1
"Kamu sangat menyedihkan",Victoria menoleh ke laki- laki di sebelahnya, yang kebetulan kakaknya.
"Bukan urusanmu."
Victoria mendengus lalu
menyesap minuman kalengnya dan meletakkannya di dashbor mobil.
"Sampai kapan kamu mau begini terus?
sampai dia menjadi nenek-nenek dan tetap
tidak menyadari
keberadaanmu ?"
"Sttt."
Rafael bahkan tidak
menoleh
ke wajah
adiknya yang duduk di sebelahnya, tatapannya lurus ke
depan, ke pintu keluar sebuah gerbang kampus.
Tak lama sosok yang dicarinya itu keluar, dengan senyum manis yang sudah dihafalnya, sedang bercanda bersama teman-temannya.
"Dia tersenyum." gumam Rafael lega.
"Tentu saja dia
tersenyum, dia
berhasil lulus dengan predikat cum laude", tukas
Victoria dengan gusar, "Dan
itu karena siapa coba?"
"Aku tidak mau membahasnya...."
"Karena kamu!
Semua karena perjuanganmu."
Victoria tidak mempedulikan peringatan kakaknya dan
terus melanjutkan.
"Dan
sekarang kamu bahkan tidak bisa memberi selamat
kepadanya, malah mengintip dari jauh seperti ini. Benar-benar menyedihkan!"
Rafael terus menatap sosok itu sampai menjauh, menghilang di dalam angkutan umum yang dikendarainya.
“Dia bahkan masih naik angkutan umum, Aku harus mengusahakan kendaraan untuknya. Supaya dia tidak perlu capek berpanas-panasan naik angkutan umum lagi."
Perkataan itu semakin membuat Victoria gusar karena kakaknya itu tidak memperhatikan kata-katanya.
"Kamu menyedihkan, sampai kapan kamu menghukum diri sendiri seperti ini ?"
Sepi. Tampaknya Rafael mengganggap pertanyaan
Victoria itu tidak perlu dijawab. Dua kakak beradik itu terdiam di
dalam mobil mewah yang sengaja di parkir agak jauh dari kampus, agar tidak
mencolok. Rafael sibuk dengan pikirannya
sendiri, pikirannya melayang ke
masa sepuluh tahun lalu, saat usianya masih 18
tahun. Kaya, tampan, punya
kuasa, dan tidak tahu tentang rasa tanggung jawab........
========================
10 tahun yang lalu
"Ini mobil hadiah ulang tahunku, baru ada dua di Negara ini.“ gumam Rafael bangga pada teman-temannya waktu itu.
Semua temannya mengagumi mobil sport warna
merah yang diparkir Rafael di lapangan itu.
"Gila Raf,
mobil
ini
enak sekali
dibawa
ngebut!" seru salah satu temannya.
"Tentu saja, namanya juga mobil sport."
"C'mon
Let's try." seru salah seorang temannya yang lain. Rafael tertawa
bangga dengan kesombongan
masa mudanya waktu itu.
Malam itu mereka
mabuk-mabukan dan berpesta pora.
Dan malam
itu pula Rafael belajar
bahwa kesenangan sesaat
kadangkala bisa merenggut nyawa orang yang tidak bersalah. Mobil yang dia
kendarai dalam keadaan mabuk, menabrak sebuah taksi yang berjalan pelan di
jalur berlawanan.
Pengemudi
taksi itu, lelaki tua yang tidak tahu apa-apa, tewas seketika.
Tentu saja
semua permasalahan dapat
dibereskan dengan cepat. Ayah Rafael adalah pengusaha yang sangat
berpengaruh karena harta dan kekuasaannya yang melimpah.
Tidak
ada yang mempermasalahkan kenapa Rafael mengendarai kendaraannya dalam kondisi
mabuk berat, uang jaminan sudah disiapkan. Rafael sendiri waktu itu lebih
mencemaskan keadaannya daripada
memikirkan supir taksi tua yang tewas itu. Toh supir taksi itu
lebih beruntung langsung tewas, tidak merasakan sakit seperti dirinya.
Limpanya
terbentur keras, bengkak, sehingga memerlukan perawatan dan pengobatan khusus,
dan rasa sakitnya sungguh tidak terkira. Bahkan Rafael sempat menyalahkan supir
taksi yang menurutnya kurang ajar. Kenapa bisa ada di jalan yang berlawanan
dengan dirinya sehingga membuatnya tertabrak.
