5
Perputaran dunia sungguh
tidak
dapat diduga. Begitupun perjalanan hidup manusia. Elena melirik cincin berlian elegan yang berkilau di jari manisnya. Dia datang ke perusahaan
ini karena sebuah panggilan keberuntungan yang datang tak diduga. Dan hanya karena satu kejadian di malam
pesta itu, tiba-tiba
dia menjadi
tunangan pemilik
perusahaan ini.
Siapa
yang bisa mengira?
Bahkan
di dalam imajinasinya
yang paling liarpun dia tidak pernah menduganya.
Semua ini terjadi
terlalu cepat… terlalu
tiba-tiba. Dia bahkan tidak mengenal
jauh Mr. Alex….
Elena membatin dalam hati, dan tanpa sadar mengernyitkan dahinya.
Yang dia ketahui tentang Mr. Alex hanyalah
info dari majalah bisnis
yang dibacanya ketika mencari tahu tentang perusahaan yang
memanggilnya untuk interview itu, dan
beberapa info dari Donita, yang
sekarang sudah mengambil cuti
hamilnya. Donita akan sangat
terkejut kalau saja dia ada di kantor untuk menyaksikan semua drama ini.
Elena tahu bahwa Mr. Alex adalah pendiri perusahaan yang jenius, berdarah Spanyol
dari ibunya, dan mempunyai adik perempuan dengan masa lalu yang sungguh menimbulkan
empati. Meskipun sekarang Victoria sudah menjadi wanita yang tegar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu alasan utama Elena
menerima pertunangan ini adalah karena empatinya kepada Victoria, dan kekagumannya
akan rasa bertanggungjawab Mr. Alex
karena begitu memikirkan kesedihan yang pernah dialami
Victoria. Mr. Alex pasti sangat menyayangi adiknya. Elena tidak pernah punya saudara
kandung, dia anak tunggal, yang pada akhirnya harus berakhir sebatang kara.
Karena tragedi itu... Tragedi yang sudah dilupakannya dan dikuburkannya dalam-dalam.
Karena setiap dia mengingatnya akan muncul rasa marah terpendam, membuatnya ingin
berteriak atas ketidakadilan kehidupan. Ingatan tentang kemarahan itu menjadi samar-samar
seiring berjalannya waktu. Elena belajar menyimpan jauh-jauh. Tidak sepenuhnya
melupakan. Tidak sepenuhnya memaafkan.
Elena mengerjapkan mata ketika mobil hitam yang elegan
itu meluncur dengan mulus dan berhenti tepat di depannya. Mr. Alex sendiri yang
menyetir mobilnya, dengan sopan, dia turun dari mobil dan membukakan pintu
penumpang di sebelahnya untuk Elena,
“Maafkan aku, aku sedikit tertahan
di lobi tadi. Aku
harap kau tidak menunggu lama.”
“Tidak. Aku baru beberapa menit di sini.” Elena melangkah
masuk ke mobil dan lelaki itu menutupnya, lalu kembali ke balik kemudi dan menjalankan
mobilnya.
Tiba-tiba sebuah pemikiran melintas di benak Elena, bahwa dia bahkan tidak
tahu nama lengkap lelaki ini.
“Bagaimana mungkin kita
melanjutkan semua ini, kalau
kita bahkan tidak saling mengenal
sama sekali?” tanpa sadar Elena menyuarakan
pemikirannya.
Rafael
melirik sedikit ke arah
Elena dan tersenyum, “Masih banyak waktu, dan dengan senang
hati aku akan membuka diri sehingga kau bisa lebih dalam mengenalku.” Suaranya
merendah lembut, “Dan aku harap kau juga membiarkanku mengenalmu lebih dalam.”
Elena menghela napas. Kenapa kata-kata Mr. Alex yang biasa
saja bisa terdengar begitu sensual di telinganya? Apakah itu memang nyata atau
dia selalu berkonotasi mesum sejak kejadian malam itu? Dengan tak kentara Elena
menggelengkan kepalanya, mencoba berkonsentrasi kepada sesuatu yang logis.
“Siapa nama lengkapmu?”
