“Janji yang tidak sepenuh hati diucapkan,
sebaiknya langsung dibatalkan.”
6
Celia menunggu dengan cemas, Azka
memang selalu terlambat datang tetapi dia tidak pernah mengingkari janjinya. Kedua orang tuanya baru datang dari Paris, dan ini adalah kali pertama mereka akan berkumpul untuk
membicarakan
persiapan pernikahan mewah dan besar mereka yang rencananya akan dilaksanakan delapan bulan lagi.
Dia sudah berdandan secantik mungkin dan mulai
gelisah karena ini
sudah terlambat hampir satu jam dari waktu yang dijanjikan, tetapi tidak ada kabar dari Azka.
Celia duduk di dekat jendela, menanti dengan cemas.
Lalu ketika mobil warna
merah
menyala itu memasuki
gerbang rumah, hampir saja
Celia terlonjak bahagia dari duduknya, lupa kalau dia
sedang berpura-pura lumpuh. Tidak ada yang tahu selain keluarganya, pelayan kepercayaan mereka
di rumah ini, dan dokter pribadi mereka
bahwa Celia
sebenarnya sudah sembuh jauh di
waktu lalu. Dia sudah bisa berjalan normal seperti biasanya. Diagnosa dokter waktu itu ternyata salah, dan kaki Celia tidak apa-apa.
Tetapi kemudian dia
memohon kepada kedua orangtuanya dan dokter mereka untuk merahasiakannya dan membiarkan
Azka tidak tahu.
Kepada mereka diceritakannya betapa takutnya dia
kehilangan Azka kalau sampai Azka tahu bahwa dia baik-baik saja. Yang dimilikinya dari Azka hanyalah rasa tanggung jawab lelaki itu kepadanya, dan itu semua karena kakinya yang lumpuh.
Kalau kakinya sudah tidak lumpuh lagi, maka tidak akan ada sesuatupun yang bisa mengikatkan Azka kepadanya. Lelaki itu sudah pasti akan meninggalkannya.Celia rela duduk di
kursi roda
terus sampai dia bisa mengikat Azka di pernikahan. Setelah mereka terikat secara resmi dan dia sah memiliki Azka, dia sudah merencanakan
untuk berpura-pura sembuh secara bertahap dan kemudian kembali
normal.
Azka tidak
akan pernah curiga. Dia
sudah begitu lama berpura-pura lumpuh
sehingga tampak sangat meyakinkan.
Diliriknya Azka yang baru turun dari mobil dan hatinya berbunga-bunga melihat ketampanan lelaki itu.
Lelaki itu akan menjadi suaminya, akan dimilikinya sebentar lagi. Dia
hanya harus bersabar.
Azka melangkah mendekati tangga rumah itu
dengan ekspresi lelah. Hari ini
banyak sekali yang harus dikerjakannya,
dan yang dia inginkan hanya datang ke
Garden Café. Menanti
kedatangan Sani, yang tak kunjung datang lagi setelah peristiwa ciuman itu.
Azka tak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa
menahan dirinya untuk mencium Sani. Dialah yang membuat Sani
menghindarinya seperti sekarang ini. Dan sekarang
dia tidak bisa berbuat apa-apa. Yang
bisa dilakukannya hanyalah menunggu, dan
ternyata menunggu itu tidak enak, sama
sekali tidak enak. Kemudian karena sibuk dengan
pekerjaan dan pikirannya
tentang
Sani,
Azka
hampir saja melupakan
janji
temunya dengan kedua
orang
tua Celia
yang baru pulang dari Paris. Dia
mungkin saja
benar-benar lupa dan tidak akan datang kalau dia tadi tidak melirik tanpa sengaja ke arah ponselnya yang tergeletak begitu saja di
kursi penumpang di
sebelahnya, dan menyadari bahwa ponselnya itu berkedip-kedip oleh karena puluhan pesan dari
Celia.
Kursi roda Celia muncul di
pintu dan perempuan itu menyambutnya dalam senyum bahagia dan khawatir.
