BAB
2
Perjalanan itu terasa
menyiksa dan panjang. Tubuh Lana dilempar begitu saja dengan kasar
oleh bodyguard Mikail ke bagasi dan dikunci dari luar.
Lana
berusaha menendang, berteriak, meronta,
tetapi pada akhrnya dia kelelahan dan kehabisan
oksigen. Menyadari bahwa ruang
bagasi ini begitu sempit dan pengap dengan
asupan oksigen yang makin
menipis, Lana terdiam. Ia berusaha menenangkan jantungnya yang
berdebar keras, campur aduk antara rasa takut
dan ingin tahu, akan dibawa
kemanakah dirinya ?
Lama
sekali Lana menunggu, sampai akhirnya
mobil itu melambat. Terdengar
suara pintu gerbang yang berat dibuka, lalu mobil itu melaju lagi, melambat,
dan kemudian berhenti.
Suara
pintu mobil dibanting. Dan syukurlah, ada gerakan membuka bagasi. Lana
bersiap melompat dan menyerang siapa
saja yang membuka pintu bagasi itu, lalu
kabur. Ah ya Tuhan, semoga semudah
itu.
Pintu
bagasi terbuka sedikit dan secercah cahaya masuk melalui celah yang hanya
dibuka sempit.
“Lana,”
itu suara Mikail dan lelaki itu memanggil namanya. Wajah Lana langsung pucat
pasi. Lelaki itu sejak awal sudah mengetahui penyamarannya!
“Aku
akan membuka pintu bagasi ini, tapi kau harus berjanji untuk bersikap tenang
dan tidak memberontak,” Ada seberkas senyum di suara Mikail. Kurang ajar.
Lelaki itu pasti dari tadi sudah menertawakan kebodohannya!, “Kau ada di
rumahku, dan perlu kau tahu, para pengawalku sangat tidak ramah. Kusarankan kau
turun dengan sikap penurut dan tenang, demi dirimu sendiri, karena para
pengawalkumungkin akan melukaimu kalau kau bertindak bodoh” Rumah Mikail. Lana
memejamkan matanya frustrasi. Dari informasi yang dia dapatkan, rumah Mikail
yang terletak di atas tanah begitu luas di kawasan elite pinggiran kota. Rumah
itu dipagari dengan pagar tinggi di sekelilingnya dan setiap akses masuk dijaga
oleh pengawal-pengawal Mikail. Tidak ada seorangpun yang bisa masuk ke area
rumah ini tanpa sepengetahuan Mikail. Begitupun, tidak akan ada orang yang bisa
keluar dari rumah ini tanpa seizin Mikail.
“Bagaimana
Lana? Apakah kau berjanji untuk bersikap baik,dan aku akan mengeluarkanmu
secara manusiawi. Atau kau memilih bertindak bodoh lalu mungkin aku akan
mengikatmu dalam karung dan kusekap di gudang,” suara Mikail di luar
menyadarkan Lana dari lamunannya.
“Kenapa
kau membawaku kemari?,” gumam Lana penuh keberanian.
Terdengar
suara Mikail terkekeh di luar sana, “Menurutmu kenapa Lana? Apa kau pikir aku
semudah itu diracuni di tempat umum? Apa kau pikir aku tidak tahu kalau
kau selama
ini mengendus-endus mencari kesempatan untuk membalaskan dendammu?” Suara Mikail
terdengar dekat,
“Kau
sudah bermain api,” bisiknya, “Sekarang saatnya kau untuk terbakar.” Pintu
bagasi itu terbuka tiba-tiba dan Lana belum siap meronta. Lagipula, percuma
meronta. Di belakang Mikail yang berdiri dengan pongahnya, ada beberapa bodyguard
dengan tubuh kekar bertampang seperti batu. Dan melihat tampang dan penampilan
mereka, Lana tahu, mereka tidak akan segan-segan melukainya kalau Lana berbuat
sesuatu yang sekiranya akan mencelakakan majikan mereka.
