13
Elena melangkahkan kakinya menuju asrama tempat dia
tinggal dulu. Dia tidak tahu harus kemana. Asrama inilah satu- satunya rumahnya selama
ini. Mungkin dia
akan meminta tolong kepada Ibu
Rahma untuk menampungnya selama beberapa saat. Sebelum dia bisa mengatur
kehidupannya dan pergi ke tempat
sejauh mungkin, yang tidak bisa ditemukan
oleh Rafael. Dengan hati-hati dia mengetuk pintunya, berharap Ibu Rahma ada di
rumah dan tidak sedang keluar.
Pintu itu terbuka, Ibu Rahma sendiri yang membukanya.
“Elena? Pagi sekali kau datang, ayo masuk nak...” Perempuan
itu menoleh ke belakang Elena, “Di mana suamimu? Katanya kalian akan datang
berdua?”
Air mata langsung mengalir deras dari sudut mata Elena
ketika mendengar Ibu Rahma
menyebut Rafael sebagai ‘suaminya’, dia
menangis terisak-isak membuat
ibu Rahma menatapnya kebingungan,
“Oh Astaga, Elena
kau kenapa? Kau
sakit sayang? Kenapa kau
menangis? Apa yang terjadi kepadamu?”
Elena
mengusap air matanya,
menatap Ibu Rahma dengan sedih,
“Saya telah dibohongi oleh Rafael ibu... semua yang dia
lakukan, semuanya palsu. Dia...
dia adalah lelaki
yang membunuh ayah saya.” Tangis Elena makin keras, membuat tubuhnya
limbung dan Ibu Rahma langsung memeluknya, mengusap punggungnya menghibur.
“Astaga nak... sudah nak, jangan menangis... Jangan
pikirkan semua hal dengan emosi, kau tidak akan menemukan jalan keluar.” Hibur Ibu
Rahma dengan lembut, menunggu sampai isakan histeris Elena berubah menjadi isakan pelan. Setelah
isakan Elena
mereda dan sedikit tenang,
Ibu Rahma menghela Elena ke kamar yang selama ini ditempatinya,
“Istirahatlah dulu. Tenangkan pikiranmu. Kamarmu masih sama seperti saat kau tinggalkan dulu. Tenangkan pikiranmu
dulu ya nak.
Pikirkan
semuanya baik-baik.”
Ibu Rahma mengantarkan Elena masuk kamar dan membantunya berbaring. “Nanti ibu akan
mengantarkan segelas teh panas ke kamarmu.” gumamnya sebelum menyelimuti Elena dan melangkah pergi keluar kamar.
Ҩ
Rafael yang
sedang menyetir tanpa arah, mencari Elena
tidak bisa menemukannya. Dia
teringat kepada asrama itu, dan menyadari bahwa Elena belum mengetahui hubungan Rafael dengan Ibu Rahma. Kemungkinan besar Elena pulang ke asramanya dulu.
Rafael memutar balik arah mobilnya hendak menuju asrama ketika ponselnya berdering,
“Elena ada di sini.” Suara Ibu Rahma yang lembut terdengar di seberang sana. Dan mata
Rafael terpejam sejenak, merasakan kelegaan mengaliri tubuhnya
mendengar informasi
yang diterimanya. Tadi dia
sudah cemas luar biasa. Pikirannya dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran negatif, takut kalau Elena nekad dan melakukan sesuatu di luar akal sehatnya. Mengetahui kalau Elena sudah aman di asrama sungguh melegakannya.
“Apakah dia baik-baik saja, ibu?”
“Dia datang dan
menangis, ibu sudah menenangkannya dan sekarang dia beristirahat di kamarnya. Dia sudah tahu semuanya.”
“Sebuah insiden membuatnya
mengetahui semuanya, dan Elena salah paham, mengira saya menipunya, karena dia mengetahui semuanya bukan dari
saya.” Rafael menjelaskan
dengan singkat kepada Ibu Rahma, lalu makin
mempercepat laju mobilnya, “Saya akan segera datang untuk menjemputnya.”
