“Mencintai berarti belajar mengalahkan ketakutan untuk
tersakiti di kemudian hari.”
3
Sani mengernyit melihat kehadiran Azka di sana. Itu pria pemilik cafe itu, batinnya bingung. Tetapi kemudian dia melihat kesempatan untuk melarikan diri dari Jeremy. Pegangan Jeremy di tangannya melemah, membuat Sani bisa menyentakkan tangannya dan melepaskan diri.
“Sani.” Jeremy masih berusaha mengikuti Sani, tetapi dengan cepat Sani melompat, bersembunyi di belakang punggung
Azka
yang bidang.
Dan dengan
penuh
pengertian pula
Azka langsung berdiri melindunginya.
“Saya rasa Sani tidak mau berbicara lagi dengan anda.’
Mata Jeremy memancar marah menatap ke arah Azka,
“Saya tidak tahu anda
siapa.”
Desisnya geram, “Tetapi Sani adalah tunangan saya dan saya berhak berbicara dengannya.”
“Mantan tunangan.” Sani menyela dari punggung
Azka,
“Dan aku tidak mau berbicara denganmu.”
“Anda dengar bukan?” Azka melemparkan pandangan mencemooh ke
arah Jeremy, “Saya rasa lebih baik anda meninggalkan Sani sendirian.”
Kemudian dengan sikap tegas, sebelum Jeremy bisa berbuat apa-apa, Azka menggiring Sani memasuki mobilnya. Meninggalkan Jeremy yang terperangah dengan muka masam di sana.
⧫⧫⧫
“Dia mantan tunanganku.” Sani melirik gelisah ke arah
Azka, setelah dia berada di dalam mobil dan Azka melajutkan
mobilnya. Sani baru menyadari bahwa dia telah begitu saja masuk ke dalam mobil seorang lelaki yang bahkan hampir sama sekali tidak dikenalnya. Azka melirik
sedikit
ke arah Sani, ekspresi wajahnya
tidak bisa ditebak, “Mantan?” tanyanya tenang.
Sani menganggukkan kepalanya, “Ya, hubungan kami tidak
berjalan sebaik semestinya. Aku memutuskan hubungan dan rupanya Jeremy masih belum terima.” Sani menatap ke pinggir jalan, “Bisakah aku turun di depan sana?”
Azka
mengernyit, “Kenapa harus turun di depan sana?”
Dan kenapa pula aku tidak boleh turun? Sani
membatin, lagipula dia
tidak tahu
mobil
ini
akan dibawa kemana oleh Azka. Dia
harus tetap waspada meskipun Azka tampaknya baik dan tidak berniat jahat kepadanya.
“Aku hendak
ke supermarket berbelanja bahan makanan, dari pertigaan itu aku tinggal naik angkutan umum satu arah ke sana.” Sani berkata jujur, dia memang hendak naik angkot ke supermarket itu sebelumnya sebelum insiden Jeremy yang mencegatnya di jalan tadi.
“Aku akan mengantarmu.” Dengan
tangkas Azka
membelokkan mobilnya ke arah tikungan yang dimaksud Sani.
Sani mengernyitkan keningnya, penampilan Azka
seperti orang
yang akan
berangkat
kerja,
dia sangat rapi dengan jas dan dasi yang terpasang di badannya. Apakah selain memiliki cafe lelaki ini juga bekerja kantoran? Batinnya dalam hati.
“Kau tidak
berangkat
bekerja?” Akhirnya Sani
memberanikan diri
untuk bertanya.
Azka terkekeh, “Aku bisa datang semauku.” Gumamnya misterius, membuat Sani terdiam dan menebak-nebak.
Mobil lalu berhenti di parkiran supermarket itu,
Sani membuka pintu dan turun dengan segera.
‘Terima kasih sudah mengantarku, dan terima kasih sudah menyelamatkanku dari Jeremy.” Gumamnya pelan.
Azka menatap Sani
dengan tatapan aneh yang sangat dalam, tidak bisa
ditebak apa artinya, lalu lelaki itu tersenyum lembut, “Sama-sama Sani.” Suaranya terdengar lembut
dan menggetarkan.
