UNFORGIVEN HERO - BAB 98
“Lihat,
Alfred menggila, dia
memasak begitu banyak kue untuk sarapan.” Rafael mengoleskan
mentega lembut ke permukaan muffin panas, membuatnya meleleh dan berkilauan dengan
aroma manis yang harum ke seluruh penjuru dapur.
Alfred yang sedang mengaduk sesuatu di dalam panci hanya tersenyum
mencela dan melanjutkan kegiatan memasaknya. Mereka sarapan di dapur yang menghadap
ke timur, tempat sinar matahari pagi langsung masuk dan menghangatkan mereka.
Menu sarapan mereka
luar biasa. Muffin madu, biskuit
kacang dan kelapa, telur orak-arik yang rasanya fantastis dan satu loyang besar
pie apel hangat yang baru dikeluarkan dari oven. Memang benar kata Rafael, Alfted
menggila dalam memasak. Sepertinya dia terlalu senang karena tuannya datang, dan
akhirnya ada yang bisa dia buatkan masakan istimewa.
Pagi ini seindah pagi-pagi yang lain. Elena sampai tidak sadar
bahwa mereka sudah melewatkan beberapa hari di pulau indah ini. Berbulan madu,
begitu kata orang-orang. Dan memang itulah yang terjadi. Mereka benar-benar
bersenang- senang sepanjang hari, makan, mengobrol, membaca, bercanda, dan
bercinta dengan begitu panas di malam harinya.
Pipi Elena memerah, mengingat malam-malam panas
mereka. Rafael benar-benar
lelaki yang sangat
bergairah. Di pagi hari, saat
mereka sudah bercinta semalaman, lelaki itu masih bangun dengan
kejantanan mengeras dan mereka bercinta lagi. Seperti kata Rafael kepadanya
dulu, lelaki itu memang selalu bergairah kepadanya.
“Alfred tampaknya sedang memasak besar hari ini.” Elena
berbisik pelan sambil melirik ke arah Alfred yang tampak sibuk.
Rafael tersenyum simpul, “Memang, aku memintanya untuk
menyiapkan makanan kita untuk seharian.”
“Seharian?” Elena mengernyit. Alfred biasanya selalu ada setiap saat di rumah
ini. Begitu juga dengan para
pelayan lainnya. Mereka selalu ada untuk mempersiapkan seluruh kebutuhan
mereka, setiap saat.
“Aku meliburkan semua
pelayan mulai
nanti siang sampai besok pagi
mereka baru kembali. Alfred juga. Karena itu Alfred memasakkan kita makan siang
dan makan malam untuk dihangatkan nanti malam.”
“”Kenapa kau meliburkan semua pelayan?”
Rafael tersenyum nakal,
lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Elena
dan berbisik menggoda, “Karena aku ingin hari ini kita di rumah seharian, hanya
berdua.”
PIpi Elena memerah. Apa sebenarnya yang direncanakan oleh
Rafael?
Ҩ
Rumah benar-benar benar sepi ketika para pelayan tidak ada
di rumah, biasanya setiap saat Elena akan berpapasan dengan para pelayan yang
lalu lalang mengerjakan sesuatu di rumah
ini. Sekarang suasana
hening, tidak ada
suara percakapan di lorong,
kesibukan di dapur
maupun suara langkah kaki
orang-orang yang lewat.
Elena dan Rafael menghabiskan hari itu dengan di perpustakaan. Rafael
mengatakan akan menyelesaikan beberapa perkerjaan
sedangkan Elena memilih
untuk membaca. Perpustakaan di rumah pantai itu cukup lengkap, dengan berbagai
bacaan ringan di sana, koleksi
milik ayah Rafael. Sepertinya
ayah Rafael benar-benar berniat untuk bersantai ketika mengisi buku-buku untuk perpustakaan
ini.
Tanpa sadar hari
sudah siang ketika Rafael mengangkat kepalanya dan bergumam, mengalihkan
Elena dari bacaannya yang menarik.