Mikail
mundur selangkah, lalu mengulurkan tangannya setengah membungkuk, “Silahkan
tuan puteri, biarkan aku membantumu keluar,”gumamnya mengejek.
Lana
menatap tangan itu lalu menggeram marah. Kurang ajar sekali iblis yang satu
ini!
Dengan
marah, ditepiskannya tangan Mikail dan dia berusaha keluar sendiri dari bagasi
sempit itu meskipun sedikit kesulitan karena kaki dan tangannya kaku dilipat di
ruangan sempit dan menempuh perjalanan entah berapa puluh kilo.
Akhirnya
Lana berhasil berdiri keluar dari bagasi, dengan sepenuh harga dirinya.
Mikail
mengamati Lana dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan melecehkan,
lalu senyum muncul lagi di sudut bibirnya,
“Mari,
silahkan masuk. Selamat datang di rumahku,” setengah memaksa lelaki itu
mencengkeram lengan Lana yang kaku lalu membawanya masuk ke dalam rumahnya.
Bagian
depan ruang tamu Mikail sangat megah, dengan arsitektur gaya lama yang entah
kenapa bisa tampak modern. Lantai marmernya berkilauan dengan warna gading, dan
pilar-pilar besar di ruang tamu dengan warna serupa begitu menjulang tinggi,
dipadukan dengan nuansa warna merah dan emas. Mikail membawa Lana menuju ke
sebuah tangga besar melingkar berwarna putih dan sekali lagi setengah
menyeretnya menaiki tangga.
Mereka
berdua berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna putih, “Kau akan tinggal
di kamar ini mulai sekarang,” gumam Mikail datar. Lana membelalakkan mata,
marah pada Mikail,
“Atas
dasar apa kau memutuskan aku harus tinggal di mana. Aku mau pulang”
Bibir
Mikail masih menyiratkan senyum, tapi matanya tidak. Mata itu bersinar dengan
tatapan tajam dan dingin,
“Kau
tidak bisa pulang. Sekarang, ini adalah rumahmu. Bersamaku”
Dengan
cepat lelaki itu merengkuh pundak Lana, dan detik itu Lana menyadari bahwa
lelaki itu akan menciumnya. Secepat mungkin dia memalingkan muka, mencoba memberontak,
hingga bibir Mikail hanya mendarat di pelipisnya.
Cengkeraman
Mikail di pundaknya makin kuat sehingga terasa menyakitkan,
“Aku
sudah memutuskan untuk memilikimu. Dan satusatunya cara kau lepas dariku adalah
ketika aku memutuskan untuk melepaskanmu, atau ketika kau… Mati,” dengan
kalimat penutupnya yang begitu kejam, MIkail membuka pintu putih itu, dan
mendorong Lana masuk. Lalu menguncinya dari luar, meninggalkan Lana yang
menggedor - gedor dan menendang-nendang pintu itu dari dalam dengan histeris.
***
“Menurutmu
apakah dia sudah siap untukku?,” Mikail mengenakan jubah tidurnya, sutera
hitam, dan duduk di sofa di dalam kamarnya. Hidangan lengkap tersedia untuknya
di meja. Dengan tenang, lelaki itu menyesap anggurnya, lalu menatap Norman,
pengawal pribadinya sekaligus orang kepercayaannya yang berdiri di depannya
dengan wajah khasnya yang tanpa ekspresi.
“Saya
pikir dia sudah siap, bukan untuk menyerah kepada Anda, tetapi siap membunuh
anda. Tatapan matanya adalah tatapan pembunuh yang penuh kebencian”
Mikail
tersenyum tipis mendengar jawaban Norman itu, “Ya, tatapan matanya membakar,
penuh kebencian.,” Mikail menyesap anggurnya lagi, memejamkan matanya, “Tapi
kau tahu bagaimana aku sangat ingin memilikinya malam ini”
“Ya
saya tahu,” jawab Norman tenang, “Apakah Anda akan memaksanya…?”