Semua
permasalahan dibereskan dengan cepat oleh ayahnya. Rafael
langsung di kirim ke Singapura
untuk menjalani pengobatan. Sampai 6 bulan kemudian setelah kecelakaan itu, dia
pulang ke Indonesia.
Mamanya,
seorang perempuan Spanyol yang sudah tinggal di negara ini sejak menikah dengan
Ayah Rafael, mengingatkannya,
"Kau
tidak pernah ingin tahu tentang mereka?" tanya mamanya waktu itu.
Rafael
yang saat itu merasa bosan karena masih harus beristirahat di rumah dan tidak
bisa keluar rumah menatap mamanya dengan marah,
“Buat
apa Ma? Bukankah papa sudah memberikan tunjangan yang sepadan untuk mereka?
Mungkin malahan lebih banyak dari yang
bisa dihasilkan supir
taksi itu ketika
dia hidup."
Kesombongan
membuat suaranya terdengar keras.
Sang
mama menggelengkan kepalanya, "Supir taksi itu memiliki isteri yang
berduka dan seorang anak yang masih membutuhkan biaya sekolah. Apakah kamu
tidak menyesal atas kehilangan yang dialami anak kecil itu, Rafael?"
Rafael
merasa terganggu mendengar ucapan mamanya, "Sebenarnya apa yang mama
inginkan dari Rafael ?"
"Mama hanya
ingin merasa sedikit
lega, mama ingin kamu kesana dan meminta maaf langsung.
Bahkan selama ini hanya pegawai papa yang datang kesana dan mengurus
semuanya."
Rafael mencibir,
"Mereka itu keluarga
miskin, kalau Rafael datang
kesana dan menunjukkan penyesalan, mungkin mereka akan meminta tambahan tunjangan
lagi."
"Kalau
begitu beri saja. Kau sudah mengambil nyawa seorang ayah Rafael. Berapapun
harta yang kau berikan, itu tak akan tergantikan."
Dan
datanglah Rafael keesokan harinya, dengan diantarkan sopir dalam mobil mewah.
Tentu saja tak lupa membawa buket bunga di tangannya.
Ternyata
mobil tidak bisa masuk ke kompleks itu, Rafael masih harus berjalan melewati
gang sempit dan rumah-rumah tak terurus dengan bau yang mengganggu indra
penciumannya. Dengan jijik dipandanginya
lumpur di sepatu
mahalnya, dia akan membuang
sepatu ini, putusnya jengkel.
Rumah
itu sederhana, terletak di ujung gang, tetapi tampak paling bersih di antara
semua rumah yang berdesak- desakan di sana. Kelihatannya seseorang berusaha
meletakkan pot-pot mungil berisi bunga mawar untuk menutupi pagar jelek yang
menyedihkan di depan rumah itu. Ketika Rafael mengucapkan permisi di depan
pintu, seorang gadis remaja, mungkin usianya beberapa tahun di bawahnya muncul
di ruang tamu dan menatapnya curiga.
Gadis
itu cantik, itu yang Rafael pikirkan pertama kali melihatnya. Cantik, dengan
tatapan mata yang cerdas, dan meskipun hanya berpakaian sederhana, tetap saja
tidak bisa menahan keterpesonaan Rafael.
"Siapa?"
tanya gadis itu hati-hati.
Rafael
memasang senyumnya yang paling
mempesona, selama ini banyak perempuan yang mengejarnya. Dia tidak pernah
meragukan pesonanya.
"Saya....saya
datang kemari untuk minta maaf atas kecelakaan itu, maaf saya baru bisa kemari.
Saya baru pulang dari Singapura setelah menjalani perawatan medis karena luka setelah
kecelakaan itu."
Hanya
kalimat itu yang bisa ia keluarkan. Karena setelah kalimat itu, Rafael
bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi.
Yang
bisa diingatnya adalah jeritan histeris penuh kemarahan sang gadis,
tetangga-tetangga yang berdatangan untuk memisahkan mereka karena sang gadis
tiba-tiba menyerangnya dengan tamparan bertubi-tubi. Bunga-bunga berserakan
dihancurkan, dan ancaman penuh kebencian keluar dari gadis kecil itu.
"Jangan
pernah kau menampakkan wajahmu di muka kami!, Kau manusia hina yang bersembunyi
di balik kekuasaan ayahmu, manusia pengecut,
tidak bertanggung jawab!!
