W i sh # 1 6 : me l i hat Ni ki t i
dak jadi
p e r gi (Nat a)
Nata menyingkap tirai jendela
kamarnya sambil setengah mengintip. Tidak menemukan apa yang dicari, kembali
ditutupnya tirai tersebut sambil mengembuskan napas yang memburu. Lima menit
kemudian, ia kembali mengintip. Begitu seterusnya sampai deru mobil terdengar
samar-samar di kejahuan.
Mobil BMW biru tua milik Oliver berhenti tepat di depan rumah Niki. Nata
melihat gadis itu setengah berlari keluar, mengenakan terusan merah jambu
dipadu dengan sepatu berwarna senada, rambutnya diurai hingga menyentuh bahu.
Wajahnya dihiasi senyum lebar penuh
antisipasi, seakan dia sudah menunggu kedatangan Oliver sejak
tadi.
Oliver membukakan pintu mobil untuk Niki, lalu
berjalan memutar ke arah pintunya sendiri. Nata melihat sebuket mawar merah
dalam genggamannya.
Cih. Hanya playboy yang membawa
bunga untuk cewek, hatinya tidak tahan untuk tidak berdesis sinis.
Mobil itu berjalan menjauh, meninggalkan Nata yang
masih terpaku di depan jendela dengan tatapan kurang senang. Akhirnya,
disambarnya telepon dan segera menekan nomor Annalise.
"Kita cabut, yuk."
***
W i sh # 1 7: p e r cakap an b e r
sama Nat a (Annal i se )
Annalise agak terkejut ketika Nata meneleponnya barusan.
Tadinya, ia mengira janji mereka untuk nonton bareng dibatalkan, berhubung Niki
tidak bisa hadir. Sejam kemudian, mereka
berdua sudah berdiri bersebelahan di hadapan poster-poster film di sebuah
teater bioskop. Nata tidak bicara, dengan kedua tangan dalam saku bajunya—hari
ini ia mengenakan kaus band warna hitam dan jeans belel serta sepasang sandal.
Annalise menunduk menatap
pakaiannya—skinny jeans dan atasan lengan panjang putih berkerah sabrina,
dengan rambut dibiarkan tergerai. Dia hanya mengambil pakaian yang paling
praktis dari lemarinya, dan kini sedikit
menyesali pilihannya yang sederhana. Apalagi, ini kali pertama dia pergi berdua
dengan cowok, tepatnya... dengan Nata.
"Mau nonton apa?" Nata
menunjuk pada barisan poster film di balik
lemari kaca, tampaknya tidak terlalu bersemangat untuk memilih.
Annalise mengulum senyum, tiba-tiba
saja menyadari mengapa Nata begitu uring-uringan hari ini. "Sebenarnya,
Nat, you look like you'd rather be anywhere but here."
Ketika mendengarnya, Nata langsung
mengangkat wajah dengan raut bersalah. "Sori, Ann. Mood gue lagi jelek
banget."
Annalise menggeleng. "Nggak
apa-apa, kok. Kita ngopi aja, yuk?"
Mereka masuk ke sebuah kedai
kopi mungil di sudut lantai tiga, tempat
yang lengang tanpa pengunjung, hanya seorang barista yang menunggu di balik
counter dengan wajah bosan. Annalise meletakkan bawaannya di atas meja dan Nata melihat sudut kamera Lomo merah yang
menonjol dari tas itu.
"Gue jadi penasaran...
sejak kapan, sih, lo hobi motret?"
Annalise tersenyum sendu, mengingat
kali pertama ia memegang sebuah kamera dan merasakan berat benda itu di
tangannya yang mungil. Membiarkan tangan yang kokoh membimbing jemarinya untuk
menekan tombol, dan suara yang berisik di telinganya, tahan napas... dan, klik.
"Umur delapan tahun. Papa memberikan aku hadiah kamera pertamaku."
Dulu, Papa sering menyebutnya 'asisten cilik'. Mereka
memotret Mama,
pura-pura mendandaninya dalam
kostum, lalu menjepret aksi konyol itu.
Mereka memotret langit sebelum
berubah gelap, bayangan pohon yang memanjang, sepeda pertama Annalise, boneka
beruang kesayangannya, mobil baru Papa.
Annalise senang memperhatikan Papa
bekerja dengan kameranya, di bawah lampu suram kamar gelap tempatnya
mencuci foto, mengamati buram berubah bentuk.
"Aku suka konsep
fotografi—seakan-akan momen yang ditangkap lensa akan tetap di sana untuk
selamanya."
Dan, mereka memang tetap ada, bahkan saat dunia berputar dan berubah,
kenangan yang tercetak pada lembaran foto itu tidak pernah berubah. Photographs
last for a lifetime.
"Papa selalu bilang, manusia
akan menua, tempat bisa berubah, kita bisa melupakan. Karena itulah kamera
digunakan, untuk merekam hal-hal yang tidak dapat diingat manusia dengan
sempurna."
Ia mengangkat kamera, menahannya
tepat di depan wajah Nata. Nata bergeming, tidak tersenyum dan tidak memintanya
untuk berhenti, hingga Annalise menekan tombol shutter.
Klik.
"Kamu sendiri, sejak kapan suka musik?" tanyanya.
Nata mengangkat bahu. "Nggak
inget tepatnya kapan. Keluarga gue
fanatik musik—selalu ada musik yang diputar di rumah. Mulai dari
oldies, jazz, rock sampai pop. Dulu,
bokap gue pernah jadi drummer,
lho."
Annalise tidak bisa membayangkan
ayah Nata yang sekarang bekerja di sebuah kantor pengacara terkenal, ternyata
pernah jadi anggota band kawakan.
"Tapi, buat gue, musik itu sebuah bentuk obsesi. Gue merasa tenang kalau ada musik, mungkin dengan
cara yang sama, seorang atlet bisa nyaman berada di lapangan,
atau seorang pelukis saat megang kuas."
Jawaban gamblang itu sama-sekali
tidak mengejutkan Annalise. Sebaliknya, dia mengerti. Fotografi dan musik
sama-sama merupakan bagian dari seni;
keinginan untuk menyampaikan sesuatu. Obsesi untuk mencari nada yang tepat,
atau menciptakan bait lagu yang
sempurna. Sama seperti keinginan memotret objek yang istimewa atau mengabadikan
satu fragmen kenangan.
"Niki selalu bilang gue kelihatan kayak orang yang berbeda kalau lagi pegang
gitar," kata Nata.
"Kurasa, buat sebagian orang,
seni menjadi bagian penting yang sulit dipisahkan dari diri mereka. Seni juga merupakan bentuk
pelarian, cara untuk melampiaskan emosi.
Mungkin karena itulah, seni terkadang bisa mengubah orang."
Nata mengangguk-angguk setuju
terhadap observasi itu, lalu berkomentar, "Lo lebih dewasa dari kebanyakan orang yang gue kenal, Ann."
"Dan, kamu nggak sesinis yang
orang lain kira." Annalise membalas kalem sambil tersenyum.
Nata tertawa. "Gue bukannya
sinis, tapi prinsipil. Gue nggak suka
orang yang suka pura-pura, dan gue
terbiasa ngomong apa adanya ke semua orang. Kadang, itu disalahartikan
sebagai sarkastis."
"Kamu punya sisi lembut kalau
berhadapan dengan Niki," kata Annalise pelan. Nata terdiam di balik kepulan kopi
tubruknya, tidak membantah pernyataan tersebut. Raut wajah itu membuat
Annalise turut larut dalam hening.
Diam-diam, dia sadar, hening semacam
ini, hanya Niki yang mampu mengisinya.
***
Pada
waktu yang sama, Oliver dan Niki sedang menikmati makan malam,
setelah satu jam puas bermain bowling di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta
Pusat. Niki mengetuk-ngetuk jari di atas meja
sambil menikmati sepiring salad buah, hentakan itu seirama dengan detak
jantungnya yang tidak keruan. Oliver
tidak pernah berhenti mengejutkannya; mulai dari serangkai mawar segar hingga perlakuannya
yang gentleman membuatnya merasa bagaikan seorang putri.
Akhir-akhir ini, mereka selalu berangkat
dan pulang sekolah bersama. Dalam waktu singkat perkenalan mereka, ternyata ia
dan Oliver sering sependapat mengenai
banyak hal. Mereka sama-sama tidak menyukai pelajaran Matematika dan lebih
memilih pelajaran olahraga daripada harus menyelesaikan soal rumit yang berkaitan dengan angka. Mereka
memiliki selera musik yang sama, juga
menyukai genre film serupa. Niki merasa dapat mengobrol dan berdiskusi mengenai
banyak hal bersama Oliver. Percakapan
mereka selalu menyenangkan, diselingi dengan tawa dan canda.
Oliver mengangkat beberapa potong kentang goreng dan
memasukkannya ke dalam mulut. "Minggu depan, tim basketku tanding dengan
tim basket sekolah putra di Tangerang. Mau datang nonton?"
Niki tersenyum mendengar ajakan itu.
"Kalau aku datang, memangnya kamu bisa menang?"
"Kalau kamu datang, seenggaknya
aku akan lebih terpacu untuk menang." Dia menjawab dengan mudah, membuat
Niki memukul lengannya dengan canda.
"Gombal!" ucapnya di
tengah tawa. Tanpa disangka, Oliver
meraih kedua tangannya yang sibuk memukul, lalu meremas jari-jarinya
lembut. Niki terdiam, pipinya memerah karena malu. Tapi, kali ini, dia tidak
melepaskan pegangan itu.
***
W i sh # 1 8: sup ay a. . . hujan i
ni t i dak p e r nah b e r he nt i (Ni
ki )
Gerimis.
Niki menatap rinai hujan mengalir
turun seperti butiran salju. Ia
menempelkan telapak tangannya ke kaca
mobil, merasakan permukaannya yang dingin dari rintik-rintik kecil yang mulai
mengaburkannya.
"Kamu suka hujan?"
Oliver bertanya dari tempat duduknya di balik kemudi. Air keruh kecokelatan mulai menggenang
di sisi-sisi jalanan, campuran dari air got yang meluap karena hujan. Mereka
sudah terjebak dalam kemacetan selama hampir dua jam, dan langit semakin gelap
tak berawan tanpa tanda-tanda hujan akan berhenti.
Niki tersenyum tipis dan menggeleng.
"Enggak. Aku nggak suka hujan sama sekali.
Mendung, kelabu, membosankan karena gak bisa main di luar."
Oliver ikut mengangguk mendengar jawabannya.
"Sama, aku juga. Gak bisa basket
outdoor, jalanan becek dan macet di mana-mana, kayak sekarang."
"Iya, pokoknya nggak
ngenakin."
Oliver tersenyum melihat gelagat Niki."Terus,
kenapa sekarang kamu memperhatikan hujan sampai segitunya?"
Niki memejamkan mata, mendengarkan
riuh bunyi hujan yang mulai deras di sekitarnya. Merasa aman karena dia
terlindung di balik kap mobil.
"Nata yang suka hujan,"
jawabnya. "Setiap kali hujan, Nata pasti akan menengadahkan kepala
memperhatikan langit dan menjulurkan tangan untuk menyentuh hujan."
"Nata, teman kamu itu?"
Niki mengangguk. "Kebiasaan
yang aneh, kan? Sejak kecil dia
begitu." "Kalian pasti udah lama sekali saling mengenal."
Lagi-lagi, Niki mengiyakan. "Kami tumbuh besar
bersama. Sering main dan belajar bareng karena rumah kami berseberangan."
Dengan nada hati-hati, Oliver mencetuskan rasa penasarannya. "Cuma
teman?" Niki membelalak dan tertawa spontan. "Maksudnya...?"
Oliver mengangkat bahu. "Siapa tahu..."
"Serius, kami hanya sahabat." Senyum Niki semakin
lebar, diam-diam senang ditanya seperti itu. Dia dapat dengan mudah menangkap
nada cemburu dan ingin tahu dari lawan
bicaranya.
Tiba-tiba saja, mesin mobil
berhenti. Hujan mulai turun dengan deras, dentum airnya menghantam kaca jendela danatap mobil dengan kerasnya. Oliver
memucat, mencoba menstater kendarannya berulang-ulang, tetapi tidak berhasil.
"Kenapa?" Niki bertanya dengan
panik, mulai khawatir seiring dengan bunyi klakson mobil-mobil di belakang
mereka yang dengan tak sabar meminta mereka untuk meminggirkan mobil.
"Mobilnya mati," desis
Oliver bingung. "Mungkin karena
mesinnya kemasukan air."
"Jadi gimana?"
Oliver memandang sekeliling, sulit melihat melalui
kaca yang buram oleh air hujan. Air
sudah naik hingga hampir melewati ban, hasil dari hujan yang tidak berhenti sejak beberapa jam yang lalu. Bentuk mobilnya yang
dimodifikasi sehingga lebih rendah dari
kebanyakan sedan lain juga memperparah keadaan.
"Kamu tunggu di sini."
Sebelum sempat Niki memprotes, Oliver
sudah berlari ke luar dan
menerobos hujan. Tidak lama kemudian, mobil
didorong manual oleh beberapa orang yang sedang nongkrong di warung sekitar.
Oliver kembali masuk ke mobil dalam
keadaan basah kuyup dari ujung rambut
hingga ujung kaki.
"Kita harus nunggu mobil
derek."
"Basah-basah begitu, nanti kamu
masuk angin."
Oliver mencoba tersenyum, tapi tubuhnya mengigil.
"Nggak apa-apa."
Mobil derek baru datang tiga jam kemudian. Mereka
berdua berdiri di emperan, melihat mobil tersebut di angkut dan dibawa pergi.
Beberapa kendaraan bermotor lainnya juga mogok di tengah jalan, menambah
kemacetan di sore
yang kelabu ini. Niki memasukkan
kedua tangan ke dalam saku terusannya, kini ikut basah karena hujan kiand
eras. Oliver melepaskan jaketnya yang basah dan
melingkarinya di pundak Niki, mereka berdua gemetar kedinginan.
"Kamu nggak apa-apa kan?"
Suara Oliver terdengar aneh karena gigi yang gemeletuk,
membuat Niki ingin tertawa. Pipinya sendiri sudah seputih kertas, dengan rambut
lembap dan bibir pucat.
"Dingin, ya?" Oliver bertanya lagi. Niki hanya bisa mengangguk
singkat. Oliver menariknya mendekat, lalu merapatkan tubuh untuk
menghangatkannya. Hati Niki berdesir, dengan malu-malu, ia mendongak.
Oliver tersenyum, lalu meraih tangan
Niki dan memasukkannya ke dalam kantong jaketnya, masih dengan tangannya yang
membungkus jemari gadis itu.
Mereka berdua seperti itu untuk sementara
waktu, menyaksikan hujan berderai-derai, tetapi Niki merasa hangat luar dalam.
***
FEVER
W i sh # 1 9 : me nge t ahui r ahasi
a Ni ki (Nat a)
Nata meletakkan beberapa buku
pelajaran di atas meja belajar Niki, menyingkirkan
bungkusan obat yang sudah tak terpakai dan segelas air yang sudah setengah
kosong. Niki terbaring lemas dengan wajah pucat di atas tempat tidur,
mengenakan piyamanya yang kebesaran dan bersembunyi di balik
selimut tebal. Sudah dua hari dia
sakit, akibat kehujanan akhir pekan lalu. Waktu itu, Niki pulang tengah malam
dengan tubuh basah kuyup, tapi di wajahnya tersungging senyum lebar yang
terlihat sangat bahagia. Entah apa yang telah terjadi; Nata gengsi
menanyakannya walaupun ingin tahu, padahal dia sudah khawatir setengah mati.
"Gue bawain catatan pelajaran
yang ketinggalan hari ini," Nata berkata sambil menjatuhkan tasnya di atas
karpet dan berjalan menghampiri sisi tempat tidur. Niki mengerang tanpa suara.
"Kenapa sih orang lagi sakit
harus disuguhi PR dan catatan pelajaran?" tolaknya kesal.
Nata tidak menjawab. Diulurkannya
sebelah tangan untuk meraba kening Niki, merasakan panasnya. "Masih demam,
nih," dia menganalisis, "udah makan obat? Buburnya udah
dihabisin?"
Niki memasang raut cemberut.
"Nata cerewet, ih."
Nata balas memasang muka berang.
"Mau cepat sembuh, nggak?"
Niki memang ingin cepat sembuh,
karena kangen pada latihan cheers dan acara senam pagi sebelum kelas
pertama setiap hari. Dia kangen makan bakso kuah superpedas Mbok Nah di
kantin,dan mencicipi lemper ayam serta
jajanan lainnya setiap jam makan siang. Ia bersin sekali, lalu sibuk menyeka hidung dengan selembar
tisu.
"Lagian kenapa sih, bisa sampai
flu berat begini? Memangnya lo mandi hujan semalaman?" Nata melanjutkan,
memberikan pertanyaan sebagai umpan untuk memancing cerita mengenai kejadian
Sabtu lalu. Tapi, Niki malah tersenyum lagi, seakan-akan sedang mengingat
kembali momen-momen manis yang hanya menjadi miliknya dan Oliver.
"Kan, udah kubilang, mobil
Oliver mogok jadi kita harus nunggu
mobilnya diderek di tengah hujan. Udah, cuma itu." Dia menjawab dengan
kurang meyakinkan, membuat Nata makin curiga.
"Cowok itu nggak macem-macem
sama lo, kan?"
Dipandang begitu, Niki jadi salah
tingkah. Pipinya sedikit bersemu, tapi ia menggeleng mantap. "Enggak
sama sekali. Oliver
baik banget, kok. Pas kami lagi
nunggu, dia ngasih jaketnya supaya aku nggak kedinginan. Ini pertama kalinya
lho, Nat, ada cowok yang care banget sama
aku."
Enggan mendengar pujian mengena
Oliver yang selalu mahabaik dan
mahasempurna, Nata akhirnya mengalihkan pembicaraan, menyerahkan sebutir obat
flu pada Niki yang meminumnya dengan ogah-ogahan. "Anna titip salam. Dia
ada klub fotografi hari ini, jadi baru bisa menjenguk besok."
Niki menyambut selembar foto yang dititipkan
Annalise untuknya sambil tersenyum. Foto itu adalah foto yang diambilnya dengan
kamera Lomo minggu lalu—saat Niki sedang kepedesan dengan sepiring pempek, dan
Nata duduk di sebelahnya, ikut kerepotan memesankan segelas teh dingin. Di
baliknya, tertulis get well soon dalam tulisan tangan Annalise yang rapi.
"Aku bosan, Nat. Di rumah
sepi, apalagi Acha juga pergi ke
sekolah. Coba kamu dan Anna bisa bolos
buat nemenin aku."
"Huuu." Nata geleng-geleng
mendengar usulan itu dan menyentil kening Nikidengan ujung jari. Tapi,
tiba-tiba saja, dia teringat sesuatu. "Eh... tunggu sebentar, ya."
Niki menyibakkan selimut dengan
penasaran. Nata cepat-cepat menuruni tangga dan berlari ke rumahnya sendiri
sebelum ke kamar Niki, terengah-engah dan mengepit satu set permainan Monopoli
di bawah lengan.
"Karena lo nggak bisa keluar,
gue temenin main, deh."
"Monopoli!" Niki berseru
riang, ikut duduk di atas karpet sambil memasang papan karton dan menyusun
uang-uang kertas di atasnya. Dia jadi ingat, dulu setiap salah satu di antara
mereka sakit, mereka akan mengeluarkan permainan Monopoli dan bermain berdua di
dalam rumah. Kadang, Nata juga akan menyelinapkan es krim untuk Niki yang
sedang sakit walau mereka tahu makanan tersebut dilarang.
Nata dapat membaca senyum Niki itu,
lalu berkata, "Setiap kali kita main Monopoli, lo selalu kalah."
Sejak kecil begitu.
Niki merebut dadu, lalu melemparnya
asal di atas karpet. Angka tiga. "Itu kan karena aku lagi sakit, atau lagi
kurang beruntung."
Nata mengambil gilirannya. Angka
enam. "Monopoli nggak ada hubungannya dengan keberuntungan.
"Yang penting senang."
Niki berargumen, lalu sibuk memajukan patung manusia plastik yang menandakan
posisinya. "Itu, kan, intinya semua permainan?"
Nata mengangkat bahu dan melangkah.
Niki berseru heboh ketika masuk penjara, dengan boros membeli semua perhotelan
tanpa banyak pikir, dan merengut jika
kena denda, seolah lupa akan sakitnya. Diam-diam, Nata tersenyum sendiri
melihat polah gadis itu. Saat-saat seperti ini adalah yang paling menyenangkan,
ketika dia bisa memiliki Niki untuk dirinya sendiri. Pikiran yang agak egois, memang, tapi, itulah yang dia rasakan
kini.
***
W i sh # 20 : b e r t e mu Ni ki (O l i v e r )
Oliver berhenti di depan rumah bercat gading itu,
memandang ke arah jendela kamar lantai dua yang bertirai merah muda. Sambil
mengusap hidung dengan sapu tangan, dia menekan bel.
Otaknya penuh dengan wajah gadis
itu. Senyumnya, tawanya, suaranya, juga sentuhan tangannya. Dia tidak sabar ingin
bertemu lagi walau dalam keadaan seperti ini.
Pintu terbuka. Seraut wajah yang
tidak asing menyambutnya, dari datar
menjadi tidak ramah ketika melihat Oliver.
"Niki ada?"
Nata yang membuka pintu dengan
terpaksa menjawab, "Ada di atas, lagi istirahat." Ada penekanan pada
kata terakhir yang diucapkan dengan nada kurang senang.
"Bisa ketemu sebentar?"
Walaupun enggan, Nata mempersilakan
Oliver masuk untuk menunggu dan ia
menaiki tangga untuk memberi tahu Niki. Masing-masing memikirkan hal yang
sama—kenapa dia bisa ada di sini? Tidak
lama kemudian, Niki turun sendirian, mengenakan sehelai sweatshirt hijau
muda dengan leggings hitam. Rambutnya tergerai dan wajahnya agak pucat walau dengan sedikit sapuan lipgloss
pink di bibir.