“Aku
tidak suka memaksa perempuan, kau tentu tahu”
Mikail
terbiasa dikelilingi perempuan yang menyerahkan diri padanya. Tidak ada seorang
perempuanpun yang mampu menolak pesona Mikail Raveno. Dengan rambut hitam legam
yang sedikit panjang mengena kerah, mata cokelat pucat dan wajah aristrokatnya
hampir bisa dikatakan sempurna seperti malaikat…… Kalau saja matanya tidak
begitu dingin, tanpa perasaan dan menyimpan kebencian mendalam, menakutkan.
Mikail bagaikan iblis yang terperangkap dalam raga malaikat.
“Aku
ingin dia menyerahkan dirinya padaku dengan sukarela” Tentu saja. Gumam Norman
dalam hati. Kata-kata Mikail bagaikan perintah baginya.
***
Obat
ini sangat keras, dan tidak bisa digunakan untuk main- main. Norman mengamati
bubuk putih dalam wadah kecil di depannya. Sangat keras, sekaligus sangat
efektif.
Dan
kalau perempuan itu meminumnya, maka perempuan itu akan menyerah pada Mikail,
dan menyenangkan tuannya.
Dengan
gerakan pelan penuh perhitungan, Norman mencampurkan bubuk putih tanpa rasa itu
ke dalam minuman Lana.
Obat
ini akan membuat perempuan tersiksa, meminta dipuaskan. Kalau tidak ada yang
memuaskannya, perempuan itu akan merasa seluruh tubuhnya terbakar,
kesakitan.
Dan Norman yakin, Lana akan meminta, bahkan memohon-mohon pada tuannya malam
ini.
Malam
ini perempuan itu akan menyerah dalam tanganmu, Tuanku.
Norman
tersenyum dalam hati, menanti apa yang akan terjadi.
***
Sudah
hampir satu jam Lana dikurung di dalam kamar ini, kamar mewah bernuansa putih,
di karpet, di ranjang, di semua furniture-nya. Kamar ini dibuat untuk
perempuan, dan Lana merasa jijik membayangkan bahwa mungkin kekasih-kekasih Mikail
yang sebelumnya juga ditempatkan di ruangan ini.
Salah
seorang pengawal Mikail yang bertampang paling dingin, setengah jam yang lalu
masuk, membawa nampan makanan, meletakkannya di meja. Lalu tanpa berkata apaapa
pergi dan mengunci kembali pintu itu dari luar.
Dan
selama setengah jam yang panjang itu pula, Lana mencoba setengah mati untuk
tidak melirik pada nampan yang sangat menggoda itu.
Perutnya
keroncongan, dan dia merasa haus. Dia belum makan dari siang karena terlalu
gugup merencanakan pembalasan dendamnya pada Mikail, dan sekarang dia kena
batunya.
Aroma
makanan itu terasa begitu menggoda, aroma manis dan gurih masakan yang masih
panas.
Mungkin
jika aku mengintip sedikit apa makanannya…..tidak! Lana menghardik dirinya
sendiri dalam hati. Dia tidak akan makan, lebih baik dia mati kelaparan
daripada harus menyerah pada kekuasaan Mikail.
Tapi
jika hanya minum mungkin tidak apa-apa. Lana melirik haus pada minuman di
nampan itu. Sari jeruk segar yang tampak begitu menggoda.
Akhirnya
lana menyerah. Dia haus sampai terasa mau pingsan, dan dia harus minum, kalau
tidak dia mungkin akan benar-benar pingsan. Lana tidak boleh pingsan, dia harus
mencari cara untuk melarikan diri dari kamar ini, dari rumah ini.
Dengan
cepat disambarnya gelas itu, diminumnya langsung berteguk-teguk karena begitu
hausnya. Aliran dingin air itu terasa begitu segar ketika membasahi kerongkongannya.