“Menurut ibu jangan dulu.” Ibu Rahma berucap
dengan hati-hati, “Dia
masih sangat kalut
dan emosional,
ibu takut kalau nak Rafael datang menjemputnya sekarang, itu akan mendorong Elena
untuk kabur lagi. Lebih baik kita biarkan dia tenang dulu. Setelah dia tenang ibu akan mencoba mengajaknya
berbicara. Baru setelah itu nak Rafael bisa datang kemari untuk menjemputnya.”
Benak Rafael menolak saran itu. Dia
sudah tidak tahan ingin
menemui Elena, menjelaskan kepadanya, kalau perlu mengguncang-guncangnya agar perempuan itu
mau menerima
penjelasannya. Dia tidak apa-apa dibenci Elena,
dia tidak apa- apa kalau Elena tidak mau memaafkannya. Tetapi Rafael tidak mau kalau Elena
tidak mempercayai bahwa Rafael sungguh- sungguh mencintainya. Untuk yang satu itu,
Rafael harus menjelaskannya
kepada Elena,
membuat
perempuan
itu percaya kepadanya.
Tetapi logikanya tahu bahwa saran Ibu Rahma ada benarnya juga. Elena
tidak akan mau menerima
penjelasannya
kalau dia sedang kalut dan emosi. Percuma saja, Rafael menjelaskan dengan cara
apapun, Elena tidak akan mau mendengarnya. Dia
harus menunggu Elena berkepala dingin, sehingga mereka bisa berdiskusi dan tidak saling melemparkan kemarahan dan perdebatan satu sama lain.
Rafael berharap dia masih punya kesempatan.
Kesempatan menjelaskan kepada Elena, kesempatan untuk didengarkan. Dan untuk yang satu itu, Rafael rela menunggu.
“Baik Ibu Rahma, Saya akan
menunggu. Tolong kabari saya kalau Elena
sudah siap untuk saya jemput.” Lelaki itu menghela napas panjang, lalu menegarkan hatinya, dan memutar
balik kembali mobilnya. Pulang ke arah rumahnya. Dia akan menunggu. Dan semoga penantiannya ini berujung bahagia.
Ҩ
Elena duduk
di dalam
kamarnya dan menghitung-
hitung.
Tabungannya
lebih daripada cukup untuk memulai
hidup baru. Selama ini dia
selalu menabung, sejak mahasiswa
dan bekerja sambilan dia selalu menyimpan
uangnya dengan hati-hati sedikit demi sedikit. Beruntung dia bisa
mendapatkan
beasiswa untuk
sekolahnya, dan beberapa keberuntungan
lainnya, sehingga pada akhirnya Elena bisa
menabung sampai mencapai jumlah uang yang cukup.
Sudah mantapkah dia?
Elena membatin dalam hatinya, menanyakan pertanyaan itu
kepada dirinya sendiri. Sudah mantapkah dia melangkah menjauh dan tidak menoleh lagi?
Meninggalkan semuanya?
Kenangan itu masih terpatri jelas di benaknya, silih berganti muncul
meskipun Elena berusaha mengusirnya. Kenangan tentang Rafael. Senyumannya, kata-kata menggodanya, bisikan penuh
gairahnya... semua
tentang Rafael Alexander yang dicintainya. Bisakah dia hidup dengan pengetahuan
bahwa dia telah membuang
semua itu? Mampukah dia?
Tetapi Rafael Alexander bagaimanapun juga, adalah pembunuh ayahnya. Lelaki itu adalah lelaki yang pernah membuat Elena berjanji tidak akan pernah memaafkannya...
Kepalanya terasa
pening dan dia memijat pelipisnya kebingungan. Ah. Ya
Tuhan, kenapa cinta bisa menjadi begini rumit? Kenapa dia tidak bisa seperti orang-orang biasa, yang berpacaran, menikah lalu hidup bahagia?
Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk pelan, suara Ibu Rahma
memanggil di sana,
“Elena,
kau sudah bangun?”
Elena
sudah bangun sejak lama karena
tidurnya dipenuhi mimpi buruk, dan dia sudah mandi.
“Sudah
ibu.” Elena membuka pintunya untuk Ibu Rahma dan tersenyum, “Maafkan kelakuan
saya tadi ibu.”