“Aku lapar.”
Elena menutup bukunya dan tersenyum lembut, “Aku akan menyiapkan
makanan.”
Alfred telah menyiapkan semuanya dan memberitahu Elena cara
menghangatkan makanannya. Elena mencampur salad
dengan udang dan saus alpukat
yang telah disediakan oleh Alfred, lalu menghangatkan daging
saus manis yang sudah disiapkan Alfred di panci.
Ketika Elena sedang menuang kotak-kotak es batu ke dalam pitcher
berisi es teh manis. Rafael datang ke dapur dan tersenyum. Dia mengendus ruangan
dan mendekati Elena dengan menggoda,
“Aku bisa memperkerjakanmu sebagai koki pribadiku. Baunya
harum, seharum masakan Alfred.”
Elena tertawa, “Alfred memang yang memasak semuanya, aku
hanya mempersiapkannya.” Dengan cekatan dia mengaduk saus manis untuk daging di
panci.
Rafael mendekat dan memeluknya dari belakang dengan
mesra. Mengecup Elena dengan menggoda.
“Hentikan Rafael Alexander. Atau kau akan terciprat kuah
yang sedang mendidih ini.” Elena mengingatkan Rafael, tetapi tidak ada penolakan dari tubuhnya.
Rafael melingkarkan lengannya makin erat, jamarinya bergerak
menggoda, mengusap puncak payudara Elena sambil lalu. Membuat Elena mengerang,
Kuah itu telah mendidih, dan Elena mematikannya.
“Rafael mengajak Elena mundur
dari kompor, masih memeluknya, dia bersandar di meja dapur dan membawa
Elena yang masih di peluknya dari belakang. “Kita bisa telanjang seharian di
rumah, karena tidak ada orang lain di sini.:”
“Rafael!” Elena berseru dengan pipi memerah malu, membuat
Rafael tertawa dan mengecupi leher Elena
penuh gairah.
“Atau kita bisa bercinta di atas meja
dapur.” Rafael setengah menggigit leher
Elena, meninggalkan bekas kecil kemerahan di
sana. Seperti pejantan yang menandai betinanya. Jemarinya meraba lembut
payudara
Elena dan
meremasnya
dari belakang. “Bagaimana menurutmu?”
“Jadi ini yang
ada di benakmu
ketika meliburkan
semua pelayan?” Elena berbisik lirih, untuk kemudian membiarkan bibirnya dilumat oleh
Rafael dengan penuh gairah. Lelaki itu duduk di atas meja
dapur, lalu mendongakkan kepala Elena
ke belakang,
dia
lalu menunduk ke atas
Elena dan melumat bibirnya, dengan cara terbalik.
Menciptakan
sensasi yang
berbeda. Membuat dia bisa
mencecap, dan merasakan
bibir Elena dengan cara yang lebih sensual.
Tubuh Elena melemas
akibat ciuman
itu sehingga Rafael harus menopangnya, dia
bersandar sepenuhnya di
tubuh Rafael, dan merasakan kejantanan Rafael mulai mengeras,
menekan tubuh belakangnya. Dengan lembut, Rafael kemudian
membalikkan tubuh Elena dan beranjak turun dari meja
dapur. Dia mengangkat tubuh Elena hingga terduduk
di atas
meja dapur itu. Dikecupnya dahi Elena lembut, hidungnya, pipinya dan kemudian kembali ke bibirnya lagi.
Setiap kecupan Rafael membuat tubuh Elena
panas membara. Lelaki itu lalu membuka kemeja Elena dan menurunkannya, payudara Elena yang tidak terlindungi bra –
karena Rafael melarangnya mengenakannya setelah para pelayan pergi tadi – terpampang indah di depan Rafael.