Lalu Azka memutar mobilnya
dan keluar dari parkiran itu, diiringi tatapan bingung Sani.
⧫⧫⧫
Dia tidak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. Bahkan sekarang di saat dia
sudah di
rumah dan sibuk memasukkan barang belanjaannya ke
dalam kulkas. Ingatan tentang Azka, dan wajahnya terngiang-ngiang terus di benaknya.
Sani berusaha melupakan Azka,
dengan cara mengingat
pengkhianatan yang dilakukan oleh Jeremy sekaligus
mengingatkan
dirinya sendiri
bahwa saat ini bukanlah
saat yang tepat untuk tertarik kepada lelaki baru. Tetapi benaknya tidak mau berkompromi. Seolah ada sesuatu yang menariknya, membuatnya selalu teringat kepada Azka.
⧫⧫⧫
Malam itu Sani berjalan dengan was-was menyeberang
dari arah apartemennya menuju Garden Cafe. Dia mengintip ke seluruh jalanan tetapi tidak melihat keberadaan Jeremy ataupun mobil birunya, dengan lega dia menarik napas,
Mungkin Jeremy telah menyerah untuk sementara.
Sani lalu memasuki pintu cafe
itu. Seperti biasa, Albert
yang sedang ada di dekat bar menyambutnya,
“Segelas anggur lagi
Nona Sani?” sapanya ramah, Sani mengangguk dan tersenyum lembut,
“Satu saja ya
Albert.” dia butuh segelas anggur itu untuk membantunya tidur. Tidur dan melupakan semua hal yang ada di dunia nyata.
Ketika dia melangkah menuju
tempatnya di sudut, dia hampir bertabrakan dengan sosok lelaki yang tiba-tiba melintas cepat di sana.
“Oh. Maaf.” Ada senyum di suara lelaki itu, “Aku tidak melihatmu, kau begitu mungil.”
Sani mendongakkan kepalanya, dan ternganga, Lelaki itu amat sangat mirip dengan Azka bagaikan pinang dibelah dua.
Tetapi meskipun begitu Sani tahu kalau lelaki ini
bukan Azka,
penampilan mereka berdua yang pasti sangat berbeda. Lelaki yang ada
di depannya ini berambut setengah panjang sampai menyapu kerahnya, sementara Azka
berpotongan rapi. Gaya berpakaiannyapun sangat bertolak belakang, Sani ingat ketika bertemu Azka di malam hari waktu itu, dia mengenakan celana khaki yang formal dan sweater panjang yang membungkus tubuhnya bagaikan model yang elegan. Sementara lelaki yang ada di depannya ini mengenakan
celana
jeans yang
sangat pudar hingga hampir putih
dan kaos longgar yang sedikit kusut.
Keenan menatap Sani yang
masih termangu meneliti dirinya lalu tergelak, “Kau pasti mengira aku
adalah Azka.” Tebaknya lucu lalu mengulurkan tangannya, “Kenalkan aku Keenan, saudara kembar Azka.”
Saudara kembar, pantas saja mereka begitu mirip, batin Sani masih kaget. Lalu dia
tergeragap dan menyambut uluran tangan lelaki itu dan
menyebutkan namanya. Keenan menggenggam tangannya
dengan erat dan bersemangat, berbeda dengan genggaman tangan Azka yang halus
dan elegan ketika mereka berkenalan waktu itu.
“Kau temannya Azka?” Keenan menatap Sani dengan menyelidik. Ada nada ingin tahu di
dalam suaranya, meskipun lelaki itu tetap tersenyum manis.
Sani menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa
disebut teman Azka bukan?
“Bukan. Saya bukan temannya. Saya pelanggan cafe ini.” “Oh. Dan kau mengenal Azka?”
Sani menganggukkan kepalanya, “Saya
tahu Azka pemilik cafe ini, kadang-kadang dia menyapa pengunjung cafe ini bukan?”
Keenan menyipitkan
matanya, “Menyapa
pengunjung cafe
ini?” matanya bersinar misterius, “Mungkin saja.” Senyumnya mengembang, “Oke aku harus pergi,
senang bertemu denganmu, Sani.”
