7
“Selamat pagi.” Rafael menyapa lembut ketika Elena membuka matanya,
sudah hampir setengah
jam yang lalu Rafael bangun, tetapi tidak bergerak
dari ranjang. Dia berbaring miring di sana,
bertumpu pada sikunya dan memandang isterinya yang sedang tertidur pulas
di sampingnya. Rafael suka memandangi
Elena, dia bisa melakukannya
berjam-jam tanpa bosan. Dan
kesadaran bahwa sekarang dia bisa melakukan itu sebagai suami Elena, membuatnya
bahagia.
Elena mengerjapkan matanya. Butuh beberapa lama sampai dia menyadari
berada di mana dan apa yang
terjadi. Ingatan tentang malam pertama kemarin membanjirinya, dan membuatnya merona malu. Rafael sendiri
tampak tidak peduli, lelaki itu menelusurkan jemarinya ke sepanjang pinggul Elena
dengan menggoda.
“Apakah
tidurmu nyenyak?” Rafael
menatap Elena dengan mesra,
membuat Elena kehabisan kata dan hanya bisa menganggukkan kepalanya. Jemari
Rafael menelusuri makin berani, dan menyentuh kewanitaan Elena. “Di sini masih
sakit?” Rafael mengusapnya lembut.
“Ah, Elenaku yang lugu… maafkan aku karena harus menyakitimu.”
Napas Rafael agak terengah dan karena mereka berdua telanjang bulat, Elena bisa melihat betapa kejantanan Rafael
telah menegang keras lagi. Tetapi
lelaki itu tampak menahan diri, dia mengikuti arah pandangan Elena dan tersenyum.
“Seperti yang selalu kubilang, aku selalu mengeras kalau bersamamu,
karena kau membuatku begitu bergairah…” Rafael mengelus pipi Elena dengan lembut,
“Tapi hari ini kita
akan menghormati hilangnya keperawananmu dengan tidak menyentuhmu dulu.”
Elena tersenyum, hatinya terasa hangat menerima kelembutan
Rafael ini. Lelaki ini tampak bersungguh-sungguh
dengan perkataannya, dan sejak pernikahan mereka, dia selalu diperlakukan
dengan hormat dan penuh kasih.
“Terima kasih, Rafael.”
“Sama-sama isteriku.” Rafael mengecup ujung hidung Elena dengan
lembut, “Oh ya…
mengenai pulau yang diceritakan Veronica pada saat acara
makan setelah pernikahan kemarin…. Maafkan aku tidak membicarakan sebelumnya denganmu,
sebenarnya itu akan menjadi kejutan bulan madu kita.”
“Kejutan lagi.” Elena menggumam tanpa sadar menatap
Rafael dengan pandangan menuduh.
Rafael terkekeh, menarik Elena ke dalam pelukannya. Tubuh mereka
telanjang, hangat, bahagia
dan terpuaskan karena percintaan
mereka semalam. Rafael
memang ereksi tetapi dia tidak
peduli. Yang utama bukanlah memuaskan hasratnya
kepada Elena, yang
utama adalah berada
di dekat Elena, berdua dan bahagia.
“Pulau itu sangat indah, aku mewarisinya dari ayahku, penduduknya
sebagian besar nelayan dan beberapa bekerja kepadaku… kita bisa menikmati waktu berdua di sana, saling
mengenal lebih dalam.” Tatapan Rafael menjadi intens, “Aku yakin, kalau kita
saling mengenal lebih dalam, kita akan menyadari bahwa kita adalah pasangan
yang cocok.”
Pasangan yang cocok.
Mungkinkah? Dia perempuan biasa yang hidupnya serba
biasa-biasa saja, dengan Rafael yang semua ada pada dirinya begitu luar biasa.
Elena melirik ke arah kejantanan Rafael, bahkan ‘itu’nya pun luar biasa. Pipi Elena
menjadi memerah karena pemikiran spontannya itu.
Ҩ
Perahu boat membawa mereka mendarat ke anjungan pulau itu.
Beberapa orang tampak sudah menunggu di sana. Rafael membantu Elena turun dari
kapal dan menggendongnya ketika mereka harus melalui bagian laut yang dangkal
sebelum melangkah ke arah pantai berpasir yang luar biasa indahnya.