Lelaki
itu memuja payudaranya. Mengelusnya lembut, mengusap ujung putingnya dengan penuh gairah hingga mengeras dan
siap di tangannya. Lalu setelah puting itu memenuhi keinginannya, Rafael mengecupnya lembut,
dan menjilatnya dengan menggoda. Membuat Elena
mengerang, merindukan hisapan Rafael di putingnya yang membuatnya melayang. Lelaki itu tidak membuat Elena menunggu lama,
disesapnya payudara Elena
dengan penuh pemujaan, membuat tubuh Elena lemas dan terbaring di atas meja
dapur itu, dengan kaki menjuntai ke bawah.
Posisi Rafael sangat pas, karena tubuhnya tinggi, meja dapur itu pas setinggi pinggangnya. Dan sekarang dihadapannya, isterinya terbaring dengan kaki menjuntai ke bawah,
pahanya terbuka, siap menerimanya.
Rafael menurunkan celana dalam Elena, dan
membukanya. Lalu dengan penuh gairah, tanpa
peringatan apapun, karena Rafael tahu Elena
sudah
sangat siap untuknya. Rafael segera melepaskan celananya dan menyatukan tubuhnya ke
dalam kelembutan yang panas dan basah, yang
sudah siap untuk menerimanya.
Kaki Elena langsung melingkar di
pinggang Rafael. Kemudian, ketika
gerakan
Rafael
makin
cepat dan bergairah, dia berdiri dan menumpukan tangannya di tepi meja dapur, membuat Elena terbaring di
sana penuh gairah, menerima
desakan-desakan Rafael jauh di
dalam tubuhnya yang menimbulkan gelenyar panas tak tertahankan. Rafael lalu mengangkat
kaki Elena yang semula melingkari
pinggangnya dan mengangkatnya ke pundaknya. Posisi itu membuatnya semakin
mudah
bergerak, menemukan titik-titik kenikmatan
Elena yang ada jauh di dalam kelembutan kewanitaannya, dan membawa Elena langsung ke puncaknya.
“Kau sungguh nikmat Elena...” Rafael berucap di
antara napasnya yang
memburu, “Apakah aku
nikmat untukmu Elena?”
Elena
mencoba menjawab. Tetapi sensasi itu sungguh menguasai tubuhnya, membuatnya semakin tersengal dan larut dalam kenikmatannya.
“Jawab aku Elena....”
Rafael tak mau menyerah,
“Apakah aku nikmat untukmu?”
Elena
mengulurkan tangannya, menyentuh pipi
Rafael yang membungkuk di dekatnya, “Kau... sangat....” suaranya
tertelan oleh
napas memburu dan erangan tertahan karena dorongan Rafael yang bergairah, susah payah dia mencoba berkata, “Kau.... sangat nikmat... untukku...”
Rafael menatap Elena dengan
rasa memiliki
yang dalam, “Kalau begitu,
mari
kita saling menikmati.” Gerakannya menjadi semakin cepat,
semakin bergairah, semakin tak tertahankan, “Ayo Elena, nikmati aku... puaskan dirimu...” Rafael berbisik
parau, membimbing
Elena ke dalam pusaran gairah. Sehingga dia mencapai puncaknya dengan begitu cepat. Mencengkeram Rafael dalam kenikmatan orgasmenya, dan merasakan lelaki itu orgasme bersamanya, di dalamnya.
Ҩ
“Tadi
sungguh luar biasa.”
Rafael tersenyum sambil menyuapkan suapan terakhir makan siangnya
ke mulutnya.
Mereka akhirnya makan siang menjelang sore, karena
Rafael memutuskan mereka harus melanjutkan
beberapa lagi sesi bercinta di dapur sebelum makan. Lelaki itu sungguh memiliki
fantasi yang gila dalam bercinta. Pipi Elena memerah mendengar godaan Rafael.
Lelaki ini sudah berhasil mengubahnya dari perempuan pemalu yang tidak tahu
apa-apa, menjadi perempuan sensual yang selalu merespon setiap rangsangan yang diberikan
Rafael dengan luar biasa.