"Kamu sakit?" Oliver tidak tahan untuk tidak menyentuh pipinya, lalu
merasakan hangat dari temperatur tubuh
Niki yang meningkat.
"Demam dan flu. Kamu?"
Niki memperhatikan Oliver yang juga
kelihatan lemas, dengan mata kuyu dan kantung hitam di bawah mata.
"Sama."
Mereka berdua tertawa geli,
menertawakan nasib yang sama akibat
berbagi beberapa jam di bawah hujan.
"Kok, gak istirahat?"
"Mau ngecek nasib kamu."
Niki merasa hatinya melambung.
"Aku nggak apa-apa. Mendingan kamu pulang dan istirahat."
"Kamu juga, tidur yang panjang."
Tangan mereka bertaut, masing-masing
enggak melepaskan genggaman. "Bye, Oliver."
Oliver berdiri di depan pintu, lalu mengeluarkan
setangkai mawar kuning dari sakunya, sedikit layu karena terlalu lama disimpan
di dalam saku. "Buat kamu. Mawar kuning
untuk menjenguk orang sakit."
Niki menganggukkan terima kasihnya.
Dia memandang Oliver masuk ke kursi
belakang mobil yang dipandu oleh seorang sopir, lalu melambaikan tangan hingga
mobil itu menghilang di tikungan.
Dia menghirup aroma mawar kuning itu
dalam-dalam, lalu tersenyum penuh makna. Nata bersembunyi di balik tangga, berusaha menguping dengan raut wajah
masam.
***
L O VE
W i sh # 21 : me nghi ndar i har i v
al e nt i ne (Nat a)
“Lo tahu gimana rasanya jatuh
cinta?”
Hari
Valentine sudah tinggal dua hari lagi, dan seisi sekolah heboh mempersiapkannya.
Majalah dinding memuat artikel cinta lebih banyak dari biasanya, horoskop di
radio isinya tentang asmara semua, dan yang paling parah lagi, seluruh ruangan
di sekolah dihiasi dengan ornamen hati dan pita warna pink.
Nata bosan melihaat warna itu di
mana-mana. Kesal juga melihat oknum-oknum penyebar iklan yang menawarkan jasa
mengantar bunga dan cokelat dari kelas
ke kelas.
“Kayak nggak ada kerjaan lain yang
lebih bermutu aja,” begitu katanya setiap kali iklan-iklan sampah itu mengotori
mejanya.
Niki memutar mata, bosan mendengar
gerutuan Nata yang nonstop menjelek-jelekkan hari Valentine. “Itu karena kamu nggak
punya gebetan. Makanya, lebih ramah dikit dong, biar cewek-cewek nggak kabur.”
Annalise tersenyum geli mendengar
ejekan Niki, sedangkan Nata melengos. Dia tahu sejak dulu Niki suka bunga, berharap ada cowok yang
memberikannya sekotak cokelat dengan pesan manis. Dia tahu Niki suka segala
sesuatu yang romantis. Tapi, segala aksi romantisme itu tidak sesuai dengan
dirinya.
Tanpa sengaja, pandangan matanya menangkap
tulisan di ujung pamflet merah yang terselip di halaman buku pelajaran.
Secret Admirer katakan cinta pada cinta
rahasiamu!
Mukanya memerah dengan sendirinya.
Tagline iklan itu membuatnya penasaran. Sialan, Nata memaki dalam hati. Kenapa
jadi kepikiran terus?
***
W i sh # 22: me nge t ahui r ahasi a
Nat a (Annal i se )
Annalise sedang melewati rak-rak
perpustakaan dengan setumpuk buku sastra Inggris di tangan ketika dia melihat
Nata celingukan di sudut yang kosong. Ia ingin memanggil, tapi kelihatannya
Nata sedang gelisah. Dengan hati-hati, Annalise berhenti dan mengamati Nata
dari tempatnya berdiri, bersembunyi di
balik rak kayu tinggi.
Nata berhenti di hadapan sebuah
kotak, lalu mengeluarkan selembar amplop biru dari kantong celananya. Sambil melongok ke kiri
dan kanan untuk memastikan tidak ada yang memperhatikannya di sana, ia
memasukkan amplop itu ke dalam kotak dan segera berlalu dengan langkah
terburu-buru.
Annalise tidak sadar dia telah
menahan napas. Ketika menyadari apa yang sedang Nata lakukan, entah mengapa
hatinya berdegup tidak keruan.
***
W i sh # 23 : me ni kmat i har i Val
e nt i ne ! x o x o (Ni ki )
Niki merentangkan tangan lebar-lebar
sambil menghirup udara segar. Langit pagi
sangat cerah—biru dengan awan seputih kapas yang merentang di
mana-mana. Hari ini hari yang sudah ditunggu-tunggunya, hari
yang identik dengan warna pink, pernyataan cinta dan eksibisi kasih sayang.
Beberapa kotak cokelat buatan tangan yang dikerjakannya semalam bersama Acha,
Annalise, dan Mama sudah rapi terbungkus
plastik bermotif hati. Penampilannya juga spesial untuk hari ini—serba pink
dari ujung rambut hingga kaki.
Dilihatnya Nata berjalan ke
luar untuk mendorong sepedanya sambil
menguap lebar-lebar.
“Nataoo, kok sepedanya nggak dicat
pink aja?” godanya sambil tertawa, disambut oleh pelototan Nata. Sahabatnya ini
tidak suka pada ungkapan cinta yang ekstravagan, tidak suka pada public
displays of affection, tidak suka pada yang namanya hari spesial untuk memperingati
romantisme secara
internasional. Lagu-lagu cinta yang
sendu saja sudah membuatnya muak, apalagi ini? Niki tersenyum geli ketika
memanjat boncengan sepeda Nata, lalu berbisik ringan di telinganya, “Happy
Valentine’s Day, Nata.”
Hari
ini akan menjadi hari yang istimewa, Niki yakin itu.
***
Pelajaran pertama dimulai dengan
gaduh karena murid-murid lebih bersemangat mengenai perayaan hari Valentine
ketimbang pelajaran Kimia. Pak Marwan mulai kewalahan mencoba menenangkan isi
kelasnya. Hari ini seluruh dunia blingsatan
untuk sebuah hari yang menurutnya tidak lebih penting dari hitungan mol dan elektron partikel.
Nata duduk di kursinya dengan
gelisah. Tadi pagi, Niki sempat memeluknya
erat dan mengucapkan selamat hari Valentine, bisikannya menggelitik kuping dan
membuatnya merinding. Dia hanya bisa berpura-pura cuek dan mengangguk pasif
begitu mendengarnya—walaupun ucapan itu membuatnya deg-degan setengah mati.
Ada satu hal lagi yang membuatnya
tak tenang—program secret admirer konyol yang akhirnya diikutinya. Hatinya
mulai berdetak kencang ketika seorang wakil
OSIS berseragam pink mengetuk pintu kelas mereka, disambut oleh sorak sorai murid-murid
yang sudah tak sabar lagi.
“Seperti kebiasaan kita dari tahun ke tahun, hari ini kita akan
mengantarkan hadiah dari sang penggemar
rahasia,” ujar kakak senior tersebut
memulai dengan senyum. Di tangannya sudah ada beberapa kantong plastik yang
penuh dengan hadiah dan surat, kebanyakan berbungkus kertas kado merah jambu.
Ajang popularitas ini memang
terkenal di SMU mereka. Setiap murid yang ingin menyampaikan rasa cinta tanpa
mengungkapkan identitas dapat memasukkan surat bertuliskan nama pujaan mereka
ke dalam sebuah kotak yang diletakkan tersembunyi di sekolah. Surat tersebut
akan diberikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya pada hari
Valentine. Nata selalu menganggapnya bodoh dan pengecut, sesuatu yang tidak ada
gunanya—tapi toh dia melakukannya juga.
Setelah memasukkan suratnya ke dalam kotak, rasanya ingin sekali mengambilnya kembali, tetapi tidak bisa. Untung
saja tidak ada yang tahu dia turut berpartisipasi.
“Helena!”
Ketika nama itu dibacakan, seisi
kelas riuh rendah menyorakinya. Helena,
yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, hanya tersenyum bangga dan maju
untuk mengambil tumpukan surat dari penggemar-penggemarnya
yang sebagian besar adalah murid-murid populer dari kelas
sebelah.
“Vanya!”
Beberapa nama kembali
dibacakan—Annalise bahkan mendapatkan lima surat, dan tanpa diduga Nata juga
mendapatkan tiga. Niki tersenyum begitu mendengar namanya dipanggil, kemudian
beranjak untuk menerima empat amplop yang dilem rapi. Nata melihat miliknya ada di dalam tumpukan
itu, dan berusaha menahan diri untuk tidak menaariknya dari tangan Niki, lalu merobek-robeknya supaya
perasaannya tidak ketahuan.
Namun, dia hanya terpaku di mejanya,
meremas erat-erat surat-surat miliknya yang sama sekali
tidak menarik perhatiannya.
***
Annalise melihat Nata mengaduk-aduk
kuah baksonya tanpa selera, lalu meletakkan sendok di tepi mangkuk. Sedari
tadi, dia berusaha memulai percakapan, tapi Nata sepertinya tidak terlalu
memperhatikan.
“Nat, kok baksonya nggak dimakan?”
Ketika melihat Nata masih diam saja, Annalise sedikit kehilangan kesabaran.
“Nata!”
Kali ini, untungnya Nata merespons.
“Huh?” “Kamu kenapa sih?” Nata tidak
ingin mengakui bahwa kegilaan di hari Valentine ini sudah hampir mengganggu mentalnya
juga. “Nggak apa-apa.”
Annalise tersenyum maklum. “Kalau
memang nggak ada apa-apa, kamu nggak bakalan bengong begini.”
Nata menegakkan tubuh dan segera menyuap
makanannya, baru sadar bahwa bahasa tubuhnya begitu mudah terbaca oleh
Annalise. “Niki mana?” “Pulang duluan, ada janji dama Oliver.”
Kuping Nata memanas mendengar nama itu disebut. “Lagi?” Ia tak tahan untuk
tidak berkomentar sinis.
“Hari ini, kan, hari Valentine.”
Annalise beralasan seadanya. Dia tidak ingin bilang bahwa Niki sudah
mempersiapkan segalanya hingga detail terakhir untuk kencan kali ini, termasuk
sekootak cokelat buatannya sendiri yang sudah didekorasi secantik mungkin.
Cokelat yang berbeda dari yang
diberikannya pada Nata dan murid-murid lain di kelas, karena khusus untuk yang ini, Niki begadang
untuk membuatnya.
Nata mengangguk tanpa makna, menyeruput
kuah baksonya tanpa kata-kata dan menatap lurus ke depan.
Annalise menghela napas, lesu. Sejak melihat Nata memasukkan surat yang kini
ada dalam ransel Niki, hatinya tidak tenang. Sering kali dia ingin mengaku saja
bahwa dia menyaksikan aksi Nata itu, tapi setiap kali ingin buka mulut, dia
kembali bungkam. Annalise kerap kali mengingatkan dirinya sendiri bahwa masalah
ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Namun, harus diakuinya—ia kecewa
ketika melihat surat itu diserahkan kepada Niki. Lalu dia ingin menertawakan
dirinya sendiri keras-keras. Dasar
bodoh, kamu kira surat itu akan ditujukan kepada siapa? Untuk kamu? Sejak awal, Annalise sudah menduga
siapa penerimanya, tetapi hal itu tidak menghentikan secercah harapan untuk
menyeruak masuk ke dalam hatinya. Dan kini, ketika dia sudah yakin akan
perasaan Nata pada Niki, dia cukup senang hanya dengan mendampingi pemuda itu
memperjuangkan perasaannya. Ah, mungkin itu yang seharusnya dilakukannya.
Memberikan dukungan, dan sedikit dorongan.
“Nat.” Annalise menyentuh lengan
Nata lembut, lalu menarik tangannya. “Menurutku, kamu harus jujur sama Niki.”
Nata mengangkat muka, namun tidak
segera menjawab. “Maksudnya?” Sebagai teman dekat mereka, Annalise merasa tidak
bisa diam saja melihat keduanya tidak sepaham. Entah sudah berapa kali dia
harus menengahi pertengkaran mereka ketika Nata uring-uringan karena Niki
terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Oliver. Niki pun tampak adem-ayem saja, terlalu terhanyut
dalam kisah cintanya sendiri untuk menyadari bahwa kecemburuan Nata punya
alasan yang kuat.
Annalise memutuskan bahwa basa-basi
hanya akan membuat Nata kesal, jadi dia
langsung ke topik pembicaraan sesungguhnya. “Aku liat kamu masukin surat ke
dalam kotak secret admirer yang ada di perpustakaan.”
Wajah Nata menegang.
“Surat itu untuk Niki, kan?”
Annalise mempertegas. Nata diam saja, raut wajahnya sulit dibaca—sebuah kombinasi
antara rasa kesal, malu dan entah apa
lagi. “Aku tau kamu sayang sama
Niki—sesuatu yang lebih dari
sekedaar persahabatan.”
Nata tidak tahu bagaimana harus menjawab,
sedikit terkejut karena Annalise yang biasanya memilih untuk diam dapat secara
gamblang membeberkan rahasianya. “Jadi, gue
harus gimana?” Ia bertanya setenang mungkin walau perasaannya sudah
campur aduk.
“Bilang sama Niki yang sesungguhnya, kalau kamu sayang
dia.”
Nata mendorong mangkuknya jauh-jauh,
benar-benar kehilangan selera untuk makan. Secara otomatis ia menampik,
menggunakan alasan yang selama ini dipakainya untuk meyakinkan diri sendiri
bahwa tidak ada yang berubah di antara mereka. “Gue dan Niki hanya sahabat, nggak
lebih.”
“Is that how you reallu feel?”
Nata terdiam lagi, tidak tahu
bagaimana harus menjawab. “Gue sendiri nggak tahu.” Akhirnya, dia berkaata
lirih.
Itu jawaban yang jujur. Nata tidak
mampu mengartikan perubahan rasa yang dimilikinya untuk Niki. Dia tidak tahu
sejak kapan dia mulai berdebar-debar
setiap kali berdekatan dengan sahabat perempuannya itu. Dia tidak mengerti
mengapa dia merasa kesal ketika Niki
bercerita tentang cowok-cowok yang mendekatinya, marah pada teman-teman
laki-lakinya yang menggosipkan Niki. Dia tidak tahu mengapa perasaannya
terombang-ambing seperti ini. Sukakah? Cintakah? Bukankah Nata kebal terhadap
segala sesuatu yang berkaitan dengan cinta? Dia selalu menganggap jatuh cinta
sebagai sesuatu yang bodoh dan menyebalkan, yang membuat orang kehilangan akal
sehat dan jungkir balik karenanya.
Ia merasakan Annalise memperhatikan perubahan
raut wajahnya, lalu tersenyum simpul. “Perasaan semacam ini wajar kok. You just have to fight for it.”
Untuk pertama kalinya hari ini, Nata
mendongak dan berhenti menghindari tatapan Annalise. “Gue nggak bisa,”
desisnya.
Semuanya tidak semudah itu. Nata dan
Niki—mereka sudah terlalu lama bersahabat, dan Nata tahu Niki tidak ingin ada
apa pun yang berubah di antara mereka. Dia pun tidak ingin persahabatan mereka
goyah hanya karena ada cinta yang menyeruak secara sepihak.
Annalise membalas tatapannya. “Cinta
itu nggak memiliki, Nat. Semua orang bebas merasakannya, menyimpannya. Tapi,
kalau kamu terlalu takut untuk mengakuinya, selamanya kamu bisa terperangkap di
dalamnya.”
W i sh # 24 : se b uah p e r t any
aan (Ni ki ) & se b uah jawab an (O l i v e r )
Niki memeluk karangan mawar merah
segar di hadapannya, sesekali menunduk untuk menghirup aroma harumnya. Dia
tersenyum lebar kepada Oliver yang sedang
menyetir, sebelah tangannya menggenggam jemarinya sepanjang perjalanan pulang.
Niki ingat beberapa tahun yang lalu, dia pernah dengan polos bertanya pada
Nata, bagaimana rasanya jatuh cinta yang sesungguhnya? Kini dia sudah tahu
jawabannya—persis seperti apa yang diimpikannya selama ini. Bahagia. Begitu
senangnya hingga tidak bisa berhenti tersenyum.
Berdebar-debar hingga mau pingsan
rasanya.
Oliver sering memujinya. Tidak pernah ada cowok yang begitu blak-blakan
memberi tahu Niki bahwa ia cantik, sekalipun belum sempat berganti pakaian,
masih mengenakan seragam sekolah dengan rambut tergerai seadanya, juga wajah
yang hampir polos tanpa make-up. Saking terburu-burunya, sore ini Niki hanya sempat
mengulaskan pelembap bibir berwarna pink, juga mengoleskan sedikit cologne bayi
beraroma lembut kesukaannya.
Niki menunduk, wajahnya berser-seri.
Di hadapan Oliver, dia terus-menerus
tersenyum bodoh dengan wajah hangat yang memerah. Dia ingin berhenti memasang
ekspresi konyol seperti itu, tapi dia tidak mampu. Rasanya dia sudah tidak bisa
menahan kebahagiaan ini sendirian. Mungkin ini terdengar aneh, tapi Niki ingin
cepat-cepat pulang dan memberi tahu segalanya pada Nata.
Mobil berhenti di depan rumahnya. Oliver berdiri di depan pintu mobil yang terbuka,
seakan menghalanginya keluar.
“Niki, aku mau ngomong sesuatu yang
penting.”
Niki menatap Oliver, menunggu apa yang ingin dikatakannya dengan
hati berdebar.
“Sejak pertama kali melihat kamu,
aku selalu merasa ada sesuatu mengenai kamu yang sangat istimewa...,
seakan-akan kamu bersinar di antara orang-orang lain. Aku senang bisa kenal
sama kamu, ngobrol dan jalan bareng
kamu.”
Oliver menelan ludah, terdiam sejenak seakan sedang
mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
“Kamu... mau jadi pacarku?”
Lidah Niki kelu. Dia ingin menjawab, ingin meneriakkan satu
kata itu keras-keras, tapi otaknya kosong. Dengan lemas, Niki mengangguk,
genggamannya pada ikatan mawar-mawarnya melonggar. Ketika Oliver merunduk untuk
mengecup bibirnya, Niki memejamkan mata dan membisikkan jawaban itu untuk
mereka berdua.
***
W i sh # 25 : se b uah p e r ny at
aan (Nat a)
Nata menunggu di atas trampolin
hingga lewat jam makan malam. Matahari sudah terbenam dua jam yang lalu, dan
perutnya sudah keroncongan, tapi Niki belum pulang juga. Sesekali deru mesin mobil atau langkah kaki
membuatnya terjaga, namun Niki tidak kunjung datang.
Kata-kata Annalise tadi siang terus
mengganggu pikirannya, membuatnya bingung dan serba salah. Dia sudah
memikirkannya matang-matang, memainkan berbagai jenis skenaNata yang mungkin
terjadi, juga mempertimbangkan masak-masak segala kemungkinan yang ada jika dia
mengakui perasannya pada Niki. Dia rela mengambil resiko itu. Dan yang paling
penting, Nata ingin berhenti berpura-pura.
Ki, gue sayang lo.
Nata mengakuinya. Entah sejak kapan, entah mengapa dan entah bagaimana, dia
tidak tahu. Yang diketahuinya adalah, dia mencintai Niki, dan apa pun yang terjadi,
dia akan terus menyayanginya seperti itu. Apa pun jawabannya nanti, Nata hanya ingin
melepaskan pernyataan itu dari hati
kecilnya. Tidak ingin membohongi Niki
lagi dengan kedok persahabatan, sedangkan yang diinginkannya adalah merengkuh
pundak mungil itu dalam satu dekapan hangat.
Deru mobil terdengar di kejauhan.
Nata memasang telinga dan menunggu. Tidak
lama kemudian didengarnya langkah kaki Niki mendekat. Sebelum kehilangan
keberanian, Nata buru-buru berkata.
“Ki, gue pengen bilang sesuatu sama lo. Penting.”
Niki mengambil tempat di sebelahnya,
memeluk lutut dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tampaknya dia tidak
memperhatikan raut wajah Nata yang cemas, juga tidak mendengar urgensi dalam
suaranya.
“Aku juga, Nat. Tahu nggak? Barusan Oliver minta aku jadi pacarnya, dan aku bilang iya.”
Senyumnya melebar, lalu Niki menoleh dan menatap Nata dengan raut tidak
percaya. “Can you believe it? Aku dan
Oliver. Rasanya nggak nyangka, sesuatu
yang dari dulu kuimpikan sekarang jadi
kenyataan. Ternyata Prince Charming memang bener-bener ada. Love at the first sight betul-betul ada.”
Nata hanya bisa menelan kembali
kata-kata yang belum sempat diucapkan. Momen yang dipersiapkannya sejak tadi lenyap begitu saja, tergantikan oleh
euforia sepihak yang membuatnya kebas. “Oh ya?”
Niki tertawa kecil. “Kok, ekspresinya datar, sih? Mestinya, kamu
seneng, Nat, sahabatmu ini udah dewasa. Udah bisa nemuin kebahagiaannya
sendiri. Sekarang nggak akan manja dan ngerepotin kamu lagi untuk urusan-urusan
kecil, dan kamu nggak usah ngomel lagi
karena aku lelet atau berat-beratin boncengan sepeda kamu setiap hari.”
Nata tidak tahu bagaimana harus
menjawab. Sebenarnya, Nata ingin sekali mengatakan bahwa Oliver bukanlah orang yang tepat untuk Niki, juga
ingin menyampaikan perasaannya sendiri. Tapi, ekspresi gembira di wajah Niki
membuatnya bungkam. Kata-kata yang akan diucapkannya hanya akan melukai gadis
itu, dan Nata tidak ingin melakukannya.