Rafael mengerem dengan
mendadak. Hampir membuat ban
mobil berdecit dan
tubuh Elena terdorong
ke depan, untunglah mereka sedang berada di jalanan yang sepi. Elena menoleh
ke arah Mr. Alex dan menatap bingung. Lelaki itu tampak kaget… karena pertanyaannya,
ataukah karena sesuatu di jalan?
Tetapi Rafael dengan
cepat menguasai diri,
dia menatap Elena dan meminta maaf, “Maafkan aku, TADI ada kucing menyeberang.”
gumamnya cepat sambil mengalihkan pandangan kembali ke arah jalan.
Apakah hanya perasaannya saja…atau Mr. Alex sedang mencengkeram
kemudinya erat-erat?
Elena mengalihkan pandangannya
ke jalan dan akhirnya
tersenyum, “Kucing memang
sering menyeberang tiba-tiba, kadang
kita baru melihat ketika mereka sudah di seberang mata, membuat kita kaget setengah
mati.”
“Yah. Dan aku memang kaget setengah mati.” Lelaki itu
melirik Elena, “Tadi kau bertanya apa?”
“Nama lengkapmu?”
“Oh…. Kau tidak tahu ya, padahal kau sudah beberapa
lama bekerja sebagai bawahanku.
Keterlaluan.” Rafael pura- pura mencela, padahal jauh di dalam
hatinya dia tahu. Dialah yang mengusahakan
agar Elena tidak tahu nama lengkapnya. Bahkan semua
surat dan dokumen
resmi diperusahaan itu selalu atas nama R. Alexander. Mungkin ini
adalah saatnya mengambil resiko. Kalau
Elena tidak bereaksi
apapun atas nama lengkapnya,
berarti Rafael bisa melangkah ke rencana ke depannya dengan aman. Karena bagaimanapun,
kalau mereka menikah nanti, Elena
harus tahu nama
lengkapnya. Dia menghela napas sekali
lagi, seakan hendak melepas sumbu granat, “Nama lengkapku tidak istimewa, Rafael
Alexander.”
Rafael mencoba tenang
meskipun jauh di
dalam hatinya dia ketakutan
setengah mati. Selama
ini dia menganggap nama itu tabu,
karena takut akan membuat Elena langsung teringat kepada siapa dia sebenarnya. Dan
sekarang setelah melepaskan nama itu. Rasanya seperti menanti sesuatu yang akan
meledak, membuatnya berdebar.
Tetapi apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Elena memang
sedikit mengernyitkan dahi, lalu perempuan itu mengangkat bahunya, “Nama lengkapku
Elena Juliana.”
“Elena yang lahir di bulan Juli.” Rafael mencoba bercanda,
menutupi rasa lega luar biasanya ketika menyadari Elena tidak menghubungkannya dengan
pemuda yang telah membunuh ayahnya bertahun
lalu. Tentu saja
penampilan Rafael yang dulu dan sekarang berbeda. Rafael yang dulu kurus
karena memakai obat dan minuman keras, perokok berat, ugal- ugalan dengan
tindik telinga dan rambut
yang di cat kuning
menyala. Secara fisik sangat sulit menghubungkan dirinya yang sekarang dengan pemuda
tak bertanggung jawab di masa lalu itu, tetapi Rafael memutuskan mengambil resiko
sekali lagi, untuk melihat reaksi Elena, dengan hati-hati dia berucap,
“Kau bisa memanggilku
Rafael kalau kau
mau… keluargaku memanggilku begitu….”
“Tidak.” Jawaban Elena
begitu cepat, hanya sepersekian detik dari Rafael, “Aku tidak
mau. Aku akan memanggilmu dengan ‘Alex’ saja jika kau tidak keberatan.”
Tubuh Elena begitu tegang. Rafael membatin, lalu menarik napas dengan pedih, Elena
masih
mengingat jelas nama lelaki
yang membunuh
ayahnya. Dan menilik
dari sikapnya yang menolak
memanggil siapapun dengan
nama ‘Rafael’, gadis itu jelas masih
menyimpan kebencian kepada lelaki yang membunuh ayahnya. Rafael
harus bisa membuat Elena melupakan “Rafael pembunuh ayahnya’ dan terbiasa mengasosiasikan
nama ‘Rafael’ dengan lelaki baik yang akan menjadi suaminya.
