26. Ayat Ayat Cinta
Musim dingin yang beku membuat tulang-tulangku terasa ngilu. Aku
nyaris
tidak kuat dengan keadaan sel yang sangat menyiksa. Tanpa
disiksapun musim
dingin dalam sel gelap, pengap, basah dan berbau pesing itu sangat
menyiksa.
Seluruh sumsum tulang terasa pedih bernanah. Aku memasuki hari-hari
yang sangat
berat.
Suatu sore, satu jam sebelum buka, tiga hari menjelang hari raya
Idul Fitri
Aisha menjenguk bersama paman Eqbal, dia tampak terpukul melihat
keadaanku
yang sangat mengenaskan. Menjalani musim dingin dengan tanpa
pelindung tubuh
yang cukup telah membuat seluruh persendianku kaku. Selama ini aku
nyaris tidak
pernah tidur kecuali dengan posisi jongkok, tangan memegang kedua
kaki erat-erat.
Beberapa kali aku merasa sangat tersiksa bagaikan orang yang
sedang sekarat.
“Suamiku, izinkanlah aku melakukan sesuatu untukmu!” Kata Aisha
dengan
mata berkaca-kaca.
“Apa itu?”
“Beberapa waktu yang lalu Magdi mengatakan harapan kau bisa
dibebaskan
sangat tipis sekali. Maria masih juga koma. Mungkin hanya mukjizat
yang akan
menyadarkannya. Magdi berseloroh, jika punya uang untuk diberikan
pada keluarga
Noura dan pihak hakim mungkin kau bisa diselamatkan. Kalau kau
mengizinkan aku
akan bernegosiasi dengan keluarga Noura. Bagiku uang tidak ada
artinya
dibandingkan dengan nyawa dan keselamatanmu.”
“Maksudmu menyuap mereka?”
“Dengan sangat terpaksa. Bukan untuk membebaskan orang salah tapi
untuk
membebaskan orang tidak bersalah!”
“Lebih baik aku mati daripada kau melakukan itu!”
“Terus apalagi yang bisa aku lakukan? Aku tak ingin kau mati. Aku
tak ingin
kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayi ini nanti tidak punya ayah.
Aku tak ingin jadi
janda. Aku tak ingin tersiksa. Apalagi yang bisa aku lakukan?”
“Dekatkan diri pada Allah! Dekatkan diri pada Allah! Dan dekatkan
diri pada
Allah! Kita ini orang yang sudah tahu hukum Allah dalam menguji
hambahamba-Nya
yang beriman. Kita ini orang yang mengerti ajaran agama. Jika kita
melakukan hal itu
dengan alasan terpaksa maka apa yang akan dilakukan oleh mereka,
orang-orang
255
awan yang tidak tahu apa-apa. Bisa jadi dalam keadaan kritis
sekarang ini hal itu bisa
jadi darurat yang diperbolehkan, tapi bukan untuk orang seperti
kita, Isteriku. Orang
seperti kita harus tetap teguh tidak melakukan hal itu. Kau ingat
Imam Ahmad bin
Hambal yang dipenjara, dicambuk dan disiksa habishabisan ketika
teguh memegang
keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. AlQur’an adalah kalam
Ilahi. Ratusan
ulama pergi meninggalkan Bagdad dengan alasan keadaan darurat
membolehkan
mereka pergi untuk menghindari siksaan. Jika semua ulama saat itu
berpikiran seperti
itu, maka siapa yang akan memberi teladan kepada umat untuk teguh
memegang
keyakinan dan kebenaran. Maka Imam Ahmad merasa jika ikut pergi
juga ia akan
berdosa. Imam Ahmad tetap berada di Bagdad mempertahankan
keyakinan dan
kebenaran meskipun harus menghadapi siksaan yang tidak ringan
bahkan bisa
berujung pada kematian. Sama dengan kita saat ini. Jika aku yang
telah belajar di Al
Azhar sampai merelakan isteriku menyuap maka bagaimana dengan
mereka yang
tidak belajar agama sama sekali. Suap menyuap adalah perbuatan
yang diharamkan
dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau bersabda, ‘Arraasyi wal
murtasyi fin naar!’
Artinya, orang yang menyuap dan disuap masuk neraka! Isteriku,
hidup di dunia ini
bukan segalanya. Jika kita tidak bisa lama hidup bersama di dunia,
maka insya Allah
kehidupan akherat akan kekal abadi. Jadi, kumohon isteriku jangan
kau lakukan itu!