“Kau tidak membalas pesanku.” Gumam Celia cemas, memeluk Azka ketika lelaki
itu
mendekat dan setengah menunduk mengecup dahinya, “Aku takut kau kenapa-kenapa.”
“Maaf aku terlambat, urusan
pekerjaan.” Gumam Azka datar, “Di
mana orang tuamu?”
Azka menyiapkan hatinya untuk malam itu, karena dia harus membicarakan persiapan pernikahan. Persiapan pernikahan yang bahkan tidak setitikpun ingin dilakukannya.
Ketika Sani memasuki cafe itu kembali, pandangannya langsung memutar ke sekeliling, bahkan Albert yang biasanya menyapanya dengan ramah tidak ada. Kemana pelayan
setengah baya yang sangat ramah itu?
Yang lebih membuatnya kecewa, sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan Azka di sana. Sani melangkah gontai ketika melangkah ke tempatnya yang biasanya. Seorang pelayan mendekatinya dan memberikan menunya,
“Di mana Albert?’
Sani bertanya
sambil lalu kepada
pelayan itu.
Pelayan itu
melirik ke atas
lantai
dua, “Tuan
Albert
sedang tidak enak badan. Beliau beristirahat di kamar atas. Tetapi beliau
bilang akan
turun
sebentar lagi.” Pelayan itu melirik jam tanganya.
“Tuan?” Sani tidak bisa menahan diri untuk berkomentar
mengenai cara pelayan itu memanggil Albert, bukankah mereka sama-sama pelayan? Tetapi kenapa cara
pelayan itu memanggil
Albert dengan kata ‘tuan’ dan ‘beliau’ tampak begitu hormat.
Pelayan itu menatap Sani dan tersenyum, “Anda tidak tahu?
Tuan Albert bukanlah pelayan
di cafe ini,
setidaknya bukan itu jabatannya.
Dia
bisa dibilang adalah penanggung jawab cafe ini, Tuan Azka memberikan cafe ini kepadanya, sebagai orang kepercayaan tuan Azka. Tetapi beliau memilih
berperan sebagai pelayan.”
Setelah pelayan itu
pergi, Sani masih mengerutkan
keningnya, pelayan itu bilang kalau Azka memberikan cafe ini kepada Albert?
Selama ini Sani berpikir bahwa cafe
ini
adalah warisan paling besar dari ayah Azka. Azka
sendiri bilang bahwa dia mengelola
cafe ini dan lain-lain
yang Sani
kira adalah
bisnis sampingan yang tidak sebesar cafe ini.
Tetapi pelayan tadi mengatakan
bahwa Azka
memberikan
cafe ini kepada
Albert seolah itu sesuatu
yang tidak
penting?
Apakah
yang dimaksud
dengan ‘dan
lain-lain’ oleh Azka adalah sesuatu yang lebih besar?
“Kali ini tidak pakai anggur?”
Sani terlompat dengan kaget dari kursinya, jantungnya berdebar dan dia menoleh ke
belakang, tampak Albert di sana. Lelaki itu tampak pucat dan lelah tidak seceria biasanya.
“Aku belum memesan anggur.” Sani tersenyum lembut
kepada lelaki setengah baya
itu, “Tetapi sepertinya itu menarik.”
Albert menganggukkan kepalanya ramah, lalu memberikan isyarat kepada pelayan di bar
untuk
membawakan
minuman pesanan Sani yang biasa.
Anggur itupun datang, dalam gelas bening yang berkilauan, menguarkan aroma harum yang
manis dan menyenangkan,
“Tahukah anda kalau anggur ini seperti laki-laki?” gumam Albert setengah tersenyum.
Sani mendongakkan kepalanya dan menatap Albert bingung, “Seperti laki-laki?”