Tetapi Elena menikmatinya. Dia sangat beruntung. Ada
pasangan-pasangan yang tidak diberkahi kenikmatan di atas tempat tidur. Dan
Elena diberkahi suami yang luar biasa nikmat di atas tempat tidur. Rafael
selalu memuaskan Elena, menunggu Elena siap menerimanya, dan mengantarkan Elena sampai ke titik terdekat orgasmenya sebelum
kemudian mencapai orgasmenya sendiri.
“Ya Rafael. Tadi memang
luar biasa.” Elena akhirnya mengakuinya kepada Rafael, membuat Rafael
tersenyum bahagia.
Selesai makan, Rafael mengajak Elena berjalan-jalan ke pantai
pribadi mereka. Malam sudah menjelang dan lelaki itu memakaikan salah satu
jaketnya pada Elena, membuat Elena memakai jaket yang kebesaran di tubuhnya.
Tetapi Elena berterimakasih kepada Rafael karena melakukannya. Udara malam
cukup dingin malam ini.
Langit yang gelap memayungi mereka, bertaburan bintang berkelap-kelip yang
indah. Rafael mengajak
Elena berdiri di tepi pantai dan menatap ombak,
“Aku dulu bukan
orang yang baik,
aku menyakiti banyak orang dan
membuat mereka kecewa.” Rafael bergumam pelan, tatapannya menerawang jauh, “Tetapi
kemudian ada sebuah peristiwa yang menghantamku. Dan membuat aku berbalik
arah.”
Peristiwa apa? Elena mengernyit dan menatap Rafael, ingin
bertanya. Tetapi lelaki itu berdiri di sebelahnya dengan tatapan menerawang,
seolah sedang larut
ke dalam masa lalunya, sehingga Elena kembali diam,
menatap laut dan mendengarkan.
“Aku berubah menjadi lebih baik, berusaha menjadi lebih baik.
Dan aku benar-benar sudah menjadi baik ketika aku bertemu kau.”
Rafael menghela tubuh Elena ke arahnya, dan mereka berhadap-hadapan, “Sejak aku
mencintaimu.”
Dipeluknya
Elena erat-erat. Beberapa
hari ini dia sangat bahagia, Tertawa bersama Elena,
menghabiskan setiap menit bersama perempuan
itu, dan tidak pernah merasa bosan. Kebahagiaan itu menyelipkan seberkas rasa takut
di benak Rafael, setiap dia menatap
Elena yang tersenyum kepadanya, tanpa
dapat ditahannya pertanyaan-pertanyaan
selalu muncul di benaknya, Bagaimana kalau Elena tahu kenyataan yang sebenarnya?
Apakah Elena mau tersenyum lagi kepadanya? Apakah Elena akan meninggalkannya?
Rafael takut menghadapi itu semua. Membayangkan kalau
Elena pada akhirnya mengetahui semua itu secara tidak sengaja. Mungkin
Elena melihat berita
di masa
lalu, atau bertemu dengan
orang di masa
lalu yang kebetulan
tahu tentang kecelakaan itu
dan masih mengingat
Rafael, atau banyak kejadian lainnya
yang bisa membuat Elena tahu. Jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Rafael
sangat ingin menahan Elena di pulau ini. Jauh
dari kehidupan luar, berbahagia di dalam surga mereka sendiri tanpa ada
gangguan dari pihak manapun. Tetapi tentu saja itu tidak mungkin. Mereka mau
tidak mau harus kembali ke dunia nyata. Dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.
Rafael harus bersiap menghadapi yang terburuk setiap saat.
Apakah Elena akan menuduhnya sebagai pembohong besar? Membangun pernikahan mereka
di atas sebuah kebohongan?
Apakah dia harus memberitahu Elena sekarang? Tidak. Ini
bukan saat yang tepat. Mereka begitu berbahagia sekarang. Saat-saat ini terlalu
berharga untuk dinodai oleh kebencian di masa lalu.
Rafael menelan
ludahnya dan mengangkat dagu
Elena, agar menatapnya, “Berjanjilah
untuk tidak meninggalkan aku, apapun yang
akan terjadi nanti.”