Aku tidak rela, demi Allah, aku tidak rela!”
Aisha tersedu-sedu mendengar penjelasanku. Dalam tangisnya ia
berkata
dengan penuh penyesalan, “Astaghfirullah…astaghfirullaahal
adhiim!” Paman Eqbal
ikut sedih dan meneteskan air mata.
“Aisha isteriku, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanyaku.
Aisha menganggukkan kepala.
“Aku juga sangat mencintaimu. Dan aku tak ingin kita yang sekarang
ini saling
mencintai kelak di akhirat menjadi orang yang saling membenci dan
saling
memusuhi.”
“Apa maksudmu? Apakah ada dua orang yang di dunia saling mencintai
di
akhirat justru saling memusuhi?” tanyanya.
“Jika cinta keduanya tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah
maka
keduanya bisa saling bermusuhan kelak di akhirat. Apalagi jika
cinta keduanya justru
menyebabkan terjadinya perbuatan maksiat baik kecil maupun besar.
Tentu kelak
mereka berdua akan bertengkar di akhirat. Seseorang yang sangat
mencintai
256
kekasihnya sering melakukan apa saja demi kekasihnya. Tak peduli
pada apa pun
juga. Terkadang juga tidak peduli pada pertimbangan dosa atau
tidak dosa. Jika yang
dilakukan adalah dosa tentu akan menyebabkan keduanya akan
bermusuhan kelak di
akhirat. Sebab mereka akan berseteru di hadapan pengadilan Allah
Swt. Inilah yang
telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam surat Az Zuhruf ayat 67: ‘Orang-orang
yang
akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi
musuh bagi
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.’ Isteriku, aku tak ingin kita
yang sekarang ini saling menyayangi dan saling mencintai kelak di
akhirat justru
menjadi musuh dan seteru. Aku ingin kelak di akhirat kita tetap
menjadi sepasang
kekasih yang dimuliakan oleh Allah Swt. Aku tak menginginkan yang
lain kecuali itu
isteriku. Hidup dan mati sudah ada ajalnya. Allahlah yang
menentukan bukan
keluarga Noura juga bukan hakim pengadilan itu. Jika memang
kematianku ada di
tiang gantungan itu bukan suatu hal yang harus ditakutkan. Beribu-ribu
sebab tapi
kematian adalah satu yaitu kematian. Yang membedakan rasanya
seseorang
mereguk kematian adalah besarnya ridha Tuhan kepadanya. Isteriku,
aku sangat
mencintaimu. Aku tak ingin kehilangan dirimu di dunia ini dan aku
lebih tak ingin
kehilangan dirimu di akhirat nanti. Satu-satunya jalan yang harus
kita tempuh agar kita
tetap bersama dan tidak kehilangan adalah bertakwa dengan sepenuh
takwa kepada
Allah Azza Wa Jalla.”
Tangis Aisha semakin menjadi-jadi.
“Ka...kau benar Suamiku, terima kasih kau telah mengingatkan
diriku. Sungguh
beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu
suamiku. Aku
mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu karena
Allah Swt.
Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah satu ayat
cinta di antara
sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada manusia.
Keteguhan
imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian dalam hidup
adalah juga ayat
cinta yang dianugerahkan Tuhan kepadaku dan kepada anak dalam
kandunganku.
Aku berjanji akan setia menempatkan cinta yang kita bina ini di
dalam cahaya
kerelaan-Nya.”
Kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Aisha menjadi penyejuk
jiwa yang
tiada pernah kurasa sebelumnya. Ia seorang perempuan yang lunak
hatinya dan
bersih nuraninya.
“Kisah percintaan kalian membuat hatiku sangat terharu. Aisha,
memiliki rasa
cinta dan kesetiaan pada suami yang luar biasa. Kau seperti ibumu.
Kau mewarisi
257
kelembutan hati seperti nenekmu yang asli Palestina. Jika beliau
masih ada pasti
akan sangat bangga memiliki cucu sepertimu. Dan kau Fahri, aku
belum pernah
melihat seorang lelaki yang seteguh dirimu dan sekuat dirimu dalam
bertanggung
jawab mempertahankan cinta suci di dunia dan di akhirat. Kau
benar, hidup yang
sebenarnya adalah hidup di akhirat. Hidup yang kekal abadi tiada
penghabisannya.
Sesungguhnya sore ini aku mendapatkan nasihat agung yang tiada
ternilai harganya.”