Ibu Rahma
tersenyum pengertian, “Tidak apa-apa
nak. Ibu mengerti perasaanmu. Mungkin nanti setelah kau lebih tenang, kita bisa
berbicara...tapi sekarang ada tamu untukmu.”
Elena langsung
menegang. Rafael? Bodohnya
dia. Rafael pasti tahu kalau dia kabur ke asrama ini, memangnya Elena mau kemana lagi? Tetapi
Elena tidak siap bertemu Rafael. Dia masih marah, dia benci. Lagipula Elena
sudah menyiapkan hati untuk meninggalkan Rafael dan tidak akan bertemu dengannya
lagi.
“Kalau
tamunya Rafael, aku tidak mau menemuinya.” Elena berbisik lirik, panik. “Tolong
ibu, aku tidak mau...”
Ibu Rahma menggeleng, tersenyum lembut kepada
Elena, “Bukan Elena, tamunya perempuan.”
Ҩ
“Begitu melihatnya Elena langsung
tahu
siapa perempuan itu. Perempuan Spanyol dengan tubuh yang indah dan kecantikan
eksotis yang luar biasa, tetap cantik meskipun usianya sudah separuh baya.
Bentuk bibirnya
yang seksi berpadu dengan hidung mancung khasnya,
dan mata lebar seperti kijang yang luar biasa cantik.
Perempuan
ini adalah mama Rafael.
“Kita belum
berkenalan.” Nyonya Sophia Alexander berdiri dari kursi ruang tamu asrama, “Aku
mama Rafael, kau bisa memanggilku mama, atau Sophia, apapun yang membuatmu
nyaman.” Dia menatap wajah Elena dengan lembut, “Sangat disayangkan kita tidak
bisa bertemu sebelum pernikahan kalian. Tetapi aku memberikan restu untuk kalian
berdua.”
Apa yang
dilakukan mama Rafael di sini? Apakah Rafael mengirimkan mamanya untuk
membujuknya?
Elena masih terpaku di ambang pintu ruang tamu sehingga,
Nyonya Sophia mempersilahkannya duduk, “Maukah engkau duduk, Elena? Aku
harap kita bisa sedikit bercakap-cakap.”
Bagai terhipnotis,
Elena melangkah duduk di
depan mama Rafael.
“Kalau
kau bertanya-tanya, Rafael tidak tahu kalau aku datang kemari, dia bahkan
mungkin tidak tahu kalau aku sudah pulang dari Spanyol. Victoria meneleponku dan aku langsung mengambil penerbangan pertama
untuk menemuimu.”
Senyum
Nyonya Sophia mengingatkannya akan
sebuah kenangan yang jauh di masa lalunya.
Kenangan menyedihkan itu, sepuluh tahun yang lalu..
“Anda
waktu itu datang ke pemakaman.”
“Ya. Aku
datang ke pemakaman, bersama suamiku. Kau mungkin membenci Rafael karena dia tidak datang dan baru
datang setelah beberapa lama. Aku minta maaf untuknya Elena, Rafael waktu itu
terluka parah dan harus menjalani operasi Limfa.”
Rafael menjalani
operasi? Itu informasi baru yang tidak pernah diketahuinya sebelumnya. Elena mengalihkan
pandangan dan mencuri pandang ke arah wajah Nyonya Sophia, dia masih ingat wajah
itu, meskipun sekarang sudah ada tambahan guratan usia selama sepuluh tahun.
Wajah itu masih tetap sama, dengan kecantikan eksotis yang tak mudah dilupakan.
Nyonya
Sophia datang bersama suaminya setelah pemakaman, menawarkan kepada Elena dan
ibunya, apa yang mereka sebut sebagai uang permintaan maaf. Waktu itu ibunya menolaknya mentah-mentah dan melemparkan
uang itu – dalam arti sebenarnya – kepada pasangan suami-istri
itu. Pasangan itu akhirnya pergi dengan rasa malu.
“Kenangan
kita di masa lalu tidak cukup menyenangkan ya Elena?” Nyonya Sophia tersenyum, memahami
apa yang ada di benak Elena, “Dan bahkan sekarangpun ketika diingat, hal itu masih
terasa menyesakkan dada.” Nyonya Sophia menghela nnapas panjang, “Semua yang terjadi
sebenarnya berawal dari kesalahan kami.