“Ya. Mereka berwarna merah dan pekat diluar, menguarkan aroma
khas yang mengancam. Seakan memperingatkan siapapun yang berani mendekat. Ketika
anda meminumnya asal-asalan anda tidak akan bisa
memahami cita rasanya, yang terasa hanya alkohol dan rasa
pahit. Tetapi kalau anda bisa menyesuaikan antara aroma dan cara
mencicipi yang nikmat, anda akan bisa menemukan intisari yang
berpadu, rasa yang manis dan aroma yang menggoda. Itu sama dengan laki-
laki, di luar begitu mengancam tetapi ketika anda bisa menanganinya dengan benar, dia
akan memberikan yang terbaik untuk anda.”
Sani meresapi kata-kata Albert dan
menemukan kebenaran di
dalamnya. Filosofi lelaki dan anggur merah. Sungguh menarik.
“Kurasa aku bisa menggunakannya untuk novelku.”
Gumamnya ceria, membuat Albert terkekeh,
“Saya akan
sangat tersanjung.” Lelaki itu berdiri dan berpamitan,
membuat
Sani menyesal
karena dia tidak punya keberanian untuk menanyakan keberadaan Azka.
---
“Terima kasih Azka.” Celia menggenggam kedua
jemari Azka dengan penuh sayang, lelaki itu duduk
di depannya dan tampak kaku. Celia berusaha mencairkan suasana dengan kelembutannya. Biasanya Azka akan melembut juga kalau dia sudah bersikap rapuh. Tetapi entah kenapa malam
ini benak kekasihnya
ini
seolah-olah
tidak ada di
sana, menerawang
entah kemana.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya Celia lagi mencoba memecah keheningan ketika Azka
hanya diam saja, “Kau
tampak tidak bahagia..”
Azka memandang Celia
dengan tatapan tidak terbaca, “Kau bicara apa, tentu saja
aku bahagia.” Bibirnya tersenyum, tetapi senyum itu jelas-jelas tidak sampai ke matanya.
“Aku memang tahu betapa beruntungnya aku bisa memilikimu.” Celia menundukkan kepalanya sedih, “Dengan
kondisiku
yang sekarang,
sebenarnya
aku tidak
pantas untukmu. Apalagi kejadian di masa lalu itu, aku sungguh malu kalau mengingatnya.” Jemari lentik Celia yang indah menutup wajahnya,
airmatanya mengalir deras, “Mungkin
seharusnya aku mati saja di kecelakaan itu.”
“Sttt.” Azka menyentuh jemari Celia
yang sedang menutup mukanya, dan menariknya dengan lembut ke
dalam genggamannya, “Jangan berkata seperti itu,
aku sudah berjanji
akan bertanggung jawab atas dirimu bukan? Aku akan menjagamu, Celia seperti janjiku.”
Celia menatap Azka dengan matanya yang basah,
“Apakah kau mencintaiku, Azka? Sedalam aku mencintaimu?”
Kalimat itu tak sampai untuk keluar dari bibir Azka, dia hanya menganggukkan kepalanya dan
berucap, “Ya Celia.” Dan menyadari betapa beratnya mengatakan ‘aku cinta kepadamu’ kepada seseorang yang tidak kau cintai.
⧫⧫⧫
Sani berhasil
menyelesaikan bab klimaks itu dengan gemilang,
tokoh
utamanya
akhirnya
menyadari
kesalahannya
dan mengejar
pasangannya. Mereka pada
akhirnya
berhasil menyelesaikan kesalahpahaman mereka...
Dia memundurkan tubuhnya di kursi yang nyaman itu dan membaca ulang tulisannya lembar demi lembar sambil lalu. Kesha pasti akan sangat senang kalau mengetahui dia berhasil
menyelesaikan bab klimaks ini. Semula sangat sulit menulis bab klimaks ini, karena setelah pertengkaran, sesuai draft akan ada permaafan, sesuatu yang tidak pernah bisa
dilakukan Sani terhadap Jeremy.
“Dan akhirnya kau muncul di sini.” Suara maskulin yang dalam itu menyapanya. Suara yang membuat jantung Sani langsung berpacu dengan kencang, dia
menoleh dan sosok yang dibayangkannya berdiri di sana.
