, “Bilang pada
isterimu untuk tidak melakukan apa-apa. Perempuan itu milikku, dan siapapun
tidak akan bisa melepaskannya dari rumahku, kecuali atas seizinku,” Mikail
menatap Damian lurus, menimbang-nimbang, “Aku menghormatimu Damian, kau adalah salah
satu dari sedikit orang yang aku hormati dan aku tidak ingin hubungan saling
menghargai ini rusak. Maaf aku permisi dulu karena ada janji
pertemuan
dengan pihak lain setelah ini”
Setelah
mengangguk kaku, Mikail melangkah pergi meninggalkan ruangan meeting besar itu.
Damian
duduk diam dan menyesap kopinya, matanya masih menatap pintu di mana Mikail
menghilang di baliknya.
Tingkah
Mikail mengingatkannya pada dirinya dulu. Senyum muncul di bibir Damian. Mikail
mungkin akan mengalami hal yang sama seperti dirinya, kalau dia tidak hati-hati
kepada Lana
***
Ketika
pintu kamarnya dibuka dari luar, Lana tidak menyangka kalau Mikail-lah yang masuk.
Lelaki itu telah sepenuhnya mengabaikannya akhir-akhir ini. Lana bahkan hampir
tidak pernah melihat lelaki itu, kecuali dari pemandangan ketika Mikail memasuki
mobilnya di teras bawah yang kelihatan dari jendela lantai dua tempat Lana
dikurung.
Dan
seperti biasanya, lelaki itu tampak marah. Lana mengerutkan alisnya, kenapa
lelaki itu tidak pernah sedikitpun tampak ceria dan tersenyum? Kalaupun
tersenyum, senyumnya hanyalah senyum jahat dan sinis.
Apakah
lelaki itu tidak pernah merasakan bahagia sedikitpun di dalam hatinya?
Tanpa
basa basi, Mikail melempar jasnya ke kursi dan melonggarkan dasinya, lalu menatap
Lana tajam,
“Apa
yang kau katakan kepada Isteri Damian?”
Lana
langsung mengkerut takut. Serena mungkin telah menyampaikan permintaan tolongnya
kepada Damian, dan Damian mengatakannya kepada Mikail.
Ketika
rasa ketakutan menggelayutinya, Lana langsung menggelengkan kepalanya mencoba mengembalikan
keberaniannya. Diingatnya wajah ayah dan ibunya yang bahagia, lalu tergantikan dengan
wajah pucat mereka yang terbaring di peti mati. Kebencian dan kemarahan adalah
senjatanya untuk menghadapi Mikail,
“Aku
memang meminta tolong kepada Serena untuk menyelamatkanku,” Lana mengangkat dagunya
angkuh, menantang Mikail. Mikail menggeram marah, matanya menyala,
“Coba
saja kalau kau berani. Minta Serena untuk membebaskanmu, dan kalau perempuan itu
berani melakukan sesuatu, aku akan melenyapkan nyawanya,” Mikail mendesis geram,
“Dan aku tidak pernah main-main dengan perkataanku Lana, kebebasanmu akan diganti
dengan nyawa orang-orang yang lengah atau orang-orang yang mencoba menyelamatkanmu”
Wajah
Lana memucat. Apakah Mikail benar-benar akan melukai Serena? Diingatnya senyum lembut
di wajah cantik Serena dan kebaikan hati perempuan itu. Ah ya Tuhan, Serena adalah
satu-satunya kesempatannya untuk melepaskan diri. Tetapi jika gantinya Mikail
akan melukai Serena, maka Lana tidak punya kesempatan apa-apa lagi.
“Kenapa
kau tidak melepaskanku? Aku muak menjadi tawananmu”
Mikail
menyipitkan matanya, mengamati Lana dari ujung kepala sampai kaki,
“Terlalu
mudah jika aku melepaskanmu, kau pasti akan mencari cara untuk membalaskan dendammu
lagi… dan terlalu mudah pula kalau aku membunuhmu, tubuhmu terlalu nikmat untuk
mati sia-sia…,” Mikail melangkah mendekat, dan otomatis Lana langsung melangkah
mundur.