Semua salahku dan papa Rafael yang membesarkan Rafael tanpa kasih sayang. Kami
berdua terlalu sibuk dengan urusan bisnis masing-masing, hingga kami melupakan
bahwa kami memiliki anak yang membutuhkan perhatian....” Mata Nyonya Sophia
berkaca-kaca. “Kami berusaha menggantikan perhatian dan kasih
sayang itu dengan uang. Merasa bahwa itu semua sudah cukup. Tetapi Rafael tumbuh
menjadi seorang pemberontak, selalu membuat ulah...membuat masalah, yang pada
akhirnya kami tahu, itu semua hanya untuk memancing perhatian kami...”
Elena bisa membayangkan
itu semua. Anak-anak keluarga kaya yang tidak pernah menerima
kasih sayang orang tuanya, melarikan diri pada
kenakalan-kenakalan yang merusak. Dia tumbuh
di keluarga miskin harta, tetapi penuh kasih sayang. Dan dia mensyukurinya.
Tanpa sadar dia merasa kasihan kepada Rafael. Tumbuh dikelilingi harta tapi harus
bebuat onar untuk mencari perhatian orang tuanya.
“Puncaknya
malam itu, ketika polisi datang dan mengabari bahwa Rafael mengalami kecelakaan,
kondisinya kritis dan kami hampir kehilangannya. Pada saat kalut itulah kami menyadari bahwa
kecelakaan itu telah menelan korban, seorang
lelaki yang mungkin
juga mempunyai keluarga.” Nyonya Sophia menatap Elena dengan
sedih, “Kami semua menanggung rasa bersalah itu Elena, tetapi Rafael yang paling
berat menanggungnya...”
Ketika Elena
tidak berkata apa-apa, Nyonya Rafael melanjutkan. “Ketika hari itu kau mengusirnya,
mengatakan membencinya, mengatakan bahwa dia manusia yang tidak ada harganya.
Kau sudah mengetuk nuraninya yang paling dalam. Sejak itu Rafael berubah, dia menjadi
pribadi yang bertanggungjawab, dia menjadi
seseorang yang hidup dengan satu tujuan. Meskipun dia menjalani semuanya dengan
penuh kepedihan.” Mata Nyonya Sophia mengerjap, menahan air matanya yang akan
tumpah, “Rafael telah menghukum dirinya sendiri setelah kejadian itu Elena, dia
telah menerima hukumannya.”
Elena memalingkan mukanya, tiba-tiba matanya terasa panas. Benarkah itu semua?
Benarkah kejadian kecelakaan itu telah menggugah rasa bersalah Rafael?
“Aku pikir
sebenarnya yang diinginkan Rafael adalah menjadi pahlawan untukmu... menebus
semua kesalahannya. Aku tidak bisa menjelaskan
apapun kepadamu. Tetapi kau
harus yakin Elena, bahwa semua yang dilakukan Rafael kepadamu, itu karena dia mencintaimu.”
Nyonya Sophia menyusut air matanya, kemudian beranjak berdiri. Elena mengikutinya
berdiri.
“Aku harap
kau mau mempertimbangkan semua kata- kataku tadi.”
Elena mengernyit, mencoba bersuara meskipun tertahan, “Saya... saya akan
memikirkannya.”
“Terima
kasih Elena.” Dengan gerakan spontan, Nyonya Sophia merengkuh Elena ke dalam pelukannya,
“Aku sangat senang menerimamu sebagai menantuku.”
Kemudian
perempuan itu pergi. Meninggalkan aroma wangi vanilla yang sangat elegan di
ruang tamu itu.
Ҩ
“Kau harus makan Elena.” Ibu Rahma
meletakkan sepiring makanan yang masih panas di depan Elena, “Ayo cobalah
meskipun cuma beberapa suap saja.”
