14
Berita itu
membuat jantung Rafael berdenyut kencang. Elena hamil, Elena mengandung anaknya.
Mereka akan punya bayi bersama. Tadi Rafael
langsung menyetir mobilnya setengah mengebut ke arah asrama Elena.
Dia tidak sabar bertemu Elena, memastikan istrinya baik-baik saja, dan calon
anaknya juga sehat di kandungan istrinya.
Apapun
yang akan terjadi, dia akan mempertahankan pernikahan ini. Bayi itu semakin memperkuat
alasannya untuk berjuang mendapatkan Elena kembali.
Semoga Elena setidaknya mau memberinya kesempatan.
Hati-hati
dia memarkir mobilnya di depan asrama. Beberapa mahasiswa yang lalu lalang di jalan
menoleh ke arahnya, beberapa yang lain bahkan sampai tidak mampu mengalihkan
pandangannya. Asrama itu memang dekat dengan kampus ternama di kota ini,
sehingga banyak mahasiswa yang lewat dengan berbagai urusannya. Rafael memang layak
untuk dilihat dua kali. Ketampanannya sangat eksotis dan menyolok, sehingga menarik
perhatian orang. Hari ini dia mengenakan celana jeans santai dan kemeja senada dan
memakai rompi rajutan yang membungkus dengan indah badannya. Dadanya yang bidang
tercetak dengan jantan di sana, rambutnya yang agak basah karena buru-buru
sehabis mandi, disisir begitu saja ke belakang dengan jemarinya, membuatnya tampak
semakin eksotis. Lelaki itu benar-benar tampan.
Tetapi
dia adalah lelaki tampan yang gugup. Langkahnya ragu sekaligus bersemangat.
Seluruh kata-kata terjalin campur aduk di benaknya. Dia harus bisa meyakinkan Elena
supaya kembali kepadanya.
Ketika Rafael sampai ke depan pintu
asrama, dia hendak mengetuk. Tetapi pintu
langsung terbuka dari dalam, menampakkan wajah Ibu Rahma yang pucat pasi.
“Elena
pegi. Dia tidak ada di mana-mana, aku tidak tahu kapan dia pergi. Dia meninggalkan
surat ini...” Mata Ibu Rahma membelalak panik, “Ya Tuhan, Rafael, sepertinya dia mendengar percakapan kita tadi pagi dan marah
karena menemukan satu kebohongan lagi.”
Kepala Rafael
seperti dihantam dengan keras menerima kabar itu, dia menerima surat itu dari Ibu
Rahma dan membacanya. Wajahnya memucat membaca pesan singkat yang ditulis di
atas kertas sederhana tersebut.
Kau
tidak akan bisa mengatur-atur kehidupanku lagi Rafael. Aku akan pergi jauh, dan
kau tak akan bisa menemukanku lagi
Ҩ
Elena mengetuk
pintu rumah Donita, dan menunggu dengan cemas. Beberapa menit kemudian, terdengar
suara langkah kaki dari dalam dan pintu dibuka.
“Elena?”
Donita menatap Elena dan tersenyum lebar, “Kenapa kau tidak mengabari kalau kau
mau datang? Aku bisa memasakkan makanan istimewa untukmu...”
“Donita.”
Ekspresi wajah Elena yang begitu serius membuat senyum Donita memudar dan menatap
Elena dengan bingung. “Berjanjilah kepadaku kau tidak akan mengatakan kepada
Rafael kalau aku ada di sini.”
“Ada apa Elena?”
Donita melihat kepada Elena, “Apa yang terjadi kepadamu?”
“Berjanjilah
dulu Donita.”
Donita melihat
betapa seriusnya Elena. Dia menganggukkan kepalanya dengan cepat, “Baiklah, aku
berjanji. Ayo masuklah dulu, aku akan
membuatkan minuman untukmu.”
Elena mengikuti
Donita masuk ke dalam rumah. Donita membuatkan teh untuknya dan mengajaknya duduk di ruang keluarga. Sepertinya bayinya
sedang
tidur karena suasana rumah sangat sepi.