Tanpa
sadar segelas minuman itu tandas sudah, Lana meletakkan gelas itu dengan pelan,
sedikit merasa bersalah. Tapi bagaimanapun juga dia tidak menyesal. Dia merasa
lebih
baik. Sekarang dia bisa memikirkan cara untuk kabur dari rumah ini,
Mata
Lana berputar, ke sekeliling ruangan, mencari cara untuk melarikan diri. Ada
jendela besar di ujung sana, yang dilapisi gorden berwarna putih, mungkin Lana
bisa mencari cara keluar dari sana.
Dengan
hati-hati Lana melangkah ke arah jendela itu untuk memeriksanya, tetapi
seketika itu juga hatinya kecewa. Jendela itu sudah dilapisi kaca tebal, dan
penuh dengan teralis besi yang sangat kuat. Lagipula Lana baru menyadari bahwa
dia ada di lantai dua, kalaupun dia bisa membuka jendela itu, dia harus mencari
cara agar bisa turun dari lantai dua dengan selamat.
Lana
mencoba berpikir, dia belum memeriksa kamar mandi yang ada di ujung kamar,
mungkin ada jalan keluar dari sana yang lolos dari pengawasan. Dengan cepat dia
melangkah ke kamar mandi, tetapi langkahnya terhuyung. Entah kenapa kepalanya
terasa pening, dan seluruh tubuhnya menggelenyar…. Kepanasan…
Ada
apa ini? Lana meraba dahinya sendiri, terasa panas, Apakah dia demam? Napas
Lana terengah, semuanya
terasa
panas….. terasa panas… Lana sangat butuh….
***
Mikail
membuka pintu kamar tempat Lana dikurung dengan pelan. Sudah larut malam, dan
Mikail tidak mengharapkan Lana masih bangun.
Kamar
itu gelap dan remang-remang, tapi mata Mikail menangkap nampan makanan yang
masih utuh, hanya minumannya yang habis.
Gadis
keras kepala. Geram Mikail dalam hati, dia pikir dia bisa mengancam Mikail
dengan membiarkan dirinya sendiri kelaparan. Dia tidak tahu bahwa Mikail akan
menggunakan segala cara untuk membuat Lana menyerah padanya… Gerakan gemerisik
di ranjang membuat Mikail menoleh waspada. Dalam keremangan kamar itu, Mikail
melihat Lana terbaring di sana, gelisah. Perempuan itu belum tidur rupanya….
Dan dia tampak… tidak tenang. Ingin tahu, Mikail mendekat, dan menemukan Lana
berbaring disana dengan tatapan mata tersiksa. Tubuhnya menggeliat di atas
ranjang berseprei satin putih itu seperti kepanasan, “Tolong…panas….,” suara
Lana mendesah, serak seperti kesakitan.
Mengernyitkan
keningnya, Mikail duduk di tepi ranjang, dan menyentuhkan jemarinya ke dahi
Lana, suhunya normal, dia tidak demam. Kerutan di kening Mikail makin dalam,
lalu kenapa perempuan ini bilang kalau dia kepanasan?
“Kau
mau minum?,” dengan cekatan Mikail mengambil gelas air di meja pinggir ranjang,
“Sini, aku bantu kau minum.” Mikail bangkit dan mengangkat tubuh Lana, lalu
mencoba membuatnya berdiri. Tubuh Lana menggayut lemah di lengannya, dan napas
perempuan itu terengah, “Panas…. Tolong… panas sekali….,” Sekali lagi Lana
mendesahkan suara itu, suara kepanasan, seperti tersiksa. Mikail meminumkan air itu kepada Lana, dan
dengan rakus Lana menghirup air itu. Tetapi napasnya tetap terengah, dan dia
masih tampak tersiksa oleh rasa panas yang mendera tubuhnya.
Pasti
ada sesuatu…. Jangan-jangan….
Mikail
memundurkan tubuh Lana yang bersandar padanya, supaya dia bisa mengamati Lana
dengan jelas.