“Aku keberatan.” Rafael tersenyum lembut, dan mengarahkan
pandangannya kembali ke jalan. Elena harus belajar memanggilnya dengan nama ‘Rafael’.
Dengan begitu, mungkin saja dia
bisa melunturkan kebenciannya kepada
‘Rafael’ di masa
lalunya. “Sudah kubilang,
keluargaku selalu memanggilku dengan
nama ‘Rafael” dan
kau akan menjadi keluargaku yg terdekat.”
“Tapi aku….”
“Cobalah Elena.” Panggil namaku. Rafael menahan erangan dalam
hati. Ah, betapa inginnya dia mendengarnya, betapa inginnya dia mendengar namanya
diucapkan oleh suara merdu dari bibir Elena…..
Elena menghela nafas, dan sejenak Rafael merasakan bahwa Elena
ingin membantah, tetapi kemudian gadis itu memutuskan untuk tidak melakukannya.
“Rafael.”
Nama itu akhirnya terucapkan dari bibir Elena, dengan enggan,
pendek, dan sederhana. Tetapi terdengar luar biasa di telinga Rafael, bagaikan
alunan merdu menghembus telinganya. Mimpinya. Mimpinya selama ini telah terwujud.
Rafael memejamkan matanya sekejap, berusaha menahan senyum lebarnya.
Ҩ
Alice sedang berjalan santai menelusuri butik
itu ketika sebuah tangan keras mencengkeram
lengannya, dia setengah memekik dan menatap marah kepada pencengkeram lengannya,
Edo yang sedang berdiri di dekatnya.
“Lepaskan aku Edo, kau kasar sekali.” Alice tersenyum berusaha
tampak tenang.
Edo lama menatap Alice dengan tajam, lalu akhirnya melepaskan pegangan
tangannya. Dengan sinis
Alice mengusap-usap lengannya yang memerah bekas cengkeraman Edo.
“Ini akan memar.
Apa yang membuatmu mendatangiku dan
tiba-tiba bertingkah sekasar
ini?” Tatapannya berubah menggoda,
“Apakah kau ingin melanjutkan yang tertunda waktu itu?”
Edo mendengus kesal, “Hentikan Alice, aku tahu pasti kau
tidak tertarik kepadaku. Dulu aku mengejarmu dan kau menolakku mentah-mentah.”
Tatapannya berubah tajam lagi, mengintimidasi, “Kenapa malam itu kau merayuku?”
Alice mengerling dan tersenyum, “Mungkin karena aku sedang
ingin berubah pikiran.” Dia sengaja mengedipkan matanya menjengkelkan, “Kenapa
Edo? Apakah kau tidak tersanjung dirayu olehku?”
Edo menyipitkan matanya, “Aku mencium bau busuk. Ada sesuatu
yang tersembunyi di sini, dan aku menjadi korbannya, tapi ingat Alice, aku tidak
akan tinggal diam, aku akan mencari tahu.”
‘Mencari tahu apa Edo? Kau aneh..” Alice tertawa, “Mungkin
kau sedang patah hati ya jadi sibuk berhalusinasi.”
“Patah hati? Apa
maksudmu?” suara Edo
menajam, waspada.
“Wah, kukira kau sudah tahu.” Alice mengedipkan matanya
lagi, “Perempuan yang kau kejar itu, si cantik yang sederhana, dia akan
menikah dengan Alex.”
Alice tersenyum, menikmati rona
pucat yang langsung menguasai wajah Edo, membuat lelaki
itu tertegun. Dia
mengibaskan tangannya, “Sudah
ya, aku sibuk. Lain kali kalau mau membuang waktuku, tolong lakukan untuk sesuatu
yang lebih penting.”
Ditinggalkannya Edo yang masih membatu di sana
Ҩ
“Kau tidak akan memberitahu mama? Dia pasti akan langsung pulang dari Spanyol
dengan bahagia mendengar kabar penikahanmu.”
Victoria mengingatkan. Sang mama memang baru
berkunjung ke Spanyol
untuk menengok adiknya
yang sakit.
“Tidak. Aku tidak
mau dia pulang.