“Suamiku
sedang keluar kota. Tugas kantor, dia baru pulang seminggu lagi. Jadi aku hanya
berdua di sini dengan si kecil.” Donita menuangkan teh ke cangkir Elena, “Ini
minumlah dulu.”
Elena menerima cangkir itu dan menyesapnya, merasakan keharuman mint dan melati
yang menyegarkan. Donita menatapnya dengan cemas,
“Apakah
kau sedang bertengkar dengan Rafael?”
Elena mengangguk,
lalu menggelengkan kepalanya, bingung, “ Hampir seperti itu, tetapi bukan juga...
ceritanya panjang..”
“Aku punya
banyak waktu.” Donita tersenyum, “Ayo, ceritakanlah kepadaku.”
Dan Elena
pun bercerita, semuanya, dari awal. Menjelaskan perasaannya kepada Rafael, sakit hatinya
ketika dibohongi Rafael, dan keputusannya untuk menjauhkan dirinya dari lelaki
itu.
Ketika selesai.
Donita hanya termenung dan menatapnya dengan skeptis. Elena memandang Donita,
meminta pendapatnya,
“Benar
bukan Donita? Menurutku Rafael sangat arogan, dia mengatur seluruh kehidupanku,
berusaha membentukku menjadi apa yang dia mau. Dia seolah ingin berperan
sebagai Tuhan dalam kehidupanku. Dan lagi
dia
memulai semuanya dari kebohongan.”
Elena berusaha mencari pembenaran dari Donita.
Sahabatnya
itu menghela napas panjang, “Menurutku Rafael sudah gila.”
“Mungkin juga.” Elena mengerutkan kening bingung dengan kata-kata Donita. “Rafael sudah
gila. Gila karena terlalu mencintaimu.” “Cintanya hanyalah kebohongan.” Elena menyela,
dia ingin mendapatkan dukungan dari Donita,
tetapi sahabatnya itu tampaknya malahan bersimpati kepada Rafael.
“Tidak mungkin orang dengan cinta bohongan
melakukan segala cara untuk
memilikimu. Coba kau
pikir? Untuk apa dia menikahimu? Aku tahu
pasti di masa lalunya Rafael tidak pernah membuka hatinya
untuk perempuan lain. Dia selalu tampak... sedih. Ternyata karena ini. Ternyata
karena dia menanggung rasa bersalah yang dalam. Kau dari tadi mengulang-ulang
bahwa Rafael mengatur segalanya dalam hidupmu,
mengubah menjadi apa yang dia mau.” Donita menatap Elena dalam-dalam,
“Tetapi yang kulihat,
dia tidak ingin menjadi Tuhan dalam kehidupanmu, Elena.
Dia ingin menjadi pahlawan. Dia menjagamu.”
“Tidak!”
Elena membantah lagi, “Dia hanya ingin memuaskan egonya, menyembuhkan rasa bersalahnya,
dan membuat aku berhutang kepadanya agar semua kesalahannya impas!”
“Untuk apa dia melakukan itu? Tidak ada untungnya
buat Rafael.” Donita memajukan tubuhnya, “Elena. Orang lain dalam posisi Rafael, dia akan
meninggalkanmu dengan setumpuk uang, meminta maaf dan pergi.
Kalaupun kau tidak mau menerimanya, setidaknya dia sudah mencoba. Rafael bisa melenggang
pergi kapan saja tanpa beban, tanpa kerugian apapun. Tetapi itu tidak dilakukannya. Dia memilih
mengikatkan rantai berat berisi rasa bersalah di kakinya. Menjagamu agar hidupmu
mudah dan bahagia. Dan kemudian menikahimu
serta menjadi
suami yang luar biasa baik
untukmu.”
Elena terdiam.
“Kenapa kau membela Rafael?”
