“Kau sudah menggenggam hatiku sejak sapaan pertamamu. Dan sekarang
giliranku yang akan mencuri hatimu.”
5
Pagi harinya Sani masih tertidur dan meringkuk di
atas ranjangnya ketika suara interkom pintunya berbunyi. Sani mengernyit,
meraih
jam beker di
sebelah ranjangnya. Masih jam enam pagi. Siapa yang berkunjung sepagi ini?
Dengan susah payah
Sani turun dari ranjang, matanya pasti bengkak karena dia menangis semalaman sampai ketiduran, dan kepalanya pening karenannya.
Dia memijit
tombol
interkom yang
berhubungan
langsung dengan resepsionis di depan.
“Ya?” gumamnya dengan suara yang masih serak. “Nona Sani, ada tamu untuk anda.”
Sani langsung waspada, apakah Jeremy masih belum menyerah juga?
“Siapa?”
“Tuan Azka
meminta
akses
untuk
naik dan menemui anda”
jantung sani berdegup kencang ketika bibir Azka mengecup lembut di dahinya malam itu. Kenapa Azka datang menemuinya
pagi ini?
“Nona Sani?”
resepsionis di
bawah
memanggilnya
lagi karena dia terdiam lama.
“Eh iya. Iya, perbolehkan beliau naik.”
Setelah mematikan interkom, dalam
sekejap Sani melompat ke kamar mandi, menggosok gigi,
dan mencuci mukanya. Dia mengernyitkan kening ketika menatap wajahnya di cermin, ada lingkaran hitam di
matanya, bengkak seperti panda. Rasanya malu menemui Azka dengan penampilan
seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi.
Kedatangan Azka sama sekali tidak diduganya. Dia
selesai mengganti baju tidurnya dengan kaos longgar dan celana
jeans yang nyaman ketika
bel pintu apartemennya berbunyi. Dengan gugup
Sani membuka
pintu itu.
Azka berdiri di sana, tampak luar biasa tampan dengan kemeja warna hitam dan celana jeans abu-abu. Lelaki
itu membawa kantong plastik di tangannya. Dan tiba-tiba saja
Sani merasa malu ketika membayangkan penampilannya yang berantakan ini
dihadapkan dengan penampilan Azka
yang begitu sempurna.
“Selamat pagi.” Azka menyapa dengan lembut.
Sani sejenak hanya terpaku, terpesona dengan senyum itu, “Se...selamat pagi juga.”
“Aku membawakan sarapan.” Azka menunjukkan plastik
di tangannya, “Boleh aku masuk.”
Saat itulah Sani sadar bahwa dia hanya berdiri terpaku
sambil menatap Azka. Dia langsung memundurkan langkahnya, memberi jalan bagi Azka untuk melangkah masuk.
Lelaki itu tampak nyaman, tidak canggung sama
sekali ketika memasuki apartemen Sani, “Di mana aku meletakkan makanan ini? Kau punya meja makan?”
Apartemen Sani adalah apartemen model kecil dan sederhana, dengan ruang tamu,
menyambung ke dapur yang menyatu dengan meja makan kecil, satu kamar mandi, dan satu kamar tidur di
ujung ruangan. Azka hanya tinggal berjalan sedikit untuk menuju dapur.
“Di sebelah sana
ada
meja makan, tapi mungkin lebih
baik kita duduk di sini saja.” Sani yang merasa canggung di sini, tidak pernah sebelumnya dia berduaan dengan seorang lelaki
apalagi di dalam apartemen yang cukup privat.
“Aku meminta Albert untuk menyiapkan makanan kita.” Azka meringis, “Omelet dan sup dari cafe, juga cokelat panas andalan kami. Ada untungnya juga menjadi pemilik cafe.” Azka lalu duduk di sofa itu sementara Sani berdiri canggung di dekat pintu, membuat Azka
mengerutkan keningnya,
“Sini, icipilah omelet buatan kokiku, ini menu
andalan cafe untuk sarapan. Oh ya ambilkan piring ya.”
Sani ke dapur menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya mengambil piring dan sendok, lalu
melangkah pelan, dan akhirnya duduk di sofa samping Azka. Lelaki itu membuka
kantong-kantong
kertas makanannya, dan memindahkan
omelet yang beraroma sangat harum itu ke dalam piring.
Sani hampir meneteskan air liur mencium aroma yang sangat enak itu. Azka lalu menyerahkan piring itu
ke tangan Sani.