Elena mungkin mengingatnya. Ketika
ayahnya meninggal. Mama dan papa datang ke rumah mereka dan menyampaikan permintaan
maaf dan uang santunan, Elena dan ibunya menolak mentah-mentah. Bersikeras supaya
semua dijalankan di jalur hukum. Entah apa yang dilakukan papa kemudian sehingga
semua berhenti.”
“Jadi kau akan melarang mama selamanya bertemu menantunya?
Itu rencanamu?” Victoria mengernyit, “Itu sama saja mencegah matahari terbit
kak, suatu saat kau akan ketahuan.”
“Tetapi tidak sekarang. Tidak sampai aku sudah benar- benar
berhasil memiliki Elena.” Rafael bergerak ke bar, dan menuangkan brendi untuk dirinya
sendiri. Tidak dihiraukannya dengusan sinis Victoria.
“Kau sepertinya menjadi
sangat terobsesi
kepada Elena. Dulu kau terobsesi mencukupi semua kebutuhannya, memastikan
dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri, sekarang di saat itu semua tercapai,
kau terobsesi untuk memilikinya.” Victoria ikut menuangkan brendi dan meminumnya
lalu mengernyit, “Mungkin kau harus menemui psikiater.”
“Psikiater hanya
akan menemukan satu kesimpulan.” Rafael tersenyum simpul sambil menatap
Victoria, membuat adiknya itu mengernyit bingung,
“Kesimpulan apa?”
“Bahwa aku sedang jatuh cinta.”
Victoria tertegun, benar-benar tertegun. “Kau… benar- benar
jatuh cinta kepada Elena? Maksudku… semua ini bukan karena obsesi dan rasa
bersalah?”
“Itu juga. Awalnya
karena rasa bersalah, tetapi lambat laun, mengamatinya dalam
diam, memperhatikannya, dan tanpa sadar… mencintainya. Karena itulah
aku ingin memilikinya, dan tidak
rela membiarkannya dimiliki
lelaki lain.”
“Kau mempertaruhkan hatimu kak.” Victoria mengernyit, “Dia
akan membuatmu hancur berkeping-keping kalau dia tahu siapa sebenarnya dirimu.”
“Setidaknya aku sudah
mencoba.” Rafael mengernyit, mencoba menghilangkan apa yang sudah pasti akan
terjadi di depannya nanti. Kalaupun itu terjadi nanti, semoga cintanya kepada Elena
cukup untuk mempertahankan perempuan itu.
Victoria menatap sedih
kakaknya, kemudian dia teringat sesuatu dan nada suaranya
berubah khawatir.
“Apakah kau sudah membereskan Luna?” “Ada apa dengan
dia?”
“Dia akan sangat
marah ketika tahu
kau akhirnya bersatu dengan
Elena-mu.”
Rafael mendesah. Dia lupa sama sekali tentang Aluna, karena
terlalu fokus pada Elena. Aluna atau cukup Luna, begitu ia ingin dipanggil adalah
‘pasangan tetapnya’ bisa dikatakan begitu, atau kalau mau secara lugas, Luna adalah
‘partner seks’nya. Hubungan
mereka bebas dan
tanpa komitmen, mereka saling memanfaatkan
satu sama lain. Entah apa motif Luna, mungkin karena Rafael
cukup tampan dan
kaya untuk dijadikan kekasih.
Tetapi motif Rafael adalah mencari pelarian ketika dia sangat menginginkan
Elena, melihatnya dari kejauhan tetapi tidak bisa menyentuhnya.
Victoria hanya tahu kalau Rafael berkencan
dengan Luna, dia tidak tahu
bahwa Rafael benar-benar menggunakan Luna, bahkan pada saat bercintapun,
Rafael melakukannya dalam kegelapan, dan memanggil Luna, dengan
nama Elena. Sekali, Luna bertanya mengapa, tetapi Rafael menyuruhnya
diam dan tidak bertanya lagi. Sejak itu Luna tidak pernah bertanya lagi, meskipun
Rafael selalu memanggilnya dengan sebutan Elena ketika bercinta.
Sampai beberapa lama kemudian, Rafael merasakan kehampaan, bahwa
dia tidak
bisa menipu dirinya
sendiri dengan memakai Luna sebagai pengganti
Elena. Bahwa dia tidak bisa kalau bukan Elena. Maka ditinggalkannya
Luna. Mengakhiri hubungan tanpa komitmen mereka baik-baik.