Kau pikir nyawa manusia bisa diganti
semudah itu dengan uang? Kami
memang miskin, tapi kami punya harga diri!! Jadi sebelum kau bisa
menunjukkan kalau kau
punya harga diri,
jangan berani-berani menunjukkan mukamu di depan kami!!! "
Hari itu,
Rafael diberitahu oleh
seorang tetangga, ibu gadis itu yang jatuh sakit karena tak
kuat menahan kepedihan, meninggal semalam dalam kondisi sakit parah, menyusul
ayahnya. Hari itu, Rafael menyadari, bahwa perbuatannya telah menghancurkan
hidup sebuah keluarga.
"Mereka sama
sekali tidak mau
menerima uang tunjangan dari
keluarga ini, itulah yang mengganjal di hati mama." sang mama menatap
Rafael sedih.
"Gadis
itu membenciku Ma, baru kali ini aku
menerima tatapan kebencian seperti itu."
Rafael
masih terpekur shock dengan kejadian yang baru di alaminya. Sang mama hanya
menatapnya sedih,
"Gadis
itu kehilangan ayahnya dengan tragis, dan ibunya pula, apalagi yang bisa
dilakukannya selain menumpahkan kebencian kepadamu, penyebab semua ini ?"
"Dia sebatang
kara, dan dia
tidak mau menerima bantuan dari kita, lalu Rafael
harus berbuat apa,Ma ? "
Mamanya
menatap Rafael dengan kebijaksanaan yang diperolehnya dari pengalaman hidupnya
bertahun-tahun,
"Mungkin kau
harus memulainya dari
dirimu sendiri dulu
Rafael..."
========================
"Mau
sampai kapan kita parkir di sini? Gadis itu sudah pergi sejak tadi," suara
Victoria memecahkan keheningan, hampir membuat Rafael berjingkat karena kaget.
"Melamun lagi
ya? Akhir-akhir ini
kebiasaanmu melamun semakin parah. "
Rafael menarik
napas lalu memundurkan
mobilnya keluar dari parkiran,
"Thank's sudah menemaniku
menunggu dia,"
Victoria
menatap kakaknya seksama, lalu tatapannya berubah penuh sayang. Kejadian
kecelakaan itu sudah lama, tetapi kakaknya menanggung beban rasa berdosa itu di
pundaknya tanpa henti. Hingga seolah-olah Rafael sudah lupa bagaimana caranya
tersenyum.
"Aku sayang
padamu kak, aku
tidak tahan kalau
kau terus-terusan dalam kondisi seperti ini."
Rafael
terdiam, tidak menanggapi. " Dia sudah lulus kuliah, nilainya bagus, dia pasti akan diterima di perusahaan
yang juga telah susah payah kamu siapkan untuknya." Victoria menatap Rafael penuh arti, lalu
mendesah ketika Rafael tidak mengatakan apa-apa, “Bukankah ini waktunya kamu
berhenti?"
"Berhenti
apa?"
"Berhenti
memikul tanggung jawab ini seolah-olah kamu tidak akan pernah termaafkan.
"
Cengkeraman
Rafael di roda kemudi semakin erat, "Aku memang tidak akan pernah
termaafkan."
"Kejadian
itu sudah lama berlalu, gadis itu bahkan mungkin sudah kehilangan kesedihannya
dan menjalani hidup dengan bahagia...."
Rafael
mengernyit menggelengkan kepala, membantah apapun yang berusaha diucapkan oleh
adiknya.
"Tidak.
Aku yang merenggut semua kebahagiaannya. Sebelum semua bisa aku kembalikan
kepadanya dalam kondisi utuh, aku tidak akan berhenti."
"Kau sungguh
menyedihkan." Victoria menatap kakaknya dengan pandangan jengkel,
merasa seperti kaset yang rusak karena mengulang-ulang kalimatnya
terus-menerus, "Aku berdoa
semoga suatu saat
nanti gadis itu
tahu, siapa yang berada di balik hidupnya yang berjalan
dengan begitu mudah selama ini."
Ҩ
"Surat
panggilan untukmu." ibu asrama menyerahkan surat yang
terbungkus rapi dalam
amplop berbahan kertas mahal itu.
Elena
mengernyitkan kening, dibacanya kop di
amplop surat itu yang ditulis dengan tinta emas elegan dengan emblem lambang
perusahaan yang sangat bonafit. Perusahaan ini bergerak di bidang jasa
konstruksi dan sangat terkenal, Elena tahu emblem perusahaan ini, dan dia
mengenal perusahaan ini, yang
sering disebut-sebut oleh
dosennya, dan juga
sering muncul di berbagai media
massa terutama yang menyangkut literatur bisnis dan keuangan.