Dipaksakannya seulas senyum. “Jadi,
gue harus bilang apa, nih? Selamat...?”
Niki mengangguk bahagia. “Kamu orang
pertama yang kukasih tahu.” Ditariknya Nata mendekat dan dipeluknya eraat-erat.
“Thanks ya, Nata. Kamu memang teman yang
baik walau suka nyolot, galak dan sensi.
Selamanya kamu akan jadi sahabat Niki yang terbaik, ya kan?”
Nata tersenyum pahit, untuk segala
sesuatu yang sudah terlambat.
Niki menggumam pelan, masih dengan
Nata dalam rangkulannya. “Inget janji kita waktu itu?”
Nata ingat. “Waktu itu gue bilang kalau lo pasti lebih dulu jatuh cinta
dibanding gue.”
Niki terSarah. “Kamu bener, Nat. Dan
ternyata jatuh cinta itu bener-bener menyenangkan. Kamu akan ngerti maksudku kalau kamu mengalaminya
nanti.”
Nata memandang Niki yang
melonjak-lonjak ringan di atas trampolin, wajahnya tidak pernah tampak
sebahagia sekarang.
Lo salah, Ki. Yang duluan jatuh
cinta di antara kita ternyata bukan lo, tapi gue.
**
W i sh # 26 : a cur e fo r b r o ke
n he ar t s (Annal i se )
Annalise berdiri di depan pagar
rumah Nata, menggenggam erat sekotak cokelat terakhir. Entah apa yang
membawanya di sini, dia sendiri masih belum bisa memutuskan apa yang akan
dikatakannya pada pemuda itu jika mereka bertemu nanti. Dengan ragu, ia menekan
bel, lalu merasa serbasalah ketika Dhanny yang membukanya.
“Cari Nata?” tanyanya, sambil
mengusap rambut yang masih setengah basah dengan sebelah tangan.
Annalise mengangguk. “Dia ada?”
“Lagi semedi di kamar, sepertinya
mood-nya kurang bagus. Kamu... tau kenapa?”
“Mungkin.” Annalise mengulas senyum melihat ekspresi Dhanny yang khawatir.
Ia meniti tangga ke kamar Nata, lalu
mengetuk pintunya dua kali. Ketika tidak ada yang menjawab, dia memutar gagang
dan beranjak masuk. Nata sedang duduk di atas karpet, memetik senar gitar dengan
asal-asalan.
“Boleh masuk?:”
Nata mengangguk samar. Annalise
duduk di sebelahnya dan meletakkan kotak cokelat berpita putih itu di atas
meja. “Buat kamu. Aku menyisakannya
semalam.”
“Jadi ini cokelat sisa?” Nata
separuh bercanda, tapi nadanya tanpa humor. Ia lalu mengubah topik pembicaraan;
sepertinya hal itu sudah mengganggu pikirannya sejak tadi. “Tadi... gue ketemu Niki.”
Nata tidak perlu melanjutkan
kalimatnya karena Annalise sudah tahu. Barusan Niki meneleponnya untuk
bercerita panjang lebar mengenai Oliver.
Karena itulah dia buru-buru datang ke sini.
“Sejak dulu Niki pengen punya cowok
yang sempurna, yang nggak takut untuk bilang sayang dan ngasih berbagai macam
kado. Dan, gue bukan tipe cowok seperti
itu.” Nata menjauhkan gitarnya dan tersenyum pada Annalise. “Thanks buat
nasihat lo, Ann. Gue tau lo care
sama gue
dan Niki. Tapi kita berdua Cuma sahabat, nggak bisa lebih dari itu. Nggak
akan ada yang berubah.”
Annalise bersandar pada tepi tempat
tidur Nata, pandangannya menerawang jauh. “Kamu nggak bakalan nyesel?”
“Kalo dia seneng, itu udah cukup
buat gue.”
Ekspresi di wajah Nata membuatnya
merasa sedih. Kata-kata penghiburan yang ingin dikatakannya terasa klise dan
kaku di lidah sehingga Annalise tidak jadi mengatakannya.
Nat, apa Cuma Niki yang bisa bikin
kamu tersenyum? Apakah nggak ada orang lain lagi yang mampu menggantikan
posisinya di hati kamu?
Annalise ingin menanyakannya. Ingin
mengatakan bahwa dia mengerti perasaan Nata, karena dia pun merasakan hal
serupa. Tapi, dia malahan berusap, “Apa pun yang terjadi, kita bertiga masih
sahabat. Itu yang penting.”
Nata tersenyum sendu sebagai
balasannya. “Iya, kita bertiga selamanya temenan.” Tanpa sadar, sebutir air mata meluncur turun, dan Annalise mengusapnya sebelum Nata sempat melihat.
***
Ifu duduk di depan meja belajarnya, dengan lampu tidur yang
dinyalakan remang-remang supaya tidak mengganggu Acha yang sedang terlelap.
Sudah hampir tengah malam, tapi dia masih belum bisa tertidur. Rasanya seluruh
kebahagiaan hari ini terlalu menyesakkan sehingga dia terlalu bersemangat untuk
istirahat. Besok pasti seluruh tubuhnya
pegal-pegakl dan jadi mengantuk di kelas.
Dia baru saja menghabiskan satu jam
terakhir bercerita pada Acha mengenai Oliver,
sampai adiknya itu bosan dan tertidur. Bunga-bunga pemberian Oliver
sudah ditata rapi di dalam sebuah vas
kaca, beberapa tangkai yang sudah layu
bahkan sudah dikeringkan untuk disimpan. Niki membelai kelopaknya yang sehalus
beludru sembari tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
Empat surat dari penggemar rahasianya
yang didapatnya di sekolah tadi siang masih belum sempat dibuka. Dikeluarkannya
dari ransel dan ditelitinya satu
per satu. Salah satu dari keempat surat itu menarik perhatiannya karena
amplopnya yang biru di antara warna merah jambu. Amplop itu sederhana, tanpa nama,
dan di dalamnya hanya ada selembar kertas tipis.
Isinya adalah sepotong sajak yang
diketik rapi.
Niki bertopang dagu di atas
meja, menggunakan remang cahaya kuning
untuk membacanya.
Bulan emas tinggal separuh
Bintang-bintang sangat pemalu Kau terduduk di sampingku
Aku lantas mencintai bayanganmu Kau
menoleh untuk tersenyum Hatiku berserakan... lebur dan lepuh
***
AC C ID ENT
W i sh # 27: me me nangkan ko mp e t
i si b aske t (O l i v e r )
Niki takjub bukan main saat ia
pertama kali menginjakkan kaki di gerbang depan sekolah Oliver. Pasalnya, sekolah elite yang selama ini hanya
dikenalnya melalui kabar burung dan omongan orang-orang ternyata memang seperti
yang digosipkan. Pagar utamanya tinggi dan kokoh, dipoles mengilap tanpa karat.
Pekarangan sekitarnya asri, seperti kampus-kampus luar negeri yang dipenuhi pohon rindang dan kursi
taman yang terbuat dari tembaga.
Lapangannya dua kali lebih besar dari
milik sekolah Niki, dilengkapi pula dengan fasilitas kolam renang indoor
yang dapat dilihat melalui kaca
transparan besar. Belum lagi gedung-gedungnya yang bercat kuning pucat,
semuanya tinggi dan rancangan modern, pastinya karya arsitektur ternama. Masing-masing ruang
kelas memiliki jendela tinggi yang
transparan, terlihat seperti rumah kaca
dengan ruang belajar luas, lengkap dengan loker pribadi.
“Pasti mahal sekali ya, sekolah di sini?” celetuknya polos.
Oliver, yang baru saja memarkir mobil di
area yang tak kalah lapang, ikut tersenyum.
“Yang sekolah di sini kebanyakan
anak-anak diplomat, selebritas atau warga negara asing,” jawabnya sambil
menenteng duffle bag berisi perlengkapan olahraga./ “Yuk, masuk. Jangan bengong
aja di sana.”
Niki berusaha keras terlihat biasa
di dalam sekolah itu. Bahkan, siswa-siswinya tampak amat modis dalam seragam
serbaputih. Banyak murid berambut pirang dan bermata biru di sana-sini,
mengingatkannya akan Annalise. Oliver sepertinya sangat populer, karena mereka
semua menyapanya dan tak sedikit yang menepuk pundaknya untuk mengucapkan
selamat bertanding.
“Ayo.” Oliver menggandeng tangannya dan menariknya menuju
lapangan basket indoor sekolahnya. Gestur posesif ini membuat Niki senang.
Lapangan basket indoor yang luas
sudah dipadati orang. Hari ini, tim
basket SMU Pelita akan bertanding dengan tim SMU Aksara yang tahun lalu
memenangi kompetisi regional. Niki tahu Oliver
sudah berlatih keras, dan setiap hari yang diomongkannya hanya
pertandingan ini. Sebagai bentuk dukungannya, Niki menawarkan diri untuk datang
memberi semangat.
Bangku-bangku penonton sudah hampir
penuh. Niki menyelinap ke baris ketiga, duduk di ujung sembari memperhatikan
Oliver mengenakan jersey putih emas di
atas kausnya, lalu membungkuk untuk mengikat tali sepatunya. Tim lawan juga
sudah siap, beberapa di antaranya bahkan sudah berlaga di sudut lapangan untuk
melakukan latihan kecil. Niki merasa kikuk dalam seragam sekolahnya yang beda
sendiri dengan orang-orang di sekelilingnya. Bandana biru muda yang melilit di
kepala dan gelang-gelang oversized plastik berwarna pelangi di pergelangan
tangannya membuatnya lebig
self-conscious lagi, kekanakan dibanding dengan aksesoris platina dan
jam bermerek milik siswi-siswi yang duduk tidak jauh darinya.
Tapi, lalu Oliver menangkap pandangannya dan mengedipkan
sebelah mata, tidaklupa melambaikan tangan dengan senyum percaya diri. Niki
merasa jauh lebih baik setelahnya, walau beberapa gadis berbalik memelototinya
dengan sengit. Dia sudah tahu Oliver
adalah salah satu That It Guy di sekolah ini—dan dia merasa sangat,
sangat beruntung.
Peluit dibunyikan dan anggota
masing-masing tim berlari kecil ke
tengah lapangan. Bola basket dilempar tinggi-tinggi, dan permainan pun dimulai
begitu Oliver berhasil menyentuh
bola sedetik lebih cepat dari ketua tim basket lawannya. Para pemain
bergerak cepat, masing-masing mengambil posisi dan mengikuti arah bola dengan lincah. Decit sepatu dan dentuman
bola berbaur dengan seruan dan bunyi
peluit. Niki menonton dengan tegang, ikut berseru riuh rendah ketika skor pertama jatuh ke tim Oliver. Mata pemuda itu sama sekali tidak
meninggalkan bola, dengan seksama
memperhatikan kinerja timnya dan tidak ragu meneriakkan instruksi. Sesekali,dia
mengelap keringatnya dengan ujung kaus,
gayanya yang tenang dan penuh kalkulasi membuat tim lawan gerah.
Baru saja permainan berlangsung lima
belas menit, handphone Niki bergetar di dalam tasnya. Terganggu dan tidak
berkonsenterasi, Niki membaca pesan singkat yang barusan masuk. Jantungnya
nyaris berhenti berdetak ketika otaknya mencerna kalimat pendek itu.
Sender: Annalise
Ki, Nata kecelakaan. Sekarang masuk
rumah sakit.
Tanpa banyak pikir, Niki melesat dari bangkunya dan berlari ke arah pintu keluar.
Dengan panik, ia memanggil taksi dan meminta pengemudinya untuk ngebut menuju
rumah sakit. Yang dibayangkannya hanya Nata yang terbaring di atas ranjang
rumah sakit, darah memenuhi seprai putihnya. Dia berusaha mengenyahkan pikiran
itu dengan menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Pak, tolong lebih cepat, ya,” pintanya,
berdoa dan berdoa untuk keselamatan Nata.
***
W i sh # 28: sup ay a Nat a b ai k-
b ai k saja (Ni ki )
Niki menghambur ke dalam ruangan
tempat Nata sedang dirawat, menemukan sahabatnya sedang dalam posisi duduk,
menggunakan dua bantal besar sebagai penyangga. Perban besar menutupi danhi dan
beberapa bagian tubuh lainnya.
“Hai, Ki.” Teguran santai itu tidak
membuat Niki lega, malahan semakin panik. “Kamu nggak apa-apa kan, Nat? Mananya
yang sakit?” Niki membalikkan tangan
Nata yang dibalut dengan hati-hati,
mencoba mencari bekas luka. “Aduh... kok
bisa begini, sih?”
“Segitu khawatirnya sama gue?” Nata menggoda, senyumnya senang,
bertukar pandangan dengan Annalise yang juga tersenyum geli di sampingnya.
“Serius, nih! Yang mana yang luka?”
Senyum Nata semakin mengembang.
“Cuma lecet-lecet kecil aja, kok. Yang parah di sini.” Ia menunjuk keningnya,
“kena enam jahitan.”
“Hah?” Niki merinding mendengarnya.
“Kok bisa?”
Annalise ikut bicara untuk menenangkan
Niki. “Nata terserempet mobil sampai jatuh dari
sepedanya, tapi hanya lebam dan luka ringan di sekujur tubuh. Luka di keningnya
cukup besar, tadi sampai berdarah-darah banyak sekali, tapi untungnya sekarang udah nggak apa-apa.”
Niki mengembuskan napas lega. “Bawa
sepedanya nggak hati-hati, ya?” tuduhnya curiga. “Ngebut, kan?”
Nata mendelik, kesal dituduh yang bukan-bukan. “Enak aja. Yang
ngebut tuh mobil yang nyerempet gue,
nikung sembarangan lagi,” gerutunya. “Lo dari mana aja sih, kok
datengnya lama?”
Mendengar pertanyaan itu, mendadak
saja Niki teringat pada apa yang ditinggalnya. Oliver, pertandingan basket, lapangan SMU Pelita.
Gawat! Dia benar-benar lupa sama sekali.
“Tadi aku lagi nonton pertandingan
basket di sekolahnya Oliver.” Niki menggigit bibir dengan rasa bersalah.
Mendengar nama Oliver disebut, raut Nata
berubah masam, tapi dia tidak berkata apa-apa.
Sudah ada lima missed call di
handphone Niki yang tidak disadarinya. Niki beranjak keluar ruangan dan menekan
nomor Oliver dengan speed dial.
Panggilannya terjawab dalam satu kali dering.
“Halo? Niki?” Suara Oliver sulit terdengar dalam kehebohan riuh-rendah
di ujung telepon. “Kamu di mana, kok tiba-tiba menghilang?”
“Sori... tadi aku dapat SMS kalau
Nata kecelakaan, jadi aku langsung ke rumah sakit dan lupa ngabarin kamu.”
“Oh.” Oliver terdengar kecewa. “Dia nggak apa-apa?”
“Luka-luka ringan, dan ada luka yang dijahit.”
“Kamu bakal balik ke sini, kan?” Nada suaranya penuh harapan. “Kita menang lho,
sayang kamu nggak lihat.”
“Sori,” Sekali lagi Niki meminta maaf, “kita rayainnya besok aja, ya? Aku yang
traktir deh.” Ia kian merasa bersalah, apalagi ia sama sekali
tidak melihat akhir dari
pertandingan itu. Kini dia malahan menolak ajakan perayaan kemenangan
Oliver.
Hening. Agak lama sebelum
Oliver menjawab. “Kamu... mau nemenin
Nata di sana, ya?”
“Iya,” jawab Niki jujur. “Kasihan
Nata sendirian di rumah sakit, belum bisa pulang karena masih harus check-up.”
“Oh..., ya udah.” Telepon ditutup.
***
W i sh # 29 : Ni ki (Nat a)
Rumah sakit setelah lewat visiting
hours sangat lengang. Lorong-lorongnya sepi,
hanya sesekali terdengar bunyi pintu kaca didorong, dan langkah kaki serta bisikan
kecil para dokter dan suster yang sedang
jaga malam itu. Dua tempat tidur lain yang berbagi ruang dengan Nata kosong
tanpa pasien, membuatnya lega karena memiliki lebih banyak privasi.
Nata menatap Niki yang sedang
tertidur sambil menelungkupkan tangan di tepi tempat tidurnya. Lembaran kartu
Uno berserakan di sampingnya, belum sempat dibereskan. Tadi mereka bermain
kartu untuk melewati waktu, tapi yang ada malah Niki kelelahan dan dengan mudah
terlelap dalam hitungan menit tanpa pembicaaraan. Nata tidak punya masalah
dengan itu, dia cukup senang memperhatikan Niki beristirahat dengan muka angelic
seperti sekarang.
Dia gembira karena Niki segera
datang ke rumah sakit, meninggalkan pertandingan basket Oliver yang sepertinya cukup penting. Dia juga
senang Niki tidak langsung pulang ke rumah atau kembali menemui Oliver, malah mengajukan diri untuk menemaninya
semalaman, menggantikan Annalise dan keluarganya yang sudah lama menungguinya
di rumah sakit. Dalam hati, dia bersorak—ini artinya Niki memilihnya. Pikiran
kekanakan itu membuatnya tak berhenti tersenyum, hampir sama sekali
melupakan mobil yang tadi sore menyerempetnya hingga terjatuh ke tepi
jalan, membuatnya terpaksa menghabiskan semalam di rumah sakit.
“Gue sayang lo, Ki. Sayang banget.”
Kata-kata itu belum pernah
diucapkannya benar-benar, tetapi sama-sekali tidak terasa janggal.
***
W i sh # 3 0 : me ne mani Nat a
di r umah saki t (Annal i se )
Annalise mengendap masuk ke ruang
tepat Nata dirawat, meraih gagang pintu dan memutarnya sepelan mungkin supaya
tidak menimbulkan suaara. Barusan dia berbohong pada suster bahwa dia adalah
adik Nata, supaya bisa diizinkan masuk.
Sebuah kantong plastik bening berisi
beberapa batang es krim kesukaan Nata sudah dibelinya dalam perjalanan ke sini.
Nata pasti kebosanan bukan main di kamarnya, hanya ditemani satu unit televisi
yang menyajikan siaran sinetron sepanjang malam. Niki bilang dia akan pulang
pukul delapan, jadi Annalise bermaksud menggantikannya untuk menemani Nata.
Langkahnya terhenti. Dia melihat
pemuda itu terbaring di atas tempat tidur dalam pakaian rumah sakit berwarna
biru muda, di wajahnya sebuah ekspresi lembut yang sulit dijelaskan. Lalu,
Annalise melihat Niki yang sedang terlelap, dan sayup-sayup mendengar kalimat
yang dikatakan Nata. Dan, dia mengerti.
Ia mengambil beberapa langkah mundur
yang agak terburu-buru, lantas menabrak
seseorang di depan pintu. Ketika menoleh, Annalise bertatapan langsung dengan
Dhanny.
***
W i sh # 3 1 : me mb aca p i ki r an se se o r ang (D hanny )
Dhanny menyandang tas berisi pakaian
dan handuk kotornya setelah dua jam penuh bermain futsal. Dia melangkah masuk
ke dalam rumah sakit untuk menjenguk adik
satu-satunya yang hari ini bermalam di sini.
Kasihan, pasti suram banget hidupnya
di sini, begitu putusnya, jadi ia pun membawakan beberapa jilid komik baru
kesukaan Nata untuk santapan malam ini. Lumayan untuk melewati bosan.
Di lantai tiga, dia bertemu dengan
seorang suster yang menghalangi jalannya. “Maaf, Dik, jam besuk sudah habis.”
“Saya kakaknya,” Dhanny berkata, menunjuk
bawaannya, “Saya Cuma sebentar kok, hanya mau membawakan barang.”
Suster itu tampak ragu, tetapi luluh
melihat senyum Dhanny yang memohon. “Ya sudah, tapi jangan lama-lama ya.
Barusan adik perempuannya juga datang
berkunjung, mungkin sekarang masih ada di dalam.”
Adiknya? Dhanny tidak habis
pikir, tapi dia diam saja dan segera
berjalan ke kamar rawat Nata. Baru saja ia ingin masuk, tapi pintu terbuka dan
muncul salah satu teman Nata—gadis bule itu—dengan ekspresi tidak keruan.
Dhanny mengingat namanya.
“Annalise?”
“Anna.” Dia mengangguk singkat,
masih tampak terkejut.
“Ada apa? Nata ada di dalam, kan?”
Sebelum Annalise mampu merangkai kata untuk menjawab, Dhanny menjulurkan kepala
dan melihat adiknya, yang sedang menarik selimut miliknya sendiri untuk
menghangatkan Niki yang sepertinya sedang pulas. “Nggak mau masuk?”
Annalise menggeleng. “Aku mau pulang
saja.”
Alvim mengamati perubahan raut wajah
Annalise, tiba-tiba saja mengerti apa yang membuat gadis ini berubah pikiran
begitu saja. Digosok-gosokkannya kedua telapak tangan yang mulai dingin karena
sejuknya malam.
“Kuantar pulang, ya?” Melihat
Annalise mempertimbangkan ajakannya dengan ragu, senyum Dhanny mengembang.
“Aman kok, pasti selamat tiba di rumah. Tapi sebelummnya, temenin aku makan
dulu sebentar.”
Annalise terdiam sejenak, lalu
mengangguk dengan senyum kaku dan mengikutinya menuju 24-hour cafƩ di lantai bawah.