Ini benar-benar surga pantai tropis yang luar biasa. Warna
pasirnya sedikit gelap, tetapi lembut, membuat Elena tanpa pikir panjang
melepas sepatunya dan memilih bertelanjang kaki. Udara pantai yang sejuk meniup
rambutnya hingga melambai-lambai di
pipinya. Beberapa orang
yang sudah menunggu langsung membantu meminggirkan boat dan mengangkat
koper-koper mereka.
Seorang lelaki tua
berpakaian resmi menyalami mereka dan
tersenyum lebar,
“Selamat datang Tuan Rafael, senang sekali anda akhirnya
bisa berlibur dan pulang kemari.” Disalaminya Rafael dengan bersemangat. Lalu
tatapannya beralih ke Elena dan dia tersenyum
memuji, “Dan ini pasti
Nyonya Rafael yang menawan. Selamat
datang di pulau kami. Semoga anda menyukainya, nyonya.”
Rafael tertawa, menepuk pundak lelaki tua itu dan tersenyum lebar
ke arah Elena,
“Ini Pak Mizan.
Dia adalah kepala desa di pulau
ini, sekaligus pengurus rumahku.”
“Rumah anda sudah disiapkan. Para pelayan sudah merapikan
kamar anda hingga tampak seperti tidak pernah ditinggalkan. Dan
Alfred sangat senang
karena dia bisa memasak masakan-masakan luar biasa lagi
untuk tuan dan nyonya. Mari, kita ke rumah utama.” Pak Mizan melangkah mendahului mereka
ke arah jalan
setapak berbatu dengan pohon kelapa yang ditata eksotis di
kiri dan kanannya.
Pemandangan rumah Rafael sangat luar biasa. Rumah itu
berdiri tegak menjulang di atas bukit tertinggi di tepi pantai. Bagian
belakangnya menyambung khusus ke sisi pantai tersendiri yang dipagari, sebuah
pantai pribadi. Cat rumahnya putih bersih, sangat cocok dengan pemandangan
birunya laut dan hijaunya pohon
kelapa yang mendominasi
pulau. Gordennya melambai-lambai di jendela besar bergaya barat di bagian
depan rumah.
“Rumah ini peninggalan kolonial belanda jaman penjajahan
dulu. Ayah membeli sebagian tanah di pulau ini, hampir 60% tanah di sini adalah
milik ayah, dipakai untuk perkebunan
rempah-rempah dan area rumah ini,
Sisanya adalah perumahan penduduk. Rumah ini sudah direstorasi sepenuhnya
oleh ayah. Dia memang suka dengan segala sesuatu yang berbau kuno.” Rafael
tersenyum kepada Elena dan mengedipkan matanya, “Tetapi jangan khawatir, meskipun
rumah ini rumah
kuno, tidak akan
ada hantunya… yah.. mungkin kalau kau melihat penampakan
perempuan- perempuan bergaun lebar jaman pertengahan abaikan saja…
“Rafael.” Elena bergumam mengingatkan agar Rafael jangan
menakut-nakuti dirinya dengan cerita-cerita hantu, meskipun kemudian tersenyum
karena tahu Rafael sedang berusaha menggodanya. Rafael benar. Suasana rumah
ini, pulau ini sangat menyenangkan. Elena tiba-tiba saja merasa begitu ceria
dan bahagia. Tidak pernah disangkanya dia akan mengalami ini semua, bersama
Rafael pula.
Keharuman
aroma kue yang baru
dipanggang langsung menyambut mereka ketika memasuki ruang tamu luas dengan
nuansa putih dan cokelat yang berpadu indah. Rafael menghirupnya dan tersenyum,
“Itu pasti kue kelapa panggang buatan Alfred.” Rafael melirik ke
arah pintu besar
yang sepertinya mengarah
ke lorong menuju dapur, “Alfred adalah koki tua setia ayah, yang ketika diajak
ke sini oleh
ayah, jatuh cinta
dengan seorang wanita di pulau
ini. Jatuh cinta dengan kehidupan di pulau ini, dan memilih menghabiskan masa
pensiunnya di sini. Kau akan menyukai
kue kelapa panggang yang dia
buat, dan masakan- masakan lainnya yang spektakuler.”
Dari aromanya saja sudah begitu menjanjikan,
Elena tersenyum. Rafael tampak berbeda, tampak begitu lepas dan bahagia
di pulau ini. Dia tampak tanpa beban. Dan Elena entah kenapa senang melihat
lelaki itu tampak begitu ceria.