Perusahaan
ini benar-benar didirikan dari bawah, ownernya yang menurut gosip masih muda,
memulai usaha ini setelah pulang dari sekolahnya di Amerika. Dia mendirikan
perusahaan dengan sistem yang serupa dengan joint ventura dengan penanaman
modal dari perusahaan asing yang bergerak di bidang sejenis. Dan kemudian dalam
waktu lima tahun sudah merajai jajaran perusahaan konstruksi yang patut
diperhitungkan.
Sebuah
surat panggilan? Itu benar-benar membuat Elena bingung, dia tidak pernah merasa
mengirimkan lamaran ke perusahaan ini.
Perusahaan ini terlalu bonafit
untuk seorang fresh graduate seperti
dirinya. Tapi bagaimana
mungkin ada surat panggilan kalau
dia tidak pernah mengajukan surat lamaran?
Ibu
asrama tersenyum melihat keragu-raguan Elena, "Sudah buka saja, mungkin
isinya benar-benar panggilan kerja untukmu."
"Tapi
saya tidak pernah merasa mengirimkan
lamaran ke perusahaan ini,
Ibu." Elena terbiasa memanggil ibu
asramanya dengan sebutan ibu.
Ibu
asrama ini sudah seperti ibu kedua baginya, ketika dia sebatang
kara dan kedua
orang tuanya meninggal
dulu, Elena memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencari pekerjaan.
Kebetulan waktu itu seorang tetangganya mengenalkannya dengan ibu Rahma, seorang
pegawai yang bertanggung jawab terhadap sebuah asrama putri yang saat itu
sedang membutuhkan pembantu dan teman untuk menunggui asrama milik sebuah
yayasan swasta tersebut.
Ibu
Rahma adalah seorang janda tanpa anak yang hidup sendirian, dan kehadiran Elena
sangat membantunya. Bahkan kemudian ibu
Rahma mengusahakan beasiswa
untuk Elena agar dia bisa
melanjutkan sekolahnya. Dan kemudian semua terasa mudah bagi Elena, beasiswanya terus berlanjut hingga Elena bisa
lulus kuliah, tentu
saja sebagian biaya
hidupnya harus Elena tanggung sendiri. Dia sekolah sekaligus bekerja
sebagai pegawai asrama putri tersebut, mengurus administrasinya, bahkan
kadang menjadi pegawai kebersihan kalau sedang tidak ada tenaga
kebersihan.
"Mungkin
itu rekomendasi dari Universitasmu, kau kan lulusan terbaik." Ibu Rahma
tersenyum lembut, "Ayo, bukalah."
Dengan
enggan dan sedikit takut-takut, Elena merobek amplop itu,
sebelumnya dia memastikan
kalau amplop itu benar-benar ditujukan
padanya. Setelah yakin
dia mengeluarkan kertas surat yang tak kalah elegan dengan amplopnya itu
dan mulai membaca isinya
Dengan
Hormat,
..........maka
kami memanggil anda untuk menjalani rangkaian interview.............
Elena
mengerutkan keningnya, membacanya
berulang-ulang
"Bagaimana?" Ibu
Rahma tampak begitu
optimis dan penasaran,
Elena
tersenyum, "Memang surat panggilan pekerjaan..." "Kau harus
datang."
"Tapi,
Bu... saya masih bingung..."
Ibu
Rahma menggelengkan kepalanya,
menelan semua bantahan Elena,
"Tidak semua orang berkesempatan sepertimu Elena, kau harus datang
memenuhi panggilan kerja itu."
Elena
terdiam, mengerutkan kening, tapi pikirannya melayang, hidupnya
terasa begitu mudah,
seolah-olah Tuhan mengulurkan
tanganNya langsung dan membantunya. Dia mendapatkan semuanya dengan begitu
mudah, rumah asrama yang menampungnya gratis, beasiswa demi beasiswa untuk
melanjutkan sekolahnya, ibu asrama sebagai pengganti orangtuanya. Pekerjaan
yang sangat fleksibel yang memungkinkannya bekerja sambil sekolah, sekaligus
menyediakan uang untuk kebutuhan pribadinya. Dan sekarang, begitu luluspun,
tawaran pekerjaan langsung
datang kepadanya, dan tidak tanggung-tanggung, langsung
di sebuah perusahaan bonafit berkelas tingggi.