“Percaya atau tidak, rumah sakit ini
punya cafƩ dengan makanan yang enak
banget, walaupun banyak orang bilang makanan rumah sakit nggak bisa dimakan
sama sekali.” Dhanny memilih runa
casserole hangat dan secangkir espresso, lalu memilih sebuah meja di sudut yang agak jauh dari
pintu keluar. Dilihatnya Annalise hanya memesan semangkuk sup krim asparagus dan segelas teh tawar hangat
sehingga ia memotong sedikit makananannya dan meletakkannya di piring gadis
itu. “Kamu belum benar-benar mengenal yang namanya makanan enak kalo belum nyobain ini.”
Sekali lagi, Annalise mengulas senyum tipis, lalu menyesap
minumannya. “Di New York ada sebuah kedai yang menjual kudapan seperti ini.
They have the best burritos and casserols in town.”
Dhanny mengunyah makanannya tanpa
suara. “Kamu kangen New York?” Ekspresi Annalise melembut ketika menjawab.
“Kadang-kadang. City view di sana sangat indah, terutama Natal di daerah
Rockefeller.”
“Kamu pernah memotretnya?”
Annalise mendongak, seakan terkejut
ditanya demikian. “Pernah, beberapa kali.” Senyum Dhanny melebar. “Kapan-kapan
boleh kulihat?”
Annalise memiringkan kepala,
mengamati pemuda yang begitu ramah walaupun belum pernah benar-benar
berkenalan. “Kamu juga suka fotografi?”
“Ah, ya. Sebenarnya hanya belajar
secara otodidak. Lebih tepatnya bisa dibilang hanya pengagum.”
“Pengagum pun harus ngerti fotografi
untuk bisa benar-benar mengapresiasinya.”
“Betul, makanya aku kagum melihat
hasil fotomu waktu pameran tempo hari. Foto-foto itu punya nyawa, terutama foto
seorang anak kecil yang sedang tertawa
di balik air matanya.”
Annalise menunduk, tidak menyangka
Dhanny masih mengingat foto-fotonya yang dipajang untuk pensi bulan lalu. “Nata
juga bilang begitu... tentang foto-fotoku.”
“Kamu dan Niki adalah dua orang yang
oenting buat adikku.” Ketika Annalise memandangnya dengan bingung, Dhanny
menjelaskan. “Sejak kecil, Nata benci
sama yang namanya perempuan. Dia paling
ogah deket-deket dengan perempuan, bahkan cenderung menyendiri dibanding
bergaul dengan teman-teman seumutnya. Nata orangnya susah bergaul, nggak
terbuka dan nggak gampang percaya sama
orang. Karena sifatnya ini, orang-orang jadi males ngedeketin, karena
mereka sulit ngerti dia. Waktu kecil,
temen-temen sekelasnya nggak ada yang mau main sama Nata. Nata juga nggak pernah mau berbagi mainannya
sama orang lain. Cuma Niki yang keukeuh
ngajak dia main bareng, naik sepedalah, main bonekalah, sampai nangkep jangkrik
di pinggir kali. Walau dicuekin Nata berkali-kali, Niki nggak nyerah atau pun
marah.”
Dhanny tersenyum mengingat kejadian itu.
Niki dengan senyum lebar dan gigi ompong terus-menerus berjongkok di samping
Nata, tidak peduli bahwa anak cowok itu tidak memedulikannya dan menyembunyikan
seluruh mainannya dari jangkauan Niki.
Setiap sore, Niki tetap datang ke rumahnya dan berteriak dengan lantang. “Nata,
main yukkk!”, sampai akhirnya adiknya itu memberikan satu mobil mainannya
kepada Niki.
“Mungkin yang dibutuhkan Nata adalah
orang-orang percaya sama dia. Sahabat
seperti kamu dan Niki.”
Melihat Annalise termenung
memikirkan perkataannya, Dhanny bangkit dan tersenyum pada Annalise. “Yuk, kita
pulang.”
***
MAMA
Annalise terjaga dari tidur lelapnya ketika mendengar ribut-ribut
di luar kamar. Terang dari lampu ruang keluarga menyisip masuk melalui celah-celah
pintu, membuatnya membuka mata untuk melirik ke arah jam weker yang ada di tepi
tempat tidurnya. Hampir tengah malam. Ia bangkit dan mengucek mata yang masih
sarat akan kantuk, lalu menyeret langkah untuk melihat siapa yang malam-malam
begini masih terjaga. Ternyata Tante Nadja
sudah mendahuluinya, kacamatanya yang bersiluet tegas terlihat kurang
cocok dengan rambut yang berantakan dan muka mengantuk.
Annalise berusaha membiasakan pandangannya
pada terang yang tiba-tiba menyala, dan melihat sebuah sosok di balik pintu. Perempuan itu mengenakan mantel dengan
gaun selutut dalam siluet warna krem, serta sepasang boots suede berwarna
senada. Rambutnya diikat dalam sebentuk chignon longgar, dengan kacamata
diangkat ke atas seperti bando. Tingginya tidak kurang dari seratus delapan
puluh sentimeter, terlihat semakin jenjang dengan hak sepatu yang runcing.
Bunyi yang ditimbulkannya cukup membuat Annalise tersadar dari keterkejutannya.
“Mama?!”
Tantenya tampak sama kagetnya dengan dirinya. Mereka berdua
sama-sama masih mengenakan piyama tidur, dengan keadaan yang disoriented,
terlihat seperti dua orang kebingungan yang terkejut luar biasa.
Mereka melongo melihat Mama dengan ribut membuka pintu dan menarik masuk
kedua kopor besarnya.
”Surprise!!”
Mama merentangkan tangan lebar-lebar,
tersenyum senang melihat kekagetan yang telah disebabkannya. Beliau berhenti dan memandang Annalise lekat-lekat.
Annalise tidak bergerak saat jemari Mama mengusap helai-helai rambut yang
berantakan di keningnya, lalu mendekapnya erat. Harum parfum Mama masih tidak
berubah—Miracle dari Lancome. Rasanya
sudah lama sekali, tetapi anehnya bau itu masih tidak asing di hidung Annalise.
Ia memejamkan mata dalam dekapan
Mama, terlalu terkejut untuk membalas pelukannya.
***
W i sh # 3 2: mama unt uk t e t ap
t i nggal (Annal i se )
Sudah beberapa hari ini Annalise
tidak henti-hentinya tersenyum, tidak kalah dengan Niki yang masih berseri-seri
sejak peresmian hubungannya dengan
Oliver.
“Kalau ada di samping kalian,
gue keliatan kayak manusia paling murung di dunia,” begitu komentar
Nata ketika melihat kedua sahabatnya memasang ekspresi gembira yang identik.
Annalise bertukar pandang dengan Niki dan mereka berdua menyeringai.
Nata dan Niki adalah orang pertama
yang diberitahukannya mengenai kepulangan Mama beberapa hari yang lalu.
Rumahnya tidak lagi penuh dengan kesunyian yang sering kali mengisi percakapan,
kini sarat dengan obrolan yang bermakna untuk melepas rindu. Pada pagi
hari setelah Mama kembali, Annalise bahkan mengecek kamar Mama untuk
memastikan bahwa kejadian semalam bukan hanya imajinasinya. Bertapa leganya
saat menemukan Mama di balik selimut, raut damai dalam nyenyak tidurnya. Annalise
tidak pernah berharap lebih dari ini.
“Mamamu sekarang akan tinggal di
Jakarta?”
Ketika Nata menyeletukkan pertanyaan
sederhana itu, Annalise terhenyak. Dia tidak berani menanyakan apakan Mama akan
tinggal lebih lama di Jakarta kali ini. Dia tidak tahu apakah Mama akan segera
terbang ke luar negeri lagi untuk
pekerjaan, lantas tidak kembali beberapa bulan lamanya. Dia juga belum sempat
bertanya mengapa Mama melupakan hari ulang tahunnya waktu itu, mengapa Mama
tidak menepati janji kepulangannya.
“Nggak tahu,” Annalise dengan jujur
menjawab, “mudah-mudahan kepulangan Mama kali ini for god.”
Harapannya ini dikukuhkan juga oleh
kegiatan Mama yang tidak sepadat biasanya. Setiap sore, Annalise menemukan Mama
sedang melukis di patio rumah mereka, bergulat dengan kuas, palet warna, dan secangkir kopi. Dia akan duduk saja di samping Mama,
memperhatikan garis wajahnya dan kadang-kadang
memotretnya. Sesekali, mereka mengobrol, bertukar cerita mengenai banyak hal
yang tidak bisa diceritakan panjang-lebar melalui telepon.
Sore
ini, Annalise pun duduk di kursi beranda, melihat Mama menyapukan wanra
merah jambu untuk pemandangana matahari terbenam di atas kanvas.
“Udah lama nggak ke Jakarta,
ternyata Mama kangen juga sama kota
ini.” Mama tersenyum sekilas sambil tersu melukis, rambutnya yang panjang
tergerai dan melambai ringan ketika ditiup angin. Wajahnya bersih tanpa make-up,
sesuatu yang jarang Annalise lihat, tetapi sangan disukainya. Inilah Mama apa
adanya, Mama yang dikenalnya.
“Kamu sudah terbiasa di sekolah
baru? Punya banyak teman?”
“Ada dua sahabat baruku, namanya
Nata dan Niki. Mereka penggemar berat Mama.”
“Oh ya?” Mama tampak senang
mendengarnya.
“Mama.” Annalise terdiam sejenak,
ragu untuk menanyakan pertanyaan Nata yang membebani pikirannya belakangan ini.
Dia takut mendengar jawabannya, tapi lebih takut lagi menemukan Mama mendadak
pergi seperti yang sering dilakukannya. ”You’re going to stay, aren’t you?”
Kali ini, Mama meletakkan kuas dan
mengelap kedua tangan dengan celemek yang melilit di pinggang. Dipandangnya
Annalise dengan seksama, tatapan matanya lembut. Mama tidak menjawab, hanya
memeluknya seakan tidak ingin melepaskannya lagi.
***
P H O T O GR AP H S
Tanggal batas terakhir pengiriman
materi untuk lomba fotografi sudah dekat. Nata dan Niki sibuk membantu Annalise
memilih foto untuk kompetisi tahun ini, yang diusung dengan tema lokalitas.
Tadinya, Annalise enggan untuk ikut, merasa bahwa foto-fotonya masih belum pantas
untuk dijagokan dalam lomba bertaraf nasional, bersaing dengan ribuan bahkan
jutaan remaja lain yang sama-sama punya bakat di dunia fotografi.
Namun, tentu saja, Niki mendesaknya
untuk ikut mendaftar. Belum lama ini, dia melihat selembar flyer yang
mengiklankan lomba ini di mading sekolah, dan dengan persuasif diajaknya
Annalise ikut. Hampir separuh siswa
dari grup ekstrakulikuler
fotografi di sekolah mereka akan berpartisipasi, katanya, dan tidak ada alasan
bagi Annalise untuk menolak ikut.
Annalise sengaja mengulur-ulur waktu hingga waktunya dekat, berharap mereka
akan melupakannya. Namun, Nata, dengan netral sempat berkata padanya, “Kalau lo
merasa terbebani untuk ikutan, lebih baik gak usah, daripada terpaksa. Tapi,
menurut gue, foto-foto lo nggak kalah dengan
milik fotografer andal, dan lo harus percaya pada kemampuan lo sendiri.”
Akhirnya, Annalise pun memutuskan
untuk ikut. Hanya saja, hingga sekarang dia masih belum bisa memilih foto mana
yang akan diikutsertakannya dalam lomba. Tema
lokalitas adalah subjek yang tricky baginya, karena fotonya harus mencerminkan
kepribadian bangsa dan kultur negara, tetapi juga harus memiliki sisi emosional
yang mampu menangkap perhatian para juri. Karena itulah mereka bertiga kini mengobok-obok
seluruh isi lemari foto Annalise, mencoba menemukan sebuah shot yuang sempurna,
sekaligus memikirkan objek yang menarik untu dijadikan fokus utama.
“Kalau candi-candi atau kerajinan
tangan gimana?” Niki mengusulkan, keningnya berkerut selagi ia membuka album demi almbum foto lama milik
Annalise. “Misalnya batik, tanah liat, kendi atau anyaman.”
“Terlalu biasa,” Nata berkomentar
singkat dari sudut ruangan, berkutat
dengan rol flm lama yang disimpan dalam kotak. “Pasti banyak banget karya serupa, nanti jadi kurang menonjol.”
“Kalau pemandangan alam?” Niki
melempar ide lagi, kali ini mengangkat beberapa tumpuk foto sekaligus dan
mengaduk-aduknya di lantai.
“Biasa juga, kecuali ada fenomena yang fantastis.” Sahut
Nata.
Annalise tidak terlalu
memperhatikan, sedang sibuk menyortir foto-foto hitam putih yang dulu sempat
menjadi obsesi eksperimennya bertahun-tahun lalu.
“Sawah dan pedesaan?” Niki memutar
otak lagi, berusaha keras untuk
memikirkan sebuah tema yang unik. “Perkampungan kan sekarang sudah lebih maju,
tapi kita bisa menampilkan sisi modern sekaligus tradisional yang gak ditemukan
di kota.”
“Lumayan sih. Tapi takutnya banyak
peserta lain yang memikirkan ide yang sama.”
Niki mengerut. “Semua ideku nggak
ada yang kamu anggap bagus.”
Nata terSarah. “Habisnya kita butuh
sesuatu yang bener-bener ‘beda’, yang bisa bikin orang tertegun dalam
sekali lihat.”
“Iya juga, sih.” Niki setuju, lalu memasukkan hasil
sortirannya ke dalam sebuah folder plastik. Ia beralih ke sebuah kotak sepatu
tua yang cukup ringan dan tersembunyi di balik
lemari, lalu membuka tutupnya perlahan. Isinya adalah puluhan lembar
foto dengan fokus sebuah siluet wajah, dan beberapa benda lainnya. Penasaran,
Niki menumpahkan seluruh isinya ke dalam pangkuan dan mulai menelitinya.
Wajah Nata memenuhi setiap lembaran
foto. Ada foto mereka semasa pentas seni catur wulan lalu, foto Nata ketika
sedang memegang gitar dan menulis tangga lagu
di buku tulisnya, figurnya dari
kejauhan saat lomba basket sedang berlangsung, Nata yang sedang tertidur
di kelas, juga Nata yang sedang duduk di
atas trampolin, beberapa menit sebelum matahari terbenam. Niki menahan napas, berusaha
mengingat-ingat setiap kejadian saat foto-foto itu diambil tanpa sepengetahuan
mereka karena hampir di setiap foto, Nata sepertinya tidak sadar sedang
dipotret dan tidak melihat langsung ke arah lensa.
Niki melarikan ujung jarinya
memutari garis wajah Nata di atas foto,
memperhatikan dalam-dalam tegas raut matanya, tulang pipinya yang tinggi, dan
hidungnya yang sedikit mancung. Kedua ujung bibirnya yang tipis, sedikit
melengkung ke bawah ketika tidak sedang tersenyum. Ikal rambutnya yang halus
melingkari wajah, lalu bentuk telinganya yang lebar dan berdaun keras. Apakah
Annalise mengambil foto-foto ini untuk mengambil detail yang sama? Apakah...
“Gimana kalo Pecinan? Foto pasar malam dan wihara di
daerah kota pasti mernarik, ya kan?” Tiba-tiba Nata berseru, mengganggu
konsentrasi Niki sehingga gadis itu menjatuhkan foto-foto di tangannya. Secara
otomatis Annalise mendongak, dan begitu melihat apa yang ada di pangkuan Niki,
wajahnya memucat.
“Ah, iya, ide kamu bagus juga...,”
Niki menjawab, mencoba mengumpulkan kembali barang-barang pribadi milik
Annalise yang tidak seharusnya dilihatnya.
“Lagi lihat apa, sih?” Nata yang kebosanan bangkit dan menjulurkan
kepala untuk melihat foto-foto yang masih berserakan di sekitar Niki. Gerakan
ini membuat Niki gugup, dan Nata semakin curiga. Ia tertegun ketika melihat apa
yang ada di sana.
Annalise pun tampak salah tingkah.
“Itu....”
Nata segera mengerti. Ia
mencari-cari kebenaran di wajah Annalise, ingin mengetahui apa tebakannya tidak
salah, tetapi Annalise menghindari tatapannya dan malah berlari keluar
dari ruangan.
“Anna...?” Niki yang kebingungan
segera berdiri, lalu memandang Nata dengan raut bersalah. “Maaf, aku nggak
sengaja....”
Nata menghela napas. Dia membungkuk
untuk membereskan foto-foto yang berantakan di atas lantai. Apakah Annalise
menyukainya? Ia tidak pernah menyangka, karena selama ini Annalise selalu
bersikap netral di hadapannya, bahkan lebih sering menjadi tempat curhatnya
mengenai Niki.
Dia memandang lekat-lekat wajahnya
dalam foto—wajah yang sama sekali tidak menyadari apa-apa.
***
W i sh # 3 3 : t i dak me l ukai
p e r asaan Anna (Nat a)
Niki berdiri dengan serbasalah di
antara hamparan foto-fotoyang seharusnya tidak pernah dilihatnya, sedangkan
Nata menuruni tangga untuk mencari Annalise. Gadis itu sedang terpaku di balik pantry dapur, dengan posisi membelakanginya.
Kedua bahu itu tampak rapuh. Bahasa tubuh Annalise membuatnya tidak berjalan
kian dekat.
“Ann,” Nata memanggil lembut,
“foto-foto itu...” Dia tidak bisa menyelesaikan pertanyaan itu, takut salah
bicara.
Annalise memejamkan mata, merasa
malu pada dirinya sendiri. Jika selamanya dia bisa bersahabat dengan Nata, dia
tidak akan pernah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya pada pemuda itu.
Sebisa mungkin dia berusaha menghindari kejadian seperti ini, saat mereka
berdua akan berubah canggung dan melupakan kedekatan mereka ketika sedang
berteman. mungkin dia memang munafik—ketika Nata tidak ingin berkata jujur pada
Niki mengenai cintanya karena alasan yang sama
dia justru menasihatinya untuk tidak berbuat demikian. Sedangkan dia
sendiri dengan pengecut menyembunyikan perasaannya baik-baik. Tapi salahkah,
bodohkah, jika dia hanya berharap Nata ada di sampingnya dan cukup puas dengan
diam-diam menyayanginya?
Masih dengan membelakangi Nata,
Annalise menarik napas pajang. Kini mungkin yang terbaik adalah mengatakan yang
sebenarnya. “Gue....,”
Asilla berbalik dan tersenyum, kali
ini lebih pasti dari sebelumnya. “Aku
sayang kamu, Nat.”
Nata tidak jadi menyelesaikan
kalimatnya, terdiam dan menganga setelah pernyataan simpel itu keluar dari mulut Annalise.
“Maaf kalau aku membuat kamu merasa
nggak nyaman. ” Annalise meregangkan pegangannya pada gelas di tangannya, yang tanpa terasa sudah
menyisakan bekas di kulit. “Kamu nggak usah bilang apa-apa. Aku nggak butuh
jawaban, karena aku lebih suka kita berteman seperti biasa. Bisa, kan?”
Nata mengangguk, senyumnya perlahan
mengembang. Annalise lega melihatnya. “Ini pertama kalinya ada cewek yang
nembak gue langsung seperti ini. I
appreciat that, Anna, karena lo jujur sama
gue.”
Annalise membalas senyuman, walau
matanya berkaca-kaca untuk sebuah penolakan yang tidak terucapkan, namun sudah
diketahuinya dengan jelas. “Kamu berhak tahu yang sebenarnya.”
“Friends?”
Annalise mengulurkan tangannya untuk
menyetujui janji itu, tapi Nata mendekat dan membuat gestur seakan sedang
memeluknya. Annalise menegang ketika kulit mereka bersentuhan ringan, lalu ia
menyandarkan kepalanya pada bahu Nata dan membiarkan pundaknya ditepuk lembut,
canggung, tetapi bersahabat. Nata memang tidak tahu bagaimana menjawab
pertanyaannya barusan, tapi pelukannya yang kikuk sudah cukup untuk
mengenyahkan ketidaknyamanan di antara mereka.
Tidak perlu ada penjelasan. Tidak perlu ada kata maaf. Baik Nata maupun Annalise sama-sama mengerti.
***
W i sh # 3 4 : t e l l i ng t he t r
ut h (Annal i se )
Niki sudah membereskan sebagian
foto-foto milik Annalise dan mengembalikannya ke tempat semula . ia menunggu
dengan gelisah, merasa bersalah karena telah menguak sebuah rahasia yang mungkin
tidak ingin Annalise ungkapkan kepada siapa pun—terutama pada Nata.
Apakah Annalise pernah diam-diam
mengikuti gerak-gerik Nata dengan ekor matanya ketika mereka berbicara? Sudah
sejak kapan ia memendam perasaan itu,
dan bagaimana mungkin Niki tidak pernah menyadarinya?
Ketika Annalise kembali, Niki
menyerahkan kotak foto itu dengan ragu-ragu. Ia menunggu reaksi marah, tapi dia
hanya melihat senyum di wajah Annalise.
“Kamu nggak marah?” Niki bertanya
takut-takut.
Annalise tertawa geli melihatnya.
“Kenapa harus marah?” “Karena gara-gara aku,
rahasia kamu jadi ketahuan.”
“Karena kalau bukan karena kamu, mungkin
aku nggak akan pernah jujur sama kalian berdua.”
Niki tersenyum, nadanya berubah
menggoda. “Ternyata, kamu beneran suka sama
Nata. Sejak kapan?”
Pipi Annalise memerah malu. “Sejak
pertama kali masuk sekolah, mungkin,” ia mengakui.
“Apa sih yang kamu suka dari Nata?” Niki berjongkok di samping Annalise,
raut wajahnya penuh rasa ingin tahu. “Dia kan jutek, nyolot, dan sok dewasa.
Sikapnya aja yang keliatan cool, tapi
sebenernya dia kayak anak kecil.”
Annalise tersenyum. “Justru hal itu
yang bikin Nata menarik. Hal-hal kecil
kayak kebiasaannya ngomel panjang-pendek kalau ngerasa direpotin walau
akhirnya dia lakukan juga. Sering kali
Nata terkesan cuek, padahal dia sebenernya peduli.”