“Karena,
demi Tuhan. Bukalah hatimu Elena. Pikirkan baik-baik. Oke, Rafael memang bersalah di masa
lalu, dia memang menyebabkan kematian ayahmu. Itu sudah
terjadi, waktu tidak akan bisa diputar kembali. Dan dia sudah berusaha menebus
kesalahannya.” Donita menghela napas panjang, “Pikirkanlah Elena. Semua yang dilakukan
Rafael untukmu, kebohongannya, semua rencananya untuk mencampuri kehidupanmu,
adakah yang merugikanmu? Tidak bukan? Dia selalu memastikan kebahagiaanmu di atas
segalanya. Dia mencintaimu Elena. Dan jauh di dalam hatimu kau mengetahuinya.”
Elena mengetatkan
gerahamnya, “Aku tidak percaya.” Matanya terasa panas, “Dia telah membohongiku.
Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan membohongiku.”
Donita tersenyum lembut
melihat Elena mulai terisak, ditepuknya pundak Elena memberi semangat.
“Kau bisa menginap di sini dulu, kau tidak punya tempat tujuan kan?”
“Aku berencana
pergi ke luar kota. Tetapi kondisi kesehatanku tidak memungkinkan, aku
muntah-muntah sepanjang jalan kemari tadi.” Elena mengusap air matanya dan menatap
Donita ragu, “Mungkin aku akan merepotkanmu, bolehkah aku menginap di sini untuk
beberapa lama? Kalau kondisi kesehatanku sudah memungkinkan, aku akan pergi.”
“Kau boleh
tinggal selama kau mau. Kami punya dua kamar kosong di sini. Suamiku juga akan
sangat senang kalau kau tinggal disini. Dia sering keluar kota, dan pasti akan
senang karena aku ada temannya.”
“Aku
tidak akan tinggal lama di sini, aku harus pergi segera, kalau tidak, Rafael
akan menemukanku.”
“Kau masih
bertekad untuk pergi?”
Elena memijat kepalanya, “Entahlah...aku bingung Donita, dan aku pusing.”
“Kau
sedang hamil muda, kondisimu harus dijaga baik- baik demi dirimu dan calon
anakmu. Dulu aku selalu mual dan muntah di awal-awal kehamilanku. Tinggalah di sini
dulu Elena. Istirahatlah dan pulihkan dirimu. Kau bisa
memikirkan apa yang harus kau lakukan kedepannya nanti.”
Ҩ
Rafael sudah mencari
kemana-mana tanpa tujuan
dan dia bingung. Rasanya dia hampir gila
karena tidak tahu Elena ada dimana, sedang apa, dan bagaimana kondisinya.
Istrinya
itu sedang hamil, demi Tuhan! Sedang mengandung anaknya, dan sekarang dia ada di
luar sana entah dimana. Dengan marah dibantingkannya tangannya di setir
mobilnya.
Sebegitu
bencikah Elena kepada dirinya? Kenapa Elena tidak mau mengerti? Rafael tahu dia
bersalah dan penuh dosa kepada Elena. Dia memang tak termaafkan. Tetapi apakah
dia tidak berhak mencintai? Tidak bolehkah dia mencintai Elena?
Ҩ
“Aku sudah
menengok kak Rafael, kondisinya buruk. Dia sudah tidak datang ke kantor lagi
sejak dua minggu yang lalu, yang dia lakukan setiap hari hanya berputar-putar
mencari Elena. Dan ketika aku menengok ke rumahnya, dia tampak mengenaskan kalau
sedang di rumah, dia tidak bercukur, dan hanya diam di kamar seperti orang gila.
Mengutuk dirinya sendiri.” Victoria duduk di depan mamanya dengan prihatin, “Kita
harus menemukan Elena untuknya, kalau tidak aku cemas dia akan benar-benar jadi
gila.”
“Kata
supir pribadinya, dia juga selalu berkeliling setiap malam, tidak pulang, mengitari
seluruh penjuru kota, mencari Elena.” Sang mama memijit kepalanya yang
berdenyut, “Mama juga mencemaskan Rafael.
Apakah kau sudah mencari informasi? Bagaimana dengan para pegawai
yang mengenal Elena di kantor dulu?”
“Aku menanyai mereka semua. Tetapi tidak ada yang
tahu di mana Elena.”
“Bagaimana
dengan Donita, Elena menggantikan
tugasnya bukan? Dan aku dengar mereka cukup akrab.”