Elena
tersenyum dan otomatis memandang ke atas, ke titik khayalan yang
dibayangkannya,
"Hei malaikat
pelindungku," bisiknya pelan
kepada langit, "Kau pasti sudah bekerja sangat keras, bernegosiasi
dengan Tuhan untuk membuat hidupku begitu mudah, terima kasih ya"
Ҩ
Elena merapikan
rok setelan kerjanya yang sedikit kusut dengan
gugup. Angkutan yang
dinaikinya sangat penuh
dan sesak sehingga penampilan
Elena jadi tidak serapi ketika
dia berangkat tadi. Dan
sekarang disinilah dia
berdiri, di lobi mewah perusahaan ini dengan
keragu-raguan dan kecemasan yang tampak jelas.
Aku
telah berbuat kesalahan dengan datang ke sini, ini bukanlah tempatku.....
Elena
mengusap keringat di dahinya ketika petugas resepsionis yang
ramah tersenyum kepadanya, mengundangnya mendekat,
"Ada
yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu mungkin kasihan melihat
Elena yang gugup
dan kebingungan seperti salah tempat,
"Eh... ini...."
Elena mengeluarkan surat
panggilan interview yang diterimanya kemarin. Dia mengeluarkannya dengan
hati-hati seolah
itu harta karun
berharga dan menunjukkannya
kepada sang resepsionis, "Saya mendapatkan panggilan interview di
perusahaan ini hari ini."
Resepsionis
itu menerimanya dan mengerutkan kening, dia adalah pegawai berpengalaman dan
tahu, bahwa surat panggilan ini tidak main-main, dikirimkan langsung oleh
sekretaris sang owner.
Bahkan ditandatangi langsung
oleh owner mereka.... Ini bukan surat main-main, ini surat penting....
"Sebentar,
saya akan menelepon." sikap resepsionis yang ramah dan mengasihani itu langsung
berubah serius dan dia
meninggalkan Elena untuk mengangkat telepon.
Jantung
Elena langsung berdegup kencang, pikiran- pikiran buruk langsung menerpanya,
apakah dia salah? Apakah surat itu surat palsu, mungkin sekedar lelucon untuk
mengerjai Elena? Astaga!! Kenapa tak pernah terpikirkan di benaknya tentang
kemungkinan itu?
Elena
memandang sekeliling dengan gelisah, apakah dia akan diusir? Apakah dia akan
dipermalukan?
Rasanya
lama sekali ketika resepsionis itu akhirnya kembali dari belakang. Dia sudah
berhasil menguasai diri rupanya, senyum ramahnya sudah kembali,
"Interview
akan dilakukan di lantai lima, saya akan meminta petugas kami untuk menemani
anda ke atas."
Seorang
petugas entah muncul dari mana dengan ramah menemani Elena
melangkah masuk ke
lift menuju ke
lantai lima.
"Mari
nona, silahkan duduk dulu di situ, saya akan memberitahukan kedatangan
anda."
Elena
duduk di sofa sambil tetap mengerutkan kening, memberitahukan kedatangannya? Kenapa
seolah-olah dia adalah tamu
yang sudah ditunggu
dan bukannya salah
satu calon pegawai yang akan menghadapi test ? Dan dimana yang lainnya? Elena
memandang ke sekeliling
yang sepi, dia menyangka akan
di interview bersama
calon-calon pegawai lainnya,
tetapi ternyata dia cuma sendirian,
"Silahkan
nona. Beliau berkenan menemui anda."
Masih
dengan bertanya-tanya Elena melangkah memasuki
ruangan itu, sebuah
ruangan rapat kecil
yang mungkin difungsikan untuk mewawancarai calon pegawai.
Seorang
perempuan yang sangat elegan dan cantik menunggunya di sana,
cantik sekali seperti model.
Wajahnya sangat eksotis seperti perempuan Latin, dengan setelan
kantornya yang terlihat mahal dan menarik.
"Selamat
siang, silahkan duduk," gumamnya datar mempersilahkan.
Dengan
canggung Elena duduk di hadapan perempuan itu,
"Saya Victoria, HR
Manager di perusahaan
ini, mungkin anda bertanya-tanya
kenapa anda bisa mendapat panggilan di perusahaan ini.
Kami memperoleh rekomendasi
dari universitas anda, bahwa anda adalah lulusan terbaik di sana."
Rupanya
kata-kata Ibu Rahma ada benarnya, dia
dipanggil karena rekomendasi dari kampusnya...
"Baik,
pekerjaan yang akan ditawarkan kepada anda adalah staff inti dari direksi.