Niki ikut tersenyum dan menyandarakan
kepala di bahu Annalise ketika mereka berdua duduk sambil memandang foto-foto
yang berhamburan di atas karpet. “Nata memang sejak kecil
begitu.”
Selamanya aku nggak akan bisa
mengenal Nata seperti kamu mengenal dia, Ki.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita-cerita
kalau kamu suka sama Nata? Seenggaknya
kan aku bisa jadi mak comblang yang baik untuk kedua sahabatku.”
Karena aku udah tahu perasaan Nata
yang sesungguhnya.
“Oh ya, terus tadi Nata bilang apa?”
Dia nggak bilang apa-apa. Aku tahu
dia hanya sayang kamu, dan hanya kamu.
Annalise tidak bisa dengan jujur
menjawab pertanyaan-pertanyaan Niki tersebut, karena dia mengerti ada beberapa
hal yang harus Nata ucapkan sendiri pada Niki, dan dia tidak berhak
menyampaikannya untuk Nata. Jadi, ia pun berujar bijak, “Aku cukup senang kita
bisa berteman. Begitu juga dengan Nata.”
Tapi, aku iri, Ki. Iri sekali sama
kamu. Pikiranitu lepas tanpa bisa ditekan. Niki mengangguk seakan bisa
membaca pikirannya, lalu meremas pundak
sahabatnya pelan sebagai bentuk simpati.
Annalise merasakan kulit Niki yang
hangat, merasa begitu dekat dengan
kedua sahabatnya sekaligus. Dia tahu, jika harus memilih antara Nata dan
persahabatan mereka bertiga, Annalise tidak akan pernah ragu, menentukan
pilihannya.
***
Sebelum memulai latihan hari ini,
Niki menemukan sebuah pesan singkat Oliver dalam handphone-nnya. Ia tersenyum
saat membacanya.
Ntar selesai latihan, kita pergi ke
FX, ya. Ada surprise untuk kamu. Miss you.
“Pasti Oliver.” Linny menyikutnya
sambil menggoda. “Cie... yang lagi dimabuk cinta....”
“Ah, kamu sama
Dayat juga kayak gitu, malah
sampai ninggalin voice mail yang isinya bunyi-bunyi ciuman semua....” Mereka
tergelak.
“Ngomong-ngomong tentang
Oliver, kemarin gue ketemu dia lho,” Helena tiba-tiba berkata.
“Ternyata bokap gue kenal deket
sama bokapnya dia. Jadi daripada
gue nggak kenal siapa-siapa di acara
yang isinya orang tua semua, kita ngobrol semalaman.”
Mereka berbaris sembari melakukan
pemanasan ringan di tepi lapangan. Niki ingat semalam Oliver memang sempat mengatakan bahwa dia harus
menghadiri acara keluarga.
“Dia cerita tentang bisnis
perhotelan keluarganya. Sejak kecil dia
sering ikut papanya travelling keluar negeri, belajar tentang perhotelan dan seluk-beluknya.
Gue nggak nyangka, ternyata dia udah
pernah ke Afrika, Mesir, Ukrania, sampe Bhutan segala. Bokap gue bilang, keluarga Damanik bener-bener tajir,
termasuk salah satu keluarga terkaya di Asia versi majalah Forbes.”
Niki mengangguk, tidak tahu bagaimana
harus menanggapi karena dia tidak tahu—menahu tentang Oliver.
“Terus, rumahnya luas banget, sampai ada satu ruangan
khusus untuk memamerkan lukisan antik punya nyokapnya. Sekali lihat juga tahu harganya ratusan juta rupiah.
Selain itu, ternyata Oliver juga bisa
golf. Kemarin gue nyoba main mini golf
di sana.”
“Serius, denger cerita Helen bikin
gue tambah naksir sama Oliver.
Lo beruntung banget, Ki, dapet calon suami kayak dia,” Sara meledek lagi, “udah ganteng, kaya,
romantis... Kalo udah nggak mau, dilempar buat gue ya.”
“Huuu..!” Yang lain berseru dengan
heboh, sedangkan Niki hanya tersenyum setengah hati untuk membalas candaan itu.
Jenis hal-hal lain yang
dibicarakannya dengan Oliver seperti
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan percakapan Helena barusan. Begitu
banyak yang tidak diketahuinya mengenai Oliver,
sedangkan dia ingin mengenal cowok itu luar-dalam. Bahkan, dia belum
pernah dikenalkan kepada kedua orang tua Oliver, juga menginjakkan kaki di rumahnya.
Niki menggigit bibir, tiba-tiba
merasa kesal saat menyadari perasaannya.
Dia cemburu.
***
MIL AN
Sore
itu, ketika Annalise memasuki rumahnya sepulang sekolah, sayup-sayup
didengarnya argumen dari arah patio. Dia
mengenali suara Tante Nadja yang bernada
kesal.
“Bukannya kamu baru beberapa minggu
pulang? Kali ini, mau pergi untuk berapa lama lagi, tiga bulan? Lima bulan?”
“Jangan sarkastis begitu, Nad.
Kamu, kan, tahu aku bukannya pergi untuk
senang-senang. “Suara Mama yang
membalasnya terdengar defensif. “Butikku akan buka cabang di sana, dan ada
proyek baru yang harus kuselesaikan.”
“Aku tahu, tapi kamu, nggak bisa
terlalu sering dinas ke luar negeri.
Bagaimana dengan Annalise? Waktu itu, kamu bahkan lupa hari ulang tahunnya.”
“When are you
going to forgive me about that? Aku sudah bilang nggak sengaja. Lagi
pula, bukankah waktu itu aku kirim hadiah untuk Anna?”
Hening. Tidak lama kemudian, ia mendengar tantenya menghela
napas. “Hadiah itu nggak sama dengan
kehadiran kamu, Vidia. Kamu bukan hanya
seorang fashion designer dan model, tapi juga seorang ibu. Annalise butuh
kamu.”
Argumen itu berlanjut, tapi Annalise
tidak ingin lagi mendengarkan. Dia meninggalkan tempatnya bersembunyi dan
beralih ke kamar. Kado ulang tahun
dari Mama masih tersimpan di dalam
lemari.Annalise tidak pernah membukanya, sebagian besar karena ia tahu apa yang
ada di dalamnya hanya akan membuatnya semakin sedih.
Dalam hitungan hari, Mama akan
mengepak koper, lalu mengecup pipinya sebelum mengucapkan selamat tinggal.
Terkadang, Annalise takut Mama tidak
akan kembali lagi.
Terkadang, ia takut ia akan berhenti
membutuhkan Mama. Atau Mama yang berhenti membutuhkannya.
***
Annalise berjingkat ke arah kamar
Mama, mendorong sedikit pintunya hingga terbuka. Perlahan, Annalise menyibakkan
selimut dan berbaring di samping Mama. Sudah lama sekali sejak
mereka tidur bersama, padahal waktu kecil dulu dia sering memanjat ranjang orang tuanya
di tengah malam.
Tanpa disangkanya, Mama belum
tertidur. Beliau berbalik sehingga
mereka berdua saling berrhadapan, lalu mengusap sehelai rambut yang menutupi
mata Annalise dan menyibakkannya di balik
telinga, sesuatu yang selalu dilakukannya sejak Annalise kecil.
“Mama akan pergi lagi,, kan? Suara
Annalise tidak lebih dari sebuah
bisikan. Ia ingin mendengar sendiri kalimat tersebut dari mulut Mama, ingin mempersiapkan diri sebelum
kepergian Mama kali ini.
Tapi, Mama tersenyum. Senyumnya
terlihat misterius dalam kegelapan, seakan menyimpan sebuah rahasia. “Milan.
And you’re coming with me, Honey.”
***
Annalise punya sebuah ritual sebelum
tidur—minum segelas susu hangat dengan taburan bubuk sokelat dan marshmallows
di atasnya. Kebiasannya ini bermula sejak
ia sulit tidur setiap kali Mama tidak ada di rumah.
Malam ini, ia kembali tidak bisa
tidur. Annalise menemukan tantenya di dapur, sedang duduk sendirian dengan
secangkir kopi, berkas-berkas pekerjaan
tersebar di atas meja. Kacamatanya
bergantung di ujung hidung, meninggalkan jejak tanda sudah lama bertengger di
sana.
Tante Nadja adalah adik
bungsu ibunya, satu-satuna kerabat keluarga mereka di jakarta.
Beliau adalah arsitek yang memiliki
studio kerja sendiri di rumah. Usianya
hampir empat puluh tahun, dan memilih untuk tetap melajang. Berbeda dengan
kakaknya, Tante Nadja berpenampilan
bersahaja, berambut pendek dan tak pernah merias diri. Sifatnya tegas,
menyerupai seorang anak tertua yang mandiri walau sebenarnya beliau adalah anak
bungsu. Ketika Annalise kembali ke Jakarta, Tante Nadja menawarkan diri untuk tinggal bersama mereka
dan membawa bisnis kecilnya yang cukup sukses ke rumah itu.
Beliau mendongak ketika melihat Annalise, lalu menarik
bangku—sebuah undangan untuk bergabung.
“Nggak bisa tidur?”
Annalise mengiyakan. “Mau cerita?”
Tantenya selalu bertanya demikian
saat AAnn tampak muram. Beliau adalah
teman curhat yang setia, baik saat ia mendapat nilai ulangan yang jelek di sekolah, atau saat hal-hal menyenangkan
terjadi. Tante Nadja adalah salah satu
orang dewasa favoritnya, seseorang yang selalu mendengarkan dengan sabar dan
memiliki nasihat bijak.
Annalise menggigit bibir. “Kami akan
pindah lagi dari sini. Tante juga udah
tahu, kan.”
Tantenya mengangguk. “Gimana
pendapat kamu tentang kepindahan ini?” Annalise mengangkat bahu. Kemungkinan
besar, Mama akan tetap sibuk seperti dulu. Mereka akan teruus berpindah-pindah
dari kota ke kota mengikuti tuntutan
pekerjaan Mama. Dia akan keluar masuk sekolah baru, berulang-ulang merangka
kehidupan baru sedangkan ia bergerak lambat untuk menyesuaikan diri. Tapi, dia
ingin memastikan satu hal tidak akan pernah berubah—Annalise dan Mama, satu
kubu yang selalu saling mendampingi.
“Kukira kami akan tinggal lebih lama di sini,” Annalise
mengaku. Seharusnya, dia tahu kepindahan mereka ke Jakarta juga tidak permanen.
Seharusnya, dia tidak usah bersusah-payah mengikuti banyak aktivitas sekolah, tidak
perlu repot berpartisipasi dalam sayembara fotografi, toh dia tidak akan ada di
sini untuk melihat pengumuman pemenangnya.
“Tapi, kepindahan kamu ke sini ada
baiknya juga, kan.” Tante Nadja mengingatkan,
“kamu jadi ketemu Niki dan Nata.”
Annalise tercenung. Tantenya benar.
Kedua sahabatnya adalah alasan terbesar dia ingin tetap tinggal. Dia dapat
melihat kesedihan yang membayangi raut wajah mereka ketika dia mengabari
perihal kepindahannya. Niki bilang, mereka harus menghabiskan hari-hari
terakhir Annalise di Jakarta sebaik mungkin, menciptakan banyak kenangan.
Kalimat itu membuatnya sedih.
“Jadi keputusan kamu udah bulat, untuk
ikut ke Milan dengan Mama?” Pertanyaan itu mengejutkan Annalise, dan untuk
sesaat ia terdiam. Kepindahan ini adalah sepenuhnya keputusan Mama, tapi
mengatakan tidak tak pernah terlintas dalam pikirannya.
“Segala sesuatu tentang hidup adalah
sebuah pilihan, Anna. Bukannya Tante meminta kamu untuk melawan mamamu atau
bebas melakukan apa pun yang kamu mau, tapi kadang kita harus berani memilih
dan mempertahankan apa yang kita inginkan. Mama banting tulang demi keluarga
dan pekerjaan yang dicintainya, kamu pun harus berjuang untuk apa yang penting
bagi kamu.”
Annalise mengerti, tapi bagaimana
jika keduanya adalah hal yang sama-sama berarti baginya?
***
W i sh # 3 5 : Annal i se t e t ap
t i nggal (Ni ki dan Nat a)
Niki merapikan terusan yang
dipilihnyauntuk acara farewell party kecil-kecilan milih Annalise, menatap Nata
yang mengenakan kemeja kotak-kotak senada. Hitam.
“Kok, kita seperti mau menghadiri
pemakaman ya?” Niki mengeluh, membiarkan Nata membawakan hadian yang nantinya
akan diserahkan kepada Annalise. Minggu depan
sahabat mereka itu akan bertolak ke Milan. Barang-barang di rumahnya
sudah dipak, surat transfer sekolah sudah diurus dan tiket sudah dibeli,
difinalisasikan oleh sebuah acara untuk mengucapkan selamat tinggal yang
dihadiri oleh teman-teman sekelas mereka dan beberapa teman Annalise dari klub fotografi.
“Orang dewasa itu egois ya, Nat?”
Niki berkata, memeluk pinggang Nata selagi pemuda itu memboncengnya dengan
sepeda. “Mereka selalu bebas ngelakuin apa aja yang mereka suka, tanpa mikirin perasaan orang lain.”
“Nggak semua orang dewasa kayak begitu,” tegur Nata.
Niki terdiam. “Menurut kamu, Anna bener-bener
mau pindah ke Milan atau Cuma karena terpaksa, ya?”
“Terpaksa? Bukannya Anna sendiri
yang milih untuk ikut ke sana?”
Niki menggeleng, napasnya hangat di
tengkuk Nata. “Aku selalu ngerasa Anna sebenernya enggak mau pergi dari ini. Tapi, karena satu-satunya keluarga yang
dia punya sekarang Cuma mamanya, Anna berusaha mempertahankan hubungan itu
sebisa mungkin. Masuk akal, nggak?” “Tumben omongan lo tepat sasaran.”
“Hehehe.” Niki terSarah ketika
dipuji, tapi segera berubah serius lagi. “Kesimpulannya, Anna mungkin ‘terpaksa’
setuju untuk ikut ke Milan supaya dia nggak kehilangan mamanya.”
“Mungkin juga.” Nata berkomentar.
“Kalau ternyata emang begitu, kita
harus gimana dong?” Niki dengan panik mencengkeram ujung kaus Nata.
“Apanya yang gimana? Anna udah akan
berangkat minggu depan, dan tugas kita itu mengantar dan ngucapin selamat tinggal,
supaya dia nggak merasa terbebani dan malah tambah sedih.”
“Nata gimana sih?! Kita harusnya
ngebantuin dia supaya nggak nyesel!”
Nata memperlambat kayuhan sepedanya
dan berusaha menjelaskan sesabar mungkin. Dia tahu sulit mengubah apa-apa jika
Niki sedang keras kepala mempertahankan pendapatnya seperti ini. “Anna pasti punya
alasan sendiri buat pergi dari sini.
Mendingan kita dukung aja apa yang dia pilih bukannya bikin kacau. Lagian....”
“Kamu pasti mau bilang lebih baik
jangan ikut campur masalah orang lain, kan?” Niki menyela.”Kita mungkin nggak
akan bisa ketemu Anna lagi, lho. Gimana kalau setelah tiba di sana, ternyata
Anna nggak bahagia? Dia pasti akan terus pindah-indah tempat tinggal kayak dulu, sendirian di rumah tanpa orang tua, dan
kita nggak bisa ada di sana buat nemenin dia.”
Nata menggeleng dan berhenti untuk
menjitak ringan pelipis gadis itu. “Dasar keras kepala.”
“Kamu mau Anna begitu?” desak Niki
sekali lagi.
“Enggak!” Nata akhirnya menjawab.
“Iya, iya, gue ngerti maksud lo.”
Raut Niki semakin muram. “Sekarang,
kita Cuma butuh cara supaya Anna nggak jadi
pergi.”
***
Pesta kecil itu berlangsung di patio samping kolam
renang, sebuah pesta barbecue sederhana yang dihadiri oleh beberapa teman dekat
Annalise dan mamanya di Jakarta. Aroma daging bakar menyulut selera Niki, tapi
dia bergegas untuk menemukan Annalise sebelum perutnya memberontak dan menggodanya
untuk mencicipi sepotong scampi.
Mereka menemukan Annalise di salah
satu kursi panjang di tepi kolam, mengenakan pakaian hitam seperti Nata dan
Niki. Niki tersenyum geli melihatnya, hal ini membuatnya merasa seakan-akan
mereka punya kemampuan telepati.
“Ini buat kamu.” Disodorkannya
sebuah korak yang sudah dibungkus kertas kado pink. “Hasilnya jelek, tapi kuharap kamu suka.”
Isinya adalah sebuah album foto
dengan hasil jepretan Niki selama belajar memotret. Dia sama sekali
tidak punya bakat di bidang itu; hampir seluruh hasil fotonya terpotong,
entah objeknya tanpa kepala atau anggota tubuh, dan beberapa buram karena dia
tidak mampu menahan napas ketika memencet shutter. Annalise tertawa melihat
foto-foto mereka bertiga diambil secara ngawur dengan kemampuan memotret yang
pas-pasan.
“Kalau nggak bisa jadi kenangan yang
mengharukan, lumayanlah bisa bikin kamu ketawa.” Niki melanjutkan, dan Annalise
berhenti tertawa. “Ann, kita Cuma pengen tau satu hal. Kamu bener-bener mau pergi?”
“Maksudnya?” Annalise terlihat
bingung.
“Apa kamu bener-bener yakin mau
pergi dari sini, atau kamu memutuskannya
karena hal yang lain?”
Annalise terlihat serbasalah. Tante
Nadja pernah menanyakannya, dan saat itu
ia tidak mampu menjawab. Kini, ketika disudutkan oleh pertanyaan sederhana yang
sama, dia kembali tidak dapat menemukan
jawabannya.
“Gue dan Niki ngedukung lo. Tapi,
kita nggak bisa diem aja kalu nantinya
lo akan menyesal.”
Annalise mendongak untuk menatap
Nata. Air mata memenuhi pelupuk matanya, dan ia mengangguk.
Niki menggenggam kedua tangannya yang
bergetar, lalu berujar dalam suara pelan. “Kita ngerti, kok, kenapa kamu
ngerasa harus pergi. Tapi Anna, kamu kan nggak bisa terus diam.... Kamu
harus ngomong apa yang sejujurnya kamu rasain, walaupun itu mungkin
menyakitkan.”
Annalise merasa air matanya mulai
mengaliri wajahnya, terharu mendengar Niki berkata begitu. Belum sempat dia
berkata apa-apa, mereka berdua mendengar bunyi gelas champagne diketuk dengan sendok perak, tanda
tamu harus berkumpul.
Vidia Rossa berdiri di hadapan para tamu, terlihat anggun
dan mewah dengan gaun selutut bertali spageti, warna kuning gadingnya terlihat
begitu serasi dengan kulitnya yang putih. Rambut kecokelatannya yang diberi
sentuhan burgundy ditata dalam bentuk French braid yang membesona.
“I thank everyone for coming today.
It will be a great loss leaDhang such good friends. But rest assured, good
friends remain forever. We wiil always have you in our hearts.”
Seluruh tamu mengangkat gelas mereka untuk toast, tetapi Nata, Niki, dan
Annalise tetap berada dalam posisi yang sama,
duduk berdampingan dengan tangan mereka saling bertaut erat.
***
Nata dan Niki tetap tinggal hingga
pesta selesai. Tamu-tamu sudah beranjak pulang, pelayang dari perusahaan catering sedang mengangkat piring
dan gelas kotor, dan musik sudah berhenti bermain.
Niki baru saja keluar dari kamar kecil
ketika ia menemukan Vidia Rossa
sedang berdiri di salah satu balkon yang menghadap kolam renang, tampak
sedang mengamati kekosongan di tempat pesta barusan. Dari belakang, entah
mengapa Niki merasa perempuan itu terlihat kesepian, dengan bahu yang terlihat ringkih,
ikal rambut yang terlepas dari
tatanannya terurai lembut di leher. Dan, Niki merasa sedih, mengetahui
bahwa Annalise tetap memutuskan untuk pergi, untuk melindungi perempuan ini.
Demi keluarga kecilnya.
Ketika Vidia Rossa berbalik, ia sedikit terkesiap melihat Niki
sedang berdiri di belakangnya. Seketika, Niki kehilangan kemampuan berbicara.
Setiap kali melihat idolanya live seperti ini, dia akan berubahspeechless dan
otaknya kosong. Vidia Rossa memang sangat
cantik, bulu matanya lentik, kulitnya sempurna... tapi apakah dia juga merasa
kesepian?
“You’re on of Anna’s friends, right?
Oki?”
Niki tergagap ketika ditodong
begitu. Ia hanya dapat mengangguk kaku. Setelah menelan ludah dengan susah
payah, ia menemukan kembali suaranya. “Maaf, Tante..”
Seulas senyum kembali merekah di
wajah Vidia Rossa. “I told you to just call me Vidia, didn’t I?”
Sangat janggal memanggil ibu
temannya dengan nama depan saja. Sesaat, Niki merasa blank lagi, tapi sebelum
Vidia Rossa beranjak pergi, ia segera menyambung,
“Ummm.... apakah Tante tahu Anna sangat suka memotret?”
Vidia Rossa tampak bingung. Niki merasa seperti orang
bodoh yang mengoceh tak jelas.
“Tante tahu karyanya dipajang di
galeri sekolah waktu pentas seni? Salah satu fotonya adalah foto Tante saat
melukis, itu foto favoritnya. Dan, apa Tante tahu, Anna paling suka memotret
objek yang bergerak? Kata guru seni, karyanya pantas dimasukkan dalam
sayembara.”