Seharusnya Luna tidak akan menjadi
gangguan, kecuali kalau
sampai dia mendengar
bahwa Rafael pada akhirnya bersatu
dengan perempuan bernama
Elena. Radar ingin tahu Luna pasti
akan berbunyi, dan siapa yang bisa menebak apa yang akan dilakukannya nanti.
“Aku harap dia akan terus berada di luar negeri. Setidaknya
sampai aku berhasil membawa Elena ke dalam pernikahan.”
“Kau tidak seberuntung itu kak. Aku dengar dia akan pulang dalam waktu
dekat. Kau harus
menjauhkan Elena darinya. Luna
memang menjalin hubungan tanpa komitmen padamu, tetapi dia selalu menganggap
kau bebas dan bisa didatanginya kapan saja. Kalau dia sampai tahu kau sudah
terikat, mungkin dia akan tergelitik untuk mengganggu.”
Dan seperti memilih waktu yang tepat, ponsel Rafael berbunyi, dia
mengangkatnya ketika melihat
nama Alice di layar.
“Ada apa Alice.”
Di seberang telepon Alice menjelaskan perihal insidennya dengan
Edo di butik barusan. Membuat Rafael menghela
napas sekali lagi.
Setelah telepon ditutup,
dia menatap Victoria penuh tekad.
“Pernikahan ini harus segera dilaksanakan.”
Ҩ
Dan untuk melaksanakan
pernikahan dengan segera, Rafael membutuhkan bantuan Damian. Dia
mendatangi Damian di kantornya,
“Apa? Pernikahan?” Damian
sangat terkejut. Apalagi dia tidak pernah mendengar Rafael dekat
dengan siapapun sebelumnya. “Jangan bilang kalau kau jatuh dalam jebakan perempuan
licik yang berpura-pura hamil.”
Rafael
terkekeh, “Bisa dibilang
aku yang menjebak calon pengantinku.” Ditatapnya Damian
serius, tahu bahwa sahabatnya itu tidak akan banyak bertanya kalau tidak dijelaskan, “Aku
butuh bantuanmu agar
pelaksanaannya berjalan sempurna.”
“Aku bisa mengurusnya. Kau bisa tinggal di hotelku di sana.
Dan untuk pernikahan kau bisa menghubungi nomor ini. Dia yang dulu mengurus pernikahanku
dengan Serena. Semoga dia bisa membantumu.” Damian menyerahkan sebuah kartu nama
ke tangan Rafael.
Rafael menerimanya dan
tersenyum, “Terima kasih Damian, kau tak tahu betapa berartinya
ini untukku.”
Damian mengamati Rafael dengan tenang, dan menganalisa. Ini
hampir sama seperti Mikail yang tergesa-gesa menikahi Lana dulu.
Tetapi Rafael tampaknya
lebih terdesak dan panik. Seperti
memegang bom yang akan meledak dalam hitungan waktu tertentu.
“Calon pengantin yang
katamu kau jebak ini, apakah kau
mencintainya?”
Rafael tersenyum lembut membayangkan Elena, “Ya Damian.
Tentu saja, kalau tidak untuk apa aku repot-repot menjebaknya ke dalam pernikahan
ini.”
“Dan mengingat kau sampai perlu
menjebaknya, berarti dia tidak memiliki perasaan yang sama?”
“Mungkin saat ini tidak, tetapi aku akan membuatnya berubah
pikiran.”
Damian terkekeh, “Kita para lelaki yang semula merasa begitu
sempurna dan bisa menaklukkan wanita manapun, pada akhirnya akan menyerah kepada
perempuan yang membuat kita penasaran setengah mati. Membuat kita menebak-nebak,
lalu tanpa disadari sudah terperosok ke dalam cinta yang begitu dalam.”
“Apakah itu yang kaurasakan kepada istrimu dulu?”
“Persis seperti itu.” Jawab Damian
puas. “Dan itu adalah hal paling membahagiakan dalam
hidupku.”
Rafael mengamati Damian dan tersenyum, “Kau beruntung.”