Lelaki itu tampak bingung. Elena membatin. Kenapa Rafael
tampak begitu bingung? Apa yang sebenarnya berkecamuk di dalam hati lelaki itu?
“Berjanjilah Elena.” Suara Rafael mendesak, dipenuhi oleh
kebutuhan.
Elena menyentuhkan jemarinya dengan lembut di alis
Rafael yang berkerut, mencoba menenangkan
suaminya, “Aku berjanji Rafael.”
Suaminya
mendesah lega, dan memeluknya
era-erat. Mereka berpelukan diiringi
deburan ombak dan
taburan bintang.
Ҩ
“Kau harus mengatakan kepadaku.” Lagi-lagi Edo
menghalangi jalan Alice di lobi apartemennya.
Alice menatap Edo dengan jengkel. Beberapa hari ini Edo
sangat mengganggunya, Lelaki itu muncul di mana saja, berusaha mengorek-orek rahasia
yang mungkin disembunyikan oleh Alice,
“Aku bisa
menyuruh polisi menangkapmu
kalau kau terus menguntit dan
menggangguku seperti ini.”
“Tidak perlu sampai seperti itu.” Edo menarik napas frustasi,
“Aku cuma butuh jawaban.”
“Bukankah aku sudah menjawabmu? Kau berkali-kali bertanya
kenapa aku merayumu malam itu. Aku sudah menjawab, mungkin karena aku sedang ingin
bercinta! Titik! Itu saja jawabanku. Tetapi
kau masih terus-menerus menggangguku. Sebenarnya kau ingin
jawaban apa?”
“Karena jawabanmu bohong.”
Edo menatap Alice tajam, “Katakan padaku yang sebenarnya
Alice, atau aku akan terus mengganggumu.”
“Baiklah!”, Alice setengah menjerit, tak tahan lagi.
“Aku merayumu karena Raf... maksudku Alex yang menyuruhku. Dia ingin membuat
Elena memergokimu sedang
bercinta denganku!”
“Kenapa Mr. Alex ingin kau melakukan itu Alice? Apa yang
dia inginkan dari Elena?”
Alice mengerang.
Edo tidak akan berhenti mengorek informasi, dan dia tanpa sengaja telah
membocorkan informasi penting kepada lelaki ini. Ya ampun. Rafael akan amat
sangat marah kepadanya.
“Aku tidak tahu. Dia memintaku dan aku melakukannya. Aku tidak bertanya apa tujuannya
dan kenapa. Kalau kau memang ingin tahu, tanyakan pada Mr. Alex sendiri.” Alice
mengibaskan rambutnya dan membalikkan tubuhnya, kemudian berhenti
dan menatap Edo
penuh peringatan, “Jangan
menggangguku lagi Edo. Atau aku akan melaporkanmu kepada polisi
atas perbuatan tidak
menyenangkan, dan aku tidak main-main.” Serunya sebelum melangkah
pergi, meninggalkan Edo termenung di sana.
Dahi Edo berkerut memikirkan jawaban Alice. Jantungnya berdegup
kencang. Jadi benar semua dugaannya. Semua
ini sudah direncanakan
oleh Mr. Alex.
Lelaki itu dari awal mungkin sudah mengincar Elena dan
berniat menyingkirkannya, meskipun dengan cara yang licik. Edo menggertakkan
giginya. Dia telah dijebak dan dipermalukan di depan Elena, tanpa kesempatan untuk
membela diri. Kemudian Elena mencampakkannya begitu saja untuk menikahi Mr.
Alex.
Edo tidak akan tinggal diam.
Dia akan membalas, ketika waktunya sudah tepat nanti.
Ҩ
“Aku ingin kau segera hamil.” Rafael tersenyum sambil
mengusap perut Elena.
Mereka sedang berbaring
di atas ranjang, bersiap
untuk tidur setelah percintaan mereka
yang panas dan bergelora. Tubuh mereka telanjang di balik selimut, saling
memeluk erat.