Dengan lembut Rafael menggandeng Elena melangkah menuju dapur.
Mengenalkannya dengan Alfred
yang sedang memanggang roti
di sana. Alfred
lelaki tinggi asal Prancis,
berusia enam puluh
tahun tetapi masih
tampak bugar, wajahnya tampak
dingin. Tapi Elena melihat sinar hangat di matanya ketika memeluk Rafael dan Elena
bersamaan dengan lengannya yang besar dan mengucapkan selamat datang kepada mereka.
Ҩ
Ponsel Elena berdering ketika dia
sedang menata pakaian-pakaian mereka di
lemari di
sebuah kamar indah yang terletak di lantai dua rumah ini. Kamar ini memiliki balkon dengan anjungan yang menjorok ke pantai. Kalau kita berdiri di ujung
balkon
itu,
kita akan
bisa melihat
pemandangan
luas tanpa batas langit dan laut yang berwarna biru berpadu dipisahkan oleh garis cakrawala yang menakjubkan. Sementara di bawah ombak tampak indah bergulung-gulung, seolah-olah
memanggil-manggil untuk berenang.
Elena membiarkan pintu kaca besar yang membatasi kamar mereka dengan balkon membuka sehingga udara laut yang sejuk dan kering bisa mengaliri kamar. Dengan setengah melompat, Elena menuju meja di samping tempat tidur besar, tempat ponselnya diletakkan. Ada nama Donita di
sana. Diangkatnya panggilan itu.
“Halo Donita… aku harap kau sehat-sehat saja.”
“Aku sehat-sehat saja
Elena.”
Suara Donita tampak ceria dan haru, “Aku mau mengabarkan bahwa aku sudah melahirkan
putri kecilku semalam, dia sangat sehat dan gemuk.”
“Ah, selamat Donita… maafkan aku, aku benar-benar lupa…” Semua
peristiwa yang dialaminya dengan Rafael membuatnya lupa menelepon Donita untuk menanyakan kondisi
kehamilannya, “Aku ingin sekali menengok putri kecilmu itu.”
“Aku mengerti Elena sayang, tidak apa-apa kok. Dan aku menelponmu untuk mengucapkan selamat juga.” Elena
bisa merasakan Donita mengedipkan matanya
nakal
di seberang sana.
“Teman-teman kantor datang untuk menengokku di rumah sakit,
dan
ternyata gossip bahwa kau dinikahi oleh bos kita dan dibawa kabur ke
pulau pribadinya menyebar cepat di sini. Benarkah itu Elena? Wow kau bahkan tidak
menunjukkan ketertarikan kepada Mr. Alex dan tiba-tiba saja ‘boom’ kalian saling jatuh cinta
dan menikah? Lalu bagaimana dengan Edo?” Donita langsung memberondongnya dengan berbagai
pertanyaan.
Elena tertawa,
lalu dengan
singkat
menjelaskan
insiden yang dialaminya bersama Edo.
Sejenak dia ragu menjelaskan alasan mereka
menikah. Dan memutuskan
tidak menjelaskannya kepada Donita,
“Yah begitu saja. Aku sangat kecewa dengan Edo.
Dan kebetulan
Rafael
sangat baik…
jadi tiba-tiba
saja kami sudah menikah.”
Donita tergelak di seberang sana, “Mungkin itulah
yang disebut kemauan
Tuhan.
Kita
sudah berencana
dengan
yang lain, tiba-tiba Tuhan memberikan jalan untuk bersatu dengan orang yang selama ini tidak pernah kita duga. Meskipun kabar ini masih membuatku shock,
tetapi aku menyadari bahwa kalian adalah pasangan yang cocok.
Semoga berbahagia Elena, telpon aku kalau
kau
kesepian di
pulau pribadi itu.” Suara Donita yang terdengar ceria
membuat Elena tertawa geli,
“Pasti,
Donita. Dan segera setelah aku pulang nanti, aku akan langsung menengokmu dan putri kecilmu.”
“Janji ya,
aku tunggu.” Donita tertawa cerita, “Selamat menikmati bulan madumu Elena.”
Elena
masih tersenyum ketika menutup ponselnya. Bulan
madu. Kini dia dan
Rafael
pasangan
pengantin baru. Rafael sedang pergi dengan Pak Mizan
untuk menengok perkebunan, katanya dia akan kembali sebentar lagi.
