BAB
11
Mikail
membaringkan Lana ke atas ranjang. Jemarinya menyusup ke balik rok Lana dan langsung
menyentuh pusat kewanitaannya. Sentuhan itu membakar sekaligus menyejukkan dan Lana
langsung mengangkat tubuhnya penuh gairah. Mikail menundukkan kepalanya,
mengecup leher dan pundak Lana sambil menurunkan kemejanya, menikmati betapa Lana
menyerah kepada gairahnya.
“Ah
sayangku, kau begitu indah,” Mikail menangkup buah payudara Lana di telapaknya,
merasakan dan menikmati kelembutan itu. Lalu bibir panasnya turun dan menangkup
pucuknya, melumatnya penuh gairah, membuat Lana hampir menjerit karena siksaan
kenikmatan yang berbaur menjadi satu.
Lelaki
itu menurunkan rok Lana dan mulai menyentuhnya, dimana-mana, meninggalkan gelenyar
panas yang membakarnya. Jemari Mikail menyentuh pusat kewanitaannya dan Lana merasakan
dorongan yang amat sangat untuk memohon agar Mikail mau memasukinya.
Dan
Mikail sudah siap, Lelaki itu terasa begitu keras dan panas di bawah sana. Lana
mendesak-desakkan tubuhnya dengan frustrasi, permohonan tanpa kata.
“Tenang
sayangku,” Mikail mulai terengah, menahan pinggul Lana yang bergairah di bawahnya,
“Aku akan meuaskanmu sebentar lagi”
Mikail
menyentuhkan dirinya, dan langsung menggertakkan giginya, melawan dorongan kuat
untuk memasuki Lana dengan kasar. Lana sudah sangat siap menerimanya, tetapi Mikail
bertekad memperlakukannya dengan lembut, memberikan tubuhnya untuk kenikmatan
Lana.
Ketika
kehangatan Mikail merasukinya, tenggelam dalam tubuhnya yang panas dan basah,
Lana mengerang dan memejamkan mata. Oh astaga! Rasanya begitu tepat, kenikmatan
ini, kedekatan ini yang telah dia sangkal selama ini. Rasanya luar biasa
tepatnya!
Mereka
bergerak dalam alunan gairah yang keras, berusaha memuaskan gejolaknya sendiri-sendiri.
Sampai akhirnya tubuh Lana terasa melayang, mencapai puncak kenikmatannya didorong
oleh rasa klimaks yang begitu dalam. Ketika mendengar erangan, Mikail mengikutinya.
Menyerah dalam orgasme bersamanya.
***
Ada
yang berbeda dalam hubungan mereka. Lana menyadari pagi itu, mengingat senyum lembut
Mikail ketika Lana terbirit-birit kembali ke kamarnya ketika hari hampir
menjelang pagi. Terutama perasaan Lana ke Mikail, ada yang berubah.
Ternyata
selama ini dia juga frustrasi oleh gairah yang tertahan, sama seperti yang
dirasakan Mikail. Dan ketika semalaman mereka saling memuaskan gairah masingmasing,
pagi ini perasaannya luar biasa bahagia. Lana bahkan merasa ingin bersenandung.
Pagi
ini, karena Mikail biasanya sudah berangkat bekerja jam-jam segini. Lana memutuskan
untuk mengisi waktunya dengan menjelajah seluruh isi rumah. Dia memutuskan untuk
menjelajahi area sayap kanan rumah yang besar itu. Tanpa di temani siapapun, Lana
menyusuri lorong-lorong, ruangan demi ruangan, sampai akhirnya tiba di ujung lorong,
dengan dinding yang sepenuhnya terbuat dari kaca, memantulkan cahaya matahari
ke seluruh lorong dan pemandangan yang luar biasa indahnya di balik kaca.
Pemandangan kebun mawar berwarna merah tua yang merambat dan memenuhi taman
kecil di sana.
Lana
terpesona hingga hampir sesak napas. Dia berdiri cukup lama di depan taman itu,
lalu kemudian mengerutkan keningnya ketika menyadari, bahwa sayap kanan rumah ini,
meskipun tampak bersih dan terawat, tampaknya hampir tidak pernah digunakan.