Lelaki itu tampak lelah, dengan jas resmi yang sudah dilepas dan disampirkan di pundaknya. Dasi yang sudah terlepas sepenuhnya dan kancing kemeja atasnya yang dibuka.
“Hai.” Gumam Sani, tiba-tiba merasa malu ketika ingatan akan ciuman mereka malam itu menyeruak di benaknya.
Azka tampaknya memahami, lelaki
itu
mengangkat sebelah alisnya lembut,
“Dari kejauhan kau tampaknya senang. Apakah kau berhasil menyelesaikan tulisanmu?”
Sani mengangguk, “Bab yang paling sulit sudah kulalui,
besok tinggal membereskan semuanya.”
“Kita harus merayakannya.” Azka terkekeh, penampilannya yang formal dan sedikit berbeda dengan biasaya tampak melembut ketika dia tertawa, “Tunggu sebentar ya aku mandi dulu, aku akan segera menyusulmu kembali.”
Ketika Azka pergi, Sani
membaca ulang kisah
yang baru saja
ditulisnya. Sudah jelas
tokoh
wanita dalam
novel buatannya
tergila-gila kepada
sang
tokoh lelaki,
dia digambarkan selalu berbunga-bunga ketika tokoh lelaki itu ada di benaknya.
Berbunga-bunga?
Sani tiba-tiba menyadari sesuatu, selama ini dia selalu menuliskan deskripsi perasaan dalam bentuk tulisan dengan lancar. Tetapi ketika menelaah perasaannya sendiri dia
benar- benar kebingungan.
Apakah dia
sedang merasakan berbunga-bunga ketika bersama Azka? Sani menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin
sebuah perasaan begitu kuat muncul kepada seseorang yang tidak begitu kita kenal?
Azka turun lagi hampir dua puluh menit kemudian.
Rambutnya
basah
dan
dia mengenakan baju
santai,
celana jeans, dan kaos berkerah yang
semakin menonjolkan bentuk tubuhnya yang bagus,
Seolah sudah biasa, lelaki itu langsung mengambil tempat duduk di seberang
Sani. Dia memberi isyarat kepada pelayan untuk membawakannya minuman.
Dalam waktu singkat, pelayan itu meletakkan secangkir kopi hitam pekat di depan mereka berdua,
“Di mana Albert?” Azka mengernyit, biasanya dia melihat Albert dimana-mana, lelaki itu sangat bahagia jika bisa berada di lingkungan operasional cafe
dan berhubungan dengan para pelanggan. Sangat bertolak belakang dengan
dirinya yang memilih menggerakkan segala sesuatunya di balik layar, melindungi dirinya dengan menampilkan kesan misterius.
“Tuan Albert beristirahat di
atas,
tuan. Tadi
beliau sempat turun
sebentar, tetapi kemudian mengeluh pusing lagi
dan ingin beristirahat.’
Albert? Pusing? Azka
mengernyitkan keningnya. Meskipun
sudah setengah
baya,
Albert
selalu penuh vitalitas dan Azkalah yang paling tahu betapa jarangnya Albert sakit.
Mungkin kali ini
Albert benar-benar sakit,
Azka mendesah dalam hati, memberi
isyarat kepada
pelayan itu untuk menjauh.
Suasana cafe cukup ramai ketika
itu,
padahal waktu sudah hampir beranjak tengah malam. Sekelompok pemuda tampaknya memilih
menikmati malam sambil
mengobrol di tempat yang paling ujung sebelah sana, dan beberapa yang lain memilih untuk mencicipi hidangan,
“Mau makan sesuatu?” Azka melirik ke arah buku menu dan tersenyum kepada Sani,
“Aku sudah makan tadi sore.” Sani tersenyum, “Tetapi
secangkir kopi tidak akan kutolak, “ gumamnya dalam senyum.