Elena melirik
makanan di piring itu. Makanan itu enak, dan kalau dia tidak sedang pusing. Aromanya
yang wangi pasti akan bisa menerbitkan air liurnya. Tetapi saat itu Elena
merasa pusing, dan tidak ingin makan. Tetapi dilihatnya Ibu Rahma menatapnya
penuh harap, wanita yang sudah seperti ibunya ini tentunya sudah repot-repot
memasakkan makanan ini untuknya. Elena tidak mau mengecewakannya.
Hanya demi
menyenangkan Ibu Rahma, dia mengambil piring itu dan menyuap makanannya.
Perutnya yang sudah seharian tidak diisi menyambutnya dengan rasa mual yang
luar biasa. Tetapi Elena menahannya. Dia tetap menyantap makanan itu hingga
empat suap, kemudian menyerah, menatap Ibu Rahma dengan tatapan menyesal,
“Maafkan
saya, ibu.”
Ibu Rahma
tersenyum dan mengangguk penuh pengertian, “Tidak apa-apa, yang penting perutmu
terisi.” Ibu Rahma menatap Elena dan menarik
kesimpulan, menilik dari sikap Elena dan pada kenyataannya Elena melarikan diri
ke asrama ini, sepertinya Elena masih tidak tahu bahwa Ibu Rahma ada hubungannya
dengan Rafael. Bahwa semuanya sudah diatur oleh Rafael. Ibu Rahma sebenarnya
sudah menimbang-nimbang untuk berterus terang kepada Elena, tetapi kemudian mengurungkan niatnya.
Sekarang ini permasalahan antara Rafael
dan Elena sudah rumit, dia tidak mau menambahkan permasalahan baru di antara
mereka. Lagipula mengenai hal ini, mungkin nanti Rafael sendiri yang akan menjelaskannya
kepada Elena, “Bagaimana perasaanmu?”
Elena menghela
napas panjang, “Saya baik-baik saja ibu.” “Tamumu tadi, dia ibu Rafael kan?”
Elena menganggukkan kepalanya. Ekspresinya tetap
datar hingga Ibu Rahma harus bertanya lagi,
“Apakah
dia berhasil mengubah pandanganmu?”
Elena merenung.
Apakah Mamanya Rafael berhasil merubah pandangannya? Mungkin. Mama Rafael memberitahukan
hal baru, bahwa Rafael hidup dengan rasa bersalah. Perempuan itu juga berusaha meyakinkan
bahwa Rafael benar-benar
mencintai Elena. Tetapi benarkah
itu semua? Jauh di dalam hatinya,
Elena menyadari masih ada perasaan hangat
itu ketika mengingat Rafael. Tetapi ada juga kebencian yang muncul ketika mengingat
bahwa laki-laki itulah yang telah menyebabkan
kematian ayahnya. Hal itu membuat Elena bingung dan tak tahu harus
bagaimana.
Ҩ
Dini hari
Elena terbangun dengan rasa mual yang amat sangat. Dia berlari ke kamar mandi
dan memuntahkan semua isi perutnya. Perutnya terasa sakit dan kepalanya pening.
Dengan
napas terengah dia mencuci mukanya dan melangkah gontai ke kamar, lalu membaringkan
dirinya di ranjang. Tamu bulanannya belum datang, entah sudah berapa lama. Elena menghitung
dalam hati. Dan kemudian merasa cemas ketika menemukan bahwa dia sudah
terlambat hampir satu minggu. Pusing dan mual-mual itu... apakah dia hamil?
Oh...
Astaga. Elena mengusap perutnya dengan gugup. Bagaimana kalau dia benar-benar
hamil? Mengandung anak Rafael? Apa yang harus dia lakukan? Kalau dia memang
benar- benar ingin kabur dan pergi menjauh, dia harus mengubah semua rencananya.
Kehamilan ini merupakan pertimbangan yang sangat penting. Elena akan susah mencari
pekerjaan kalau perutnya membesar. Dan siapa yang akan menjaganya ketika
kandungannya sudah terlalu besar?
Matanya
nyalang menatap ke arah langit-langit
kamar. Dia harus membeli testpack besok pagi, dan memastikannya dulu. Baru setelah
itu dia akan
memikirkan langkah selanjutnya.
Ҩ
Rafael
bersedekap dan menatap mamanya yang cantik, “Mama menemui Elena?”