“Dan sepertinya kau
juga, mengingat kau akan menikah dengan wanita yang kau cintai.”
“Yah. Aku beruntung…
meskipun begitu banyak rahasia menyakitkan di masa lalu yang
menghantui… aku masih berharap semuanya tidak akan membalik kepadaku nanti dan
menghancurkanku.”
“Apa
maksudmu Rafael.” Suara
Damian berubah waspada.
Rafael tertawa. “Aku tidak sedang dalam bahaya Damian. Ini
menyangkut masa lalu dan masa depanku yang berjalinan. Ceritanya panjang, dan
aku akan menceritakan kepadamu suatu saat nanti.”
“Oke.” Damian menatap Rafael dan akhirnya menarik kesimpulan,
“Gadis yang akan kau nikahi ini ya, yang membuatmu begitu dingin dan tak bisa didekati
selama ini.”
Rafael tersenyum, tidak membantah.
Ҩ
“Mungkin ini bukan ide
bagus.”
Elena menatap Rafael bingung, “Apakah ini harus dilakukan?”
‘Ya. Aku sudah bertekad. Dan kau tidak bisa mundur Elena,
demi dirimu sendiri, demi Victoria, ingat?”
“Ta… tapi aku tidak menyangka akan secepat ini… maksudku…
kau bilang kita punya kesempatan untuk saling mengenal dulu, katamu kita punya waktu untuk pertunangan yang panjang
sehingga… sehingga….”
“Aku sudah memesan tiket, semua sudah disiapkan di sana.
Victoria akan menyusul kita nanti. Tidak bisa dibatalkan. Dan sekarang kita sedang
dalam perjalanan ke sana.”
Mereka menuju pulau itu, pulau yang sangat terkenal sebagai
pulau impian, pulau tempat dewa-dewa pernah bersemayam. Tempat banyak pasangan
menikah secara eksotis, dengan suasana yang eksotis pula. Dan Elena berangkat
tanpa prasangka apapun.
Tadi pagi Rafael menyuruhnya bersiap-siap karena dia ada meeting
mendadak dengan klien di pulau itu, dan Elena harus ikut. Elena sempat memprotes
karena dia tidak mempersiapkan apapun. Tetapi Rafael bilang semua sudah disiapkan,
bahkan lelaki itu berbaik hati memintakan izin langsung kepada ibu asramanya
ketika mengantar Elena pulang untuk mengambil baju dan perlengkapannya.
Dan baru di pesawat Rafael
mengatakan bahwa mereka berangkat
untuk menikah. Kejutan katanya tanpa rasa bersalah. Meskipun bukan kejutan yang
baik untuk Elena. Dia panik, gemetaran, dan merasa terjebak luar biasa.
Di bawa ke sebuah pulau yang belum pernah didatanginya untuk
dinikahi, tanpa rencana dan pemberitahuan sebelumnya. Ini
hampir seperti dia diculik oleh Rafael. Atau jangan-jangan memang ini rencana
lelaki itu?
“Kau sengaja.” Tatapannya
menuduh. Tetapi Rafael tampak tidak terpengaruh, lelaki itu
memasang muka datar.
“Apanya?”
“Ini semua, kau merencanakannya, sengaja membuat aku tidak bisa mundur atau
lari.”
Lelaki itu tersenyum lembut, “Tidak sayang, sungguh aku tidak
sengaja melakukan itu….” Tatapannya berubah menerawang, “Sebenarnya ini karena
Victoria… dia yang mendesak pernikahan ini
dilakukan segera, aku
sudah menceritakan insiden malam pesta itu … dan dia menangis.. Dia teringat
kejadian yang menimpa dirinya…. Dan dia mendesakku untuk menjadi lelaki yang
bertanggungjawab atau dia akan memusuhiku….semoga kau mengerti Elena…”
Elena tercenung. Lalu tatapannya berubah melembut, “Oh…
begitu…”
Rafael menganggukkan kepalanya, “Dia akan menyusul ke sana,
merayakan pernikahan kita. Semoga kalian bisa akrab nantinya.” Lelaki itu menghela
napas lega sambil meminta maaf dalam hati kepada Victoria, karena menggunakan nama
adiknya itu lagi untuk memanipulasi Elena.