Lana
menoleh ke kiri, dan menemukan sebuah pintu besar berwarna keemasan, dengan penuh
rasa ingin tahu dia membuka handle pintu itu. Sepertinya susah dan macet,
tetapi kemudian setelah Lana mencoba beberapa kali, pintu itu terbuka dengan
mudahnya, dengan suara berderit karena engsel yang sudah lama tak diminyaki.
Ruangan
itu temaram, karena jendela kamarnya tertutup rapat oleh gorden, baunya pengap seperti
sudah lama tidak dimasuki. Lana meraba-raba dinding dan menemukan saklar di
kamar itu, ditekannya saklar kamar itu, dan cahaya kekuningan yang lembut langsung
menyinari seluruh ruangan.
Itu
sebuah kamar. Kamar yang sangat feminim dengan nuansa merah muda yang lembut,
hampir putih. Lana mengitarkan pandangannya ke kamar itu dan mememukan sesuatu yang
membuatnya tertegun…. Dan memucat.
Ada
sebuah lukisan besar yang digantung di kamar itu. Lukisan yang sangat besar dengan
bingkai keemasan yang sangat indah. Tetapi bukan besarnya lukisan itu atau
indahnya bingkai itu yang membuat Lana tertegun, tetapi orang dalam lukisan
itu.
Di
sana terlukis seorang perempuan yang sedang berdiri di tengah taman mawar,
dengan gaun merah muda dan rambut cokelat tuanya yang panjang dan berkilau, sedang
tertawa bahagia, seolah-olah perempuan itu tidak bisa menahan senyumnya kepada siapapun
yang melukisnya. Perempuan itu memeluk perutnya yang sedikit buncit, sedang
hamil muda. Perempuan itu tampak penuh bahagia… penuh cinta, dan yang membuat Lana
luar biasa kagetnya, wajah perempuan itu…. Wajah perempuan itu…. Sama persis
dengan wajahnya.
Oh
ya Tuhan! Sama persis! Bagaikan pinang di belah dua. Meskipun perempuan di lukisan
itu tampak lebih anggun dan
lebih
feminim, Lana sangat yakin bahwa selain semua alasan itu, wajah mereka berdua tampak
begitu serupa!
Tapi
Lana yakin itu bukan lukisan dirinya. Dia tidak pernah mengenakan gaun merah
muda, dia tidak pernah dilukis di tengah taman mawar, dan yang pasti, dia tidak
pernah hamil sebelumnya!
Jadi
siapakah perempuan itu? Siapakah dia…? “Seharusnya Anda tidak boleh ke area
ini”
Suara
dingin dan tenang di belakangnya membuat Lana terlonjak kaget. Dia menolehkan kepalanya
gugup dan menemukan Norman berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan dingin yang
biasanya.
“Siapakah
perempuan di lukisan itu Norman?” Norman melirik sekilas pada lukisan di dinding
itu, Lana merasa melihat sepercik kesedihan di sana, meskipun dia tidak yakin,
karena ketika menatap Norman lagi, lelaki itu sudah kembali memasang ekspresi datar.
“Saya
tidak bisa mengatakannya kepada Anda, Tuan Mikail akan sangat marah….”
“Kumohon,”
Lana menyela dengan cepat, “Jika kau tidak mau mengatakannya kepadaku, aku akan
menanyakan langsung kepada Mikail”
Wajah
Norman mengeras, “Anda tidak boleh melakukannya, saya tidak akan membiarkannya
karena itu akan menyakiti Tuan Mikail”
Perkataan
Norman itu makin membuat Lana penasaran. Ada apa ini sebenarnya? Apakah inilah jawaban
kenapa Mikail menyekapnya selama ini?
Lana
akan mengejar jawaban itu dari Norman, apapun yang terjadi, ditatapnya Norman dengan
keras kepala, “Kalau begitu jelaskan padaku siapa perempuan ini, kenapa
wajahnya begitu sama denganku, dan apakah ini penyebab Mikail menyekapku?”