Lelaki itu membungkuk hormat dengan gaya
menggoda lalu melangkah pergi. Sementara itu Sani masih
mengamati kepergian Keenan dengan dahi mengerut, ketika Albert mendekatinya.
“Saya lihat anda
sudah bertemu dengan Tuan Keenan.” Gumamnya, mendahului Sani melangkah ke
meja Sani yang biasanya, lalu
meletakkan anggur dan cemilan pesanan Sani di meja, “Beliau saudara kembar Tuan Azka, tetapi anda
lihat sendiri mereka sangat bertolak belakang.”
Seperti pinang dibelah dua, tetapi
sangat bertolak belakang. Sani
menyetujui dalam hati. Lalu keningnya berkerut
ketika mengingat Azka. Lelaki itu tidak tampak di
mana-mana. Sani mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, lalu menghela napas panjang.
Ada apa dengan dirinya? Dia datang ke cafe ini untuk mengetik cerita dan menyalurkan isnpirasi menulisnya bukan? Dia datang ke sini bukan untuk bertemu Azka. Dengan cepat Sani
membuka
laptopnya, lalu
mulai mengetik di file yang sudah disiapkannya. Lama setelahnya, Sani menyadari bahwa dia membohongi batinnya sendiri, bahwa dia
amat sangat ingin melihat Azka meskipun hanya sedetik saja.
⧫⧫⧫
Celia tersenyum ketika menghidangkan makanan itu di
meja, dibantu oleh beberapa pelayan dia meletakkan makanan-
makanan itu untuk Azka. Ya. Celia khusus memasak untuk Azka malam ini, dia mengikuti kursus memasak untuk mengisi
kesibukannya dan
memutuskan untuk mengundang Azka mencicipi hasilnya.
“Aromanya enak.” Azka tersenyum lembut, “Sepertinya
mereka mengajarimu dengan baik.” Azka mengambil
makanannya dan mencicipi, lalu memutar bola matanya, “Dan rasanya juga enak.”
Celia terkekeh, menarik kursi rodanya mendekat dan duduk di
seberang Azka, “Kau yakin kau tidak berbohong untuk menyenangkanku?”
“Tidak.”
Azka mengunyah
dengan bersemangat,
“Masakan ini memang benar-benar lezat.”
“Nanti setelah kita menikah, aku akan memasakkan
makan malam
untukmu
setiap
malam.” Celia tertawa.
“Aku akan
memilih menu yang berbeda-beda supaya kau tidak bosan.”
Azka langsung menelan dengan susah payah, makanan yang dikunyahnya tiba-tiba terasa
seperti pasir ketika Celia
menyinggung pernikahan. Hingga dia harus meminum air untuk membantunya menelan makanannya.
Dia berusaha menjaga wajahnya tetap penuh senyum supaya Celia tidak menyadari perubahan suasana hatinya. Dan rupanya Celia memang tidak
menyadarinya, perempuan itu sedang
menerawang membayangkan persiapan pernikahan
mereka.
“Mama dan papa akan pulang dari Australia minggu
depan, dan semoga kita
bisa
membicarakan persiapan pernikahan
dengan lebih terperinci
ya.”
Mata Celia berkaca- kaca ketika menatap
Azka. “Terima kasih Azka, atas cintamu yang penuh maaf, aku bersyukur karena bisa memilikimu.”
Azka mencoba tersenyum tetapi yang muncul adalah senyuman pahit yang tak tertahankan.
⧫⧫⧫
Ketika mobil Azka berlalu,
Celia
menatap dari
teras
dengan keheningan yang menyesakkan.
Semakin lama Azka semakin berbeda dan terasa begitu jauh, dia menyadarinya. Celia tahu insiden pengkhianatannya yang sangat fatal itu membuat Azka semakin jauh
dari dirinya.
Tetapi lelaki itu bersedia mendampinginya untuk seterusnya, berkomitmen supaya menjaganya. Dan Celia
sangat takut kehilangan Azka, dia tidak bisa hidup tanpa lelaki itu.