Ҩ
Penerbangannya tidak lama, hanya dalam waktu dua setengah
jam mereka sudah sampai. Rafael membimbing
Elena melalui koridor bandara,
menuju pintu keluar,
dan seorang supir berpakaian rapi
rupanya sudah menunggu, dan membawa mereka ke mobil hitam berkilat yang sudah
disiapkan.
Perjalanannya sendiri singkat, dan mereka sudah tiba di jalan
besar, dan berhenti di hotel yang penuh dengan lampu menyala yang elegan.
Membuat Elena terpana. Meskipun dia menahan dirinya supaya tidak terlihat
memalukan di depan Rafael. Lelaki itu menggandeng tangannya dengan mesra dan membawanya ke president
suite di lantai paling atas hotel. Sepertinya
para pegawai di
hotel ini telah
menunggu kedatangan mereka dan menyiapkan segalanya untuk mereka.
Terima kasih untuk Damian dalam hal ini. Hotel ini adalah
salah satu hotel besar milik lelaki itu. Damian sudah menyiapkan segalanya untuk
mereka seperti janjinya.
Elena mengernyitkan keningnya ketika mereka mendapatkan
kamar yang sama. Dia menahan Rafael di depan pintu.
“Kita satu kamar?” Rafael mengangkat
bahunya, “Kita akan
menikah besok jam sepuluh pagi. Apa bedanya?”
“Ada bedanya. Aku tidak mau sekamar denganmu sebelum menikah.”
Gumam Elena keras kepala.
“Kita sudah pernah melakukannya sebelumnya Elena, tidur sekamar.
Seranjang malahan.” Lelaki
itu tersenyum lembut melihat
kecemasan di wajah Elena yang memerah malu, “Maafkan aku,
aku hanya memikirkan kepraktisan
saja tanpa memperhitungkan perasaanmu. Aku berpikir bahwa besok pagi
toh kita sudah
menikah, jadi tidak ada
gunanya
menyewa kamar terpisah….Aku tidak sadar hal ini
akan membuatmu tidak nyaman…..” Dengan lembut Rafael
menyentuh pipi Elena, “Mungkin kalau aku berjanji tidak akan
berbuat tak senonoh padamu malam ini, kau bisa sedikit lebih tenang?”
Elena merasa tak yakin, “Apakah kita akan tidur
seranjang?”
“Ada sofa besar di sana. Aku akan tidur di sofa jika itu
maumu.”
Sejenak Elena berpikir, lalu menghela napas panjang. Sepertinya
janji Rafael bisa dipercaya.
“Baiklah kalau begitu.”
Dan merekapun masuk ke kamar itu.
Ҩ
Ketika Rafael sedang mandi, Elena menyempatkan diri untuk menelepon ibu Rahma. Perempuan itu
sudah dia anggap sebagai ibunya, dan tidak
mungkin
Elena melakukan pernikahan tanpa
mengabari sosok pengganti ibunya itu. Dijelaskannya semuanya kepada Ibu Rahma, dengan
suara terbata-bata bahwa dia akan menikah dengan bosnya, Mr. Alex. Elena dengan malu
akhirnya menceritakan insiden
di malam pesta itu, mengakui kepada Ibu Rahma bahwa dia berbohong mengatakan
menginap di rumah temannya. Di luar dugaan, Ibu Rahma tidak
mempermasalahkannya, dengan bijaksana
Ibu Rahma menerima penjelasan Elena,
“Ibu mengerti Elena, kalian berdua sudah dewasa dan
kalian bisa menentukan sendiri apa yang menurut kalian baik. Ibu juga salut dengan
bosmu yang bertanggungjawab. Tidak semua
lelaki mau
menerima tanggungjawab begitu
besar karena sebuah insiden yang diakibatkan oleh mabuk. Kebanyakan
lelaki akan melarikan diri.” Ibu Rahma menghela napas panjang, “Ibu hanya bisa
mendoakan dari sini nak. Ibu yakin segala sesuatu yang awalnya dilakukan untuk
tujuan yang baik, akan berujung kebaikan pula.”
Elena menghembuskan
napas lega, bersyukur karena Ibu Rahma merestui pernikahan buru-burunya,
“Terima kasih Ibu, semoga.. semoga apa yang saya putuskan ini tidak salah...”,
keraguan mewarnai suaranya.