“Aku lapar.” Azka menekuri buku menu dan merenung, dia sudah makan di
rumah Celia tadi, tapi dia
hampir tidak bisa menelan makanannya, “Mungkin aku akan
meminta sup ini.” Azka memanggil pelayan lagi dan menyebutkan pesanannya.
Setelah pelayan pergi,
Azka memajukan tubuhnya
dan menopang dagunya dengan
kedua siku
di meja,
tatapannya tajam dan intens,
“Kau tidak kemari lama sekali.”
Apakah Azka setiap
hari menunggunya? Sani melirik
gelisah ke arah Azka, bingung harus bersikap bagaimana.
“Apakah karena kejadian waktu itu? Ciuman waktu itu?” sambung Azka lagi, dengan tatapan penuh tanya.
Sani membuka mulutnya untuk
mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kalimat yang keluar. Suaranya seakan tertelan di tenggorokannya.
Azka mengamati Sani, lalu tertawa, “Untuk seseorang yang
penghidupannya berasal dari rangkaian kata-kata, kau tampak sulit sekali mengeluarkan sepatah kata sekalipun.”
Pipi Sani memerah, dan dia memalingkan muka, tidak tahan ditatap setajam itu.
Tetapi
kemudian pertanyaan di hatinya mendesaknya,
“Kenapa waktu itu kau menciumku?”
Azka langsung tersenyum
lembut,
“Karena
aku merasakan sesuatu yang lebih kepadamu.” Gumamnya, “Aku tidak pernah bermaksud merendahkanmu dengan
menciummu, itu terjadi begitu saja.” Azka mendesah, “Setelah itu kau bahkan tidak mau muncul di
cafe,
aku
panik.... dan berpikir
kau mungkin marah kepadaku.” Tatapan Azka melembut, “Sani, mungkin ini memang terlalu cepat, kita baru bertemu beberapa kali, belum mengenal satu sama lain. Tetapi ada
perasaan
nyaman yang kurasakan ketika bersamamu, bahkan ketika pertama kali kau menyapaku. Perasaan nyaman yang membuatku meyakini bahwa
aku harus mencoba untuk lebih
dekat bersamamu.”
“Oh.” Sani bergumam pelan membuat Azka tergelak, “Oh?” Lelaki itu mengulangi gumaman Sani, “Aku berusaha setengah mati menjelaskan perasaanku ini kepadamu dan tanggapanmu
hanya ‘Oh’ ?” Lalu jemari lelaki itu meraih jemari Sani dari seberang meja dan menggenggamnya lembut,
“Sani, aku tahu ini
terlalu cepat, kau masih sakit karena perbuatan Jeremy dan berusaha
menyembuhkan dirimu,
tapi aku hanya
ingin bersamamu,
ada di dekatmu,
dan
berusaha
lebih mengenalmu.
Aku berharap
kau
juga bisa mengenalku lebih dekat dan mungkin kita bisa melihat bersama-sama akan di bawa kemana perasaan ini.”
Semua ini terlalu cepat, Sani membatin dalam hati, dia bahkan tidak tahu apapun tentang Azka
dan begitu juga sebaliknya. Tetapi ajakan Azka untuk berjalan bersama dan menelaah arti dari kebersamaan mereka terasa begitu menggoda.
“Sani?” Azka memanggil lagi, mulai tidak sabar dengan kediaman Sani,
dia butuh jawaban, segera. Setelah itu dia bisa bertindak cepat, meluruskan semua rencananya.
Sani menatap
Azka, melihat
kesungguhannya
di situ, Azka memang luar biasa tampan,
tetapi lelaki itu tampaknya tidak pernah sadar menebarkan pesonanya ke
orang-orang, tidak seperti Jeremy. Dan Azka juga baik, lembut, serta menghormatinya, mungkin Sani bisa
mencobanya. Dengan lebih sering
bersama Azka, mencoba mengenalnya
lebih dekat dan kemudian
memutuskan apakah
akan membuka
hatinya ke dalam hubungan yang lebih
serius dengan Azka atau tidak.