Maksud saya, anda akan bekerja sebagai bawahan langsung dari Owner kami....”
Otak
Elena serasa dicubit, Staff
Direksi? kenapa untuk jabatan
sepenting staff direksi, perusahaan ini mengambil seorang lulusan baru
sepertinya? Bukankah untuk jabatan seperti itu biasanya sebuah perusahaan akan mengambil dan mempromosikan pegawainya
yang sudah lama mengabdi untuk naik jabatan? Tapi pertanyaan-pertanyaan di otak Elena langsung terabaikan ketika dia
berusaha berkonsentrasi penuh atas wawancara resmi yang mulai dilakukan oleh HR
Manager yang cantik itu.
Wawancara itu
berlangsung lama, dan
begitu resmi, Elena menjawab
semua sesuai kemampuannya,
dan setelah pertanyaan terakhir
dijawab, Ibu Victoria (menyebutnya "ibu" mengingat jabatan perempuan
itu sebagai HR Manager. Kalau dilihat dari usianya, Ibu Victoria ini masih
sangat muda, muda dan cantik) terdiam agak lama dan menatap catatan di mejanya.
Perempuan itu
lalu menatap Elena
lama seolah-olah ingin membaca
isi hati Elena, "Kalau anda
diterima, seberapa cepat anda bisa mulai bekerja di perusahaan kami?"
Elena
tergagap, tidak menduga akan ditanya selugas itu, biasanya mereka akan
menyalamimu, kemudian mengatakan akan melakukan evaluasi dan akan menghubungi
beberapa waktu nanti bukan?
"Saya
bisa kapan saja", jawab Elena cepat Ibu Victoria menganggukkan kepalanya,
"Anda
diterima, saya ingin anda siap dan mulai bekerja Senin depan.
Cukupkah waktu untuk
mempersiapkan semuanya? Dalam tiga hari?"
Elena
menganggukkan kepalanya meski masih merasa seperti mimpi,
"Baik.
Saya akan bersiap."
Ibu
Victoria berdiri dan mau tak mau Elena ikut berdiri juga, perempuan
itu lalu menyalami
Elena dengan senyum aneh.
"Semoga
sukses di perusahaan ini." Dia lalu melepaskan tangannya dan melangkah
keluar, "Sampai bertemu lagi, anda bisa keluar sendiri kan." dan
dengan langkah cepat dan tegas, setegas pembawaannya, wanita itu meninggalkan
Elena sendirian.
Meninggalkan
Elena yang masih terpaku di tengah ruangan itu, menahan keinginan kuat untuk
mencubit dirinya sendiri, secepat ini prosesnya? Mimpikah ia....?
Ҩ
"Sudah
beres," Victoria meletakkan berkas-berkas itu di meja Rafael.
"Trim's,"
Rafael tersenyum menatap adiknya, "Bagaimana?"
"Dia
kebingungan," Victoria mencibir, "Semua ini terlalu mudah, Kalau aku
jadi dia, pasti juga akan sebingung dia, dan kamu sudah membuat aku melanggar
aturan perusahaan dalam merekrut pegawai."
Rafael
tersenyum miris,
"Perusahaan
ini punyaku, dan aku juga yang berhak menentukan penerapan aturan itu."
Victoria
mengangkat bahunya, "Yah... lagipula siapalah aku, bisa dibilang kau
merintis perusahaan ini demi gadis itu... sekarang keinginanmu sudah tercapai
Rafael."
"Panggil
aku Alex kalau berada disini." Victoria meringis.
"Dia pasti
akan tahu suatu
saat nanti, Rafael," dengan keras kepala Victoria tetap memanggil
kakaknya dengan panggilan 'Rafael".
Papa kita bisa dibilang pengusaha dengan
nama besar. Suatu
saat nanti dia
pasti akan bisa menghubungkan namamu dengan papa, dan
identitasmu pasti akan terbongkar.”
Rafael diam
tidak membantah kebenaran
yang terasa jelas di ucapan
Victoria, matanya menerawang.
"Dia
akan tahu, nanti,
setelah aku bereskan semuanya untuknya."
"Dan
kamu pikir dia akan berterimakasih padamu nantinya?"
Rafael
menggeleng dan tersenyum.
"Ini
bukan tentang pemberian dan rasa terima kasih... ini tentang hutang
yang dibayar, Victoria.
Dan tidak pernah
ada orang yang wajib berterimakasih atas hutangnya yang dibayarkan. Yang
ada, yang berhutang itulah yang wajib mengucapkan terima kasih."