“Kau harus yakin bahwa calon suamimu adalah suami yang
baik...” Ada senyum dalam suara Ibu Rahma di seberang sana. “Menurut ibu dia
orang baik. Lalu apa rencana kalian setelah menikah? Kalian akan langsung
pulang?”
“Saya... saya masih belum tahu bu.”
“Kabari ibu kalau kalian pulang ya. Ibu akan mengerti
kalau kau tidak langsung pulang ke asrama nantinya. Kau akan pulang sebagai perempuan
yang sudah menikah, diskusikanlah semuanya dengan suamimu ya.”
Tanpa sadar Elena menganggukkan kepalanya, lupa kalau dia
sedang berbicara di telepon, “Baik ibu, terima kasih ibu.”
“Kamarmu akan tetap tersedia seperti biasanya, dan pakaian-pakaianmu masih
banyak di sini
kan? Kalau pulang nanti dan memutuskan akan langsung ke
tempat tinggal suamimu, ibu akan menjaga kamarmu seperti kalau kau masih tinggal
di sini. Kau bisa mengambil pakaian-pakaianmu dan barang-barangmu kapan saja, jangan
cemaskan hal itu. Pokoknya fokuskan dirimu pada pernikahanmu
dulu ya.”
Elena tersenyum ketika
percakapan itu selesai. Hatinya terasa tenang. Pendapat Ibu Rahma penting baginya, dan kalau
Ibu Rahma sudah setuju, hatinya lebih tenang dan mantap.
Ҩ
Rafael menepati janjinya hingga Elena merasa tenang. Dia masih
mencemaskan hari esok.
Hari pernikahan
yang datang begitu cepat sampai tidak bisa dipikirkannya. Membuat
perutnya bergolak karena cemas.
Elena
mandi bergantian dengan Rafael, lalu menyantap
makanan yang diantarkan ke
kamar. Setelah itu dia berpamitan
untuk tidur. Lampu dimatikan. Dan setelah berbagi selimut dan bantal dengan Rafael, Elena naik ke ranjang untuk berbaring dan mencoba tidur. Dia sempat melirik, Rafael sedang menata
bantal dan selimut dengan nyaman di
sofa depan sambil menyalakan televisi dengan suara lirih.
Mau tak mau pikiran
Elena melayang. Besok adalah hari pernikahannya.
Meskipun bisa disebut
hari
pernikahan yang tak wajar. Pengantin wanita mana yang baru tahu bahwa dia akan menikah sehari sebelumnya? Tetapi kalau ditilik dari masa lalu, kehidupannya memang tidak wajar. Kalau dia hidup di
keluarga yang wajar, malam ini dia pasti sudah disimpan di kamar, tidak boleh
bertemu dengan pengantin laki-laki. Kemudian seluruh keluarganya akan berkumpul di rumah. Orangtuanya ada
di
depan, menyalami tamu yang datang, dan berbahagia dengan persiapan pernikahan putri mereka satu- satunya esok hari, sebuah acara yang dianggap sakral. Tetapi itu semua hanya mimpi. Elena sebatang kara di dunia ini. Ayah dan ibunya telah meninggal. Direnggut paksa darinya. Air mata
menetes dan mengalir di
pipinya. Seandarinya saja semua itu tidak terenggut darinya….. Elena sangat ingin memeluk orangtuanya sebelum hari
pernikahannya. Amat sangat ingin…. Dia merindukan mereka berdua…
Ҩ
Rafael melangkah hati-hati ke arah ranjang, dan duduk di
tepi ranjang. Elena tertidur dengan posisi meringkuk seperti janin dalam
kandungan ibu. Ruangan
itu temaram, dengan hanya
satu lampu tidur
yang menyala remang.
Tetapi Rafael bisa melihat. Bekas
air mata yang sudah mengering, dari sudut mata Elena, mengalir ke pipinya.
Dengan lembut Rafael mengusapnya. Hati-hati agar Elena tidak terbangun.
“Setelah ini kau tidak akan menangis lagi Elena. Tuhan tahu
aku akan mengusahakan segala cara…”
No comments:
Post a Comment