Norman
menghela nafas panjang, “Baik akan saya jelaskan, tetapi jangan di sini, ayo
ikut saya,” Lelaki itu membalikkan tubuhnya dan bergegas keluar dari kamar, seolah-olah
berada di dalam kamar itu terasa menyesakkannya. Tiba-tiba Lana juga merasa sesak
sehingga dia langsung mengikuti langkah Norman keluar dari kamar itu.
***
“Perempuan
itu adalah Nyonya Natasha Raveno,” Norman bergumam datar, menatap mata Lana dalam-dalam.
Mereka sekarang duduk di ruang duduk di bagian belakang rumah yang berakses
langsung ke taman belakang dan dilengkapi dengan sofa-sofa cantik yang nyaman dan
meja kopi yang saat ini menyediakan kopi hangat yang mengepul di meja.
Lana
mengernyit mendengar informasi itu, Natasha Raveno? Apakah dia ibu Mikail? Tetapi
setahunya, ibu Mikail bernama Francessa.
“Bukan
ibu tuan Mikail,” Norman sepertinya bisa membaca pikiran Lana, “Nyonya Natasha
Raveno adalah almarhum isteri Tuan Mikail”
Lana
terperangah dan tiba-tiba merasa sesak napas, dadanya seperti dihantam oleh ribuan
ton batu sehingga terasa nyeri. Isteri?? Mikail pernah punya isteri sebelumnya?
Dan kenapa wajah perempuan itu sama persis dengannya?
“Tuan
Mikail menikahi Nyonya Natasha ketika masih sangat muda, di Italia ketika Tuan
Mikail lulus dari kuliahnya, pada usia 20 tahun. Mereka pasangan muda yang saling
mencintai. Setahu saya, Tuan Mikail sangat mencintai isterinya,” Norman berdehem,
“Saya sudah mulai bekerja kepada Tuan Mikail ketika itu… Dulu, beliau adalah orang
yang baik, sangat mudah tertawa dan ramah….tetapi….Nyonya Natasha memang berbadan
lemah sejak awal, dia mempunyai penyakit jantung dengan katup yang tidak sempurna…..,”
Norman menghela nafas panjang, seolah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bercerita,
“Kemudian
Nyonya Natasha hamil… mereka sangat bahagia sekaligus cemas… bahagia karena itu
adalah anak pertama mereka, dan cemas karena itu adalah kehamilan yang sangat beresiko…….
Nyonya Natasha seharusnya tidak boleh hamil karena kondisi penyakitnya, tetapi
dia perempuan yang keras kepala di balik tubuhnya yang lemah…,” Norman tanpa
sadar tersenyum, melembutkan garis-garis datar di wajahnya, “Dia bertekad untuk
hamil dan melahirkan anak Tuan Mikail, meskipun semua orang menentangnya, bahkan
Tuan Mikail sendiri”
“Mikail
menentangnya?,” Lana membayangkan seorang perempuan dengan tubuh lemah, tetapi
mampu menantang. seluruh dunia demi calon anak yang dikandungnya, sungguh
perempuan yang luar biasa.
“Ya,
sudah pasti Tuan Mikail menentangnya, kehamilan itu berbahaya, nyawa Nyonya Natasha
taruhannya,” Norman menundukkan kepalanya sedih, “Kemudian Nyonya Natasha keguguran".
Lana
tertegun. Keguguran, jadi bayi mereka tak pernah lahir? Tiba-tiba Lana merasa
sedih mengingat senyuman Natasha di lukisan itu, senyuman seorang calon ibu yang
sangat bahagia, dengan tangan memeluk perutnya seperti melindungi sang buah
hati yang sedang terlelap di sana.