Elena yang sudah setengah tertidur di pelukan Rafael
langsung terjaga mendengarnya. Hamil, mengandung anak Rafael. Pikiran itu terasa
begitu menyenangkan untuknya. Memiliki
anak-anak dari Rafael,
yang tampan dan
eksotis dengan rambut gelap dan mata berkilauan, pasti amat sangat
membahagiakan.
“Apakah kau mau mengandung anak-anakku?”
“Tentu saja Rafael.” Elena tersenyum dan mendongakkan kepalanya,
menatap Rafael lembut, “Kau kan suamiku.
Pikirmu aku akan
mengandung anak siapa
kalau bukan dirimu?”
Rafael tertawa, tawa yang dalam dan terdengar seksi di telinga,
mengalun lembut, “Kalau begitu kita harus giat mengusahakannya.”
Elena mengangkat alisnya, “Kau melakukannya pagi, siang,
sore, dan malam... kurang giat apalagi?”
Tawa Rafael memenuhi ruangan. Dia memeluk Elena
dengan lembut, berdoa semoga kebahagiaan ini tidak pernah berakhir.
Ҩ
Seluruh pelayan sudah kembali ke rumah pagi ini dan kegiatan berlangsung
seperti biasa. Elena
sedang di dapur belajar
membuat kue kelapa
bersama Alfred. Ketika
suara ribut-ribut terdengar dari lorong, yang mau tak mau terdengar
sampai ke dapur. Itu suara Rafael, lelaki itu sedang mengumpat- umpat di telepon.
Mengumpat-umpat?
“Bagaimana mungkin dia bisa lolos? Ini pulau pribadi. Tidak sembarang
orang bisa kemari.”
Kemarahan tercermin jelas dalam
suara laki-laki itu.
Suara di seberang telepon menjawab, tampak mencoba
menjelaskan dengan panik. Tetapi kemudian Rafael memotongnya dengan tajam.
“Sudah. Kita bicarakan keteledoran yang dibuat anak buahmu
nanti. Kau yang harus menanggung ini semua. Nanti. Begitu aku selesai membereskan
masalah ini.” Lalu Rafael menutup telepon dengan kasar. Membuat Elena merasa
kasihan pada siapapun yang menjadi lawan bicara Rafael di telepon.
Beberapa detik kemudian
pintu dapur terbuka,
dan Rafael masuk dengan wajah serius.
“Elena.” Rafael memanggil dari ujung dapur. Membuat
Elena yang sedang bertaburan tepung dan membantu Alfred membentuk kue di cetakan
menoleh,
“Ya Rafael?”
“Kemari, aku ingin bicara.”
Rafael tidak pernah sekaku ini ketika berbicara kepadanya,
membuat Elena mengerutkan keningnya. Apakah lelaki itu sedang marah. Kepada siapa?
Kepadanyakah?
Dengan hati-hati dia melangkah keluar dapur, mengikuti
Rafael ke arah teras samping. Rafael berdiri di sana, mondar-mandir dengan wajah
gusar.
“Ada apa Rafael?”
Lelaki itu melangkah mendekati Elena dan merengkuh kedua
bahunya, membuat Elena dekat dengannya.
“Anak buahku mengacau. Kita akan kedatangan tamu. Bukan tamu
yang menyenangkan, tetapi kita terpaksa menampungnya beberapa hari demi kesopanan.
Aku harap kau mengerti.”
Elena menganggukkan kepala. Sedikit lega mendengar perkataan
Rafael, Jadi hanya karena masalah itu? Seorang tamu, meskipun terasa aneh karena datang di bulan madu mereka, tampaknya tidak menjadi masalah besar.
Elena pasti bisa menghadapinya. Kalau begitu kenapa Rafael masih tampak begitu
gusar?
Rafael yang masih
mencengkeram kedua bahu Elena mendesah kesal.