“Jangan…
jangan mendekat!,” Lana tanpa sadar mencengkeram dadanya dengan gerakan melindungi
diri.
Mikail
sudah pernah memaksakan kehendak kepadanya, memar di tangannya masih terasa nyeri,
bekas ikatan dasi yang kejam di pergelangannya. Mikail hanya tersenyum meremehkan
melihat gerakan Lana itu,
“Kau
tahu kau tidak bisa menolak kalau aku ingin memaksamu. Apakah kau tidak belajar
dari pengalaman bercinta kita kemarin?,” dengan tenang lelaki itu melemparkan
dasinya yang sudah dilonggarkan ke lantai, lalu melepas kancing kemejanya, satu
demi satu.
Lana
menatap pemandangan di depannya itu dengan panik, “Kau… kau mau apa??”
“Menurutmu
aku mau apa?.” Mikail melemparkan kemejanya dan berdiri dengan dada telanjang
di depan Lana. Tubuh lelaki itu luar biasa indah, ramping tapi kuat dengan otot
ototnya yang menyembul, terlihat begitu keras.
“Aku
mau mandi,” Mikail tampak geli melihat keterkejutan Lana, “Dan kau ikut
denganku”
Wajah
Lana memucat dan menatap Mikail dengan marah. “Apa-apaan? Kenapa kau mandi disini?
Kau… kau kan punya kamar mandi sendiri di kamarmu… ini… ini adalah…”
“Ini
adalah kamar kekasihku,” Mikail menyelesaikan kalimat Lana dengan tenang, “Ya. Kau
kekasihku Lana, kau harus terima itu. Kau ada di sini untuk memuaskan nafsuku”
“Kurang
ajar!,” Lana menyembur marah, dan didorong akan rasa tersinggungnya atas hinaan
Mikail, Lana maju dan mencoba mencakar wajah Mikail. Tetapi Mikail cukup gesit,
digenggamnya lengan Lana, dan dengan gerakan cepat di telikungnya tangan Lana
di belakang punggungnya,
“Tidak
semudah itu Lana, ingat itu, aku laki-laki yang cukup kuat, kalau kau bersikap baik,
aku akan bersikap baik kepadamu, tetapi kalau kau menantangku, aku mungkin akan
menyakitimu,” Dengan satu tangan masih menelikung Lana, Lelaki itu meraih dagu
Lana dan memaksa mengecup bibirnya dengan panas, “Ketika aku bilang kau harus mandi
denganku, maka kau akan melakukannya”
Mikail
mendorong Lana masuk ke kamar mandi dengan nuansa marmer putih itu
***
Mikail
merasa dirinya hampir gila. Dia tidak berhubungan seks dengan wanita manapun akhir-akhir
ini. Karena dia tidak tertarik. Gairahnya terpusat kepada Lana, perempuan ini
membuatnya ingin menundukkannya, menaklukkannya, dan mendominasinya dengan posesif.
Mikail ingin Lana tunduk di kakinya, memujanya seperti yang dilakukan banyak
orang kepadanya.
Well
itu mungkin butuh waktu lama, Mikail mengernyit melihat ekspresi Lana. Perempuan
ini harus selalu dipaksa, harus selalu diikat, dan Mikail sebenarnya tidak suka
menyakiti perempuan yang akan ditidurinya.
Bukti
gairahnya terlihat jelas, dan Lana menolak untuk melihatnya, Mikail mendorong
tubuh Lana ke pancuran, membiarkan air hangat membasahi mereka berdua. Ketika
Lana sekali lagi mencoba memberontak, Mikail mencengkeram kedua tangannya erat-erat
ke dinding dan merapatkan tubuhnya, menempelkan bukti gairahnya ke pusat tubuh
Lana, membuat muka Lana merah padam,
“Hati-hati
Lana, aku tidak ingin menyakitimu, aku cuma ingin mandi”
Lana
mengerjap, “Mandi?” Ada sinar geli di mata Mikail,
“Ya,
mandi, kau pikir aku mau apa?”
Pipi
Lana makin memerah, apalagi ketika matanya tersapu pada kejantanan Mikail yang
mengeras, terlihat jelas laki-laki itu sudah amat sangat terangsang.