“Tubuh
nyonya Natasha ternyata terlalu lemah untuk menumbuhkan seorang bayi dalam rahimnya,
dia tidak mungkin mengandung sampai anak itu lahir….kenyataan itu menghancurkan
perasaan Nyonya Natasha dan membuat ondisi fisiknya makin lemah….,” Norman
menghela nafas,
“Nyonya
Natasha semakin hari semakin sakit, hingga akhirnya sudah tak mampu bangun dari
ranjangnya. Di suatu pagi, Tuan Mikail menemukannya sudah meninggal dalam tidurnya”
Air
mata Lana menetes, meninggal karena patah hati. Lana teringat kepada ibunya. Mereka
berdua meninggal karena patah hati…. Tidakkah mereka menyadari bahwa mereka
egois? Meninggalkan semua beban di dunia ini dengan lepasnya, tanpa memikirkan bahwa
mereka juga meninggalkan patah hati bagi siapapun yang mereka tinggalkan?
Sejak
kematian Nyonya Natasha, sepuluh tahun yang lalu… Tuan Mikail berubah, dia menutup
hatinya. Dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Dia tidak pernah sama lagi sejak
saat itu.
Lana
mengusap air matanya dan menatap Norman tajam. “Jadi, karena itukah Mikail
menyekapku di sini? Karena wajahku sama persis dengan almarhumah isterinya?”
Norman
menatap Lana dalam-dalam, “Anda seharusnya tahu bahwa…..”
“Norman”
Suara dingin Mikail dari arah pintu membuat mereka berdua menoleh. Wajah Norman
memucat menemukan Mikail sedang berdiri di sana, berdiri bersandar di pintu
dengan wajah tidak terbaca.
“Aku
sebenarnya tidak ingin mengganggu kau yang sedang asyik bergosip dengan Lana,”
Mata Mikail menajam, “Tetapi aku membutuhkanmu sekarang. Ada sesuatu yang perlu
kita bahas”
Secepat
kilat Norman berdiri, meskipun ada kekhawatiran yang terpancar di wajahnya, dia
telah melangkahi wewenangnya dengan menceritakan tentang Nyonya Natasha kepada
Lana. Entah apa yang akan dilakukan Tuannya ini kepadanya.
Mikail
bahkan sama sekali tidak menoleh ke arah Lana, dia membalikkan badan dan membiarkan
Norman mengikutinya.
***
Lana
termenung di kamarnya, seluruh kata-kata Norman terngiang di telinganya, berulang-ulang.
Kisah tentang Natasha Raveno yang cantik dan sempurna dan betapa Mikail mencintainya.
Jadi,
selama ini dia hanya dipakai sebagai pengganti dari Natasha. Entah kenapa
perasaan sedih yang samar menyeruak di dada Lana, terasa begitu menyakitkan. Mikail
menyekap dan mempertahankan dirinya di sini karena wajahnya mirip dengan Natasha.
Bahkan Mikail bercinta dengannya mungkin juga sambil membayangkan Natasha.
Kemiripan wajahnya dengan almarhumah isteri Mikail-lah yang menyelamatkannya,
mungkin. Kalau tidak dia sudah dibunuh dan dihancurkan oleh Mikail atas percobaannya
melukai lelaki itu.
Ternyata
bahkan gairah Mikail yang meluap-luap itu bukan ditujukan kepadanya. Dia hanyalah
sosok pengganti dari perempuan yang benar-benar diinginkan oleh Mikail.
“Aku
berani bertaruh bahwa pikiran-pikiran yang buruk sedang berkecamuk di kepalamu
yang mungil itu”
Karena
sibuk dengan pikirannya, Lana tidak menyadari kedatangan Mikail. Lana mengamati
Mikail, lelaki itu tampak lelah,
“Aku
ingin segera keluar dari sini, setelah aku mengetahui semuanya, kau tidak
berhak lagi memanfaatkanku dan menahanku di sini,” Lana mendongakkan dagunya
dengan angkuh.
Mikail
melangkah mendekat, berdiri di sofa di depan Lana duduk, dan menatap tajam,
“Kupikir
semalam kita sudah mencapai kesepakatan” “Semalam terjadi karena kau mengancamku!!,”
Napas Lana terengah menahan emosi, “Sekarang aku sudah kembali ke pikiran warasku”
“Tidakkah
kau ingin bersamaku Lana? Kita begitu cocok di ranjang, kau dan aku. Kita bisa
menjalin hubungan yang saling menguntungkan”
“Aku
menolak untuk dimanfaatkan untuk menjadi pengganti siapapun”
“Kau
bukan pengganti siapapun!,” Mikail menyela tampak marah.