Ҩ
Ketika kembali, Rafael langsung menggandeng Elena mengajaknya ke pantai pribadinya.
“Kau akan
senang melihat bagian pantai yang ini.” Rafael mengajak Elena menuruni tangga putih melingkar yang ternyata ada
di bawah balkon mereka, dan merekapun turun di sebuah anjungan pantai pribadi yang dikelilingi tembok dan tanaman untuk menjaga privasi.
“Aku sering berbaring di
pantai, dan merenung di sini sendirian, tidak ada
yang bisa
melihat kita dari sini. Satu- satunya akses adalah dari tangga di balkon kamar
kita.
Dan tidak ada yang berani kemari
kalau tidak
kuperintahkan.”
Rafael mengedipkan matanya pada Elena, “Di sini
benar-benar privasi untuk kita.”
Pipi Elena memerah menyadari arti di
balik kata-kata
Rafael itu. Privasi
untuk
mereka….. apakah
privasi
untuk bercinta? Elena menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha mengusir pikiran aneh di
benaknya. Rafael dan aura sensualnya sepertinya telah mempengaruhi Elena sedemikian rupa.
Lelaki itu menggandeng Elena ke
sisi pantai yang sejuk di bawah tanaman palem
dan kelapa. Tempat mereka rupanya telah disiapkan, ada sebuah gazebo kecil yang nyaman di
sana, beralaskan karpet lembut berwarna cokelat muda dan
bantal- bantal hitam eksotis yang berserakan di
sana. Gazebo itu berhiaskan tirai-tirai
putih yang menjuntai, tampak begitu indah tertiup angin pantai. Satu sisi gazebo itu terbuka, langsung mengarah ke
pemandangan pantai nan luas dan indah dengan warna langit
yang mulai jingga, pertanda matahari hampir tenggelam. Lampu kecil di pilar gazebo menyala dengan sinar kuning
yang hangat, seakan
disiapkan
untuk
pasangan yang akan melalui malam sambil menatap bintang-bintang
di langit.
Rafael mengajak Elena ke gazebo dan duduk di karpetnya yang empuk, bahkan makananpun sudah disiapkan di sana, seperti magic. Kue-kue kecil yang menggiurkan tersaji di
nampan perak yang berkilauan. Dan dua botol anggur disiapkan di ember perak kecil yang berisi es, serta dua
gelas minuman dingin berwarna orange segar. Ini
benar-benar tempat yang menyenangkan untuk duduk sambil memandang
matahari tenggelam. Rafael
merangkul Elena, dan mereka termenung menatap ke arah matahari tenggelam dalam keheningan. Menyaksikan cakrawala
perlahan menelan bulatan yang bersinar orange kemerahan itu. Hingga akhirnya
hanya tersisa seberkas cahaya jingga di batas cakrawala.
Suasananya begitu sakral
dan intim hingga Elena takut merusaknya. Dia melirik
ke arah Rafael, dan melihat siluet lelaki itu. Rafael benar-benar tampan, dan lelaki
itu
adalah suaminya. Elena merasakan perasaan
hangat
membanjirinya. Dia merasa begitu dekat dengan Rafael, seakan sudah mengenal
lama, seakan Rafael mengerti apapun yang dia inginkan. Mungkin mereka memang ditakdirkan bersama.
“Elena.” Suara Rafael terdengar serak, dan dari jarak dekat, di bawah sorot lampu temaram, Elena bisa
melihat mata Rafael memancarkan gairah, “Kau sudah bisa…?”
Ah. Lelaki ini begitu sopan, begitu baik
dan perhatian. Bahkan dalam gairahnya Rafael
sempat menanyakan kesiapan tubuh Elena untuk bercinta.
Elena sungguh
tersenyum. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Rafael penuh arti.
Rafael membalas senyum itu,
lalu
dengan lembut
menundukkan kepalanya dan
mengecup bibir Elena lembut. Elena membalas kecupan itu. Membiarkan Rafael merasakan
kelembutan bibirnya. Lelaki itu lalu
melepas ciumannya dan mereka
bertatapan. Senyum Rafael malam itu tidak akan pernah Elena lupakan, senyum itu begitu lembut, begitu penuh haru, dan entah kenapa membuat dada Elena sesak oleh suatu perasaan yang tidak dapat digambarkannya.