Niki mengumpulkan keberaniannya dan
melanjutkan, “Waktu pertama kali kami ketemu, Anna sama-sekali nggak pernah
bicara mengenai Tante. Teman-teman nganggep dia sombong karena kami nggak pernah diajak ke rumahnya. Dia nggak
punya teman dan nggak terbuka walau kami
coba berteman dengannya. Di ulang tahun Anna yang ketujuh belas,
kami nunggu Tante di bandara sampai
malam. Anna memang nggak pernah bilang apa-apa, tapi kami tahu... dia sebenarnya kesepian.”
Vidia Rossa tercengang, dan seketika Niki berhenti, takut
kata-katanya terlalu lancang. “Maaf.” Ia segera meminta maaf, tapi tiba-tiba saja Nata muncul di sisinya,
lalu menggenggam sebelah tangannya dan meremasnya lembut.
“Maaf, kami memang nggak pantas bicara begini,” ia
menggantikan Niki bicara, “tapi Anna sahabat kami, dan kami
Cuma ingin yang terbaik buat dia. Anna selalu membanggakan Tante, dan
berusaha bikin Tante senang, sampai kadang-kadang menyembunyikan perasaannya
sendiri. Begitu juga mengenai kepindahannya ke Milan.”
Mereka terdiam, melihat Vidia
Rossa memandang mereka dengan asing,
seakan kata-kata mereka barusan tidak terdengar. Lalu, beliau meletakkan
gelas wine kosong di atas meja, meninggalkan balkon itu hingga hanhya suara
hak sepatunya yang terdengar, suara paling sepi
yang pernah mereka dengar.
***
Vidia Rossa mendorong pintu kamar anaknya hingga terbuka,
lalu melepaskan kedua sepatu pestanya dan berjalan masuk, merasakan sejuk
karpet di bawah telapak kakinya. Cahaya bulan sangat terang, merambah masuk
melalui jendela kamar yang terbuka. Dia tidak ingin menyalakan lampu.
Perlahan, ia memandang seisi kamar
itu. Kepalanya terasa kosong, tetapi hatinya berat. Suara anak-anak yang
barusan mendatanginya untuk berbicara mengenai Annalise mengganggu pikirannya.
Dia tidak mengenali isi kamar ini.
Dia jarang berada di dalamnya, juga tidak mengenali barang-barang yang ada di
sana dengan baik. Apakah itu berarti ia juga tidak mengenal pemiliknya—anaknya
sendiri, dengan baik?
Foto-foto bertebaran di mana-mana.
Dia tahu Annalise suka memotret, tapi dia tidak pernah benar-benar
memperhatikan hasilnya. Dia tidak tahu Annalise mengikuti sayembara, mengikuti
pameran sekolah, memasang potretnya di penjuru kamarnya—di dalam bingkai di
atas meja belajar, tergantung di dinding,
ditempel di papan kecil dekat tempat
tidurnya, bersama dengan foto-foto masa
kecilnya bersama mantan suaminya, juga foto-foto sahabatnya.
Ia tersandung sebuah album foto
besar di kaki tempat tidur. Vidia Rossa berjongkok untuk mengambilnya dan
meletakkannya di atas meja belajar
Annalise, tetapi berhenti. Cover depan album tersebut bertuliskan namanya, juga
tahun-tahun yang menandakan usia kariernya.
Halaman pertama berisi potongan
kliping wawancaranya. Halaman-halaman selanjutnya berisi fotonya di media.
Beberapa berupa print out dari internet.
Vidia Rossa tidak mampu melihat dengan
jelas dalam kegelapan, tapi dia tahu isi album tersebut adalah esensi
dirinya—pekerjaan yang selama ini menjadi hidupnya.
Tagline majalah dicetak besar-besar
di setiap halaman.
The next Cindy Crawford.
Life begins at forty: model Vidia
Rossa starts her new fashion line. Vidia
Rossa will stop at nothing.
Dan, di halaman terarkhir, Vidia
Rossa is moDhang to Milan! Majalah
tersebut memberitakan kepindahannya ke Milan, serta butik dan pagelaran busana
baru yang sedang dipersiapkan untuk launching di sana. Ia tersadar, ia
sama sekali tidak pernah menanyakan pendapat
Annalise mengenai kepindahan mereka ke Milan, juga sebelum-sebelumnya ketika
mereka harus pindah karena tuntutan pekerjaan.
“Mama?”
Lampu kamar dinyalakan dan segalanya
bagaikan hitam putih—terang dan gelap bersatu dalam sepersekian detik, dan
Vidia Rossa mengerti sesuatu. Secara
tidak sadar, dia sudah berhenti menjadi seorang ibu lagi bagi Annalise, dan tidak pernah seharusnya
membiarkannya terjadi.
***
Annalise keheranan menemukan Mama di
kamarnya, dalam kegelapan. Pesta telah usai
dan ia lelah. Sebenarnya, ia membenci pesta semacam ini,ini membuat
segalanya terasa lebih final. Tapi, ia ingin benar-benar mengucapkan terima
kasih dan selamat tinggal kepada teman-temannya sebelum ia pergi.
Wajah mamanya pias, Annalise melihat
kliping yang selalu dibuatnya di tangan Mama, dan ia mengerti. Seperti katat Tante
Nadja, dia harus berani membuat pilihan.
Seperti kata Niki, dia harus berani mengungkapkan perasaannya. Ia menggeleng,
perlahan mengambil satu langkah ke belakang dan berbalik. Menghindar, bersembunyi,
menurut, seperti yang selama ini selalu dilakukannya. Tapi, ia melihat tantenya
berdiri di ambang pintu, tersenyum untuk memberikan kekuatan sebelum beranjak
pergi untuk meninggalkan mereka berdua.
“Do you hate me?”
Pertanyaan Mama membuat Annalise
sedih. Terkadang, ia ingin menanyakan hal yang sama pada Mama—apakah Mama tidak lagi menyukainya,
apakah Mama membencinya sehingga lebih sering meninggalkannya.
“No.” Jawabannya lembut, hampir
tidak terdengar. “Kadang, aku cukup egois untuk berharap... Mama bisa seperti
ibu-ibu lainnya, yang hadir untuk mengambil rapor, datang ke acara-acara
sekolah... and just be here. Aku ngerti, punya orangtua yang terkenal berarti
harus kompromi dengan jadwal yang ketat, dan aku bangga karena Mama adalah
seorang ibu yang patut dibanggakan. It’s just that....” Annalise tahu kalimat
selanjutnya akan menyakiti hati Mama, tapi dia harus mengatakannya. “sometimes
I really wish, I can see more of my mother in person than in those
magazines covers.”
Sudah. Annalise sudah mengatakan apa
yang sebenarnya, perasaan yang selama ini ditutupinya karena tidak ingin
melukai dan bertengkar dengan Mama. Dia tidak ingin menjadi seperti Papa yang menceraikan Mama karena tidak bisa
menerima kesibukannya. Dia tidak ingin mengulang kembali pertengkaran
otangtuanya yang mempertahankan iVanyalisme dan keinginan masing-masing. Dia
tidak ingin ditinggalkan Mama karena tidak bisa menerima Mama apa adanya. Dan,
Annalise sangat ingin melindungi Mama, karena dia tahu hanya dirinya yang Mama
miliki sekarang.
Pandangan mata Mama yang basah
membuatnya tercekat. Apakah Mama marah? Kecewa padanya? Sedih?
Tapi, Mama justru bergerak untuk
merengkuhnya lalu menangis di pelukannya.
***
Tiga hari kemudian, Annalise masuk
sekolah seperti biasa. Niki dan Nata
mendongak kaget ketika melihatnya di ambang pintu kelas, tertawa ceria sambil menenteng dua kotak
Grodiva truffles sisa pesta kemarin sore. Ini hanya berarti satu hal...
“Aku nggak jadi pindah.”
Niki bersorak heboh, tetapi Nata
lebih waspada. “Terus, Mama kamu tetap
akan pergi?”
“Ya, tapi hanya untuk serah-terima
pengurusan butik ke asistennya di sana.” Pada
malam seusai pesta, dia dam Mama menghabiskan semalaman mengobrol dan
menonton Breakfast on Tiffany’s, kebiasaan yang sudah lama sekali tidak mereka lakukan. Padahal dulu, ketika
Annalise masih SMP, mereka berbagi tempat tidur yang sama, menonton film klasik dan mengobrol hingga larut malam. Mama
bercerita mengenai kisah-kisah masa mudanya,
sesuatu yang paling suka didengarkannya.
Cerita mengenai Mama dan Papa adalah salah satu hal yang paling sering Annalise
tanyakan pada orangtuanya. Mendengar kisah tentang pertemuan mereka dua puluh
tahun yang lalu—di sebuah lokasi
pemotretan di Bali, sangatlah romantis bagi Annalise. Dulu papanya juga seorang fotografer paruh waktu,
yang kebetulan mendapat kesempatan memotret mamanya untuk halaman depan sebuah
majalah bertaraf internasional.
Mereka jatuh cinta dan menikah
setahun kemudian, walaupun ditentang oleh keluarga kedua belah pihak. Annalise
masih menyimpan foto pernikahan mereka—Papa dalam setelan adat jawa dan Mama
dalam kebaya ketat berwarna kuning keemasan, sebuah kombinasi yang kontras
melihat garis wajahnya yang asing.
Sewaktu Annalise masih belita, kedua orantuanya mulai sering bertengkar seiring dengan karier Mama yang mulai
menanjak. Ketika mereka bercerai, Mama memboyong Annalise ke London untuk
tinggal di sana selama beberapa tahun. Selepas itu, dimulailah kehidupan mereka
yang berpindah-pindah.
“Keluarga Mama menentang keputusan
Mama untuk jadi model. Juga ketika menikah dengan Papa dan melahirkan kamu. But you know, life’s all about choices. Kita tidak
akan tahu jika kita tidak berani menuruti kata hati.”
“Mama pernah menyesal?”
Mama menggeleng. “Mama akan lebih menyesal
kalau menuruti mereka untuk studi hukum dan menjadi pengacara.”
“Maksudku, Mama pernah menyesal udah
menikah dan melahirkan aku?”
Saat itu, Mama terdengar sangat
shocked. “Tanpa kamu, Mama akan sendirian menghadapi semuanya, Anna. If there
should be one decision I regret, it’s definitely not about you.” Mereka berdua
terdiam untuk beberapa saat saling mendengarkan ritme pernapasan masing-masing.
“I’ve always thought I should work my hardest for both of us... I realize too
late that it’s actually hurting you. Maaf ya, Sayang.”
Annalise mencaari-cari dalam gelap,
meraba wajah Mama dan merasakan kerutan lembut di sudut lengkungan matanya yang
terpejam. Perlahan diusapnya air mata tersebut, lalu berkata, “It’s not too
late, Ma.”
Dirasakannya Mama tersenyum. “Kedua
teman kamu, Nata dan Niki... They are remarkable friends.”
Annalise turut tersenyum. “Yes. They
are remarkable friends.”
**
FUT UR E
Apa artinya sebuah mimpi? Sesuatu
yang diinginkan, sesuatu yang harus dicapai, atau hanya satu fragmen harapan?
Apakah semua orang harus memiliki mimpi? Bagaimana jika kita tidak memiliknya?
Menjelang kelulusan SMU, Niki
semakin bingung. Setiap orang di sekelilingnya seakan memiliki mimpi yang
solid; Nata dengan musiknya, Annalise dengan
fotografi, Helena dengan fashion designer, Oliver dengan prestasi basketnya, belum lagi teman-temannya
yang berusaha menggapai cita-cita setinggi langit—menjadi dokter, penulis,
arsitek.... Sementara, dia sendiri bagaikan terperangkap di tengah-tengah.
Teman-teman sekelasnya sudah mulai
mendaftar ke berbagai universitas ternama, beberapa bahkan sudah diterima dan
bisa menjalani sisa semester dengan tenang. Mereka sepertinya sangat yakin
dengan masa depan mereka. Niki merasa menjadi
satu-satunya orang yang tidak punya cita-cita.
“Cita-cita itu apa sih?” Dia sempat
bertanya kepada Nata suatu sore, ketika cowok itu sedang asyik memetik gitar.
Nata hanya menepuk ringan badan gitarnya, lalu berujar.
“Ini cita-cita gue.” “Mimpi? Keinginan?”
Nata memikirkannya sejenak, lalu
mengangguk. “Obsesi. Sesuatu yang menjadi penuntun hidup.”
“Sejak kapan kamu yakin kalau musik
akan jadi cita-cita kamu?” Seulas senyum tipis menghiasi wajah Nata, sesuatu
yang hanya terjadi jika Nata membicarakan hal-hal yang disukainya. “Sejak
gue pegang gitar.”
Niki tahu Nata pertama kali
menyentuh gitar saat berumur sepuluh tahun. Gitar akustik miliknya adalah
pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun. Sejak saat itu, Nata tidak pernah
berhenti memainkannya, mulai dari
gerakan kaku bernada sumbang yang berkembang menjadi petikan mantap yang
diselingi dengan senandung.
“Ada nggak ya, orang yang nggak tahu
cita-citanya apa?” Nata berhenti bermain. “Kayak lo, maksudnya?”
Niki melayangkan cubitan ringan di
pinggang sahabatnya. “Ngeliat kalian begitu bersemangat mengejar mimpi,
ngedaftar sana-sini untuk mengamankan posisi di jurusan favorit... semuanya
bikin aku semakin gamang, Nat. Aku nggak tahu mau jadi apa.”
“Itu tandanya lo udah beranjak
dewasa, udah mulai mikirin masa depan.”
“Bukannya orang dewasa tahu jelas mereka mau jadi apa?”
Nata melengos. “Nggak banyak orang
yang seratus persen yakin sama diri
mereka sendiri. Justru orang-orang yang serius mikirin itulah yang benar-benar
dewasa.” Dipandangnya Niki yang masih tampak bingung, lalu dicubitnya pipi
gadis itu dengan gemas. “Mimpi itu bukan
Vanyadline, Ki. Bukan sesuatu yang nggak bisa berubah. Bukan sesuatu yang
datang dan pergi begitu aja. Nggak usah terlalu stres mikirinnya.”
“Tapi, kalau nggak ada cita-cita
yang jelas, bukannya kita bakal ngerasa hampa ya?”
Nata berpikir sejenak lalu
mengangguk. Diulurkannya sebelah tangan untuk mengacak rambut Niki, lalu
kembali memainkan gitarnya.
Apa itu mimpi? Apakah semua orang
harus memiliki mimpi?
***
C O NFESSIO N
W i sh # 3 6 : p e r sahab at an y
ang t i dak p e r nah b e r ub ah (Ni ki
)
Niki meniti tangga dan mendorong pintu
kamar Nata hingga terbuka. Ia menemukan kamar tersebut kosong, lalu duduk di
tepi tempat tidur untuk menunggu cowok itu pulang.
Seperti biasa, kamar Nata sangat rapi untuk ukuran cowok, bahkan lebih bersih
dari kamarnya sendiri. Kamar itu tidak terlalu besar, didominasi oleh
warna tanah—mulai dari lemari
pakaiannya. Beberapa poster band indie yang disukai Nata ditempel di dinding,
sedangkan koleksi CD dan kaset kesayangannya diletakkan di pojokkan khusus
tempatnya menulis lagu. Nata sering kali
menggubah lagu. Walaupun dia enggan
mempertontonkannya kepada orang lain, dari
beberapa lagu ciptaannya yang
sering disenandungkannya, Niki tahu sahabatnya itu sangat berbakat.
Setelah beberapa saat menunggu dalam
diam, Niki mulai tidak sabaran. Ia bangkit menuju meja belajar Nata, melarikan jemarinya pada
koleksi miniatur gitar dan buku-buku yang berjejer rapi di sana. Sebuah buku bersampul kulit berwarna
cokelat yang menyembul dari deretan
kamus menarik perhatiannya. Niki mengenalinya sebagai buku lirik Nata.
Dia membolak-balik halamannya,
menemukan goresan lirik dalam tulisan tangan Nata di bawah partitur lagu. Sepertinya lagu-lagu ini sudah dibuat sejak lama, dilihat dari
begitu banyaknya coretan di sana-sini, serta guratan pensilk yang
memburam dan mengotori halaman. Setiap lirik memiliki catatan pendek, seolah menguraikan
apa pun inspirasi Nata saat menulis lagu-lagu tersebut.
Kelulusan SMP—sebelas tahun
kami sekelas dan duduk sebelahan.
Niki tersenyum mengingat masa kecil
mereka. Dari tahun ke tahun, dia dan Nata memang selalu berbagi
kelas dan tempat duduk. Ternyata Nata
sempat menuliskan sebuah lagu
berdasarkan persahabatan mereka.
Gitar listrik pertama—hadiah
kelulusan.
Niki ingat saat duduk di kelas tiga SMP, yang Nata inginkan hanya sebuah
gitar listrik baru. Sebagai hadiah dari
orang tuanya atas nilai yang hampir sempurna, Nata akhirnya mendapatkannya
pada hari kelulusan.
Rembulan, angin, hujan, dan kamu.
Niki terkikik geli saat membaca
beberapa bait yang rasanya terlalu sendu untik diciptakan oleh seorang Nata.
Padahal biasanya cowok itu hanya suka pada lagu-lagu yang berlirik tegas yang
tidak terkesan cengeng.
Hari
pertama masuk SMU. Pertama kalinya gue
sadar ada yang berubah di antara kita.
Senyum Niki membeku pada wajahnya
ketika dia membaca semakin jauh, tidak mengira namanya akan memenuhi sebagian
besar halaman buku tersebut, juga tidak menyangka akan menemukan sesuatu
mengenai Nata yang tidak seharusnya diketahuinya.
Anna bilang, Niki spesial untuk
gue. Dia benar.
Cowok itu mungkin nggak kenal Niki
sebaik gue kenal dia.
Niki merasa lututnya lemas. Apakah
Nata menulis hal ini mengenai dirinya? Ia terus membaca, perasaannya campur aduk.
The day I kissed her. It was sunset
14 Februari—untuk segala sesuatu yang
sudah terlambat. Lo nggak tahu... it’s always been you.
Tiba-tiba, Nata masuk ke kamar. Dia
terhenyak ketika melihat apa yang ada di tangan Niki, wajahnya memerah saat menarik
buku itu dengan satu gerakan kasar.
“Ngapain berantakin barang-barang
gue?” Pertanyaan itu terdengar seperti bentakan.
Pandangan Niki tetap pada buku yang
kini disorokkan dalam saku celana Nata. Dia tidak tahu harus berkata apa. “Yang kamu tulis itu....”
Nata menunggu beberapa saat sebelum
menjawab, “Yang sebenarnya.”
Keheningan di ruangan itu mulai
menyesakkan. Niki menggeleng, mengambil beberapa langkah untuk meninggalkan
kamar itu, tapi gerakannya ditahan oleh Nata yang meraih tangannya dan berkata
dalam suara rendah yang menyerupai bisikan.
“Gue sayang lo, Ki.”
***
Waktu seakan berhenti. Satu detik,
dua detik. Nata tidak sadar ia telah menahan napas. Detak jantungnya terasa lebih
kencang dari biasanya, satu-satunya
bunyi yang terdengar di ruangan itu.
Dalam hati, Nata tidak henti-hentinya
merutuk diri atas kebodohannya meninggalkan barang-barangnya berserakan di
tempat terbuka, melupakan kebiasaan Niki yang suka mengobrak-abrik kamarnya.
Dan, kini, dia telah mengucapkannya begitu saja—gue sayang lo, Ki, seakan-akan
kata-kata itu adalah penjelasan atas apa yang ditemukan Niki dalam bukunya.
Tapi, apa yang harus dikatakannya? Kebohongan lain untuk menutupi perasaannya
sendiri?
Niki tidak bergerak sejengkal pun.
Nata tidak bisa melihat ekspresi pada wajahnya karena gadis itu memunggunginya.
Cengkeramannya pada pergelangan tangan Niki mengerat hingga ia bisa merasakan
detak jantung Niki, tidak beraturan seperti miliknya.
“Gue tau ini kedengerannya konyol
dan nggak masuk akal, tapi gue serius.”
Masih tidak ada jawaban. Perlahan, pegangannya mengendur putus asa, dan dengan
cepat Niki mengibaskan tangannya, lalu menghilang di balik pintu, menuruni tangga dan meninggalkannya
sendirian di sana.
Entah mengapa, saat itu Nata merasa
dia sudah kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya.
***
Nata menyayanginya? Nata
menyayanginya—lebih dari sekedar teman?
Niki tidak bisa menghapus pikiran itu dari
benaknya. Dia berlari meninggalkan rumah Nata tanpa memedulikan pintu
yang berdebam tertutup di belakangnya, menyeberangi jalan dan menyusuri pekarangannya
rumahnya, lalu bergegas masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.
“Kak?” Pintu kamarnya diketuk
beberapa kali, ketukan khas Acha. Niki terlonjak sedikit mendengarnya, tapi
merasa lega adik perempuannya ada di sana.
Dibukakannya pintu untuk Acha.
“Kenapa, Kak? Kakak nggak apa-apa?”
Niki menggeleng, masih berusaha mengatur
napasnya. “Kak Nata ada di bawah tuh, lagi nungguin Kakak.” Mata Niki membulat.
“Suruh dia pulang!”
Kening Acha berkerut. “Kakak kenapa,
sih? Lagi berantem ya sama Kak Nata?”
“Achaaaa... please jangan bayak tanya. Tolong suruh Nata pulang, ya?”
Sambil menghela napas, Acha menuruni
tangga dan kembali lagi dalam hitungan detik. “Sekarang kakak harus cerita ada
apa,” tagihnya sambil menghempaskan tubuh di atas tempat tidur Niki.
Niki menggigit bibir dengan rasa
bersalah. Diceritakannya kejadian barusan secara singkat. “Terus... aku pergi begitu aja tanpa bilang apa-apa.”
Giliran Acha yang melotot tidak
setuju. “Kakak gimana, sih?”