Wajah
Lana merona kemerahan, napasnya terengah, dan matanya sedikit tidak fokus, dia
selalu mengeluh kepanasan…. Jangan-jangan…
Dengan
cepat Mikail membaringkan Lana di ranjang, dan melangkah keluar dari kamar
bernuansa putih itu, membanting pintunya, dan berteriak,
“Norman!”
Sekejap,
tanpa suara seolah menggunakan sihir, Norman muncul di depan Mikail,
“Ya
Tuan”
“Kau
campurkan apa di minuman Lana?”
Norman
sedikit membungkukkan tubuhnya, wajahnya tanpa ekspresi, “Saya mencampurkan
obat milik saya, Tuan tahu itu obat apa”
Wajah
Mikail mengeras, “Ya. Aku tahu itu obat apa. Dan aku menolak memperalat wanita
dalam pengaruh obat. Kau melakukan sendiri tanpa meminta izinku, kau tahu kalau
aku marah aku bisa menghukummu”
Norman
tampak tidak terpengaruh dengan kata-kata Mikail, “Anda memerintahkan saya
untuk membuat perempuan itu menyerah. Dia sangat membenci anda, dan pasti akan berontak
mati-matian. Obat itulah satu-satunya cara
membuat dia menyerah,” Norman menatap mata Mikail,
“Anda
bisa meninggalkan kamar ini kalau anda tidak ingin memanfaatkannya”
“Dia
kesakitan, kau tahu itu,” geram Mikail marah. Norman mengangkat bahunya,
“Anda
bisa meredakan sakitnya. Dan besok, setelah Anda memilikinya, mungkin dia akan
menjadi lebih penurut”
“Berapa
banyak obat yang kau berikan padanya?”
“Dosis
biasa tuan, tetapi efeknya berbeda-beda tergantung orangnya”
“Jadi
ini bisa berlangsung selama berjam-jam atau bisa juga sepanjang malam?”
“Ini
bisa berlangsung selama Anda ingin bersenang-senang, Tuan”
Mikail
terdiam. Kata-kata Norman terasa begitu menggoda.
***
Mikail
kembali masuk ke dalam kamar, didorong perasaan yang kuat untuk melihat Lana
kembali.
Lana
masih menggeliat dan mengerang-erang di atas ranjang, ketika Mikail duduk di
ranjang. Lana menatap Mikail dengan mata berkabut, seolah tidak mengenalinya.
“Aku
sakit….tubuhku… panas…”
Mikail
tersenyum dengan kelembutan yang aneh. Lana benar-benar tidak tahu apa yang
terjadi kepada dirinya, bahwa hanya ada satu cara untuk menyembuhkan Lana dari
kesakitannya. Dan Lana membutuhkan Mikail untuk itu.
Mikail
mencondongkan tubuhnya dan menyapu lembut bibir Lana, mendapati mata Lana
membelalak kaget. Mikail tidak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. Sungguh
luar biasa, perpaduan antara kepolosan dan gairah yang kuat sungguh sungguh
menggodanya.
“Kau
tidak menyukainya?,” bisik Mikail lembut.
Lana
menatap Mikail, atau setidaknya mencoba menatap dengan matanya yang sulit
fokus,
“Aku…
apa yang terjadi pada diriku?”
Mikail
mengulurkan jemarinya, dan menyapukannya di pipi Lana, membuat tubuh Lana
bergetar.
“Anak
buahku mengambil keputusan sendiri dan mencampurkan obat di minumanmu…”
“Obat…?
Apakah aku diracuni?”
“Itu
bukan racun Lana, obat itu akan merangsangmu sampai hasratmu tak terkendali,
dan kau akan kesakitan jika dirimu tidak dipuaskan”
Lana
butuh waktu sesaat untuk mencerna, sampai kemudian menyadari arti kata-kata
Mikail, sedikit kesadarannya meneriakkan peringatan akan bahaya. Dan tubuhnya langsung
beringsut, susah payah mencoba menjauhi Mikail.