Victoria
mendesah, menatap kakaknya dengan sedih. "Aku cuma bisa mendoakanmu,
semoga semua baik-baik saja."
dan menyerahkan semuanya
pada Tuhan, sambu ng
Victoria
dalam hati. Meskipun dia mulai merasa tidak yakin, sebab kalau seperti kata
orang-orang bahwa Tuhan itu Maha Pemaaf,
kenapa Dia membiarkan kakaknya menanggung dosa dan rasa bersalahnya selama
bertahun-tahun?
Ҩ
"Ini
ruanganmu," Seorang perempuan yang lebih tua darinya menunjukkan sebuah ruangan kecil di
sudut yang terletak di lantai paling atas gedung megah itu.
"Seluruh staff
direksi berjumlah delapan orang -- termasuk dirimu, kami bertugas untuk memfasilitasi kegiatan owner perusahaan ini, yaitu Mr. Alex. Tugasmu adalah membantu Donita, sekretaris direksi terutama karena dia
akan cuti hamil beberapa bulan lagi. Kamu harus bisa memback up semua pekerjaannya
selama dia cuti
nanti.
Jadi sekarang
dia yang akan menjadi mentormu," kata perempuan itu, yang ternyata bernama Ibu Grace. Ia
mengedikkan bahu ke
arah seorang perempuan muda yang tadi
tidak sempat dilihatnya,
Donita, perempuan muda
cantik yang kelihatan montok karena sedang hamil besar itu tersenyum padanya, dan Elena
merasa lega karena mentornya itu kelihatannya sangat baik.
"Ibu Grace memang kelihatan ketus, tapi
dia sangat baik, dia bisa dibilang wakil direktur utama disini. Dia yang menghandle semuanya
kalau Mr. Alex sedang tidak ada di tempat," Donita
menjelaskan sambil tersenyum ketika mereka
duduk bersama dan Donita menerangkan tugas-tugasnya.
"Pemilik perusahaan ini namanya Mr. Alex?"
Elena sudah tahu sebenarnya, karena penasaran kemarin dia
membeli dan membaca
berbagai majalah
bisnis yang menyangkut
perusahaan ini. Dan sesuai dengan keterangan dosennya sewaktu
mencontohkan perusahaan ini sebagai
materi
kuliahnya, pemilik perusahaan ini masih muda. Muda dan cemerlang karena bisa membangun bisnis sesukses ini dalam waktu yang begitu singkat.
"Ya, kau akan sering bertemu dengannya nanti, apalagi saat aku cuti
melahirkan
nanti.
Bisa dibilang pekerjaanmu
adalah mengatur seluruh jadwal dan keperluannya," Donita tersenyum dan matanya menerawang, "Jangan kuatir, Mr. Alex tidak seketus ibu
Grace, dia sangat baik
dan
tenang, tidak pernah meledak marahnya..... dan sangat tampan karena ibunya berdarah Spanyol, bayangkan pria-pria Spanyol yang
sexy itu.” Donita mengedip nakal,
“Biarpun beliau sedikit murung, seperti ada sesuatu yang selalu tersimpan di
benaknya, membuatnya susah
tersenyum, tapi walaupun begitu..."
Donita mengedipkan matanya lagi, "Dia adalah bujangan paling diincar disini, kesan misteriusnya malah membuatnya semakin memiliki banyak penggemar. Sayang dia begitu penuh rahasia, tidak pernah terlihat dia dekat dengan siapapun."
Elena mengernyit,
muda, kaya, sukses, dan cemerlang,
tetapi tidak pernah dekat dengan satu perempuanpun?
Donita tertawa, bisa membaca apa yang ada di pikiran Elena,
"Dia bukan gay," bisiknya pelan,
"Sebenarnya ini rahasia, tapi aku pernah mengatur beberapa pertemuan
beliau dengan perempuan-perempuan cantik dari
kalangan atas. Tapi hubungan mereka sambil lalu saja, Mr.
Alex tidak pernah menjalin hubungan lama dengan satu wanita," Donita mengehela napas dengan dramatis,
"Lelaki setampan itu.... dan kau tidak boleh jatuh cinta kepadanya Elena,
daripada kau nanti patah hati seperti yang dialami beberapa karyawan di sini
yang berani memendam perasaan
kepada Mr. Alex. Mereka semua berujung
patah hati, karena Mr. Alex sedikitpun tidak akan melirik mereka."