“Donita
adalah orang pertama yang didatangi Rafael.” Victoria mengingat Rafael pernah bercerita
kepadanya. “Tetapi kata Donita, Elena tidak datang kesana.”
Kedua wanita
itu bertatapan. Bingung. Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk menolong
Rafael. Yang dibutuhkan Rafael adalah kehadiran Elena. Hanya itu.
Ah Elena.
Dimanakah kau? Tidak kasihankah kau kepada Rafael?
Ҩ
Pagi itu
seperti biasanya Elena membantu Donita memandikan si kecil. Sudah satu minggu Elena
tinggal di rumah Donita. Sahabatnya itu melarangnya pergi dulu. Dan Elena menerima
tawarannya itu. Mengingat kondisinya tidak memungkinkan. Dia selalu
merasa mual, dan ingin muntah setiap saat. Kepalanya kadang terasa pening
sehingga berdentam-dentam. Dan kondisinya itu bahkan belum membaik selama seminggu
tinggal bersama Donita.
Si Kecil
sudah dimandikan, dan Donita memberinya asi. Sementara Elena merapikan kembali
perlengkapan mandi bayi. Ketika dia membungkuk untuk meletakkan
handuk ke keranjang cucian, tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar
di perut bagian bawahnya. Nyeri luar biasa
yang membuatnya mengerang sambil berpegangan ke rak handuk di sampingnya.
“Elena?”
“Sakit
sekali.” Elena memegang perutnya yang serasa di remas-remas. Nyerinya luar
biasa.
Donita meletakkan
bayinya yang sudah tertidur dan kenyang di buaian, dia melangkah mendekati Elena.
“Ayo Elena, mungkin kau terlalu tegang dan kelelahan. Berbaringlah dulu..... Oh
Astaga!” Donita memekik, “Elena... kau berdarah!”
Elena menunduk
dan menatap ke bawah. Ke arah
kakinya. Dia memakai rok selutut. Dan dari lututnya, tampak cairan merah yang mengalir dari kewanitaannya,
mengalir turun melewati betisnya,
sampai ke kaki.
“Aku akan
menelepon Rafael!” Donita meraih ponselnya, Elena mengerang, mencoba mencegah
Donita, “Jangan! Jangan Donita!”
Sahabatnya
itu menatapnya tajam. “Harus Elena. Dia suamimu , ayah dari bayi di perutmu. Rumahnya
dekat dari sini, dia bisa sampai dalam beberapa menit. Lebih cepat daripada kalau
kita memanggil taksi.” Donita melirik cemas kepada Elena yang kini sudah duduk
di kursi dan memegang perut bawahnya dengan kesakitan. Lalu menelepon Rafael.
Ҩ
Rafael
datang dengan begitu cepat. Lelaki itu sepertinya mengebut kemari. Ketika Donita
membuka pintu, atasannya itu berdiri dengan mata nyalang, cemas luar biasa.
“Di mana
Elena?”
“Di dalam. Mr. Alex, maafkan saya waktu itu membohongi
anda....”
“Tidak
apa-apa... terima kasih sudah meneleponku.” Rafael bergerak masuk setengah berlari. Menemukan Elena yang terduduk di kursi. Darah segar mengalir
di kakinya, dan Elena tidak berani berdiri
sama sekali,
takut dia akan mengalami
pendarahan yang lebih parah. Wajah Elena semakin pucat ketika dia melihat
Rafael masuk dan berdiri
dengan cemas di sebelahnya.
“Sayang...”
lelaki itu berbisik lembut bercampur kecemasan, “Tahan cintaku, aku akan membawamu
ke rumah sakit.” Dengan cepat Rafael membungkuk di depan Elena menyapukan
tangannya di punggung dan lutut Elena, lalu mengangkatnya seolah Elena begitu ringan.
Elena melingkarkan lengannya di leher Rafael, menyandarkan
kepalanya di dadanya. Perutnya sakit, tetapi berada digendongan Rafael membuatnya
merasa nyaman. Lelaki itu berhenti sebentar di dekat pintu, “Terima kasih Donita.”