“Cicipilah.” Azka menatapnya sambil tersenyum, seolah - olah
menyadari ekspresi lapar Sani dan kemudian merasa geli. Sani menerima piring itu
dan
membelah gulungan omelet yang tampak begitu lembut. Begitu
dibelah isian keju yang masih
panas bersama sayuran yang dicacah meleleh keluar, menebarkan aroma yang makin harum.
Sani menyendok omelet itu dan memejamkan matanya merasakan kenikmatan yang begitu gurih meleleh di mulutnya. Oh astaga, makanan ini enak sekali.
Ketika dia membuka mata dia menyadari bahwa Azka
mengamatinya, pipinya langsung memerah membuat Azka
terkekeh.
“Enak ya.”
Sambil mengambil suapan kedua, Sani mengangguk. “Percayakah kau kalau kubilang aku yang memasaknya?”
Sani ternganga, “Kau bilang kokimu yang memasaknya.”
“Kalau dari awal kubilang aku yang memasaknya,
mungkin kau tidak mau memakannya.” Azka tertawa, suaranya
terdengar menyenangkan memenuhi ruangan.
“Jadi kau bisa memasak?” Omelet
itu meskipun sederhana terasa begitu nikmat, kelembutan dan rasanya
seolah semua sudah diukur dengan ahli. Azka tampak merenung ketika menjawab pertanyaan Sani, “Impianku adalah menjadi seorang koki
profesional. Aku sempat bersekolah di Prancis menjalani impianku untuk menjadi seorang koki. Tetapi kemudian aku dipanggil pulang.”
“Kenapa?”
“Karena ayahku meninggal, dialah yang
selama ini mengendalikan perusahaan kami. Dan Keenan... kau sudah bertemu dengan Keenan kan?” Azka menatap Sani
tajam, mengamati ekspresinya. Dia
menatap Sani mengangguk dengan ekspresi biasa, dan hatinya lega, tidak ada sesuatu yang istimewa yang dirasakan oleh Sani ketika
membicarakan tentang Keenan. Dia lalu melanjutkan,
“Keenan tidak bisa diandalkan karena hasratnya adalah di bidang seni, dan karena itulah dia tidak mau mengambil alih tanggung jawab perusahaan yang ditinggalkan ayah kami. Seseorang harus bertanggung jawab.”
“Jadi kaulah yang mengambil tanggung jawab itu?”
“Ya.” Azka tersenyum sedih, “Kutinggalkan impianku di Prancis, dan aku pulang untuk menjadi seorang bisnisman.”
“Bukankah
kau diwarisi
cafe itu? Seharusnya
kau bisa mengembangkan impianmu sebagai koki di
sana.” Sani mengamatinya dengan lugu hingga Azka tersenyum. Sani tidak tahu bahwa perusahaan ayahnya menyangkut jaringan luas di beberapa kota besar, di bidang kuliner dan perhotelan, dan beberapa resor
besar
adalah milik perusahaan ayahnya. Sani mungkin berpikir bahwa bisnisnya hanyalah cafe itu, dan mungkin sebaiknya Sani
tetap berpikir begitu. Azka
tidak mau membuat Sani menjauh
dan kaku ketika menyadari bahwa dia adalah seorang miliarder.
“Perusahaan ayahku mencakup cafe itu
dan beberapa hal lain.” Jelas Azka berusaha menyederhanakan semuanya, “Dan
beberapa hal lain itu
membuatku tidak bisa bekerja sebagai koki.”
“Oh.” Sani tampak termangu, lalu menatap Azka dengan penuh rasa ingin tahu, “Apakah kau bahagia?”
“Apa?”
“Kau memilih meninggalkan impianmu dan memilih memikul tanggung jawab, apakah kau bahagia?”
Apakah dia
bahagia? Pertanyaan itulah yang sering dia tanyakan berulang-ulang kepada dirinya sendiri. Dan
dia
tahu pasti jawabannya, hatinya terasa kosong.
Sama seperti
ketika
dia memilih untuk
memikul tanggung jawab terhadap Celina. Hatinya terasa hampa.
“Aku merasa tenang.” Azka
tersenyum pahit menjawab pertanyaan Sani, “Tetapi,
apakah aku bahagia? ...Tidak... aku tidak bahagia. Kadang aku ingin bertindak egois, seperti Keenan memilih mengejar impiannya dan tidak peduli pada
yang lain.
Jauh di
dalam hatinya dia pasti menemukan kebahagiaan sejati.” Azka tersenyum
lembut, “Mungkin aku memang tidak diciptakan untuk menikmati itu.”