Jemari Elena bergerak ragu dan menyentuh pipi Rafael, lelaki
itu
menempelkan pipinya di sana dan memejamkan matanya, jarinya meraih jari
Elena dan mengarahkannya ke bibirnya. Rafael lalu mengecup telapak
tangan Elena dengan lembut. Mereka
bertatapan dengan tatapan yang hanya bisa
dimengerti oleh
satu sama lain, dan kemudian bibir mereka menyatu dalam sebuah ciuman lembut. Kali ini
ada yang
berbeda. Kali ini ada rasa sayang dalam ciuman ini. Ada
perasaan lembut yang mengembang dalam pagutan bibir mereka. Rafael melumat bibir Elena,
mencecap seluruh rasa bibirnya, seakan tidak
pernah
puas. Tangannya menyentuh pinggul Elena
dan dengan gerakan ahli melepaskan
celana
dalam Elena
di balik roknya,
menurunkannya,
dan
membiarkannya menggantung
di salah satu paha
Elena. Lelaki itu lalu membuka kancing celananya dan menurunkan ristletingnya, kejantanannya sudah
tegak, menunjukkan betapa bergairahnya dia kepada Elena.
“Naik ke atasku, sayang.” Suara Rafael bagaikan perintah mistis yang membuat tubuh Elena dibanjiri oleh dorongan sensual yang
aneh. Dengan
hati-hati Elena naik
ke pangkuan Rafael. Lelaki itu membimbingnya untuk menyatukan
tubuh mereka perlahan, karena hal ini masih baru bagi Elena. Ketika
tubuh
mereka menyatu sepenuhnya, Rafael menghela napas pendek-pendek, begitupun Elena, yang masih tidak percaya dia melakukan hal seberani ini bersama seorang lelaki.
Tangan Rafael yang kuat
merangkum pinggulnya dengan lembut dan membimbingnya untuk bergerak, “Bergeraklah sayang, puaskan dirimu dengan tubuhku…” bisik Rafael parau.
Dan Elena
bergerak, senang mendapati bahwa setiap gerakannya membuat Rafael menggeram penuh gairah. Dia bergerak dengan sensual, didorong oleh gairah alaminya
sebagai seorang perempuan, dengan bantuan Rafael.
Mereka becinta sambil berhadapan, dengan
posisi setengah duduk.
Percintaan
itu
begitu
intens karena mereka
bisa menatap mata masing-masing. Melihat betapa nikmatnya
gerakan mereka bagi
satu sama lain. Ketika tubuh Elena lelah, Rafael menopangnya, meletakkan kepala Elena di pundaknya dan mengelus punggungnya dengan lembut.
Dengan gerakan mulus, Rafael mendorong tubuh Elena
berbaring di
karpet yang lembut tanpa melepaskan tubuh mereka yang bertaut penuh gairah. Ditindihnya Elena
dengan pelan tetapi sensual, diciumnya bibir Elena lembut. Tubuhnya bergerak dan menggoda Elena untuk mengikutinya
terjun
ke jurang kenikmatan yang dalam.
“Lingkarkan kakimu di pinggangku.” Bisik Rafael serak, “Rasakan aku lebih dalam… ah
sayang, kau mencengkeramku dengan begitu kuat….”
Lelaki itu
mendorong masuk
semakin dalam, menggoda
Elena ketika melakukan gerakan
seakan ingin melepaskan diri, tetapi kemudian mendorong lagi
makin dalam. Mereka larut dalam pusaran gairah, sampai kemudian Elena
melambung tinggi ketika
mencapai orgasmenya. Orgasme yang luar biasa, sambil mendongakkan kepala menatap langit
penuh bintang, dalam
pelukan
suaminya
yang luar
biasa tampan. Rafael menyusul orgasmenya, dengan erangan tertahan dan semburan hangat di dalam sana.
Dengan lembut Rafael menarik diri, lalu menempatkan
dirinya dengan
nyaman
di sebelah Elena dan menarik tubuh Elena terbaring di lengannya, memeluknya
lembut dari belakang. Kepala Elena ada di lekukan lengan dan lehernya. Rafael menundukkan kepalanya, dan
membisikkan napas panasnya pelan, di telinga Elena. “Aku mencintaimu Elena.” Suara Rafael serak dan penuh perasaan. “Aku mencintaimu.”