“Dia bukan tamu biasa. Dia mungkin datang untuk
mengacau, seperti yang Victoria ramalkan.
Aku minta maaf Elena, aku tidak
menyangka dia akan seberani itu, menyusulku kemari.”
“Siapa Rafael?” Elena berubah waspada, karena Rafael tampak
begitu serius tentang tamu yang satu ini.
Rafael menatap Elena pahit. “Dia mantan kekasihku Elena.
Anak buahku mengatakan dia tidak bisa mencegah kedatangannya kemari. Sekarang dia
sedang dalam perjalanan dengan perahu boat kemari. Maafkan aku.”
Ҩ
Memikirkan bahwa Rafael mempunyai mantan kekasih sebelumnya,
yang tentunya juga berbagi hal-hal intim bersama lelaki itu sungguh membuat
semuanya terasa aneh.
Seharusnya
Elena siap. Donita
dulu pernah mengatakan kepadanya bahwa
Rafael pernah punya beberapa kekasih yang berhubungan dengannya tanpa status.
Elena mungkin bisa melupakan
itu semua kalau
situasinya tidak seperti ini.
Seorang mantan kekasih yang nekad tampaknya bertekad merebut Rafael kembali.
Dan Elena harus menghadapinya.
Astaga. Kenapa dia ada di dalam situasi
begini? Apa yang harus
dia lakukan? Dengan
bingung Elena memencet nomor ponsel
Donita. Dalam deringan
kedua ponsel itu diangkat, “Ada apa Elena? Apakah kau
sudah pulang dari bulan madumu?”
“Bukan Donita. Aku ingin menanyakan sesuatu.”
‘Tentang apa?”
“Tentang mantan kekasih Rafael.”
Sejenak Donita tertegun di seberang sana, lalu bergumam
ragu. “Well sayang, menurutku ketika kita sudah menikah dengan seseorang, tidak
perlu mengungkit-ngungkit masa lalu, apalagi mencari informasi tentang mantan
pacar pasangan kita...”
“Bukan begitu Donita. Aku bukannya ingin menyelidiki
masa lalu Rafael.
Aku hanya ingin
tahu apa yang
harus kuhadapi. Mantan kekasih Rafael.. entah yang mana tampaknya tidak terima
dengan pernikahan ini, dan entah dengan jalan cerdik apa berhasil menyusul ke
pulau ini... dia sedang dalam perjalanan kemari, dan sebentar lagi sampai.”
“Apa?” Donita memekik
marah, “Siapa perempuan tidak tahu malu itu?”
“Kata Rafael, namanya Luna.”
“Luna.. oh Astaga.” Suara Donita tertelan di seberang sana.
Elena mengernyitkan kening,
tiba-tiba diserang perasaan buruk karena kediaman
Donita, “Ada apa
Donita? Kenapa kau terdiam?”
“Karena mantan pacar yang kau hadapi adalah musuh yang
paling berat.” Donita menghela napas panjang, “Luna bisa dikatakan kekasih
permanen Mr. Alex,
dia selalu kembali kepada perempuan itu. Luna adalah
perempuan keras yang mandiri, tampak tidak
butuh laki-laki, dan
hubungannya dengan Mr. Alex
hanya demi kenikmatan
semata. Tetapi sepertinya dia tidak rela
Mr. Alex menjadi
milik perempuan lain, karena
dia terbiasa memiliki
Mr. Alex untuk
dirinya sendiri. “ Donita menghela napas panjang, “Dia sangat pandai
mengintimidasi lawannya. Hati-hati Elena. Jangan sampai kau tertekan
di bawah auranya.”
Elena mendesah ketika pembicaraannya dengan Donita berakhir. Ternyata
mantan pacar Rafael
yang akan datang kemari adalah yang paling hebat di antara
semuanya. Jantung Elena berdetak penuh antisipasi. Menanti apa yang akan
terjadi nanti.