“Ya.” Sang
mama menatapnya meminta maaf, “Maafkan kalau mama tidak minta izin sebelumnya
kepadamu. Mama memang impulsif. Tetapi setidaknya dia mau mendengarkan penjelasan
dari sisi mama.”
“Bagaimana
keadaannya?” Rafael berbisik lirih, membayangkan Elena membuat jantungnya berdenyut.
Dia merindukan perempuan itu, merindukan istrinya. Setiap malam dia terbangun,
berusaha mencari tubuh hangat Elena untuk dia peluk, tetapi perempuan itu tidak
ada. Kemudian dia merasakan kekosongan yang sangat dalam di dalam jiwanya, dan
terjaga sepanjang malam.
“Dia baik-baik
saja, matanya sembab karena banyak menangis.” Sang mama menatap anaknya yang
tampak menderita, “Kau sendiri, bagaimana keadaanmu?”
“Aku bisa
bertahan.” Rafael mencoba tersenyum, “Nanti kalau sudah waktunya, aku akan menjemput
Elena.”
“Semoga
kau bisa melunakkan hatinya.” Mama Rafael berucap setulus hatinya. Demi Rafael.
Anaknya itu sudah hidup dengan menanggung perasaan bersalah yang semakin lama
semakin berat dipikulnya. Dia, sebagai seorang ibu, tidak akan sanggup kalau harus
melihat beban itu ditambahi lagi dengan ‘patah hati’.
Ҩ
Pagi-pagi
sekali Elena sudah berjalan menuju apotek yang terletak beberapa meter dari kompleks
asrama, untunglah apotek itu buka dua puluh empat jam. Jadi Elena tidak sia-sia
berjalan. Sepulangnya, dengan hati-hati dia membuka alat itu dan mengikuti
instruksinya.
Dia harus
menunggu selama tiga menit untuk memperoleh hasilnya. Dengan jantung berdebar dipandanginya
alat itu sambil menghitung angka satu sampai seratus delapan puluh. Ketika sudah selesai, Elena mengintip alat
itu.
Jantungnya
berdenyut kencang. Oh Astaga. Dia benar- benar positif hamil. Mengandung anak
Rafael Alexander.
Ҩ
“Ibu Rahma...
aku.. sepertinya aku hamil.” Wajah Elena pucat pasi, dia mendatangi satu-satunya
wanita yang bisa membantunya saat ini. Ibu Rahma tampak terperanjat, tetapi dia lalu melihat hasil testpack yang
ditunjukkan oleh Elena. Matanya bersinar lembut,
“Oh Elena.
Selamat sayang, kau akan menjadi ibu.”
Elena meringis mendengar
ucapan selamat dari Ibu Rahma, dipeluknya tubuhnya dengan bingung,
“Ibu...saya bingung, saya harus bagaimana?”
“Kenapa
kau bingung? Bayi itu mungkin suatu pertanda bahwa kau harus mempertimbangkan
kembali hubunganmu dengan Rafael. Kalian akan mempunyai
seorang anak, bukankah itu bisa menjadi pertimbangan
penting?”
Elena mendesah,
menatap ke sekeliling dengan gelisah, “Tetapi saya... saya berencana untuk pergi
dan memulai hidup baru...”
“Pergi?”
Ibu Rahma membelalakkan matanya, “Apa maksudmu Elena?”
“Saya berencana
untuk pergi meninggalkan semua ini.
Memutuskan hubungan dengan seluruh masa lalu saya.”
“Astaga Elena,
pikirkan dulu baik-baik sebelum memutuskan seperti itu. Kau sudah menikah dan
bersuami. Bagaimana mungkin kau meninggalkan semuanya?”
“Saya
takut ibu... Rafael telah memulai semua dengan kebohongan. Bagaimana mungkin
saya melanjutkan pernikahan yang didasari dengan kebohongan?”
Ibu Rahma menghela napas panjang, “Elena. Entah itu didasari kebohongan atau tidak. Saat
ini ada seorang anak yang akan hadir di antara kalian yang harus kau pikirkan.