Mereka
berdiri berhadap-hadapan saling mengukur kekuatan masing-masing. Akhirnya Lana
berkata,
“Aku
sudah mengetahui semua kebenarannya Mikail. Aku memang bersalah mencoba mencelakaimu.
Tetapi itu tidak penting lagi. Kau memang bersalah atas kematian kedua orang tuaku,
dan aku berhak merasa benci dan dendam kepadamu. Tetapi kau juga sudah menyelamatkan
nyawaku, jadi aku menganggap kita impas. Kalau kau melepaskanku, aku berjanji
tidak akan muncul dalam kehidupanmu lagi dan tidak akan pernah berusaha mencelakaimu
lagi,” Lana menatap Mikail sungguh-sungguh, “Itulah penawaran terbaik yang bisa
kuberikan”
“Penawaran
katamu?,” Mikail mengibaskan tangannya jengkel, “Kau boleh berprasangka dengan
semua kebencian tak beralasanmu itu, yang harus kau tahu, semua yang kau pikirkan
di dalam kepala cantikmu itu salah”
“Aku
tahu mana yang salah dan benar Mikail. Dan kali ini aku sungguh-sungguh,” Lana
menatap Mikail dengan tatapan mengancam, “Pilihanmu hanya dua, melepaskanku,
atau mendapati aku mati”
***
Lana
melaksanakan ancamannya. Dia mogok makan. Di hari pertama Mikail masih menganggap
remeh ancaman Lana yang kekanak-kanakan itu, dan menertawakannya.
Tetapi
sekarang sudah hampir dua hari, dan Norman melapor bahwa Lana sama sekali tidak
menyentuh makanan dan minumannya.
“Sama
sekali?,” Mikail berdiri dari duduknya dan menatap Norman frustrasi.
“Dia
sama sekali tidak menyentuh makanannya, kami meletakkan makanannya di kamar dan
dia hanya tidur di sana. Ketika kami menengok nampannya, dia tidak menyentuhnya
sama sekali, bahkan minumannya pun tidak disentuhnya. Anda harus melakukan sesuatu
sebelum perempuan itu membahayakan dirinya sendiri,” jawab Norman datar, meskipun
ada nada khawatir di sana. “Aku akan menengoknya” Mikail melangkah memasuki kamar
putih itu, dan menemukan Lana terbaring lemah di ranjang. Perempuan ini
benar-benar keras kepala.
“Kenapa
kau tidak memakan makananmu?,” Mikail mendesis menahan kemarahannya, “Apakah
kau ingin membunuh dirimu sendiri?”
Lana
membalikkan badan dan menatapnya, membuat Mikail mengernyit, wajah Lana tampak
pucat dan bibirnya kering, perempuan itu juga tampak lemah.
“Kau
harus memakan makananmu Lana, kalau tidak kau akan sakit dan membahayakan
dirimu sendiri”
Lana
menggelengkan kepalanya dan memalingkan wajahnya dari Mikail.
Mikail
mengacak rambutnya frustrasi.
“Oke,
Kau mau apa?! Kau ingin bebas? Baik! Kau akan dapatkan apa yang kau mau, asalkan
kau mau makan!”
Pernyataan
itu membuat Lana menolehkan kepalanya lagi menatap Mikail, dia berdehem, tenggorokannya
terasa kering membuatnya susah berbicara, perutnya terasa nyeri, dan kepalanya pusing,
“Kau…
berjanji…?,” gumamnya lemah.
Mikail
menatap Lana marah, “Kau pikir aku bisa berbuat lain?? Aku berjanji, kau bisa
pegang janji seorang Raveno. Sekarang, biarkan aku membantumu minum!”
Sambil
berdehem kembali karena tenggorokannya sakit, Lana berusaha menantang tatapan marah
Mikail dan membaca arti yang tersirat di dalamnya. Ya, Mikail Raveno selalu menjunjung
harga dirinya, dia tidak akan mengingkari janji. Setelah merasa yakin, Lana menganggukkan
kepalanya.