Mikail
mengikuti arah tatapan Lana dan tersenyum,
“Aku
cuma ingin mandi, tetapi sepertinya kau lebih tertarik ke yang lain”
Lana
menatap marah ke mata Mikail, tetapi lelaki itu hanya terkekeh,
“Terserah
kau, kau mandi di sini bersamaku. Atau kalau kau lebih memilih menantangku, kita
bisa berakhir dengan hubungan seks yang hebat di kamar mandi. Sekarang tolong gosok
punggungku dengan sabun,” Mikail melepaskan celananya, terkekeh lagi ketika Lana
langsung memalingkan mukanya, tak mau melihat.
“Ayo,
gosok punggungku,” Mikail membalikkan tubuhnya, membiarkan pundak dan bahunya
diterpa air hangat dari shower, yang mengalir menuruni punggung berototnya dan
turun ke pantatnya yang kencang…
Lana
terpana dan mengerjapkan matanya ketika menyadari bahwa matanya terpaku pada keindahan
tubuh Mikail yang berotot dan keras. Ramping tapi jantan, dan semua begitu
proposional pada tempatnya, seolah Tuhan menciptakan laki-laki ini sambil
tersenyum.
Mikail
menolehkan kepalanya dan menangkap basah Lana yang sedang mengamati tubuhnya. Tatapan
sensualnya memancar, panas, dan bergairah. Tetapi kemudian dia mendapati mata Lana
yang berputar ke seluruh penjuru kamar mandi. Perempuan ini masih belum menyerah
dalam usahanya untuk melukai Mikail. Mikail berani bertaruh bahwa Lana sedang
mencari-cari senjata, sesuatu – mungkin untuk dipukulkan ke kepala Mikail yang sedang
lengah,
“Lana,”
suara Mikail terdengar rendah dan mengancam, meskipun sebenarnya lelaki itu sangat
menikmati mengucapkan nama Lana lambat-lambat di mulutnya, “Kalau kau tidak melakukan
perintahku dan sibuk mencari cara untuk melakukan – entah rencana apa yang ada
di dalam kepalamu yang cantik itu, maka mungkin saja aku akan berubah pikiran dan
langsung menyetubuhimu saja”
Lana
terlonjak, dan langsung meraih sabun cair, lalu mengusapkannya ke punggung Mikail
yang keras dan berotot itu. Sentuhan itu membuat keduanya sama-sama terkesiap.
Mikail bahkan tidak bisa menahan erangannya, kejantanannya sudah begitu keras. Seperti
batu di bawah sana hingga terasa menyakitkan, memprotes untuk dipuaskan. Sentuhan
tangan lembut Lana di punggungnya semakin memperburuk keadaan, membuatnya terangsang
sampai di tingkat dia tak dapat menanggungnya. Lana mengernyit mendengar suara
erangan Mikail. Dia tidak dapat melihat ekspresi Mikail, hanya bisa melihat rambut
belakang Mikail yang kecoklatan dan sekarang basah, menempel di tengkuknya.
“Kenapa?,”
Lana bertanya, pada akhirnya ketika Mikail mengerang lagi. Jemarinya menggosok
lembut bahu dan punggung Mikail yang sekarang licin karena sabun. Guyuran air
hangat membasahi mereka berdua, membuat kaca-kaca kamar mandi itu berembun karena
uapnya.
Mikail
menggertakkan giginya, mencoba menahan gairahnya. “Tidak apa-apa,” suaranya berupa
erangan yang dalam, mencoba menahan dirinya ketika tangan lembut Lana yang
berlumuran sabun itu menyentuh pinggangnya. Dia ingin merenggut tangan Lana
itu, menyentuhkan ke kejantanannya yang sangat menginginkannya, dan kemudian memuaskan
dirinya di dalam tubuh Lana.
Tetapi
dia tidak bisa. Mikail ingin membuat Lana menyerah dengan sukarela. Dua percintaan
mereka yang terakhir tidak dilakukan dengan sukarela. Meskipun pada akhirnya Mikail
bisa membuat Lana merasakan kenikmatan. Mikail Raveno tidak pernah memaksa perempuan
jatuh ke dalam pelukannya. Para perempuanlah yang berebut untuk dipeluk
olehnya. Dan itu harus terjadi pada Lana. Lana-lah yang harus menyerah dalam
pelukannya.
