BAB
14
“Aku
masih punya satu syarat lagi,” Lana tanpa sadar melangkah menjauhi Mikail, “Aku
ingin tinggal di kamar putih yang dulu… kau.. eh bisa mengunjungiku kalau kau perlu
sesuatu…”
“Cukup!
Sekarang giliranku memberikan pengaturan untuk pernikahan kita!,” kesabaran
Mikail tampaknya sudah habis, lelaki itu meraih pinggang Lana dan merapatkan di
tubuhnya membuat Lana merasakan tubuh Mikail yang mengeras di sana, “Kau rasakan
itu?,” Mikail menatap Lana, marah sekaligus bergairah, “Aku berniat untuk menjadikanmu
isteriku yang sesungguhnya. Bukan kekasih yang kukunjungi jika aku perlu bercinta,”
Jemari Mikail menuruni sisi lengan Lana dengan sensual dan kemudian berhenti di
sisi payudaranya, meremasnya lembut, “Dan jika kita melakukan itu, kita tidak
akan tidur di kamar yang terpisah!”
Hening.
“Kenapa?
Kau tidak suka dengan syarat dariku?,” Mikail terus menahan payudara Lana
dengan posesif. Lana adalah isterinya, sekarang dia harus menerima seluruh
dirinya, tidak lagi berusaha menentangnya sekehendak hatinya. Pilihannya adalah
mereka suami isteri atau tidak sama sekali, “Jika kau tidak menyukainya, lebih baik
kita berhenti di sini sekarang juga,” sambil berusaha menahan keposesifannya,
Mikail memperlembut tuntutannya, “Malam ini cukup sampai di sini kalau kau tidak
siap”
Satu-satunya
yang mendesak saat ini adalah tubuhnya yang berhasrat, tetapi Mikail masih mampu
mengendalikannya jika Lana tidak mau melanjutkan. Perempuan ini telah menunjukkan
keberanian besar dengan mengemukakan persyaratannya di depan Mikail dan Mikail menghargainya,
dan karena itu ia bersedia memberikan waktu sebanyak yang diinginkan Lana.
Lana
hanya terdiam di sana, menatap Mikail dengan tatapan kosong. Astaga, apa sebenarnya
yang ada di dalam kepala mungil itu? Lana pasti sudah larut dalam persepsi dan
pemikirannya sendiri. Apalagi setelah dia mengetahui kisah tentang Natasha.
Mikail
sendiri tidak bisa menjelaskan perasaannya. Memang pada mulanya, dia menginginkan
Lana karena kemiripannya dengan Natasha. Tetapi sekarang, dia merasa Tuhan telah
memberikannya kesempatan kedua, dalam wujud perempuan yang sangat mirip dengan
Natasha. Tidak, dia tidak pernah membayangkan Natasha. Tidak lagi. Setelah
malam-malam kelam yang menghancurkan hati, yang dia lalui karena kematian Natasha
dulu, Natasha telah berubah menjadi bayang samar yang kadang hadir dalam bentuk
kenangan masa lalu yang indah. Mikail bahkan sudah berhasil tidak memikirkan
Natasha lagi sejak bertahun-tahun lalu.
Lana
terasa… berbeda… tetapi bagaimana dia menjelaskannya kepada Lana? Perempuan itu
tidak akan percaya bahwa gairah yang meluap-luap ini memang murni untuk dirinya.
Mikail menyadari bahwa ia menginginkan pernikahan yang nyata, bersama Lana.
Lana
bagaikan malaikat yang menariknya dari kegelapan. Hatinya yang kelam telah tersentuh
secercah Matahari sejak kehadiran Lana. Dan Mikail tidak ingin melepaskannya.
“Baiklah,”
suara pelan terdengar dari bibir Lana, terdengar enggan seolah-olah Lana tidak
benar-benar setuju dengan dominasi Mikail dalam hubungan ini. Dan itu membuat Mikail
senang, seorang isteri yang selalu setuju dengan pendapat suaminya sama sekali
tidak menyenangkan. Di dalam
kehidupan
pernikahan yang nyata, terdapat banyak ketidaksepakatan, sebanyak kasih sayang,
tawa, maupun kesetiaan.