“Jadi aku harus bilang apa? Terima
kasih, tapi aku hanya anggap kamu sahabat? Maaf, tapi tolong jangan bercanda
lagi?” Dengan frustasi Niki menarik ujung-ujung kepangannya. “Ugh! Aku jadi
sarkastis kayak Nata!” “Perasaan Kakak
ke Kak Nata gimana?”
Niki terdiam dan memandang Acha,
sungguh-sungguh mempertimbangkan jawabannya. Sejujurnya, dia tidak tahu apa
yang harus dilakukannya. Niki sama-sekali belum pernah menolak cowok, apalagi
cowok itu adalah sahabatnya sendiri. Barusan Nata terlihat... sungguh-sungguh.
Niki tidak tahu jawaban macam apa yang diinginkan Nata darinya.
“Aku, kan, udah punya Oliver, Cha,” akhirnya ia menjawab, “aku dan Nata
murni hanya sahabat.”
“Mungkin saja selama ini Kakak yang nggak
pernah sadar kalau Kak Nata punya perasaan khusus untuk Kakak.”
Niki terhenyak. “Jadi aku harus
gimana?”
Acha tersenyum sambil memperbaiki
tatanan rambut kakaknya yang
acak-acakan. “Kurasa Kak Nata pasti mengharapkan Kakak untuk
jujur, apa pun jawabannya.”
***
Niki tidak menjawab teleponnya, juga
tidak mau menemuinya. Nata menunggu semalaman di trampolin mereka, tapi Niki
tidak datang. SMS-nya tidak dibalas, dan ketika dia datang mencari Niki di
rumahnya, Acha berkata (berbohong tepatnya), bahwa Niki sudah tidur. Nata tahu
Niki tidak pernah tidur sebelum pukul sebelas malam.
Akhirnya, ia menelepon Annalise dan
mencurahkan penyeselannya pada gadis itu. Dia menyesal telah kelepasan
mengatakan kata-kata yang kini memperkeruh hubungannya dengan Niki. Dia benci
telah mengacaukan suasana dengan membiarkan perasaannya meluap—padahal biasanya
dia selalu bertindak dengan logika, bukan emosi. Annalise mendengarkannya
selama satu jam di telepon, padahal Nata belum pernah mengobrol dengan siapa
pun di telepon selama itu. Ketika menutup telepon, dia merasa lebih baik tapi
tetap tidak bisa tidur sampai subuh menjelang.
Pagi ini, dia menyeret langkah dan
menunggu Niki di depan pagar walaupun dia tahu Niki akan berangkat ke sekolah
bersama Oliver, seperti biasa.
Tidak lama kemudian, gadis itu melangkah ke
luar dan melihatnya di sana. Nata merasa
hatinya perih ketika Niki berhenti dan terlihat salah tingkah.
“Kita perlu bicara, Ki.”
“Tapi, sebentar lagi Oliver ngejemput.” Niki mencengkeram tali ranselnya
erat-erat, seolah ingin kabur kapan saja. Nata benci melihatnya seperti itu.
“Lima menit aja. Gue bener-bener butuh ngomong sama lo.”
Niki akhirnya mengalah. Dia
bergerak-gerak dengan tak nyaman, ekspresinya kaku dan tidak tersenyum.
“Gue nggak akan bilang kalau kemarin
gue Cuma becanda, lalu narik kembali
kata-kata gue. Gue sendiri nggak sadar kapan perasaan gue ke lo berubah, dan gue nggak bermaksud ngerusak persahabatan kita
atau hubungan lo sama Oliver. Gue hanya capek berpura-pura, Ki. Gue pengen jujur tanpa lo harus menjauh darai
gue. Bisa, kan?”
Niki akhirnya berhenti bergerak-gerak.
Suaranya bergetar dan kalimanya kaku, seperti sudah dilatih berkali-kali. “Aku
tetap menganggap kamu sebagai sahabatku. Maaf kalau aku nggak bisa terima
perasaan kamu.”
Nata menggeleng melihat gerak-gerik
Niki yang terlampau dibuat-buat seperti itu. “Lo jangan ketakutan gitu di depan
gue dong,” ujarnya lembut, dan dengan
satu tangan disentuhnya dagu Niki yang bergetar. Secepat kilat, Niki merespons
terhadap sentuhannya dan bergerak mundur seakan terkena arus listrik.
“Aku pergi dulu, ya. Bye.”
Nata tidak tahu apa yang sepatutnya
dirasakannya, semua bercampur menjadi satu; sedih, marah, kesal, sesal.
Ujung jarinya masih hangat setelah menyentuh Niki barusan. Dia baru
sadar, sedari tadi Niki sama sekali tidak berani memandang langsung ke arah matanya.
**
W i sh # 3 7: kat a- kat a y ang t i
dak t e r ucap kan (Nat a)
Annalise melambaikan tangan ketika
melihat Niki menyeberangi kantin dengan sepiring gado-gado di tangannya. Niki
tersenyum kecut, lalu bergegas untuk bergabung dengan Helena dan
kawan-kawannya.
Sejak tadi, Niki menghindari tempat
di mana Nata berada. Nata sendiri menangkap pandangan mata Annalise dan menggeleng
lesu, tanda pembicaraannya bersama Niki
tidak berhasil seperti yang direncanakan.
“Niki itu orangnya nggak bisa pura-pura.”
Nata mengeluh, masih dengan intonasi lesu
yang sama. “Apa yang dirasakannya
pasti muncul dengan jelas di wajahnya.”
Annalise menepuk pundak Nata untuk menyemangatinya. “Kasih dia
sedikit waktu, Nat. Mungkin Niki hanya nggak tahu gimana harus bersikap di
depan kamu.”
“Tapi gue nggak mau dia nganggep gue sebagai orang asing. Kita kan udah temenan
terlalu lama untuk saling canggung seperti ini.” Nata menggelengkan kepala
dengan kesal. “Gue bener-bener nggak ngerti
jalan pikiran cewek.”
Annalise hanya separuh mendengarkan
gerutuan Nata. Tidak jauh dari mereka, Niki sedang bercanda dengan Helena,
matanya merah karena kurang tidur, tawanya dipaksakan. Mereka bertiga seperti
terpisahkan jadi dua kubu yang berlawanan—sahabat yang tidak lagi mengenal satu
sama lain. Ia tidak menyukai perasaan
itu.
***
Sepulang sekolah, Oliver mengantar Niki pulang seperti biasa. Ia membuka percakapan mengenai permainan
basket hari ini, tapi Niki tidak terlalu mendengarkan, bahkan tidak sadar
ketika mobil sudah berhenti di depan rumahnya.
“Ki?” Oliver memperhatikan raut wajah Niki yang pucat.
“Kita udah sampai. Ngantuk ya, sampai bengong begitu?”
Niki menggeleng dengan seulas senyum
yang sedikit dipaksakan. “Bye, Oliver.” Oliver
hanya tersenyum, lalu mengucapkan selamat tinggal. Niki baru saja menginjakkan
kaki di beranda ketika sebuah bungkusan yang diletakkan di atas meja menangkap perhatiannya. Namanya tercetak
besar-besar di permukaan kertas dengan tinta hitam—dalam tulisan tangan Nata.
Niki menghela napas, lalu menyelipkan
bungkusan itu dalam tasnya.
***
TTRAMPOLIN
Ujian akhir sudah dekat. Belakangan,
Niki banyak menghabiskan waktu luang untuk mengejar ketinggalannya dalam
pelajaran, terutama mata pelajaran eksak seperti Matematika, Kimia, dan Fisika.
Kini, dia semakin sering belajar bersama dengan Helena dan gengnya, berkumpul
setiap sore di rumah Helena untuk mengulang kembali pelajaran hari itu dengan
bantuan guru les privat temannya itu.
Kadang, Niki merasa mereka semua
lebih banyak mengobrol dari pada belajar.
Televisi besar berlayar flat di ruang tengah hampir selalu dinyalakan, biasanya
berhenti di MTV atau Channel V. Makanan ringan tersebar di atas meja, di samping majalah impor edisi terbaru. Jika salah satu dari mereka mengangkat topik obrolan atau mulai
bergosip, buku-buku pelajaran akan terlupakan dan akhirnya mereka tidak jadi
belajar sama sekali.
Bukannya Niki tidak menyukainya; dia
senang menjadi bagian dari grup Helena.
Dia juga suka hangout di rumah berlantai tiga dan tanning di kolam renang
outdoor sambil menyesap jus segar, dikelilingi oleh teman-teman yang sama-sama
menyukai fashion dan cheerleading. Tapi, kadang dia merindukan Nata dan
Annalise, sesi studi mereka di perpustakaan sambil berkutat dengan
bergelas-gelas teh herbal dingin dan omelan Nata ketika mengajarinya rumus
Fisika sampai bisa. Atau bermain di rumah Annalise dan berlanjut dengan mengerjakan
PR setelah makan malam, ditemani sekotak pizza vegetarian.
Pada
awalnya, Niki tetap bergabung dengan mereka, tetapi dia merasa tidak
nyaman. Sesekali, dia akan mendongak dan menangkap basah Nata sedang diam-diam
memperhatikannya, atau Annalise yang memandangnya dengan raut khawatir. Mereka
bertiga tidak lagi bisa mengobrol seperti dulu, tertawa lepas dan bergerak
bebas. Kini, Niki merasa tidak bebas menyentuh Nata, meras telah menyakiti
perasaan Nata, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya. Dia tidak
bisa merasa nyaman setelah mengetahui orang yang selama ini dianggapnya sebagai
sahabat ternyata mengharapkan lebih.
Karena itu, lama-lama Niki memilih untuk
menjauh sementara. Dia tidak bisa terus-menerus berada dalam ruangan yang
sama dengan Nata tanpa merasa bersalah
dan canggung. Nata pun sudah berhenti berusaha menjelaskan posisinya padanya.
“Niki, prom nanti lo mau pake baju apa?”
Konsenterasi Niki dalam memecahkan
rumus Kimia terganggu kala Vanya menyela dan mengencangkan voluma televisi.
Prom? Niki menyelipkan pensilnya di
balik telinga dan terdiam. Beberapa minggu
lalu Oliver sempat mengatakan bahwa
sekolah mereka akan mengadakan pesta prom untuk senior yang akan lulus tahun ini,
dan dia mengajak Niki untuk datang sebagai pasangannya. Saat itu Niki
menyambutnya dengan antusias, tapi gagasan itu sedikit terlupakan seiring dengan
peristiwa Nata dan persiapan untuk ujian akhir. Begitu melihat antusiasme teman-temannya
yang menggebu-gebu, Niki teringat bahwa dia sama sekali belum menyiapkan apa-apa.
“Masih belum tahu,” dia mengaku
lirih.
“Masih belum?” Mata Vanya
membelalak. “Prom night SMU Pelita
selalu jadi acara paling bergengsi setiap tahunnya, lho. Dayat aja udah booking
limousine untuk malam itu, dan gue juga
udah reservasi make up di salon dari
jauh-jauh hari.”
Limousine? Salon? Niki berusaha sebisa mungkin
menutupi ekspresi clueless-nya. “Gue udah ada beberapa pilihan baju, kok, hanya belum nentuin yang mana yang lebih
bagus.” Akhirnya, ia terpaksa berbohong.
Niki semakin panik memikirkannya.
Gadis-gadis SMU Pelita dan teman-temannya yang glamor pasti akan menyiapkan
setelan gaun pesta bermerek yang mewah. Sedangkan isi lemarinya sama sekali
tidak bisa dimanfaatkan untuk acara kali ini. Bagaimana jika pakaiannya
ternyata tidak pantas untuk pesta itu? Bagaimana kalau dia mempermalukan
Oliver dan dirinya sendiri? Ini
keteledorannya karena tidak memikirkan masalah ini dari jauh-jauh hari. Pikiran-pikiran paranoid
mulai bermunculan. Dasar bodoh. Tenang
dulu.
Suara Helena sayup-sayup
didengarnya. “Oliver bilang MC dan
band-band terkenal khusus diundang untuk ngeramein prom tahun ini. Temanya red
carpet, seperti acara penganugerahan Oscar.”
“Oliver?” Niki bertanya.
“Oh, kemarin gue hangout bareng temen-temennya di SMU Pelita.
Kebetulan Oliver juga ikut.” Helena
tersenyum. “Dia nggak cerita?”
Niki menggeleng lemas. Belakangan
ini, Oliver terlihat banyak pikiran dan
agak pendiam, dan setiap kali Niki menanyakannya, Oliver selalu bilang dia baik-baik saja. Hal ini
sedikit membuatnya cemas.
“Gosipnya lagi, Zahra bakal hadir
buat ngeramein pesta itu, sebagai alumni.”
“Zahra? Gila, acaranya pasti top
punya dong.”
Niki hanya samar-samar mendengarkan.
Zahra? “Zahra siapa?”
Dengan cepat Vanya menjawab
pertanyaan itu. “Lo nggak kenal Zahra, ya? Zahra itu kakak kelasnya
Oliver, sekarang udah lulus dan kuliah
di Melbourne.
Denger-denger, sejak kelas
satu Oliver kepincut sama cewek itu.” “Ah, masa, sih,” Niki merespons dengan tawa kecil.
“Gue juga pernah denger gosipnya,
lho,” timpal Linny menimpali, “katanya Zahra ini adalah cinta pertamanya
Oliver. Sejak cewek itu lulus,
Oliver selalu gonta-ganti cewek supaya
bisa ngelupain dia.
Sara turut mengiyakan. “Itu cerita
sebelum dia pacaran sama lo, Ki. Dia
nggak pernah sebut nama Zahra sekali
pun?”
Niki menggeleng. “Gosip itu juga belum tentu benar, kan?”
Vanya, Linny, dan Sara terdiam
sedangkan Helena mengangkat bahu tanda dia tidak ingin menjawab. Niki tidak
menyukai ekspresi di wajah mereka.
***
“Tadaaahhh!” Niki berteriak sambil
merentangkan tangan lebar-lebar. Beberapa anak bersembunyi di balik punggungnya, tersenyum lebar dengan gigi
ompong. Oliver berdiri dengan bingung,
tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Niki padanya. Tadi gadis itu bilang,
dia ingin memperkenalkan beberapa orang penting kepadanya. Kini, dia dihadapkan
dengan anak-anak berpenampilan kucel dengan rambut dan muka kotor.
“Ini temen-temen kecilku. Hari ini kita akan bermain basket bersama Kakak
Oliver. Kak Oliver ini juara basket paling jago se-Jakarta lho.” Niki memperkenalkannya pada
anak-anak kecil di sekelilingnya. Dengan
enggan, Oliver menyalami mereka
satu-per-satu.
“Ini anak-anak dari panti asuhan?”
Niki menggeleng, untuk sesaat
terlihat muram. “Mereka nggak punya orangtua dan tempat tinggal. Kadang-kadang
mereka makan dan belajar di rumahku.”
“Oh.” Setiap bulan keluarga
Oliver menyumbangkan sesuatu untuk panti
asuhan, tapi dia tidak pernah berhubungan langsung dengan penghuni-penghuninya.
“Ayo!” Niki menarik tangannya ke
arah lapangan di kompleks perumahannya, membawa sebuah bola basket di tangan kirinya. “Anak-anak ini
paling suka main bola. Kami juga suka
main sepak bola di tanah kosong sana.”
“Kami?”
“Iya. Annalise, aku, dan Nata.” Niki cepat-cepat berlari ke ujung
lapangan, tidak berkata apa-apa lagi.
Oliver mengikuti dengan setengah hati, kecewa karena
kencan hari ini ternyata dibaginya dengan anak-anak jalanan yang kumuh.
Terkadang, dia sungguh tidak bisa mengerti Niki. Gadis itu melambaikan tangan, dalam posisi bebas
untuk menerima bola. Rambutnya tergerai
bebas dengan helaian rambut membingkai wajahnya.
Oliver terdiam lama.
Terik matahari menyengat kulitnya, dan bola itu tidak pernah meninggalkan tangannya.
***
W i sh # 3 8: me ngo b r o l p
anjang de ngan O l i v e r (Ni ki )
Niki mengambil beberapa botol air
mineral dingin dan menempelkan satu di lengan Oliver. Laki-laki
itu terlonjak sedikit, lalu menerimanya dengan tawa kecil.
“Maaf.” Niki berujar.
Oliver menoleh ke arahnya. “Maaf? Kenapa?”
“Sepertinya kamu nggak suka berda di sini.”
“Bukan begitu. Aku hanya kecapekan,
akhir-akhir ini begadang buat ujian.” “Maaf.” Padahal, Niki sengaja
merencanakan hari ini untuk menghibur Oliver. Oliver mengusap rambutnya ringan. “Nggak apa-apa.”
Niki mengharapkannya berbicara
mengenai ujiannya, keluarganya, juga apa yang selama ini mengganggu pikirannya.
Niki juga ingin mendengar mengenai Zahra, juga cerita mengenai gadis-gadis lain
yang pernah dekat dengannya. Tapi selama ini Oliver selalu bungkam. Niki merasa mereka menjadi
seperti dua orang asing yang tidak benar-benar saling mengenal.
“Oliver, kemarin...” Niki tidak
mampu menyelesaikan kalimatnya. Pandangan Oliver tampak kosong, melihat jauh ke depan seperti
sedang memikirkan sesuatu yang penting.
Oliver sepertinya tidak menangkap rautnya yang
serbasalah. Ia bangkit dan mengecup pipi
Niki. “Aku pulang dulu ya. Sori, hari ini aku ada acara.” Niki menatapnya berjalan menjauh dan masuk ke
dalam mobil, lalu meninggalkannya di lapangan bersama anak-anak yang masih
berteriak dan memperebutkan bola.
“Kita pulang yuk,” sahutnya dengan
kurang bersemangat. Anak-anak itu menjatuhkan bola dengan kecewa.
“Kak, hari ini kami akan difoto sama Kak Anna,” Ajeng, salah satu murid Niki,
berkata lugas. Dia menoleh kepada teman-temannya. “Jadi.... apa namanya ya?”
“Model!” Raka, seorang anak
laki-laki bertubuh besar menyahut lantang. “Iya! Model! Model!” Mereka mulai
ribut sendiri. “Kakak ikut kan?” Model. Pasti untuk lomba foto yang akan
diikuti Annalise, dengan topic lokalitas itu. Ah, dia ingin ikut. Tapi Nata
pasti akan ada di sana.
Niki terduduk lesu di tepi lapangan.
***
Ketika kembali ke rumah, langit
sudah gelap. Niki belum makan apa-apa sejak siang, tapi perutnya tidak lapar.
Dia merasa lemas dan tidak bersemangat. Sayup-sayup trdengar suara ribut di
luar. Niki bangkit dengan malas dan
mengintip melalui jendela kamarnya.
Nata sedang berbaring di atas
trampolin mereka, tubuhnya berguncang dengan tawa. Gitarnya terbaring di
sisinya, tidak jauh dari tempat Annalise
duduk. Annalise pun sedang menutupi tawanya dengan sebelah tangan, sesekali
memukul Nata dengan tangan kirinya. Mereka berdua tampak sangat nyaman bersama,
seolah-olah sudah lama berteman. Mereka mengingatkannya akan... Nata dan
dirinya, sebelum mereka berdua saling menjauh.
Niki menatap pemandangan itu dengan
tidak senang. Tiba-tiba saja, dia merasa sedih sekaligus marah. Trampolin itu
adalah tempat khususnya dengan Nata, tempat yang sejak kecil
menjadi milik mereka. Baik dia maupun Nata tidak pernah mengajak orang
lain untuk duduk di sana—hal itu menjadi seperti sebuah peraturan tak tertulis
dalam hubungan pertemanan mereka. Dan kini Annalise ada di sana, menggantikan
tempat yang selama ini menjadi milik Niki.
Saat itu, Niki tidak bisa membedakan
apakah perasaan marahnya ini ditujukan pada siapa, Annalise, Nata, atau dirinya
sendiri.
***
Annalise menakn perutnya yang sakit
karena tawa, tetapi tidak mampu menghentikan tawa yang dari tadi menggelitik tenggotokannya. Nata pun
berguling di atas trampolin sambil tertawa keras-keras, membuat tubuh mereka
berdua terguncang. Foto-foto yang tadi sore diambil dan dicetak untuk kompetisi
dotografi tersebar di sekeliling mereka, alasan mereka tertawa begitu hebohnya.
Beberapa foto memang cukup mengundang tawa akibat kekonyolan anak-anak yang
diundangnya menjadi model. Pada
akhirnya, Annalise memilih tema Pramuka untuk kompetisi itu. Anak-anak
itu didandaninya dalam seragam Pramuka, lalu dipotret saat sedang bermain dan
memanjat sebuah tugu lama di daerah Jakarta Pusat. Tugu itu selalu dilewatinya
setiap pulang sekolah, dan menarik perhatian dengan cat yang sudah mengelupas
dan coretan grafiti di sana-sini. Tugu itu terlihat tua, namun gagah walaupun
usia sudah menggerogoti pondasinya.
“Stop, stop.” Annalise menyusut air
mata yang menggumpal di sudut matanya. “Perutku sakit nih.”
Belum pernah dilihatnya Nata tertawa
selepas itu dalam beberapa minggu belakangan ini. Nata mengambil napas dan
mengembuskannya pelan-pelan, lalu menelan kembali tawa yang masih tersisa.
“Pilihan gue foto yang ini, dan ini.” Nata menunjuk dua
foto dan menyingkirkan yang lain.
“Hmmm. Yang ini bagus.” Annalise
menjentikkan jari di atas permukaan foto yang dipilih Nata. Foto itu adalah
foto terakhir yang diambilnya sesaat sebelum mereka semua pulang, ketika anak-anak
itu memanjat tugu dengan latar matahari terbenam. Warna langit belum berubah,
hanya tercoreng beberpa sabetan oranye. Dia mengangkat kamera dan menjepret
momen tersebut dengan klise terakhirnya pada saat yang tepat.