Mikail
memejamkan matanya, membayangkan bagaimana nikmatnya nanti ketika Lana pada akhirnya
menyerah ke dalam pelukannya dan memohon kepadanya. Mikail melirik kepada Lana,
dan …. Astaga ! Demi para dewa yang ada di semesta alam ini…. Lana masih memakai
pakaian lengkap, dan yang membuat semuanya lebih buruk, pakaian Lana adalah rok
panjang tipis berwarna putih. Dan ketika baju itu basah kuyup, malahan membuat
tubuh Lana begitu seksi, tercermin samar-samar di balik pakaian putih yang membuatnya
tampak misterius.
Mikail
menggertakkan giginya. Dia tidak tahan lagi bermainmain seperti ini. Ada di
dekat Lana, telanjang, dan siap seperti ini membuatnya merasa hampir gila.
Perempuan ini harus menyerah padanya. Harus!
***
Mikail
memasang jasnya dan menoleh pada Norman yang berdiri menungguinya di dekat pintu.
“Bagaimana
dengan kasus terakhir itu? Sudah kau bereskan?”
Norman
mengangkat bahunya,
“Tuan
Franky memendam kemarahan kepada tuan. Apalagi karena tindakan tuan sudah menggilas
habis seluruh perencanaan proyeknya”
Mikail
tersenyum, membayangkan muka Franky Alfredo saat ini pasti sedang merah padam
karena marah.
“Dia
selalu marah kepadaku, sejak awal. Tetapi sampai sekarang dia tidak akan bisa
berbuat apa-apa kepadaku. Dia tahu dia akan mati kalau sekali saja dia mencoba membunuhku,
lalu gagal.”
“Bagaimana
kalau dia mencoba dan berhasil?,” Norman menyela dengan cepat, “Tuan Franky sangat
licik dan bertangan kotor. Dia menggunakan banyak orang untuk mencapai tujuannya,
kita tidak boleh meremehkannya dan harus selalu berhati-hati.” Norman menatap Mikail
dengan tatapan mata serius. “Seharusnya tuan menyuruh saya untuk membereskan
orang itu dari dulu, supaya dia tidak berani berbuat macam-macam”
Mikail
menggelengkan kepalanya tak peduli,
“Dia
tidak akan berani, dan kalaupun dia berani melakukan apapun… aku sendiri yang akan
menghabisinya”
Franky
Alfredo adalah salah satu musuh bisnis Mikail. Lelaki itu bersikap munafik karena
di depan Mikail dia selalu bersikap baik dan bersahabat. Tetapi Mikail tahu kalau
lelaki itu menyimpan kebencian yang amat mendalam kepadanya
karena
bisnisnya semakin terpuruk akibat gilasan ekspansi yang dilakukan Mikail.
Mikail
sadar dia memang tidak boleh meremehkan Franky, karena Franky punya teman-teman
penting di balik bisnis kotornya. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan anak
buahnya, lelaki itu berhubungan dengan sindikat senjata gelap dan kelompok-kelompok
bawah tanah. Tidak menutup kemungkinan Franky pada akhirnya akan menyewa salah
seorang dari mereka untuk membunuhnya. Mikail, meskipun dibekali dengan kemampuan
bela diri dan sangat ahli dalam berbagai jenis senjata serta dikelilingi oleh
pasukan pengawalnya yang kompeten, harus selalu waspada.
Suatu
saat, ketika Franky sudah terasa sangat mengganggu seperti hama penyakit yang harus
dibasmi, Mikail sendiri yang akan membereskannya. Tetapi tidak sekarang, mungkin
reputasi Mikail yang kejam membuat Franky sangat berhati-hati dalam bertindak,
Mikail ingin melihat sejauh mana gerakan Franky, baru setelah itu dia memutuskan
akan dibagaimanakan sampah itu.
Nanti.
Gumam Mikail dalam hati, Sekarang dia harus makan malam dengan perempuannya.
Setelah
merasa puas dengan penampilannya, MIkail memutar tubuhnya dan mengedikkan bahunya
kepada Norman,
“Dia
sudah siap?”