“Nona Celia mau dibantu?” seorang
pelayannya
menengok ke arah teras, ke arahnya.
Celia tersenyum, “Tidak usah bi,
aku bisa membawa
kursi rodaku masuk sendiri
kok.”
Dengan tenang
dia berdiri, lalu melipat kursi rodanya dan membawanya masuk ke
dalam rumah.
⧫⧫⧫
Ketika Azka sampai di Garden Cafe itu, sudah menjelang tengah malam, jalanan macet karena malam ini adalah malam
libur sehingga Azka menghabiskan banyak waktunya di jalanan. Dia
melangkah masuk ke arah cafe, berharap-harap cemas, ingin menemukan sosok Sani di dalam sana.
Tetapi perempuan itu
tidak ada. Azka membatin dalam diam. Menahan kekecewaan di
hatinya. Apakah malam ini Sani tidak menulis di cafe ini?
Albert yang melihat Azka datang langsung mendekatinya dan tersenyum memahami, “Nona Sani tentu saja datang tadi, dia menulis sebentar lalu pulang. Katanya dia mengantuk, mungkin anggur merah itu mulai
bereaksi kepadanya.” Albert
terkekeh, “Ngomong-ngomong, Nona Sani tadi berkenalan dengan Tuan Keenan.”
“Sani berkenalan dengan Keenan? Bagaimana bisa?” “Tuan
Keenan
tadi pulang tepat pada
saat
Nona Sani datang, mereka berpapasan.”
“Oh.” Azka menghela napas panjang, menyembunyikan
kecemasannya. Kalau sampai Keenan memperhatikan Sani, dia pasti akan kalah. Selalu begitu, para
perempuan lebih menyukai
Keenan yang penuh canda dan mempesona daripada dirinya
yang serius dan pendiam.
“Aku tidak
ingin
Keenan
bertemu
dengan Sani lagi, Albert, apapun caranya.” Tiba-tiba dia merasakan firasat itu. Meskipun dirinya dan Keenan bertolak belakang dalam segala hal, tetapi dalam selera wanita mereka sama.
Kalau Keenan tertarik pada perempuan, maka
Azka akan mempunyai ketertarikan yang sama. Begitupun tentang Celia, Celia dulu
tergila-gila
kepada Keenan,
tetapi karena Keenan tidak pernah serius dengan perempuan, Celia mengalihkan perhatiannya kepada Azka.
Apakah Keenan merasakan getaran yang
sama, yang
dirasakanolehnya ketika melihat Sani? Batin Azka
bertanya-
tanya, mencoba mengusir kecemasan di dalam benaknya.
Sementara itu Albert mengerutkan keningnya sambil mengawasi Azka, “Bagaimana caranya mencegah Tuan Keenan bertemu dengan Nona Sani? Tuan Keenan bisa datang dan pergi
sesuka hatinya.”
“Kalau ada Sani di dalam, tahan Keenan dimanapun dia berada. Pokoknya jangan sampai mereka bertemu lagi.” Azka bersikeras. Dia
lalu
memijit dahinya yang mulai berdenyut
pusing, “Aku lelah sekali hari ini, Albert.”
Albert mengangkat alisnya, “Karena melewatkan malam bersama Nona Celia?” tebaknya dengan tepat,
membuat Azka
menghela napas panjang, tidak membantah tetapi tidak juga mengiyakan.
“Hai.”
⧫⧫⧫
Sani menolehkan kepalanya dan mengernyit ketika menemukan Azka sedang bersandar di
dekat
pintu putar apartemennya, lelaki itu tampaknya sedang menunggunya,
Benarkah? Sani mengernyitkan keningnya.
“Aku menunggumu dari tadi.” Azka
langsung bergumam, menjawab keraguan Sani. “Bagaimana kabarmu?
Apakah lelaki itu... mantan tunanganmu, mendatangimu lagi?”
Sani tersenyum pahit,
“Sepertinya dia
memutuskan untuk menyerah sementara.”
“Apa yang
dia lakukan sehingga kau
tampak begitu membencinya, Sani?”