Tetapi
Mikail merengkuh Lana lagi dan berbisik lembut di telinga Lana,
“Aku
bisa membantumu menyembuhkan rasa sakitmu,” sambil berbicara, tangannya yang
bebas turun ke dada Lana. Erangan Lana ketika merasakan jemari Mikail
menyentuhnya terdengar begitu menderita, “Terlalu sensitif, sayang? Kau
membutuhkan pelampiasan dengan segera bukan?,” Tangan Mikail bergerak ke pusat
gairah Lana.
“Tidak!,”
Lana mencoba berteriak dan mencengkeram lengan Mikail, “Jangan! Kau tidak boleh
melakukannya!”
“Ini
satu-satunya cara agar kau tidak kesakitan lagi, Sayang,” suara Mikail
terdengar sedikit parau, “Biarkan aku membantumu”
Lana
mengerang ketika denyutan itu meningkat seiring dengan sentuhan Mikail. Otaknya
memberontak atas apa yang dilakukan pria itu dengan jari-jarinya, tapi tubuhnya
tak kuasa menolaknya. Lana membutuhkan jemari Mikail itu….
Ia
membutuhkan….
“Aku
akan menolongmu Lana, tapi kau juga harus menolongku. Aku juga butuh pelepasan
sendiri. Lihat aku Lana, lihatlah tubuhku”
Mikail
membuka jubah sutra hitamnya, dan tubuhnya telanjang di balik jubah itu. Dan
napas Lana tercekat ketika melihat bukti gairah Mikail begitu keras.
“Gunakan
diriku Lana, biarkan aku merasakan tubuhku ada di dalam dirimu dan
menyembuhkanmu,” Kata-kata itu adalah satu-satunya kata yang mirip dengan
permintaan yang pernah Mikail gunakan pada perempuan, dan hanya dia lakukan
kepada Lana. Mikail melakukannya karena dia sangat bergairah kepada Lana, dia
amat sangat bergairah, dan Lana tidak dalam kondisi untuk menolak gairahnya.
Tubuh
Mikail sudah menindih Lana, dan perempuan itu menggodanya dengan pinggulnya
yang menggeliat dan mengundang. Mikail menyangga tubuhnya dengan siku, menjaga
agar dadanya yang keras tidak menindih tubuh Lana. Mikail menunduk dan
mencicipi bibir Lana yang begitu menggoda dan menggairahkan, bibir itu begitu
manis dan menggoda,
“Tenang
sayang, aku mungkin akan menyakitimu,” Mikail menahan pinggul Lana dengan
tangannya, karena pinggul itu bergerak-gerak mendesaknya dengan mengundang.
Lana sudah sepenuhnya ada di bawah pengaruh obat itu, “Tapi aku berjanji,
setelah rasa sakit itu, kau akan merasakan kenikmatan”
Detik
itu juga Mikail mendesakkan dirinya ke dalam tubuh Lana. Hati-Hati. Mikail
menggertakkan giginya, mencoba menahan gairahnya yang begitu kuat, mencoba
meredakan dorongan untuk menerjang dan menenggelamkan tubuhnya dalam-dalam ke
dasar balutan sutera panas milik Lana.
Hati-hati,
perempuan ini masih perawan. Mikail mencoba mengingatkan dirinya lagi.
Penghalang itu ada, seolah mencoba menahan Mikail memasukinya, dan Mikail mendesak
maju, mengklaim apa yang menjadi miliknya.
Lana
adalah miliknya!
*episode ini adalah awal dari erotisme novel ini. aq suka karakter lana pada novel ini yang digambarkan sebagai gadis keras kepala, tetapi sangat lembut.
*episode ini adalah awal dari erotisme novel ini. aq suka karakter lana pada novel ini yang digambarkan sebagai gadis keras kepala, tetapi sangat lembut.
***
No comments:
Post a Comment