Ҩ
Ketika perempuan itu memasuki rumah, dengan koper- kopernya
dibawa oleh para pelayan, Elena yang berdiri di belakang Rafael
merasa bahwa mimpi buruknya
benar-benar datang. Bagaimana mungkin dia bisa menghadapi perempuan ini? Dia bagaikan dewi yang datang
dari surga. Keseluruhan dirinya
sangat sempurna. Dari
caranya berpakaian yang berkelas, tubuh
sempurnanya yang indah,
bentuk wajahnya yang klasik dan
sensual, dibingkai oleh rambut panjang indah berkilauan. Bahkan bentuk alisnyapun
sempurna. Elena mengamati diam-diam dan merasa letih tiba-tiba.
“Kenapa kau datang
kemari Luna?” Rafael
yang menyapa Luna duluan, sikapnya waspada dan tidak bersahabat.
Luna menatap
Rafael dan tersenyum manis, “Kenapa kau tidak kemari dan memelukku
seperti biasanya Rafael? Aku rindu pelukanmu.” Suara Luna terdengar rendah dan
seksi. ‘Dan kenapa aku kemari? Itu karena aku merindukanmu. Aku pulang
dari luar negeri
dan menunggu panggilanmu.
Biasanya kau akan menghubungi dan
menemuiku, aku sudah tak sabar melewatkan waktu berdua denganmu. Tetapi kau
tidak mengunjungiku. Lalu kudengar kau sedang ada di pulau ini, jadi aku
menyusulmu kemari.”
Luna sudah jelas menyadari kehadiran Elena di belakang Rafael,
tetapi hal itu tidak membuatnya
menahan kata-kata vulgar dan penuh rayuannya kepada Rafael. Apakah Luna tidak
tahu bahwa Rafael dan Elena sudah menikah? Elena menghela napas dan mengalihkan
pandangan kepada Rafael. Suaminya itu tampak tidak suka dengan kata-kata Luna.
Lelaki itu mundur, seolah menjaga Elena dari sambaran Luna,
“Aku sedang berbulan madu, Luna. Dengan istriku.” “Oh?”
Luna tampak tidak kaget. Berarti perempuan itu
sudah tahu bahwa Elena adalah isteri Rafael, betapa
kejamnya dia mengucapkan kalimat
penuh rayuan tadi kalau begitu. “Tidak masalah
untukku.” Suara Luna terdengar
manis, “Aku ingin bertemu
denganmu Rafael, bukan
dengan istrimu.” Dengan langkah
anggun dia mendekat dan berdiri di depan Rafael
dan Elena. Matanya
dengan sengaja menelusuri
Elena dari atas ke bawah. Elena tentu saja tidak sama dengan Luna, dia tidak
mengenakan baju rancangan desainer ternama, hanya mengenakan kemeja longgar berwarna
putih dan celana jeans yang sudah memudar warnanya.
Senyum Luna kemudian lebih seperti senyuman mencemooh,
“Elena bukan nama isterimu.” Luna tersenyum manis kepada Rafael, seolah tidak
menganggap Elena ada, “Aku ingat saat-saat manisku ketika aku mendengar nama
Elena.” Senyum Luna tampak penuh arti dan tatapannya menggoda penuh rahasia, yang
seketika itu juga membuat wajah
Rafael merah padam karena marah.
Luna tertawa ketika melihat reaksi kemarahan Rafael yang
diharapkannya karena sindirannya, dia mengedikkan bahunya ke arah tangga, “Kuharap
pelayan bisa menunjukkan di mana kamar tamunya, aku lelah karena perjalanan
ini. Mungkin aku akan istirahat dan tidur
sejenak.” Dengan nakal dikedipkannya matanya kepada Rafael, “Meskipun aku tidak
akan menolak kunjungan singkat di siang hari seperti yang biasanya kau lakukan dulu
Rafael.” Luna membalikkan tubuhnya dan
melangkah anggun. Meninggalkan
Rafael dan Elena yang membeku di
dalam keheningan. Keheningan tidak mengenakkan yang menyesakkan dada.
No comments:
Post a Comment