Mikail
tersenyum dan menatap Lana dengan penuh bergairah, “Apakah kau sudah siap untukku
Lana?,” jemari Mikail mengusap ujung payudara Lana dengan lembut. “Aku…..,” sekujur
tubuh Lana bergetar,
“Mungkin
aku perlu memeriksanya dulu,” Mikail meluncurkan sebelah tangannya dari payudara
Lana, mengusap perut Lana yang basah dan terus bergerak turun. Dan karena kaki
Mikail, entah sejak kapan, berada di antara kakinya, Lana tidak bisa menghalangi
niat Mikail kalaupun ia ingin.
Mikail
bergerak perlahan-lahan, memperhatikan isyarat sekecil apapun kalau-kalau Lana ingin
berhenti. Di luar dugaan, Lana tidak menolaknya, tubuh perempuan itu menyambutnya,
membuat Mikail harus menggertakkan gigi menahan hasratnya yang makin menggelegak.
Lana membiarkan jemari Mikail menyentuhnya. Tubuh Lana begitu lembut, dan ia
gemetar ketika Mikail menyentuh tubuhnya di bagian yang paling sensitif , berusaha
menemukan pusat dirinya. Ketika akhirnya menemukannya, Mikail menggerakkan
jemarinya dengan lembut. Hanya sekedar menggoda. Lana mengerang, tubuhnya bergetar
hebat. Tubuh Mikail sendiri sudah menegang putus asa.
“Ya,
kau memang sudah siap,” ucap Mikail sangat parau, Lalu mendorong Lana terbaring
di ranjangnya yang berseprai satin hitam.
Mikail
mengangkat kedua tangan Lana, meskipun Lana sedikit melawan. Sambil meletakkan kedua
tangan Lana ke atas kepalanya, Mikail bergerak menindih Lana. Lana menatap Mikail
dengan liar, teringat peristiwa yang mirip, ketika Mikail mengikat kedua tangan
Lana di atas kepala dengan dasinya, apakah Mikail akan mengikatnya lagi?
“Aku
tidak perlu mengikatmu sayang,” Mikail melepaskan tangan Lana dan mengecup bibirnya
penuh gairah, jemarinya menyentuh kembali payudara Lana, membuat seluruh tubuh Lana
menggelenyar,
“Mikail….,”
tubuh Lana bergetar karena gairah,
“Betul
sayang, ucapkan namaku,” Mikail bergeser turun dan menunduk, lalu mengulum puncak
payudara Lana dalam bibirnya yang panas.
Lana
mengerang setengah meronta, “Mikail… please… please…”
Erangan
itu membuat Mikail ingin menyerah kepada Lana. Tubuhnya sendiri sudah sangat
bergairah sampai terasa nyeri, Tetapi ia tahu betapa pentingnya mencumbu Lana sebelum
bercinta dengannya. Setelah bercinta nanti, ia pasti ingin mencicipi Lana, lagi
dan lagi dan dia ingin isterinya terus menginginkannya dengan hasrat yang sama
besarnya.
Mikail
menelusurkan tangannya ke bawah dan mengangkat pinggul Lana. Lana melingkarkan
kedua kakinya di tubuh Mikail, mendekap Mikail ke tubuhnya, membuka diri,
“Belum,
sayang,” Ketika Lana membuka bibirnya untuk memprotes, Mikail menciumnya.
Karena
bibir Lana telah terbuka, ciuman itu berlangsung dengan sangat sensual. Mikail
menggoda Lana dengan belaian dan jilatan lidahnya dan kemudian mencicipi bibir
Lana
dengan sedikit lebih dalam.