Sani menganggukkan kepalanya, “Aku bersedia
mencobanya, Azka. Tetapi hanya itu, kita bersama-sama
berusaha untuk lebih
saling
mengenal. Dan mengenai hasil akhirnya mungkin bisa kita lihat nanti.” Sinar kemenangan muncul di mata Azka, tetapi lelaki itu dengan
cepat menutupinya,
membuat
wajahnya tampak lembut, “Terima kasih atas kesempatan yang
kau
berikan
ini Sani.
⧫⧫⧫
Pagi harinya, Azka yang sedang duduk di ruangannya di kantor pusat kedatangan tamu. Tamu yang sudah sangat di tunggunya. Seorang lelaki
yang sangat tampan, dan juga sahabatnya.
“Jadi kau
meminta
bantuanku?” Eric menatap
Azka sambil tersenyum manis.
“Kaulah satu-satunya orang yang kupercaya bisa melakukannya.
Eric tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Mungkin di
dunia ini, hanya kaulah satu-satunya orang yang meminta sahabatnya untuk merayu tunangannya,” Tatapannya berubah serius, “Apakah kau yakin ini
akan berhasil? Celia
kelihatannya sangat mencintaimu dan dia sudah akan menikah
denganmu. Mungkin saja dia sangat setia kepadamu dan susah dirayu?”
Mata Azka bersinar dingin dan kejam, “Dia sudah pernah mengkhianatiku sekali karena aku kurang memberinya
perhatian. Aku yakin dia
akan melakukannya lagi kalau ada kesempatan.”
⧫⧫⧫
“Hai.”
Azka sudah menunggu
di depan
lobi apartemen Sani, mereka berjanji untuk
menghabiskan hari sabtu ini bersama-sama. Memberi kesempatan kepada diri mereka untuk saling mengenal lebih dekat.
“Hai juga.” Sani berdiri gugup di depan Azka, menyadari penampilannya yang sederhana jika dibandingkan dengan penampilan Azka
yang begitu gaya. Oh, lelaki itu tidak berpakaian macam-macam, dia hanya memakai celana jeans warna
hitam pekat dan T-shirt
polo bergaris, tetapi
entah kenapa keseluruhan penampilannya begitu luar biasa. Bahkan beberapa orang
yang berlalu lalang
di lobi apartemen
pasti menoleh dua kali
untuk meliriknya.
Tetapi bukan hanya penampilan fisik sebenarnya yang membuat Sani
tertarik kepada Azka. Aura lelaki itu yang misterius di balik sikap lembutnya, membuat Sani ingin mendekat dan ingin tahu.
Apakah dia akan
seperti ngengat
yang menjadi korban
karena tidak bisa
menahan ketertarikannya terhadap api yang
menyala? Sani mendesah dalam hati. Setidaknya dia sudah mempersiapkan diri,
memasang pagar di hatinya agar dia tidak terjun bebas, jatuh ke dalam pesona Azka dan kemudian terluka parah.
“Kita akan kemana?” Sani melangkah bersama Azka keluar. Mobil Azka
sudah disiapkan, diparkir di depan apartemennya.
Azka mengangkat bahunya, “Terserah, kemana saja, mungkin nonton, jalan-jalan, bersantai, apapun itu asal bersamamu.”
Azka mengucapkan kata-katanya dengan santai, tidak menyadari bahwa dia membuat pipi Sani memerah.
⧫⧫⧫
Mereka melakukan apapun yang dilakukan orang-orang untuk bersantai di
akhir pekan, nonton, makan, jalan-jalan. Setiap detiknya terasa menyenangkan, mereka mengobrol
tanpa henti, sangat cocok dalam pembicaraan apapun dan menyadari bahwa mereka
punya banyak sekali kesamaan minat.
Bersama Azka seharian pun terasa begitu sekejap saking menyenangkannya.
Tanpa sadar hari
sudah beranjak malam. Ketika mereka mengendarai mobil hendak pulang, Sani menyandarkan
tubuhnya dengan santai di
kursi penumpang, menatap Azka dalam senyuman.