Sani tercenung, kenapa Azka ingin tahu?“Dia mengkhianatiku. Dengan sangat parah.” Suara Sani terdengar serak, selalu begitu setiap dia mengingat Jeremy, “Dan aku tidak bisa memaafkannya.”
Azka langsung terkenang akan
pengkhianatan yang dilakukan Celia kepadanya, dia
bisa memahami perasaan Sani. Dan merasa Sani lebih beruntung, karena perempuan itu bebas membenci dan meninggalkan, tidak seperti dirinya.
“Tetapi sepertinya dia
belum menyerah.” Gumam Azka kemudian, mengingat bagaimana Jeremy mencekal lengan Sani dan memaksa untuk berbicara.
Sani tertawa, “Dia
memang begitu, tidak pernah mau menerima pendapat orang lain. Tetapi aku akan
menunjukkan kepadanya bahwa kali ini dia tidak punya kesempatan lagi.”
“Karena kau seorang pendendam?” Gumam Azka, sambil tersenyum,
“Bukan.”
Sani menggelengkan kepalanya, “Karena aku bisa memaafkan, tetapi tidak akan pernah bisa
melupakan.” Jawab Sani mantap.
Azka tertegun, apakah itu juga yang dia rasakan kepada Celia? Bisa memaafkan segala kesalahan Celia di masa lalunya, tetapi tetap tidak bisa melupakannya?
“Kau mau
kemana?”
Azka menatap
penampilan Sani yang lumayan rapi,
dengan celana hitam dan kemeja formal berwarna krem.
Sani mengamati penampilannya sendiri dan tersenyum, “Ini penampilan paling rapi yang bisa kulakukan. Aku akan menemui editorku dan menghadap perwakilan penerbit di kota ini, untuk membicarakan kontrak novel terbaruku.”
“Di mana?” tanya Azka.
Sani menyebut nama sebuah daerah perkantoran yang lumayan jauh dari tempat mereka berdiri sekarang,
“Mau kuantar?” Azka langsung menawarkan.
Sani langsung menggelengkan kepalanya, tidak mungkin dia menerima tawaran kebaikan lelaki itu kepadanya. Meskipun dia bertanya-tanya apa
yang dilakukan Azka menunggunya di sini, “Tidak
usah, terima kasih. Aku
sudah memesan taksi.” Senyum Sani
berubah lembut, “Sampai jumpa.”
“Oke. Sampai jumpa lagi.” Azka menyandarkan tubuhnya di dinding, mengamati Sani yang melangkah pergi menuju
tempat taksinya menunggu.
Dicatatnya
dalam hatinya bagaimana
Sani mengatakan ‘sampai jumpa’,
dan bukannya
‘selamat tinggal’ kepadanya.
⧫⧫⧫
“Kau
sudah
menemukan alamat
pria
bernama
Jeremy itu?” Azka
menelepon salah
satu pegawai
kepercayaannya dikantor cabang
mereka
di tempat
asal Sani.
Dia ingin menyelidiki tentang Jeremy. Well,
setiap orang yang
akan berperang harus mempelajari
musuhnya masing-masing bukan?
Azka sendiri tidak tahu kenapa dia melakukannya, tetapi ketertarikannya kepada Sani
sendiri sungguh sangat mengganggunya. Dia tidak
bisa
melepaskan Sani dari pikirannya, seluruh batinnya tersita
untuk Sani. Perempuan itu telah mendapatkannya dari pertama kali mereka saling menyapa.
“Dan setelah kau mendapatkan alamat Jeremy, apa
yang akan
kau
lakukan?” Albert yang
sedari
tadi duduk
di ruang
kerja Azka di atas cafe itu
mengernyitkan keningnya, “Menyingkirkannya?”
“Mungkin.” Mata Azka bersinar tajam, “Aku
sudah terbiasa menyingkirkan
orang-orang yang menghalangi
jalanku.”