Azka tampak begitu murung, begitu gelap, dan begitu kesepian. Hingga entah kenapa hati Sani merasakan kepedihan. Tanpa dapat ditahannya dia menyentuhkan jemarinya di lengan
Azka, membuat lelaki itu terbangun dari lamunan murungnya
dan menoleh menatap Sani,
“Kau memilih melakukan apa yang
menurutmu benar.” Sani bergumam lembut, “Setiap orang berbeda-beda, ada yang bisa melepaskan tanggung jawabnya
begitu saja, tetapi
kau tidak bisa melakukannya. Kau terlalu bertanggungjawab untuk melakukannya.”
Azka tersenyum, “Ya. Terkadang melelahkan menjadi
orang yang bertanggungjawab.” Lelaki itu lalu
menatap Sani dengan hangat, “Aku iri kepadamu.” Gumamnya.
“Kenapa?”
“Karena kau bisa
melakukan
apa
yang menjadi hasratku.”
“Menjadi hasratmu?”
“Menulis.” Azka tersenyum,
“Kau
hidup
dari
menulis.
Dan aku yakin menulis adalah hasratmu, hobimu.”
Sani tertawa, “Menulis adalah hobiku. Aku
menulis sejak lama. Kalau kau mau tahu, di dalam benakku itu penuh dengan fantasi dari
berbagai tokoh dan kisah.”
“Kisah romantis?”
“Iya.”
Azka tertawa, “Pantas kau begitu kesulitan menulis
akhir-akhir ini,” Matanya melembut, “Karena masalahmu dengan Jeremy?”
“Ya. Penerbit dan editorku sudah
mengejar-ngejarku karena aku jalan di tempat akhir-akhir
ini. Aku
kehilangan
hasrat dan kemampuan untuk menulis kisah romantis. Ketika semua tulisanku jadi,
mereka bilang tidak ada roh dalam tulisanku, tidak seperti yang dulu.”
Tatapan Azka berubah redup, “Mungkin kau hanya perlu mengalami pengalaman romantis lagi untuk bisa
mendapatkan
kemampuan menulismu.” Jemarinya yang ramping menyentuh pipi Sani
dengan lembut, lalu tanpa
diduga-duga lelaki itu menunduk dan menciumnya.
Bibir Azka terasa lembut menempel di bibirnya, semula begitu hati-hati dan lembut, memberi kesempatan kepada
Sani untuk menolak. Kemudian ketika tidak
menemukan penolakan
apapun dari Sani,
Azka melumat bibir Sani dengan lebih berani, mencicipi kemanisan bibir itu
dan
mencecapnya dengan penuh perasaan. Mata
Sani terpejam menghirup aroma maskulin yang begitu menggoda dan melingkupinya.
Mereka berciuman cukup lama, saling menikmati, dan mengenali satu sama lain. Dan ketika bibir
mereka berpisah,
napas mereka terengah, hidung dan bibir mereka masih
menempel dan mata mereka bertatapan dengan redup. Azka mencium bibirnya sekali lagi dengan kecupan lembut sebelum kemudian menjauhkan kepalanya dan tersenyum,
“Maafkan aku karena melakukannya.”
Sani langsung memundurkan tubuhnya
menjauh, tanpa sadar mereka sudah
berpelukan dekat sekali. Pipinya merah
padam, dan jantungnya berdebar keras, merasakan perasaan
yang tidak pernah dirasakannya. Malu, bingung, dan
semua
perasaannya bercampur
menjadi satu. Dan dia tidak tahu harus berkata apa.
“Aku juga minta maaf.” Sani akhirnya berhasil
mengeluarkan
kata-kata meskipun terdengar serak dan tercekat, “Sepertinya aku terbawa suasana...”
Azka menghela napas panjang, menyentuh pipi
Sani dengan lembut, “Aku tidak bermaksud untuk merendahkanmu atau apa. Ini semua terjadi begitu saja.”
Sani menghela napas panjang, “Mungkin kau harus Pergi”
“Baiklah.” Azka tersenyum penuh pengertian, “Aku tahu kau mungkin membutuhkan waktu sendiri.” Lelaki itu lalu
bangkit dari duduknya dan melangkah ke pintu,
“Aku pergi dulu, habiskan makanannya ya.”
⧫⧫⧫
Sani memeluk bantal dan merenung, menatap ke jendela kaca luar yang memantulkan pemandangan langit yang biru. Merenungkan kejadian tadi.