Kedua
tangan Lana mencengkeram rambut Mikail, untuk sejenak Lana tampak ragu, tetapi kemudian
lidahnya membalas, membelai bibir Mikail dengan malu-malu dan hatihati. Mikail
tidak dapat menahan diri lagi. Ia sudah berada di dalam tubuh Lana sebelum mereka
sempat menarik napas.
Lana
merapat, berusaha agar mereka menyatu lebih dalam lagi. Mikail menahan diri, meskipun
gairah membuat tubuhnya menegang,
“Cium
aku sayang, cium aku seperti kau menginginkanku untuk berada jauh di dalam dirimu,
di dalam tempat yang belum pernah didatangi oleh siapapun”
Lana
merespon dengan malu-malu tetapi tepat, tubuh Lana sedikit maju ke atas, lalu menangkup
wajah Mikail dengan kedua tangan dan menciumnya. Kelembutan sikap Lana mengguncang
Mikail, dan meruntuhkan segenap kendali dirinya.
Sambil
menjalin jemarinya dengan jemari Lana, Mikail mendesak lebih dalam. Api gairah berdesir
di dalam tubuhnya, mendesaknya untuk menandakan kepemilikannya pada diri Lana.
Sambil
menggertakkan gigi untuk melawan godaan melakukannya dengan cepat, Mikail bergerak
sedikit demi sedikit ke dalam tubuh Lana. Sebagian dirinya yang benarbenar
primitif menggeramkan kepemilikannya. Lana adalah miliknya. Selamanya. Hanya dirinya
yang boleh memiliki Lana.
Mikail
meraih bibir Lana dengan ciuman rakus, dan bergerak kembali dengan kekuatan penuh,
bagi Lana kenikmatan yang dirasakannya tak terlukiskan. Sementara bibir mereka
bertautan, sebelah tangan Mikail kembali bergerak ke payudara Lana, membelainya.
Lana hampir kehilangan kewarasannya akibat cumbuan itu dan dia berusaha menahan
dirinya,
“Lepaskan
sayang, jangan menahan diri lagi,” Mikail seolah mengerti apa yang dirasakan
Lana, permintaan panas itu dibisikkan ke mulut Lana yang nyaris tenggelam dalam
hasrat gairahnya.
Dan
ketika jemari Mikail menyentuh sekujur tubuhnya, Lana menyerahkan dirinya. Tubuhnya
mendesak di tubuh Mikail sementara gelombang kepuasan mendera tubuhnya.
Orgasme
Lana menggiring Mikail hingga ke ambang batas kesadarannya, ia mulai mempercepat
iramanya dan merasakan dirinya meledak, di dalam tubuh Lana. Terbenam dalam puncak
kepuasannya.
***
Kehidupan
perkawinan mereka berlangsung seperti yang seharusnya. Setiap malam Mikail selalu
menyentuhnya, gairahnya seperti tak pernah habis. Tetapi hanya itulah saat mereka
bisa dekat. Lana mengernyit menyadari bahwa dia hanya bisa dekat dengan suaminya
ketika mereka bercinta. Mikail memang berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dia
tidak pernah kasar dan memaksakan kehendaknya lagi.
Lelaki
itu hanya mengangkat alisnya ketika Lana mulai membantah kata-katanya, kemudian
melangkah pergi. Memilih menghindari konfrontasi.
Pernikahan
mereka sudah berlangsung hampir dua bulan dan Lana masih merasakan ada yang mengganjal
di hatinya. Oh ya, dia menyadari bahwa landasan pernikahan ini sudah salah dari
awal. Hanya berlandaskan kontrak kerja yang dilapisi hasrat. Belum lagi alasan yang
tidak mau diakui Mikail, bahkan sampai sekarang ini : bahwa Lana hanyalah
pengganti Natasha.
Lana
tidak pernah lagi mengunjungi sayap rumah yang menyimpan lukisan Natasha itu,
dan Norman bahkan sudah tidak pernah menyinggung tentang isteri pertama Mikail
lagi. Lana curiga bahwa Mikail melarang Norman dan semua orang di rumah ini
membahasnya.