Elena memejamkan matanya. Mengira dia
sedang berada di sebuah mimpi eksotis bersama pangeran tampan di sebuah pulau terpencil.
Ҩ
Mereka terbangun dari tidur mereka, dan Rafael mengajak
Elena masuk
karena udara mulai dingin dan angin malam bertiup kencang.
“Aku ingin semalaman di
sana menatap bintang. Tetapi kita
akan terbangun dengan kepala pusing.” Rafael tersenyum lembut pada Elena, dan menggandeng jemarinya, melangkah
menaiki tangga putih itu. Mereka sampai
di kamar, dan tiba-tiba Rafael memeluk Elena erat-erat di tengah-tengah kamar,
“Apakah kau mendengar
pernyataan cintaku tadi?” bisiknya lembut.
Elena menganggukkan kepalanya, dalam diam. Rafael mendesah
dan mengecup puncak kepala Elena, lalu
melingkarkan lengannya makin
erat di seluruh
tubuh Elena,
“Aku bersungguh-sungguh Elena,
Pernyataan cintaku itu bukan euphoria
dari orgasme yang begitu nikmatnya. Meskipun
harus kuakui orgasme
yang tadi luar
biasa nikmatnya.” Rafael tersenyum lembut, “Semoga nanti kau bisa
membalas perasaanku.”
Elena pasti bisa. Kalau Rafael terus menyerangnya dengan sifat
lembut dan penuh perhatiannya seperti ini. Bagaimana Elena bisa bertahan? Dia pasti
akan dengan segera jatuh ke dalam pesona Rafael Alexander.
“Dan apapun yang terjadi nanti. Apapun yang akan terpapar
di hadapanmu nanti, bagaimanapun buruknya
nanti. Ingatlah malam ini, malam di saat aku mengatakan bahwa aku mencintaimu dengan
sepenuh hatiku.”
Apa maksud kata-kata Rafael? Elena merenung ketika lelaki
itu memeluknya erat.
Ҩ
Perempuan itu sangat cantik bagaikan boneka Barbie. Kakinya
begitu panjang dan jenjang, dipamerkan dengan indahnya karena dia mengenakan rok
hitam sutra yang elegan membungkus pinggulnya yang bergoyang indah ketika dia sedang berjalan.
Bagian atas tubuhnya
lebih bagus lagi. Dadanya menggantung indah, membuat semua
lelaki yang berpapasan dengannya pasti menoleh dua kali. Kalau bukan karena dadanya,
pasti karena kecantikan wajahnya. Rambutnya yang berwarna cokelat kemerahan panjang
dan tebal, hasil dari penata rambut terkenal.
Jemari lentiknya dengan kuku yang di cat warna peach menjepit
batang rokok di bibirnya, mengarahkan ke bibir ranumnya dengan warna peach yang
sama. Bibirnya menghembuskan asap dengan elegan.
Perempuan yang sedang duduk sendirian di balkon rumahnya
itu adalah Aluna. Seorang wanita pengusaha mandiri, dengan beberapa
anak perusahaan di bidang desain
interior yang sangat sukses.
Aluna adalah perempuan
bebas dan mandiri dengan
aura yang sangat
menggoda. Dan sekarang Aluna sedang gundah. Ditatapnya Sarah,
asisten pribadinya dengan tatapan tajam.
“Kau yakin informasi yang kau dapatkan itu benar?”
Sarah menganggukkan kepalanya gugup. Dia telah bekerja bertahun-tahun
dengan Luna, tetapi entah kenapa aura mengintimidasi Luna selalu membuatnya
gugup. Perempuan itu mengingatkannya
akan medusa, perempuan
cantik yang dengan tatapannya bisa
mengubah siapapun yang berani membalas tatapannya menjadi batu.
“Itu info yang saya
dapat
dari orang di
perusahaan Tuan Rafael. Mereka mengatakan Tuan Rafael menikahi asistennya, Elena,
dalam pernikahan buru-buru
di Pulau Dewata, dan sekarang sedang
menghabiskan bulan madunya di pulau pribadinya.”