“Sama-sama.
Semoga Elena tidak
apa-apa.” Donita mengiringi kepergian mereka dengan tatapan cemas.
Rafael melangkah cepat menuju mobilnya, ke tempat supirnya
yang sudah menunggu dan membukakan pintu. Masih menggendong Elena, Rafael masuk
kemudian memangku Elena. Mobil pun melaju dengan kencang menuju rumah sakit.
Elena
mengerang ketika rasa
nyeri itu menyerangnya lagi. Membuat Rafael menunduk
menatapnya dengan cemas, “Sakitkah sayang? Tahan ya. Kita sebentar lagi
sampai.”
Elena bergerak tidak nyaman di pangkuan Rafael, dia hanya
memakai rok dan dia berdarah. Darahnya
akan mengotori celana Rafael, “Aku berdarah... aku akan mengotori..”
“Jangan cemaskan itu.” Rafael menyela tajam, lalu memeluk Elena
erat-erat. “Ya Tuhan. Elenaku. Semoga kau tidak apa-apa. Aku bisa mati kalau
kau kenapa-kenapa.”
Elena masih mendengar kalimat terakhir itu dan hatinya
terasa hangat, tetapi setelah itu, dia tidak mendengar apa-apa lagi. Rasa sakit
yang luar biasa telah merenggut kesadarannya. Mambuatnya pingsan.
Ҩ
Elena terbangun
lama kemudian. Bau obat dan rumah sakit menyelimutinya. Membuatnya
mengerutkan keningnya. Tangannya
langsung digenggam dengan
hangat, membuatnya menoleh dan bertatapan langsung dengan Rafael. Lelaki
itu duduk di tepi ranjang, menatapnya cemas.
Rafael belum bercukur.
Itu yang dipikirlan
Elena pertama kali ketika melihat bayangan gelap, bakal jenggot yang
hampir tumbuh di dagu lelaki itu. Dan matanya tampak ketakutan sekaligus lega. Lelaki
itu mengecup jemari Elena penuh perasaan, “Syukurlah kau sudah sadar sayang.” Suaranya
serak penuh perasaan, “Aku sangat mencemaskanmu.”
Refleks Elena memegang
perutnya, menatap Rafael dengan takut. “Bayiku?”
“Dia kuat, dan
bertahan.” Rafael menatap
perut Elena dengan lembut.
Elena mendesah lega mengetahui kondisi bayinya baik- baik
saja. Tetapi kemudian, wajah Elena memerah mengetahui tatapan Rafael ke perutnya.
Dia memalingkan wajah, tidak mau menatap Rafael.
“Elena.” Suara Rafael melembut. “Aku tahu waktunya tidak tepat
membahas ini semua. Tetapi aku harus mengatakannya kepadamu.”
Hening dan Rafael
menunggu jawaban Elena, ketika Elena tetap diam, Rafael menarik napas
panjang, “Aku mencintaimu Elena. Itu bukan kebohongan. Aku mungkin mengatur
kehidupanmu, tetapi itu semua kulakukan untuk menjagamu. Karena aku
mencintaimu, bukan semata untuk penebusan
dosa.” Suara Rafael
menjadi serak, “Aku menikahimu karena aku mencintamu. Semua
yang kulakukan, semua kebohongan itu, karena aku mencintaimu.”
Elena tetap diam. Memejamkan matanya. Merasakan air mata
menetes di sudut matanya.
”Aku tahu kau tidak bisa memaafkanku. Dosaku memang
tak termaafkan. Dan
aku sudah menerimanya. Mungkin memang aku yang berharap terlalu muluk
kau bisa tetap mencintaiku dan melanjutkan
pernikahan ini.” Rafael tersenyum pahit, “Maafkan aku karena
memaksakan sesuatu yang tidak kau inginkan. Mulai sekarang aku tidak akan
memaksakan kehendakku kepadamu lagi. Segera setelah anak kita lahir. Aku akan
menceraikanmu dengan penyelesaian yang baik.”
UNFORGIVEN HERO - BAB 15
No comments:
Post a Comment