Karena
Mikail sendiripun tampak tak pernah menjelaskannya, Lana menjadi semakin bingung.
Akan seperti apakah pernikahan ini nantinya? Salahkah ia ketika menerima lamaran
Mikail waktu itu? Dan satu lagi pertanyaan yang mulai mengusik hatinya, apakah
ia mencintai Mikail?
Semakin
Lana mencoba memikirkannya, semakin kepalanya terasa sakit. Ah, dia memang sering
merasa pusing akhirakhir ini, pusing yang aneh karena timbul tenggelam tanpa tahu
waktu.
“Lana?,”
Mikail tiba-tiba sudah ada di depannya, “Kau kenapa?,” Lelaki itu mengernyit melihat
Lana yang berjalan terhuyung-huyung sambil berpegangan di dinding lorong.
Lana
mencoba berdiri tegak, tetapi pusing kali ini benarbenar menyerangnya dengan
kuat sehingga dia oleng.
Seketika
itu juga Mikail langsung menangkapnya. “Lana?,” Suara panik Mikail masih terdengar
sebelum semuanya ditelan dalam kegelapan.
***
“Nyonya
Raveno hamil, selamat tuan,” dokter tua itu menyalaminya dengan penuh semangat,
“akhirnya ada calon penerus nama Raveno yang akan terlahir”
Mikail
pucat pasi. Dokter itu terus berceloteh tentang kehamilan dan calon bayi mereka,
tetapi yang ada di benak Mikail hanyalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang selama
ini coba dia lupakan, tetapi sekarang kembali datang menghampirinya.
Mikail
menyuruh Norman mengantar kepergian dokter itu, dan kemudian Norman kembali dan
menatap Mikail dengan cemas. Lelaki itu tentu tahu apa yang berkecamuk di dalam
hati Mikail.
“Dia
hamil,” Mikail mengulang pemberitahuan dokter tadi, meskipun dia tahu Norman sudah
mendengarnya, dia hanya ingin mengucapkannya supaya benar-benar yakin bahwa
mimpi buruk itu ternyata telah menjadi nyata.
“Kondisi
nyonya sangat sehat tuan…”
“Sehat
katamu??,” Mikail membentak marah, “Dia tadi pingsan di depanku, tampak pucat dan
begitu lemah!” “Tetapi Nyonya Lana tidak sama dengan…”
“Diam!,”
Mikail menggeram marah, “Lana tidak boleh hamil!,”
serunya
memutuskan.
***
Lana
membuka matanya dalam cahaya temaram di kamar Mikail. Yang ditemukan pertama kalinya
adalah Mikail yang sedang duduk muram di kursi samping ranjang, sepertinya lelaki
itu sedang menunggunya tersadar.
“Apa
yang terjadi?,” tanya Lana lemah, memegang kepalanya dan mengernyit, masih pusing.
Mikail
menatapnya tajam, tampak tidak suka dengan pemandangan Lana yang mengernyit kesakitan.
“Kau
hamil,” gumamnya datar.
“Oh,”
Lana terkesiap, otomatis langsung memegang perutnya dan menutupinya dengan gerakan
melindungi.
Mikail
mengikuti arah pandangan Lana dan ekspresi wajahnya mengeras.
“Kau
harus menggugurkannya.”
Kali
ini Lana benar-benar terkejut dengan kata-kata Mikail sampai hampir terduduk dari
ranjang. Tetapi rasa pusing langsung menghantamnya, hingga dia terbaring lagi.
“Apa
Mikail??,” Lana menatap Mikail tak percaya. Dia tahu lelaki ini memang kejam. Tetapi
meminta Lana mengugurkan kandungannya, yang adalah darah dagingnya sendiri benar
benar di luar dugaan.
“Aku
tidak menginginkan anak itu, kau harus menggugurkannya”
***
No comments:
Post a Comment