“Terima kasih atas hari yang sangat menyenangkan ini.” Azka
menoleh sedikit dan tersenyum
simpul, “Sama-
sama Sani, aku juga
bahagia bisa menghabiskan waktu denganmu, itu
sangat menyenangkan.”
Lelaki itu
meremas
jemari Sani
dengan sebelah tangannya, lembut. “Minggu depan kita lakukan lagi ya.”
“Iya.” Dada Sani membuncah dipenuhi oleh
perasaan
berbunga-bunga yang
pekat. Oh ya, gawat!
Seharian
ini
dia sudah berusaha memasang pagar di hatinya, tetapi Azka sudah menerobos pagar itu, membuatnya tidak bisa menahan
lelaki
itu. Sani sepertinya sudah jatuh cinta kepada Azka.
⧫⧫⧫
Celia
sedang duduk
di dalam mobil, dalam
perjalanan menuju butik langganan keluarga,
dan merenung. Ini semakin lama semakin menakutkan, hari
pernikahannya dengan Azka sudah menjelang.
Keluarganya sudah mempersiapkan semuanya terutama menyangkut gaun pengantinnya. Karena selain hal itu, untuk masalah persiapan pesta
seperti dekorasi,
gedung, catering, dan lain-lain mereka tidak
akan perlu mencemaskannya.
Azka memiliki
jaringan perusahaan di bidang resor, perhotelan, dan restoran. Lelaki itu tinggal menjentikkan jarinya dan sebuah pesta yang megah pasti akan disiapkan dengan mudah.
Tetapi perasaan Celia terasa semakin tidak nyaman. Hari demi hari hubungan mereka merenggang, dan semakin dekat ke hari pernikahan mereka, Azka
semakin jarang
muncul. Lelaki itu kadang hanya membalas pesan singkatnya sekenanya, tidak pernah mengangkat telepon ketika dia mencoba meneleponnya. Dan lelaki itu tidak pernah datang ke rumahnya lagi.
Sudah sebulan berlalu, bahkan
kedua orangtuanya mulai
menanyakan kenapa Azka
tidak pernah muncul dan dengan senyum
palsunya Celia
menjelaskan
bahwa semua baik-baik saja, hanya saja
Azka memang sedang sangat sibuk. Tetapi Azka tidak pernah seperti ini sebelumnya, dulu
meskipun sibuk, lelaki
itu selalu
menyempatkan menemuinya meskipun sebentar di akhir pekan.
Celia tahu bahwa Azka
mungkin tidak mencintainya lagi.
Sejak dia mengaku pengkhianatannya yang dilakukannya
dengan Edo karena begitu haus perhatian dari Azka, yang membuatnya terjerumus terlalu jauh lalu hamil, cinta itu sudah musnah di
mata Azka. Tatapan Azka kepanya
sudah berbeda, datar dan tanpa perasaan meskipun laki-laki itu selalu bersikap lembut kepadanya.
Tetapi Celia bisa
dibilang sangat mensyukuri kecelakaan
itu, kecelakaan yang membuatnya didiagnosa tidak akan bisa berjalan lagi. Yang membuat Azka sangat menyesal dan
pada akhirnya memutuskan untuk bertanggungjawab kepada Celia.
Ya, Celia tahu dia memanfaatkan rasa bersalah Azka, tetapi dia mencintai Azka dan tidak bisa membayangkan kalau harus
ditinggalkan oleh lelaki itu. Pengkhianatan yang dilakukannya dengan Edo semata-mata karena
pelarian, dia membutuhkan
kekasih
yang hangat dan penuh kasih
sayang, yang selalu ada di dekatnya. Tetapi Azka tidak bisa melakukannya, lelaki itu waktu itu sedang sibuk membangun
bisnisnya,
sehingga
hanya punya waktu
sedikit bersamanya.