“Jalanmu?” Hanya Albert satu-satunya orang yang tahu kekejaman tersembunyi di balik sikap Azka yang tenang dan terkendali. Dan hanya
Albert pulalah yang berani membantah
dan mempertanyakan semua keputusan Azka. Karena dia
tahu jauh di dalam hati Azka, tersimpan
kebaikan
yang luar biasa besar, bertolak belakang dengan kekejamannya. Buktinya laki-
laki itu tidak tega membuang Celia begitu saja. “Jalanmu untuk apa, Azka? Untuk memiliki Sani? Bukankah kau tidak bisa memiliki Sani
selama masih ada Celia?”
Ah iya. Celia.
Azka sendiri masih belum tahu apa
yang akan dilakukannya kepada Celia. Apakah terlalu kejam
meninggalkan Celia yang lumpuh dan tidak berdaya seperti itu?
Tetapi Azka tidak bisa
membohongi perasaannya, perasaan yang dirasakannya dengan begitu kuat kepada Sani.
“Akan kupikirkan nanti.” Gumam Azka
sekenanya.
Albert langsung mengangkat alisnya, “Pernikahanmu
dengan Celia hampir delapan bulan lagi, Azka.”
“Aku tahu.” Dan
Azka harus bisa bersikap tegas, menentukan apa yang akan dilakukannya selanjutnya.
Albert sendiri hanya tercenung, dia mencemaskan Azka.
Baginya Azka sudah seperti anaknya sendiri
karena dia memang tidak punya keluarga lagi. Pada saat Azka memutuskan melanjutkan pertunangannya dengan Celia
waktu itupun Albert
sudah tidak setuju. Azka hanya didorong oleh
rasa
bersalah.
Albert takut
kalau pada akhirnya Azka bisa menemukan orang
yang benar-benar dicintainya, dan
dia
terlanjut terikat kepada Celia?
Dan sepertinya, apa yang ditakutkannya sudah terjadi.
⧫⧫⧫
Sani menoleh ke arah Kesha yang sedang asyik memilih-
milih hiasan rumit dari kerang di bazaar itu,
“Kau belum selesai?” tanyanya, kakinya mulai kelelahan karena berjalan
begitu
jauh mengelilingi seluruh area bazaar yang sangat luas. Kesha mengajaknya ke tempat ini sepulang dia bertemu dengan penerbit tadi.
Dan itu adalah sebuah kesalahan besar,
karena begitu berbelanja, sepertinya Kesha tidak bisa berhenti.
“Aku masih
ingin melihat
pakaian
di sebelah sana.” Kesha menunjuk sudut yang jauh, “Tadi ketika kita
lewat, aku melirik ada satu baju yang warnanya lucu.”
Sani mengernyit ketika membayangkan harus berjalan lagi ke arah sana, “Kenapa kau tadi tidak berhenti ketika kita lewat sana?”
Kesha tampaknya tidak
memahami kelelahan Sani, “Aku tadi masih ragu apakah aku menginginkannya atau tidak.” Matanya tertuju pada gelang kerang yang dicobanya, “Sekarang aku memutuskan bahwa
aku menginginkannya.” Kesha menyerahkan gelang yang dipilihnya kepada penjualnya. Lalu menunggu gelang itu
dibungkus dan kemudian dia membayarnya.
Setelah itu
dia setengah menggandeng
Sani ke
arah lokasi penjual baju yang dimaksudkannya, “Yuk.” Gumamnya bersemangat.
Dengan menyeret langkah, Sani
mengikuti Kesha yang berjalan begitu cepat dan bersemangat. Kakinya sakit, dan dia sedikit oleng ketika
menembus keramaian itu.
Seseorang sepertinya tanpa
sengaja mendorongnya sehingga tubuhnya tergeser ke samping, menabrak seseorang.
“Ups.” Gumam suara
itu,
sebuah tangan yang kuat menopangnya. Sani mengenali suara itu dan dia
mendongakkan kepalanya,
“Sepetinya kau ditakdirkan untuk selalu menabrakku.”
Wajah Keenan yang ada di
depannya, dan lelaki itu tersenyum
geli menatapnya. YOU'VE GOT ME FROM HELLO - SANTHY AGATHA - BAB 4
No comments:
Post a Comment