Kau akan menjadi seorang ibu, itu
adalah
tanggung jawab yang besar. Dan aku yakin, kalau kau mau memberi
Rafael kesempatan, kalian bisa menyelesaikan permasalahan ini.” Tanpa sadar Elena
mengelus perutnya, merasa bingung. Apakah dia seharusnya memberi Rafael kesempatan
lagi untuk menjelaskan?
Ҩ
Elena bangun dari tidur siangnya
dan mencari Ibu
Rahma, dia hendak meminta Ibu Rahma mengantarkannya memeriksakan diri ke dokter
kandungan. Dengan langkah pelan dia melangkah menuju kamar Ibu Rahma.
Asrama
ini memang sedang sepi, karena menginjak liburan semester. Banyak penghuni asrama yang memanfaatkan liburan ini untuk pulang
kampung ke rumah orang tua masing-masing.
Ada dua atau tiga mahasiswi yang masih
tinggal karena sedang mengejar penyelesaian skripsi mereka. Jadi tidak banyak kegiatan
di dalam asrama untuk beberapa waktu ke depannya.
Elena
hendak mengetuk pintu kamar ibu Rahma yang setengah terbuka
itu ketika dia mendengar suara Ibu Rahma yang cukup jelas, sedang
bercakap-cakap ditelepon. Sebenarnya Elena ingin melangkah pergi dan akan kembali
nanti kalau Ibu Rahma sudah selesai. Tetapi suara percakapan Ibu Rahma itu menahan
langkahnya, membuatnya tertegun.
“Hasil
testpacknya positif nak Rafael.” Ibu Rahma bergumam kepada orang yang diajaknya
bicara, “Elena menunjukkan kepada saya. Dia sudah hampir pasti hamil.”
Ibu Rahma
berbicara dengan Rafael?
Hening
sejenak, tampak Ibu Rahma mendengarkan suara Rafael di seberang, lalu dia
menjawab.
“Saya rasa
anda harus menjemput Elena sekarang, menemuinya dan mencoba meluluhkan hatinya,
ini waktu yang tepat, anak itu bisa menjadi pertimbangan penting bagi anda untuk meminta
Elena kembali kepada anda.” Ibu Rahma
terdiam, mendengarkan, lalu ada senyum pada suaranya ketika berbicara, “Ya.. ya..
saya mengerti nak Rafael, tidak apa-apa. Nak Rafael tidak pernah merepotkan saya. Sejak awal ketika saya menyetujui untuk membantu
nak Rafael menyediakan tempat tinggal bagi Elena, saya sudah berniat melakukannya dengan sepenuh hati. Salam untuk Nyonya Sophia,
saya akan mampir akhir minggu ini untuk memberikan laporan keuangan tentang asrama
ini dan beberapa asrama lainnya kepadanya.”
Elena sudah tidak tahan lagi, dia melangkah
pergi dengan gemetar. Ketika sampai
di kamar, dia menutupnya dan bersandar bingung di pintu. Apa yang didengarnya
tadi itu?
Jadi selama
ini Ibu Rahma merupakan kenalan Rafael? Kaki tangannya? Jadi asrama ini tidak didapatkannya
karena keberuntungan? Menilik kata-kata
Ibu Rahma di telepon tadi, asrama ini adalah milik Mama Rafael.... Apakah semua
yang ada di hidupnya adalah hasil campur tangan Rafael?
Lelaki
itu bertindak seolah-olah Tuhan, mengatur kehidupan Elena, mengarahkan Elena
harus bagaimana dan ke mana sesuai dengan skenarionya.
Sebuah kebohongan lagi, entah berapa kebohongan lagi yang dilakukan
Rafael kepadanya?
Well, kali
ini Rafael tidak akan mendapatkan mendapatkan apa yang
dia
mau. Elena akan menunjukkan bahwa dia bukan boneka yang bisa
diarahkan semau Rafael, sesuai skenario dan keinginan laki laki itu.
Dengan
cepat Elena berkemas. Dia akan meninggalkan semuanya. Rafael tidak akan pernah
bisa menemukannya lagi, ataupun mencoba mengatur kehidupannya lagi.
UNFORGIVEN HERO - BAB 14
No comments:
Post a Comment