Dan dalam kondisi emosi yang labil, Edo
datang dan semua hal buruk itupun terjadi. Semua yang Celia
lakukan adalah untuk mengikat Azka supaya bersamanya. Dia
bahkan rela bertingkah
seperti orang invalid, hanya agar Azka bertahan
bersamanya. Kelumpuhan ini adalah
satu-satunya pengikatnya dengan Azka,
dan Celia rela kesulitan seperti ini, hanya bisa berjalan ketika dia berada di dalam rumah dan hanya di depan orang-orang
yang dipercayanya, semua demi memiliki Azka.
Dia meremas kedua jemarinya kuat-kuat, Sebentar lagi... desahnya dalam
hati. Dia hanya perlu bersabar sebentar lagi
dan Azka akan
menjadi miliknya sepenuhnya. Dia
akan menjadi istri Azka dan lelaki itu tidak akan punya alasan untuk tidak memperhatikannya.
⧫⧫⧫
Butik itu
cukup ramai, milik
seorang
desainer baju pernikahan yang sangat
terkenal. Pegawai Celia mendorong kursi rodanya memasuki butik itu. Celia
sudah membuat janji dengan Joshua, sang perancang sekaligus pemilik butik itu.
“Hai cantik.”
Joshua langsung menyapanya
ketika pegawainya
mendorong kursi rodanya memasuki ruangan Joshua. Celia memberikan
isyarat kepada
pegawainya untuk menunggunya di luar.
“Hai Joshua, kau sudah menerima pesanku untuk deskripsi gaun pengantinku?”
“Sudah sayang,
Joshua mengedipkan sebelah matanya. “Sungguh deskripsi yang sangat spesfik, kau ingin gaunmu bertaburan dengan
kristal yang
mahal
dan berkilauan ya? Untung saja
tunanganmu kaya. Jadi kau bisa
meminta gaun apapapun yang kau inginkan, aku akan
mengukur dulu badanmu ya, baru aku terapkan ke
beberapa desain dan nanti kau tinggal memilih yang mana” Joshua melirik ke arah pintu, “Ngomong-ngomong, tunanganmu yang tampan itu
tidak mengantarmu?”
“Dia sibuk.” Gumam Celia sambil lalu, “Aku ingin gaun ini yang terbaik,
Joshua, harus yang
paling indah dan paling cantik... Ini akan menjadi pernikahan yang pertama dan satu - satunya untukku.”
“Tentu saja
sayang.”
Joshua terkekeh,
lalu menyuruh
pegawainya untuk mengukur badan Celia.
Tentu saja mereka kesulitan karena Celia berada di
kursi roda
dan tidak bisa
berdiri. Celia sendiri merasa gemas karena sebenarnya dia bisa berdiri, tetapi dia tidak bisa melakukannya, karena semua sandiwaranya bisa ketahuan.
“Mungkin kita harus mengukur tubuhmu kalau
Azka sudah bisa datang bersamamu, sayang.” Joshua menatap Celia dengan menyesal, dia juga laki-laki tapi tubuhnya ramping dan gemulai jadi dia tidak bisa membantu Celia supaya punya tumpuan untuk
berdiri. Sementara itu
kebanyakan pegawainya adalah perempuan, “Jadi
Azka bisa membantumu untuk berdiri.”
“Mungkin aku bisa
membantu.” Sebuah suara yang maskulin dan begitu dalam muncul dari pintu, membuat Celia dan Joshua menoleh bersamaan. Di pintu itu berdiri seorang lelaki yang amat sangat tampan. Darah asing
sudah jelas mendominasi penampilannya,
lelaki itu
tinggi, sempurna
dengan rambut cokelat muda keemasan, dan setelan tiga
potong yang
dijahit
sempurna, menempel ketat dan seksi ke tubuhnya,
Joshualah yang kemudian memecah
suasana, dia berteriak kegirangan dan hampir
melompat mendekati lelaki itu.“Oh Ya Ampun! Eric, kau sudah pulang dari Paris?”
YOU'VE GOT ME FROM HELLO - SANTHY AGATHA - BAB 7
No comments:
Post a Comment