Norman
menganggukkan kepalanya,
“Theo
sudah menyiapkannya dari satu jam yang lalu,” Norman membungkukkan badannya, lalu
membukakan pintu untuk Mikail.
***
Ketika
didandani oleh Theo, Lana sudah terlalu lelah untuk melakukan pemberontakan sekecil
apapun. Dia bahkan tadi tidak bertanya apapun ketika Norman mengantar Theo ke
kamarnya dan laki-laki itu tiba-tiba mendandaninya,
“Sepertinya
kau berubah menjadi pendiam, kau tidak ingin tahu mengapa kau didandani?,” Theo
bertanya setelah dia selesai mengoleskan eye shadow warna keemasan di kelopak mata
Lana.
Lana
hanya menggelengkan kepalanya, tidak mampu menjawab. Ingatan akan kejadian di kamar
mandi tadi membuat perasaannya campur aduk. Oh ya, sesuai janjinya, Mikail hanya
mandi. Setelah Lana selesai menyabuni punggungnya, Mikail meneruskan mandi dan
kemudian dengan tatapan lancang, menawarkan diri untuk memandikan Lana – yang
tentu saja langsung ditolaknya mentah-mentah dengan berbagai sumpah serapah
yang menyembur dari bibirnya. Mikail hanya tersenyum, mengambil handuk putih, mengikatkannya
di pinggangnya dan melangkah pergi dengan santai. Meninggalkan Lana yang masih
terpaku dalam guyuran air shower kamar mandi itu.
Mikail
benar-benar terangsang. Lana tidak perlu memegang untuk mengetahui itu, bukti
kejantanan Mikail sudah menonjol tanpa tahu malu. Tetapi kenapa lelaki itu tidak
melakukan apa-apa kepadanya? Bukannya Lana ingin Mikail melakukan apapun kepadanya.
Tetapi bayangan itu, bayangan MIkail yang bergitu bergairah tidak bisa hilang
dari pikirannya.
Entah
kenapa perasaan malu dan terhina merambati pikiriannya, Sungguh memalukan! Mungkinkah
sebenarnya di dalam dirinya tersembunyi sosok perempuan jalang yang siap meledak?
Atau jangan-jangan Mikail memang begitu ahli merayu perempuan sehingga membuat Lana
hampir-hampir bertekuk lutut di kakinya?
“Sudah
selesai,” suara Theo terdengar puas, mengembalikan Lana dari lamunannya.
Lana
sedikit melirik ke cermin, pada mulanya tidak begitu tertarik akan hasil dandanan
Theo, tetapi mau tak mau pandangan matanya tertahan lebih lama di sana.
Gaun
hitamnya tampak menjuntai di belakang, dengan potongan sederhana, tetapi elegan.
Rambutnya diangkat ke atas, memamerkan telinganya yang dihiasi anting rubi dengan
ukiran emas. Secara keseluruhan, penampilannya tampak begitu elegan dan berkelas.
Theo memang hebat bisa membuat penampilannya berubah drastis seperti ini.
“Tuan
Mikail akan mengajakmu makan di Atmosphere,” Theo mengernyit ketika melihat Lana
tampak biasa saja mendengar nama restaurant itu, “Hei itu restaurant bintang lima
paling berkelas di sini, di sana akan ada banyak mata yang melihat dan menilamu,
tapi jangan pedulikan mereka,”
Theo
memutar matanya genit, “Mereka hanya iri karena kau bersama bujangan yang paling
diminati.”
Bujangan
paling diminati? Tanpa sadar Lana memutar matanya, mungkin orang-orang itu terlalu
silau akan ketampanan Mikail hingga buta akan semua sifat buruknya.
Pintu
terbuka dan Norman masuk, “Sudah siap?,” pengawal berwajah dingin itu sedikit
mengangkat alisnya melihat penampilan Lana, tetapi wajahnya tetap datar, “ Tuan
Mikail sudah menunggu di bawah.”
***
Lana
diantar ke ballroom bawah dan Mikail berdiri di sana. Lelaki itu sekilas melemparkan
pandangan memuji, tetapi tidak mengatakan apa-apa.