Luna menghembuskan asap rokoknya dengan kesal. “Pernikahan buru-buru
dan rahasia eh?” Senyumnya sangat sinis. “Aku ragu kalau Rafael mengingat
untuk memberikan undangan kepadaku. Harus diakui aku sedikit sakit hati mengetahui
dia dengan mudahnya melupakanku dan menikahi perempuan itu. Kau dapat fotonya?”
Sarah menyerahkan foto yang dia dapat kepada Luna. Luna
menerima foto itu, dan meletakkannya di meja.
“Baiklah, kau boleh pergi Sarah.” Sepeninggal Sarah, Luna
mengambil foto itu. Sebuah foto entah darimana yang bergambarkan Rafael sedang
berjalan dengan perempuan yang kata Sarah tadi bernama Elena.
Elena, betapa bencinya Luna dengan nama itu. Itu adalah nama
perempuan yang membuat Luna merasa muak. Diingatnya malam-malam menyakitkan
ketika dia bercinta dengan Rafael, dan Rafael memanfaatkannya dengan memanggilnya
sebagai ‘Elena’, membayangkan sedang bercinta dengan ‘Elena’ meskipun saat itu dia
sedang bercinta dengan Luna.
Rafael tidak bersalah, Luna memang sengaja membuat dirinya
tampak tidak terlalu ingin menjalin hubungan yang mengikat. Karena dia tahu,
kalau dia kelihatan ingin mengikat Rafael,
kalau kelihatan setitik saja perasaannya kepada lelaki itu, maka Rafael akan langsung
meninggalkannya. Lelaki itu menutup hatinya, dan akan langsung menjauhi siapapun
yang memiliki perasaan lebih
kepadanya. Karena itulah
Luna berpura-pura. Dan membiarkan
Rafael berpikir bahwa hubungan mereka adalah hubungan tanpa status,
saling memanfaatkan, tanpa ikatan apapun satu sama lain.
Padahal Luna mencintai Rafael, sangat mencintai lelaki
itu dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dan ketika Rafael memanggilnya sebagai
Elena, memandangnya sebagai Elena, bercinta dengannya sambil membayangkan Elena,
perasaannya hancur lebur. Hancur, marah, dan terhina. Bukan kepada Rafael, dia
terlalu mencintai lelaki itu. Tetapi kepada perempuan yang entah siapa dan di
mana yang bernama Elena.
Berani-beraninya perempuan itu mengambil hati Rafaelnya?
Membuat Rafael menutup hatinya untuk semua perempuan? Luna ingin namanyalah
yang dipanggil Rafael dengan penuh kerinduan,
seperti ketika Rafael
memanggil nama ‘Elena’ dengan begitu
lembut. Luna sangat membenci perempuan bernama Elena itu. Ingin membunuhnya jika
perlu. Tetapi bahkan dia tak tahu perempuan itu ada. Dan dia sempat mengira
bahwa perempuan itu hanyalah sosok khayalan Rafael. Sampai kemudian kabar bahwa
Rafael menikahi perempuan bernama Elena muncul. Semula Luna tidak percaya. Tetapi
ketika Sarah menjelaskan bahwa itu benar adanya, kemarahannya menggelegak,
luar biasa hingga nyaris membakar hatinya.
Luna mengamati wajah Elena di foto itu. Gadis itu terlalu
sederhana. Apa sih yang dilihat Rafael di sana? Dia merasa dirinya seribu kali lebih
baik dari perempuan kecil
yang tak bisa berdandan macam Elena.
Benarkah ini Elena yang selalu dipanggil oleh Rafael itu? Atau dia hanyalah
perempuan beruntung yang dinikahi Rafael secara impulsif
karena kebetulan dia bernama Elena?
Dengan gemas, dicolokkannya rokoknya
ke wajah Elena di foto itu. Menghancurkan
wajah Elena di foto itu dengan kejam. Siapapun perempuan itu, dia membencinya. Dan
setiap orang yang dibencinya akan hancur!
Dia harus menyadarkan Rafael akan kesalahannya, sebelum
terlambat. DIa harus membuat Rafael menyesal karena telah berani-beraninya meninggalkannya
dan memilih perempuan yang sangat jauh di bawah levelnya.
Jemarinya meraih ponsel
keemasan
di mejanya, sebuah suara menyahut di sana, dan Luna bergumam dengan suara
serak dan seksinya.
“Aku perlu pergi ke sebuah tempat. Kau bisa mengatur perjalananku
ke sana?
No comments:
Post a Comment