“Astaga
Lana,” Mikail mendesah lega, meraih gelas air putih yang tak tersentuh, tak jauh
dari ranjang, lalu duduk di samping ranjang dan membantu Lana duduk,
“Kau
bisa minum?”
Lana
haus sekali, dan keinginannya yang paling besar adalah langsung minum dari gelas
itu dengan sekali teguk. Ketika menerima gelas itu, Lana langsung meneguknya dengan
rakus, tetapi berhenti di tegukan pertama karena tersedak dan sakit di
tenggorokannya.
“Pelan-pelan,”
bisik Mikail lembut, menjauhkan gelas itu dari Lana, “Gadis keras kepala,”
gerutunya, lalu meneguk minuman di gelas itu,
Selanjutnya
yang terjadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lana. Mikail duduk menerjangnya
dan melumat bibirnya, sekaligus mengalirkan air minum itu ke tenggorokannya.
Air
minum itu meluncur dengan mulus ke tenggorokan Lana, membasahinya yang kehausan.
Sejenak, ketika air itu telah seluruhnya berpindah, Mikail masih bermain-main
di bibir Lana, mempermainkannya.
Kemudian,
sedikit terengah, Mikail melepaskan bibir Lana, mereka duduk dengan wajah berhadapan,
sangat dekat hingga napas panas mereka bersahutan.
Lalu
dengan gerakan tiba-tiba Mikail menjauhkan tubuhnya dari Lana dan menatapnya tegang,
“Besok Theo akan membantu mengemasi pakaianmu dan Norman akan mengantarkanmu
pulang”
“Aku
tidak mau membawa apapun dari sini, aku datang kesini tanpa membawa apapun, dan
begitupun ketika aku keluar dari sini”
Mikail
mendesis tajam, “Aku memaksa, Lana dan jangan bermain-main dengan kesabaranku”
Lana
terdiam. Mikail membebaskannya, itu sudah cukup. Dan kalau konsekwensinya Lana
harus bertoleransi dengan sikap arogan lelaki itu, mungkin itu cukup sepadan.
***
Pakaian-pakaian
yang dibelikan Mikail untuknya sangat banyak hingga membutuhkan 3 koper besar
untuk mengepaknya, belum lagi satu koper besar berisi perhiasan dan aksesoris
seperti koleksi sepatu dan tas yang bahkan tidak sempat Lana pakai.
Pegawai
Mikail sudah mengatur barang-barang itu dengan rapi di bagasi, dan Norman sudah
berdiri di sisi mobil, mempersilahkan Lana masuk untuk diantar pulang.
Lana
melirik ke arah rumah besar itu, Mikail tidak ada dari pagi tadi, lelaki itu
pergi entah kemana tadi pagi-pagi sekali dan Lana tidak berani bertanya kepada
Norman. Seharusnya Lana berbahagia, Dahi Lana berkerut memikirkan perasaannya.
Tetapi entah kenapa dia tidak bahagia. Rasanya menyesakkan dada dan menyedihkan
entah kenapa. Dan Lana menahan diri kuat-kuat atas dorongan emosi yang membuatnya
ingin menangis. Dengan cepat, tanpa berani menoleh ke arah rumah Mikail, Lana
memasuki mobil hitam itu. Norman menutup pintu penumpang dan duduk di kursi
supir bersama seorang pengawal lain. Pelan, mobil itu meluncur melalui taman
besar di halaman Mikail dan melewati gerbang.
Detik
itulah Lana memberanikan diri menatap rumah Mikail, mungkin ini akan jadi yang terakhir
kalinya. Dia menyerap pemandangan rumah itu dan mengenangnya, sampai kemudian pintu
gerbang hitam yang tinggi itu tertutup, menghalangi pandangannya.
Selamat
tinggal Mikail Raveno. Lana mengusap setitik air mata di sudut matanya. Setelah
ini aku tidak akan memikirkanmu lagi.
***
No comments:
Post a Comment