Di
dalam mobilpun dilalui dalam keheningan. Lelaki itu rupanya berniat mempertahankan
keheningan sampai ke tujuan. Tetapi Lana tidak tahan, satu-satunya senjata agar
dia tidak jatuh dalam pesona Mikail adalah dengan terus menerus melawannya.
“Kenapa
kau ajak aku makan malam di luar?,” akhirnya Lana memecah keheningan itu dengan
pertanyaannya. Mikail menoleh sedikit dan menatap Lana dengan pandangan malas,
“Aku
lapar”
Lana
mendengus jengkel mendengar jawaban itu,
“Kau
punya 3 koki hidangan internasional di rumahmu,” begitu yang sempat Lana dengar
dari obrolan para pelayan. “Aku sedang ingin makan di luar, dan kau….,” Mikail menatap
Lana dengan tatapan – awas kalau kau berani membantah-, “Kau adalah kekasihku, jadi
kau harus mendampingiku”
Tentu
saja Lana membantah, “Aku bukan kekasihmu”
“Ya,
kau adalah kekasihku. Perempuan yang kutiduri lebih dari satu kali otomatis menjadi
kekasihku”
“Bukan!,”
Lana menyela keras kepala, mukanya memerah mendengar omongan Mikail yang vulgar
itu.
“Lana,”
Mikail mengeluarkan suara mengancamnya yang khas, “Jangan menantangku. Kau tahu
aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, suasana hatiku sedang buruk dan aku
muak dengan semua perlawananmu. Jadi jangan cobacoba memancing kesabaranku”
“Kalau
kau muak denganku seharusnya kau lepaskan aku” “Tidak,” Mikail menjawab cepat,
hanya sepersekian detik setelah Lana menutup mulutnya, “Hentikan Lana, kau
tidak akan kulepaskan.”
“Kenapa?’
“Kau
tahu kenapa.,” Mikail jelas tampak jengkel. “Tidak, aku tidak tahu,” jawab Lana
keras kepala. “Karena,” suara Mikail sedikit menggeram, dan dalam sekejap lelaki
itu mencengkeram rahang Lana dengan jemarinya, lembut tetapi mengancam, “Karena
aku sangat suka memasukimu, merasakan kewanitaanmu membungkusku dengan panas, lalu
mendengarmu merintih karena orgasmemu. Jelas??”
Sangat
Jelas. Dan Mikail berhasil membuat Lana terdiam. Sepanjang perjalanan mereka
tidak berucap sepatah katapun lagi.
***
Di
suatu sudut yang gelap sebuah telephone terangkat, Franky Alfredo sedang duduk
di kursi besarnya sambil merokok. Segelas brandy dengan botolnya yang setengah
penuh tampak di sampingnya, tampangnya yang jelek dengan hidung memerah karena
mabuk tampak waspada,
“Sudah
berhasil?,” lelaki itu bertanya cepat.
Jeda
sejenak, lalu suara dalam di sana menjawab dengan tenang,
“Mereka
sudah keluar dari rumah itu. Rencana akan dijalankan nanti ketika mereka pulang.”
“Bagus,
kabari aku kalau sudah beres.”
“Baiklah.
Anda tidak akan kecewa karena telah menyewa saya untuk membunuh Mikail Raveno.”
Telephone
ditutup, dan Franky terkekeh dalam kegelapan. Menenggak minumannya, untuk perayaan
awal.
Mikail
Raveno, musuh besarnya. Lelaki itu sudah menghancurkan bisnisnya dengan ekspansi
yang dilakukannya. Dan bukan hanya itu, Franky didera oleh perasaan iri dan
benci yang luar biasa kepada Mikail. Entah kenapa Mikail diciptakan begitu sempurna,
dari segi fisik. Sehingga semua wanita berhamburan untuk berlutut di kakinya.
Franky
dengan wajah jeleknya sudah terlalu sakit hati karena ditolak perempuan, semua perempuan
yang mau tidur dengannya hanyalah pelacur-pelacur yang harus dibayar.
Mikail
Raveno harus dienyahkan, lelaki seperti itu tidak boleh hidup di dunia ini. Dan
malam ini mungkin adalah malam terakhir lelaki itu hidup.
***
No comments:
Post a Comment