Aku tidak akan jatuh cinta kepada 'Mr. Alex' itu. Elena tersenyum
dikulum, berpikir dalam hati, dari ceritanya, lelaki itu terdengar terlalu
sempurna. Sempurna dan pemurung, ralatnya,
sama sekali bukan tipe lelaki
idaman Elena, karena kekasih yang
diimpikannya adalah lelaki biasa, yang ceria dan bisa membuatnya tertawa setiap
saat.
Dan lelaki itu
bukan Mr. Alex,
aku tidak akan
pernah jatuh cinta kepadanya. Elena merasa yakin.
Meskipun
keyakinan manusia kadangkala bisa bertentangan dengan kehendak Tuhan….
Ҩ
Dia ada disini.
Rafael menelan ludahnya, merasa konyol karena kegugupannya.
Astaga! dia yang selama ini menghadapi begitu banyak orang
dengan percaya diri
sekarang merasa gugup hanya
karena seorang perempuan
biasa yang bahkan
tidak akan mengenalinya.
Rafael berdehem menenangkan diri.
Tetapi perempuan ini bukan perempuan biasa, perempuan
inilah yang entah sadar atau tidak, telah mengubah seluruh kehidupannya,
telah mengubah seluruh
cara pandangnya terhadap kehidupan. Perempuan inilah yang sekarang telah
menjadi tujuan hidup Rafael. Kebahagiaannya adalah tujuan hidup Rafael.
Setelah
menarik napas panjang,
Rafael melangkah masuk ke
ruangan kantor staff direksi. Ibu Grace sedang berdiri di dekat pintu dan
langsung mengangguk kepadanya.
"Selamat pagi, Mr. Alex." sapanya hormat.
Rafael mengangguk tak kentara, matanya berputar ke sekeliling ruangan,
di mana Elena?
Seharusnya dia mulai bekerja hari ini kan?
Ibu Grace sepertinya menyadari apa yang dicari oleh Rafael,
dia termasuk orang kepercayaan Rafael yang tahu rencana bosnya itu ketika
memasukkan Elena keperusahaan ini.
"Dia sedang di kamar mandi, Mr. Alex."
Rafael mengangguk,
merasa sedikit malu karena wakil direksinya
ini menyadari apa yang dicarinya.
"Suruh dia menghadap ke ruanganku nanti," gumamnya
setelah berdehem dan melangkah masuk ke dalam ruangannya.
Di dalam ruangannya, Rafael merasa begitu susah berkonsentrasi,
berkali-kali dia melemparkan pandangan ke pintu dengan gelisah. Kenapa Elena
lama sekali?
Rafael merasa bahwa detik pertemuan inilah nanti yang akan
menentukan langkah ke depannya. Dia harus memastikan bahwa Elena
tidak akan mengenalinya.
Tentu saja dia
tetap harus menghadapi resiko
bahwa Elena tetap
akan mengenalinya. Siapa yang bisa mengukur kekuatan ingatan seseorang?
Apalagi ingatan tentang kejadian buruk biasanya akan lebih kuat melekat. Dan
jika Elena mengenalinya, maka selesailah
sudah semuanya.
Rafael merasakan jantungnya berdenyut, dia tidak akan siap.
Dia tidak akan siap jika Elena mengenalinya dan kemudian membencinya dengan
kebencian yang sama seperti yang ditunjukkan di pertemuan pertama mereka di
masa lalu.
Semoga Elena tidak mengenalinya. Rafael masih merapalkan
doa singkat itu berulang-ulang bagai mantra, ketika sebuah ketukan pelan di
pintu mengalihkan perhatiannya.
"Masuk," gumamnya penuh antisipasi
Yeiiiiiiiiiii akhirnya aku bisa baca ini story^^ akkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk seneng abis ... gomawo authornim ^^😘
ReplyDeleteFinally bisa baca dari awal 😊
ReplyDeleteBisa baca juga akhirnya ... Makasih kak Shanty
ReplyDeleteAkhirnya aku bisa bubu nyenyak 😊
ReplyDeleteSeperti melepas dahaga....puas☺️
ReplyDeleteAkhirnya bisa baca.
ReplyDeleteAkhir ny bisa baca juga
ReplyDeleteOmg ceritanya bagood banged
ReplyDeleteTengkyuu kk shanty
ReplyDeleteAaaa akhirnya baca cerita ini lagi setelah sekian lama nyarii, luplup💕
ReplyDeleteThank You and I have a dandy supply: How To Plan House Renovation old house renovation ideas
ReplyDelete