Selama ini dia selalu membawa prinsipnya dengan ketat, tetapi
ketika bersama Azka seakan
dia menabrak semua hal yang diyakininya. Dia tidak
pernah memasukkan laki-laki ke dalam tempat pribadinya, dia
tidak pernah membiarkan dirinya
disentuh dengan begitu mesra, dan
membiarkan dirinya dicium. Padahal tidak ada ikatan apapun di antara mereka.
Dengan sedih Sani
menyentuh bibirnya. Apakah karena patah hati dia
berubah menjadi perempuan murahan?
Perempuan murahan yang membiarkan dirinya disentuh oleh seorang laki-laki tanpa ikatan?
Dengan kesal Sani melempar bantal itu ke
lantai,
mendesah keras. Tidak. Ini bukan dirinya, perasaannya kepada Azka tidak dapat dideskripsikan dengan nalar. Sani tidak pernah begini sebelumnya, bahkan dengan Jeremy sekalipun.
⧫⧫⧫
Dengan dingin Azka mengamati berkas laporan di depannya, itu adalah report lengkap dari pegawainya di kota asal Sani tentang kehidupan Sani dan juga Jeremy. Dia sedang berada di kantor pusat perusahaannya, di lantai paling atas di gedung paling mewah dalam kawasan resor paling elit di kota itu. Azka berpakaian seperti penampilannya yang biasa ketika bekerja. Rambut disisir ke belakang dan
setelan tiga potong berwarna hitam dengan dasi kelabu. Penampilannya secara keseluruhan tampak dingin dan kaku, sangat berbeda dengan penampilan informalnya ketika sedang berada di cafe ataupun di depan Sani.
Azka membaca semuanya dengan cepat, dan langsung mendapatkan semua informasi, tentang ayah dan ibu
Sani, tentang keluarganya, sekolahnya, dan kehidupan masa kecilnya. Dan dia
menyimpan dalam ingatannya yang jenius. Ya, Azka memang memiliki
kelebihan khusus dalam
hal kemampuan otak. Keenan dilahirkan dengan bakat seni yang luar biasa, sedangkan Azka dengan kemampuan otak
yang di atas rata-
rata.
Setelah itu Azka
mengambil berkas tentang
Jeremy, setelah mencermatinya sejenak, dia menemukan sesuatu.
“Jeremy bekerja di salah satu anak cabang kita.”
Gumamnya, yang disambut dengan anggukan pegawainya.
“Minta sekretarisku menghubungi GM kita di sana, bilang aku ingin pertemuan darurat.”
⧫⧫⧫
Keesokan
harinya hanya dalam waktu satu hari setelah Azka
memberi perintah, GM itu datang menghadapnya. Dia dibawa
langsung ke ruangan Azka. Pemilik perusahaan misterius yang
jarang sekali terlihat, tetapi keputusan bisnisnya yang jeniuslah yang telah
menggerakkan seluruh jaringan
perusahaan ini sehingga bisa menjadi semakin maju. Bahkan berkali lipat lebih
maju daripada ketika perusahaan
ini dipimpin oleh almarhum ayahnya.
Dia dipanggil untuk sebuah meeting penting yang tidak tahu mengenai apa, dan
diharapkan bisa datang secepat mungkin. Hari itu
masih pagi ketika GM itu memasuki ruangan besar pimpinan
tertinggi sekaligus
pemilik
perusahaan dan mengernyit ketika melihat ruangan itu kosong. Hanya ada dirinya dan sang pemilik perusahaan di
sana. Bagaimana mungkin? Karena begitu urgentnya status panggilannya, dia menyangka bahwa
rapat darurat
yang dimaksudkan adalah rapat yang dihadiri seluruh pimpinan cabang.
Azka yang duduk di kursinya tersenyum melihat
kebingungan sang GM.
“Silahkan duduk.” Azka menunggu sampai GM itu duduk dan memulai
percakapan, “Anda pasti bingung kenapa
anda dipanggil kemari sendirian.”
GM itu mengangguk dan mulai tampak gugup, membuat Azka tersenyum geli
dalam hati. Dia mengeluarkan berkas tentang Jeremy di mejanya.
“Orang ini ....” Azka menunjukkan foto
Jeremy yang tampak jelas, “Bekerja di perusahaan kita.”
GM itu menganggukkan kepalanya. Tentu saja dia mengenali wajah itu, itu adalah Jeremy, Manager Pemasaran
mereka. “Dia
adalah
Manager Pemasaran untuk cabang yang saya pegang,” GM itu
memberikan informasi meskipun yakin bahwa sang pemilik perusahaan sudah tahu.
“Aku merasa terganggu dengan orang ini,”
gumam Azka dingin. “Bisa dikatakan dia mengusik
ketenangan orang yang aku sayangi.”