Mereka mendiskusikan foto tersebut
sampai Annalise bangkit dan membereskan barang-barangnya. “Yuk, aku harus
pulang. Mau belajar untuk ujian bahasa Inggris besok.”
Nata mencibir. “Lo masih perlu
belajar bahasa Inggris? Kalau gue dan
Niki, sih, mungkin masih perlu ngafalin struktur grammar.”
Mereka berdua terdiam ketika nama
Niki disebut. Annalise mendongakkan kepala untuk melihat ke arah kamar Niki.
Gelap. “Niki apa kabarnya ya?”
Nata ikut melirik ke arah yang
sama. “Nggak tau.”
Berdua tidak sama rasanya dengan bertiga. Annalise memang
merasa lebih dekat dengan Nata, tapi hubungan mereka terasa terlalu... tenang.
Tidak ada spontanitas dan celetukan asal
khas Niki, juga komentar polos yang menghibur.
Annalise pernah berbicara dua mata
dengan Niki beberapa waktu lalu. Dia ingin menjelaskan bahwa Niki tidak perlu
canggung di hadapan dia maupun Nata, dan tidak ada yang harus berubah dalam
persahabatan mereka. Saat itu, Niki memandangnya lama dan berkata,
“Semuanya nggak bisa kembali seperti
dulu begitu aja, Ann. Setiap kali ngeliat Nata, aku ngerasa bersalah karena
Cuma bisa jadi seorang sahabat buat dia. Setiap kali ngeliat kamu, aku ngerasa
udah ngecewain kamu karena aku udah ngambil orang yang kamu sayang. Aku nggak
bisa cerita mengenai Oliver di depan
Nata, nggak bisa curhat mengenai Nata di depan kamu. Kita bertiga jadi penuh
dengan kepura-puraan, dan aku nggak bisa terus begitu.”
Annalise tidak bisa menjawabnya, dan
sekarang ia menyesal telah membiarkan Niki berjalan pergi begitu saja.
Sebelum menaiki mobil, Annalise
berhenti dan memandangi garasi mungil tempat mereka berkumpul untuk mengajar
setiap Selasa. Dia menarik
lembaran-lembaran foto yang ada di
dalam tasnya, mencoretkan sesuatu di balik salah satunya, lalu menyelipkannya
di dalam kotak pos keluarga Niki.
***
Acha berbaring dengan sepiring
stroberi segar di atas tempat tidur Niki, mengolesinya dengan sendok berlumuran
selai cokelat dan menelannya dengan
nikmat. Sesekali, Niki meraih beberapa butir dan mengikuti gerakannya. Acha
akan memperhatikannya dengan heran. Pasti ada sesuatu yang salah jika kakaknya
yang health freak itu sudah mulai makan begitu banyak cokelat.
“Aku ini bodoh banget.” Niki
memasukkan sebutir stroberi ke dalam mulutnya tanpa nafsu. “Aku nggak tau apa
yang sedang aku lakukan.”
Acha menunggu tanpa menginterupsi.
Biasanya, cerita demi cerita akan keluar tanpa perlu ditanya. Dan benar, Niki
memuntahkan segalanya tanpa disensor, kebiasaan sepasang kakak beradik yang
sudah terbiasa berbagi rahasia sejak kecil.
Niki mendesah panjang untuk
mengakhiri curhatannya. “Aku sendiri yang ngejauhin mereka, tapi aku juga yang
kesal melihat mereka bersenang-senang
tanpa aku.”
Acha menatap Niki dengan prihatin.
“Itu artinya... Kakak cemburu, kan?” “Cemburu?”
“Iya, cemburu, menyesal, gengsi.
Perasaan-perasaan itu ngebuktiin kalau mereka masih punya makna yang penting
untuk Kakak.”
Niki merengut. Acha selalu
menawarkan logika di setiap analisisnya, sesuatu yang dibencinya karena biasanya
tepat sasaran.
“Aku jahat, ya?”
“Bukan jahat, tapi nggak siap.”
Melihat ekspresi Niki yang meminta penjelasan lebih lanjut, cha meneruskan,
“Saatnya nggak tepat. Kak Nata memilih waktu yang nggak tepat untuk jujur,
yaitu ketika Kakak masih belum siap mendengarkan. Dan, reaksi Kakak juga nggak
membuat keadaan lebih baik, malah semakin kacau.”
Niki manggut-manggut, menyadari kebenaran
dalam observasi itu dan terdiam cukup lama.
Sebelum adiknya meninggalkan ruangan dan mematikan lampu, Niki separuh
mendengar ucapannya yang lirih,
“Gak ada persahabatan yang sempurna
di dunia ini,Kak. Yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa mungkin untuk
mempertahankannya.”
***
W i sh # 3 9 : b e r t e mu de ngan Nat a dan Anna (Ni ki )
Niki tidak bisa tidur. Jam weker di
meja samping tempat tidurnya menunjukkan
angka satu lewat lima belas menit. Dalam beberapa jam, dia harus menghadiri
sesi ujian bahasa Inggris, ujian pertama dalam semester ini, yang belum siap
dihadapinya sama sekali. Kemudian, minggu-minggu liburan yang
menyenangkan akan dimulai, diikuti dengan hari pertama mereka menjadi
mahasiswa.
Dengan langkah terseok, Niki meraih
ranselnya dan meraba-raba isinya dalam kegelapan, mencoba menemukan sesuatu yang
sudah lama tersimpan di sana. Nah, ini dia. Ia mengeluarkan kotak kertas yang
sudah sedikit penyok itu, menyisihkan pembungkusnya yang koyak. Di dalamnya, ia
menemukan sebentuk kaset, dan tanpa banyak pikir, Niki memasukannya ke dalam tape miliknya.
Statis. Lalu terdengar suara deheman
yang tidak asing, sekali, dia kali.
Tidak lama kemudian, bunyi petikan gitar yang lembut dimulai. Terdengar agak
samar, lama-kelamaan semakin jelas. Setelah beberapa kali mengulang nada yang sama, suara Nata mengisi hening ruangan.
Niki duduk di tepi tempat tidurnya
sambi memeluk bantal, memejamkan mata dan mendengarkan lagu-lagu gubahan Nata
yang perlahan-lahan membuatnya tenng. Entah sudah berapa lama dia tidak mendengarkan
suara ini, suara berat yang familier, petikan gitar yang tangkas, tarikan napas
di antara nyanyian. Dia bisa merasakan goncangan trampolin mereka pada
tubuhnya, seperti saat Nata bergerak untuk menyesuaikan nada dan mulai bermain,
seperti saat Niki bersorak dan bertepuk tangan setiap kali sebait lagu selesai dimainkan, seperti saat Nata
menjulurkan sebelah tangan untuk menyentil dahinya karena telah membuat komentar
konyol. Dia sangat merindukan Nata.
Lagu demi lagu yang dimainkan secara akustik dan direkam
dalam sebuah kaset hitam, diletakkan di atas meja beranda rumah dan tertindih barang-barang
lain dalam ransel Niki, kini bermain bebas.
Inilah perasaan Nata selama ini,
Niki tahu. Dia akhirnya mengerti. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan,
Niki dapat tertidur pulas, dengan seulas senyum di wajahnya.
**
P R O M
W i sh # 4 0 : p r o m dr e ss (Ni
ki )
Mencari prom dress yang tepat adalah
sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Niki sudah menghabiskan seluruh akhir pekan
memutari hampir seluruh butik di mal dekat rumahnya bersama Acha dan Mama,
mencari sehelai gaun yang sempurna untuk acaranya akhir pekan ini. Namun,
mereka tidak menemukannya—jika gaun itu tidak jatuh pas di tubuh Niki, pasti
karena harganya yang terlalu mahal.
Akhirnya, Mama menghela napas dan
menawarkan sebuah solusi. Mama berjanji akan mengeluarkan koleksi gaun-gaun
lamanya dari lemari dan mencoba
menemukan sesuatu yang cocok untuknya. Niki menyetujuinya tanpa banyak argumen,
karena dia sudah putus asa. Helena dan Vanya sudah meneleponnya untuk
menjelaskan detail gaun mereka, juga jenis sepatu yang akan dikenakan bersama
gaun tersebut.
Tepat sebelum Niki memutuskan untuk
menlepon Helena untuk meminjam baju,
Mama berseru memanggil namanya berulang-ulang, diikuti oleh Acha yang
sama hebohnya.
Gaun di tangan Mama bukanlah gaun
paling indah yang pernah dilihat Niki—masih ada deretan gaun-gaun malam idamannya
yang tidak mampu dibelinya—tetapi saat melihatnya, Niki tahu bahwa gaun itu
akan sangat cantik jika dikenakan. Kainnya sangat halus ketika disentuh,
dibentuk mengikuti model gaun-gaun zaman dulu yang menyempit di pinggang dan
mengembang di bagian roknya, dengan warna broken white yang terlihat
klasik. Bagian atasnya dilapisi oleh
brokat jahitan tangan dengan detail yang sangat teliti, menukik beberapa
sentimeter di atas belahan dada. Beberapa bagian sedikit kotor oleh debu, tapi
Mama berjanji akan membersihkannya dan memodifikasinya sedikit. Setelah
semalaman bekerja dengan mesin jahitnya, Mama menggantung gaun itu di kamar
Niki supaya ia bisa melihatnya ketika bangun pagi nanti.
Ketika Niki mengenakannya, ia
merasakan gaun itu mengambang lembut di atas tubuhnya, ringan seperti sutra.
Mama telah memangkas bagian lengannya sehingga kini gaun itu tidak berlengan,
memberikan kesan modern pada pakaian Dhantage tersebut. Mama juga telah
memendekkannya, sehingga roknya yang berlapis renda kini jatuh di atas lutut.
Elegan, tapi tidak berlebihan.
Niki berlari menuruni tangga masih
berbalut dalam pakaian itu dan memeluk Mama dengan penuh rasa terima kasih.
Mereka menghabiskan beberapa jam menata rambut dan dandanan Niki, dengan Acha
yang sesekali menawarkan opini dari tepi
tempat tidur. Rambut Niki dibiarkan tergerai supaya tidak terlihat terlampau
dewasa, dan dandanannya dibuat senatural mungkin.
Niki mengulaskan sentuhan terakhir
berupa lipstik nude merah muda pada bibir bawahnya, lalu menatap refleksi dirinya
sendiri pada cermin. Dia memiringkan kepala dan tersenyum, melihat gadis dalam
cermin membalas senyumnya.
***
Niki baru saja menyemprotkan sedikit
parfum beraroma jasmin di pergelangan tangannya ketika telepon berbunyi. Sambil
memasang sebelah sepatu, ia menyambar telepon yang tergeletak di atas tempat
tidurnya.
“Niki?”
Suara Oliver terdengar lemas dan parau.
“Kamu kenapa?” Niki bertanya dengan
agak panik. “Sepertinya aku nggak enak
badan. Kepalaku pusing banget.” “Kamu nggak apa-apa? Udah makan obat, belum?”
“Udah, tapi rasanya masih lemas. Tunggu
sebentar lagi, ya? Kalau udah baikan, aku bakal segera jemput kamu.”
“Lebih baik kamu istirahat aja deh,
daripada nanti tambah parah.”
“Tapi kamu pasti udah siap, kan?
Nggak apa-apa, kayaknya aku masih bisa
tahan.” Suara Oliver sudah sangat lemah.
Niki menggeleng. “Nggak pergi juga nggak apa-apa, kok.”
Oliver terdiam. “Tapi prom night kan Cuma
sekali seumur hidup.”
Niki tidak langsung menjawab, tapi
dia tersenyum saat mengatakan, “Yang penting bukan prom, tapi kamu.”
“Maaf ya.”
Niki berusaha mengabaikan perasaan
kecewa yang menggerogoti hatinya. Sesungguhnya, dia sangat menantikan malam
ini; merayakan akhir dari masa SMU,
mengenakan pakaian cantik dan bersama dengan orang-orang yang disayanginya.
Tapi dia lebih tidak ingin Oliver datang
dalam keadaan sakit. Dia tidak boleh egois. Lagi pula, bukankah Oliver pasti lebih kecewa? Ini adalah pesta prom
sekolahnya, sesuatu yang hanya terjadi sekali
seumur hidup.
Pandangan Niki jatuh pada papan
Monopoli yang menyembul dari tumpukan
majalahnya. Tiba-tiba saja, dia mendapat ide brilian. Dengan semangat empat
lima, dia segera bergegas untuk berangkat.
***
Sambil mengepit sebuah thermos
berisi teh hangat dan beberapa jenis permainan yang biasa dimainkannya bersama
Nata ketika sedang sakit, Niki berdiri di depan pagar rumah Oliver. Ia merasa sedikit gugup. Rumah itu besar,
dilengkapi dengan taman yang luas dan pos
satpam kecil di bagian depan.
Dari luar, rumah berlantai tiga itu
terlihat seperti kastil, dengan jendela besar dan tangga yang meliuk. Selama
mereka berpacaran, Niki tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana
sebelumnya. Helena yang menunjukkan posisi rumah itu kepadanya ketika mereka melewati
jalan besar ini.
Ditekannya bel dengan waswas.
Setelah menunggu sekian detik, seorang laki-laki paruh baya dalam seragam, satpam muncul dengan
tergopoh-gopoh. “Cari siapa, Non?”
“Saya datang menjenguk Oliver, Pak.”
Satpam itu tampak bingung. “Tuan
barusan saja pergi.”
“Pergi?” Niki menatapnya dengan
tidak percaya. “Oliver kan lagi sakit?”
“Ndak, Non, Tuan Oliver ndak sakit. Baru
saja pergi, kok.”
Setelah menghabiskan beberapa menit
sia-sia berdebat dengan satpam tersebut,
Niki menyerah dan berdiri di depan pagar dengan perasaan tidak enak.
Jelas-jelas tadi dia tidak salah dengar. Seandainya mereka jadi pergi pun,
Oliver pasti akan meneleponnya dulu. Niki
berkali-kali menekan speed dial dan menghubungi nomor handphone Oliver, tapi tidak ada jawaban.
Dia baru saja ingin memutar arah dan
kembali ke rumah, namun entah apa yang membuat Niki berubah pikiran ketika ia
memberitahukan destinasi selanjutnya kepada pengemudi taksi.
“SMU Pelita, Pak.”
***
Pekarangan SMU Pelita dihias
apik dengan dekorasi bunga segar.
Mobil-mobil mewah bergantian berhenti untuk menurunkan para senior yang malam
ini akan menghabiskan hari terakhir mereka di sekolah tersebut. Niki adalah satu-satunya
yang keluar dari sebuah taksi, berusaha
untuk tidak merasa minder saat ia melintasi lapangan ke arah hall tempat pesta
prom dilangsungkan.
Muda-mudi berpakaian indah
berseliweran, tangan kanan para gadis tersemat corsage cantik dan tangan kiri
mereka menggandeng pasangan masing-masing. Niki merasa self conscious berjalan
sendirian di tempat asing tersebut, tiba-tiba saja merasan underdressed dalam
balutan gaun turunan ibunya dua dekade lalu, di antara gadis-gadis bergaun
malam model terbaru.
Ia tersenyum tipis saat berpapasan
dengan teman-teman basket Oliver yang
sempat dikenalkan kepadanya beberapa saat yang lalu, namun mereka hanya
melewatinya tanpa menyapa. Niki menunduk, mukanya hangat. Ia harus segera
menemukan Oliver, jika cowok itu memang
ada di sini. “Niki!”
Ia menoleh, menarik napas lega saat
melihat Vanya melambai dari sisi meja penerima
tamu, menggandeng Dayat, pacarnya yang juga senior SMU Pelita. Vanya mengenakan
terusan panjang warna hitam dengan potongan kerah halter yang sangat chic. Niki
merasa pernah melihat gaun serupa di Fashion TV beberapa waktu yang lalu.
Niki menghampiri mereka, masih celingukan
mencari Oliver. “Hai. Kalian liat Oliver nggak?”
Mendadak wajah Vanya dan Dayat
sedikit memucat. Mereka saling berpandangan.
“Lo... belum tahu?”
“Tahu apa?” Iy mengerutkan alis
dengan bingung. “Oliver ada di dalam.
Dia datang sama....”
Vanya tidk perlu menyelesaikan
kalimatnya. Niki sudah melihat Oliver di
antara kerumunan teman-teman tim basketnya, tampak gagah mengenakan setelan
tuksedo yang sangat pas di tubuhnya. Di sampingnya, berdiri seorang gadis dalam
balutan trapeze dress berwarna midnight blue yang serasi dengan pakaian
Oliver. Gadis itu mengenakan tiara prom queen di kepalanya.
Lalu, ia mendongak, menangkap pandangan mata Niki dan bibirnya perlahan menarik
seulas senyum yang menandakan ia mengerti segalanya.
Gadis itu adalah Helena.
***
Niki tidak dapat memercayai
pengelihatannya. Ia tidak lagi memperhatikan ketika Vanya dan Dayat bergegas
permisi dengan tak nyaman, juga keramaian yang mulai menyesakkan di
sekelilingnya. Ia tidak bisa berhenti memperhatikan Oliver dan Helena, dua orang yang paling tidak
pernah disangkanya akan hadir bersama di pesta ini. Lalu akhirnya, ia menyadari
satu hal.
Untuk sesaat, Oliver mengangkat wajah dan menghindari
pandangannya. Niki ingin menyerukan namanya dan meminta penjelasan, tapi
lidahnya kelu. Helena menggandeng
laki-laki itu untuk menghampiri Niki yang masih terpaku di pintu masuk dengan
tubuh gemetar. “Hai, Niki. Kok sendirian?”
Niki ingin melenyapkan senyum puas
dari wajah cantik itu, tapi kedua
tangannya yang bergetar terdiam bagai lumpuh di kedua sisi tubuhnya.
“Kalian....”
Oliver berjalan menjauh dari sana untuk menerima telepon yang mendadak
berdering, meninggalkan Niki dan Helena yang saling memandang.
“Gue nggak nyangka lo akan tetap
punya nyali untuk datang,” Helena berkata dengan tenang, senyum itu tidak pernah
meninggalkan wajahnya. “Tapi harus gue
akui, lebih menyenangkan ngeliat
lo di sini daripada membayangkan lo meratap di rumah karena Oliver meninggalkan lo.”
“Ini semua rencana kamu?” Suara Niki bergetar, dan ia benci mendengar
nadanya yang melengking.
“Ini bukan apa-apa dibanding dengan
apa yang lo ambil dari gue. Gue
mau lo tau rasanya kehilangan, ketika apa yang berarti bagi lo dirampas begitu saja.”
“Aku nggak ngerti.”
Helena mendengus, untuk pertama
kalinya memperlihatkan rasa benci dalam ekspresinya. “Jangan pura-pura bodoh.
Sejak lo gabung sama tim cheers kita,
gue bagaikan nggak punya gigi. Bahkan
beberapa orang sempet mempertimbangkan lo untuk jadi kandidat pengganti ketua
tim... dan memang itu tujuan lo, kan?”
Hal itu adalah hal terkonyol yang
pernah didengar Niki. Dia, ketua cheers? hanya karena dia aktif menyumbangkan
koreografi baru dan menawarkan diri untuk membuat mix tape lagu untuk latihan mereka? Dia tidak pernah
berpikir untuk menggusur posisi Helena yang sudah bertahun-tahun memimpin tim
itu menuju juara satu.
“Semua orang suka lo; temen-temen
gue, guru-guru, Nata, Anna... Gue nggak ngerti apa yang menarik dari lo. Lo kan biasa aja, tapi lo malah ngambil
semua yang harusnya jadi milik gue.
Sampai Oliver juga, padahal gue
yang duluan kenal dia.”
Helena ingin berteman dengan Nata
dan Annalise? Helena menyukai Oliver? Niki mengerjapkan mata. Sudah berapa lama
Helena menyimpan perasaan ini dan membencinya diam-diam, sedangkan dia tidak
tahu apa-apa mengenainya?
“Tapi, kan kita teman....”
“Teman, lo bilang?” Helena tertawa
kecil. “Di dunia ini nggak ada yang
namanya teman sejati, Ki. Lo yang terlalu naif. Teman-teman Cuma ada kalau
mereka butuh pertolongan kita, kalau kita punya sesuatu yang bisa jadi alasan
mereka untuk tetap tinggal.” Helena mengibaskan tangan dan melayangkan
pandangan pada Oliver. “Lo inget Zahra?
Cewek yang nggak bisa dilupain Oliver?
Zahra itu sepupu gue. Oliver rela melakukan apa aja demi ketemu lagi sama dia, termasuk mutusin lo dan muncul di pesta
ini sebagai pasangan gue.”
Tatapan Helena saat itu sangat dingin.
Niki tidak lagi merasa marah, tapi sedih. Ternyata, selama ini dia tidak cukup
mengenal Helena maupun Oliver dengan
baik. Mereka pun tidak mengenal dirinya, tidak menerima dirinya apa adanya. Dia
tidak diinginkan di sini.
Oliver berbalik dan menghampiri mereka. Dia terlihat
serbasalah. “Ki, gue....” Niki memberanikan diri menatap langsung ke arah mata
cowok itu, mencoba mencari sisa-sisa perlakuan gentleman yang selama ini lekat
pada diri Oliver, juga permintaan maaf yang tidak kunjung keluar. Entah mendapat
keberanian dari mana, ia mengangkat sebelah tangan dan melayangkan tamparan
keras pada pipi kanan Oliver.
Niki tidak memperhatikan seruan
kaget—entah siapa yang berteriak barusan, tidak juga menyadari betapa keras hak
sepatunya berdentum di lantai marmer ketika ia berlari keluar, keluar sekarang
juga. Dan ketika ia berhenti dan
terengah-engah di depan pagar sekolah yang kini sepi, ia berjongkok, menyembunyikan wajah dengan
kedua tangan, dan menangis sejadi-jadinya.
***
No comments:
Post a Comment