GM itu mengernyit.
Jeremy melakukannya?
Pasti lelaki itu melakukannya karena tidak tahu bahwa Azka adalah pemilik perusahaan mereka. Kalau sudah begini
dia
tidak akan bisa apa-apa untuk membantu Jeremy.
“Anda ingin saya memecatnya?” gumamnya, mencoba menebak apa keinginan Azka yang saat ini
memandangnya
dengan tatapan kelam dan misterius.
Azka menggelengkan kepala, “Tidak. Aku hanya ingin dia tersingkir jauh dan tidak bisa menjangkau ke
dekat-dekat sini.” Matanya
bersinar
tajam,
“Bilang padanya bahwa dia berprestasi, lakukan apapun untuk meyakinkannya, kau mendapatkan izinku. Setelah itu berikan dia promosi tetapi tempatkan dia ke anak cabang kita yang paling jauh dari sini.” Azka nampak berpikir,
“Cari
tempat
di
mana
dia
sulit untuk sering-sering berkunjung ke area
sekitar sini.”
GM itu hanya bisa menganggukkan kepalanya. Gosip itu ternyata benar. Mereka bilang bahwa pemilik perusahaan mereka yang
misterius
sangat
tampan
tetapi kejam.
Betapa tidak beruntungnya orang-orang yang berani mengusiknya. Karena lelaki itu tidak
segan-segan memberikan pembalasan
yang lebih
menyakitkan. Seperti halnya
pada kasus
Jeremy, Azka
rupanya tak segan-segan memberikan kedok promosi hanya agar Jeremy menyingkir dari kehidupannya dan Sani.
⧫⧫⧫
Sani sedang mengetikkan adegan
romantis
di tengah hujan, jemarinya
mengalir
lumayan lancar untuk mengetik
kisah itu. Mungkin karena didukung suasana hujan di luar yang membuat kamarnya temaram dan syahdu.
Lalu ponselnya berkedip-kedip. Sani tersenyum ketika melihat nama ibunya di sana.
“Kau pasti tidak akan percaya.” Gumam ibunya bahkan sebelum Sani
mengucapkan salam.
“Tidak percaya apa?”
“Jeremy.” Ibunya
menyebutkan
nama
Jeremy dengan hati-hati, “Dia tadi kemari, untuk berpamitan.”
“Berpamitan?”
“Ya. Dia bilang dia mendapatkan promosi yang
sangat bagus di tempatnya bekerja, jabatannya naik
tiga tingkat. Tetapi dia harus pindah ke tempat yang jauh.” Sang ibu menyebutkan
tempat yang sangat jauh dari tempat mereka sekarang,
“Kasihan dia,
Sani. Ibu memang jengkel kepadanya, tetapi dia, meskipun mendapatkan promosi yang
harusnya membahagiakan, dia
tampak kurus dan sedih.... mungkin itu semua karena dirimu.”
“Itu karena salahnya sendiri dan
dia yang harus menanggungnya.” Sani mencoba bersikap kejam. Dia harus begitu, kalau tidak
kelemahannya akan dimanfaatkan oleh Jeremy lagi.
Setelah bercakap-cakap dengan
ibunya di telepon
sejenak,
Sani mengakhiri percakapan
dan
menutup telepon,
tiba-tiba merasakan kelegaan yang luar biasa.
Jeremy sudah pindah ke tempat yang
jauh,
itu
berarti Jeremy tidak akan bisa mengganggunya lagi. Sekarang dia
bisa fokus untuk menyembuhkan dirinya, dan menata kehidupannya yang baru.
⧫⧫⧫
Malam
itu Sani
menatap cafe
itu dengan ragu.
Sejak kejadian ciuman tak
disengaja itu, Sani tidak pernah datang ke cafe itu lagi. Dia
takut. Ya, kedekatannya dengan Azka yang begitu cepat ternyata membuatnya ketakutan dan lari. Mungkin
karena dia
belum siap membuka hatinya untuk lelaki lain,
mungkin juga karena dia masih belum sembuh dari prasangkanya bahwa semua
lelaki itu sama, hannya akan menyakitinya.
Tetapi malam itu Sani berusaha memberanikan diri, dia harus bisa menghadapi Azka, dan menelaah perasaannya. Mencoba mencari tahu kenapa
lelaki itu sangat sulit dikeluarkan dari benaknya.
YOU'VE GOT ME FROM HELLO - SANTHY AGATHA - BAB 6
No comments:
Post a Comment