Azan berkumandang dan kami bersiap untuk buka. Sambil menjawab
azan,
lirih kudengar Aisha berdoa, “Ya Allah kekalkan cinta kami di
dunia dan di akhirat. Ya
Allah masukkan kami ke dalam surga Firdaus-Mu agar kami dapat
terus bercinta
selama-lamanya. Amin.”
Setelah mereka pulang di dalam sel penjara aku menyatukan diri
dalam
rengkuhan tangan Tuhan. Meskipun berada di dalam penjara aku masih
merasakan
kenikmatan-kenikmatan yang kelihatannya biasa-biasa namun luar
biasa agungnya.
Tuhan masih memberikan sentuhan cinta dan kasih sayang-Nya. Aku
tiada kuasa
berbuat apa-apa kecuali meletakkan kening bersujud kepada-Nya.
Ilahi, setiap kali,
bila kurenungkan kemurahanMu
yang begitu sederhana mendalam
akupun tergugu
dan membulatkan sembahku padaMu113
* * *
Hari raya Idul Fitri tiba. Aku merayakannya di dalam penjara
berteman duka dan air
mata. Tidak seperti hari raya yang telah lalu. Aku tidak bisa berbicara
langsung
dengan kedua orang tua di Indonesia. Aku hanya berpesan kepada
Aisha agar minta
tolong kepada Rudi membelikan kartu lebaran di Attaba dan
mengirimnya tanpa
memberitahukan keadaanku sebenarnya. Aku tak ingin membuat mereka
berdua
berduka tiada terkira. Aku telah berpesan pada Ketua PPMI agar
jika ada teman
mahasiswa dari Jawa pulang berkenan mampir ke rumah orang tuaku
dan
menceritakan masalah yang menimpaku dengan baik dan bijaksana.
Yang sedikit mengurangi kesedihanku pada hari raya itu adalah
kunjungan
113 Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari puisi berjudul “Saat-saat
Sadar” karya penyair Belgia,
Emile Verhaeren (1855-1916), yang sangat terkenal pasca perang
dunia pertama.
258
yang datang silih berganti dari pagi sampai sore. Pagi sekali, tak
lama setelah shalat
Ied selesai Aisha, paman Eqbal dan bibi Sarah menjenguk. Setelah
itu teman-teman
satu rumah alias Rudi dkk. Lalu Mas Khalid dan anak buahnya. Ketua
Kelompok Studi
Walisongo (KSW) dan bala kurawanya. Takmir masjid Indonesia.
Beberapa staf KBRI
yang rendah hati. Teman-teman S2 dan S3. Dan beberapa kenalan
lainnya.
Yang cukup mengejutkan diriku adalah kunjungan Nurul bersama
Ustadz Jalal
dan isterinya. Nurul menyampaikan rasa terima kasihnya atas surat
yang aku tulis
untuknya. Dia minta doanya tiga hari lagi akan melangsungkan akad
nikah dengan
salah seorang mahasiswa Indonesia.
“Siapa dia calon suamimu yang beruntung itu, kalau aku boleh
tahu?” Tanyaku
pada Nurul. Dia menundukkan kepala dan dia diam saja. Malu.
“Dia juga sedang menulis tesis. Juga kawan dekatmu.” Kata Ustadz
Jalal
menanggapi pertanyaanku. Aku berpikir sesaat mencari seseorang
yang diisyaratkan
oleh Ustadz Jalal.
“Apakah dia itu Mas Khalid?” tebakku.
“Tebakkanmu tidak salah,” jawab Ustadz Jalal.
“Dia orang yang shaleh, baik dan memiliki karakter dan dedikasi
tinggi.” kataku.
“Tapi cinta pertama sangat susah dilupakan.” Lirih Nurul.
“Sekali lagi cinta sejati adalah yang telah diikat dengan tali
suci pernikahan.
Jadikanlah Mas Khalid sebagai cinta pertama dan terakhirmu.” pelanku.
“Insya Allah, aku sedang berusaha untuk melakukan itu
dengan segenap
usaha. Doakanlah pernikahan kami barakah, dan kami bahagia dan
menemukan
mawaddah,” lirih Nurul.
“Sama-sama. Kita saling mendoakan,” jawabku.
Aku bahagia mendapat kunjungan yang membawa berita baik itu. Mas
Khalid
memang pasangan yang cocok untuk Nurul. Keduanya sama-sama berasal
dari
keluarga pesantren. Dan kepiawaian Mas Khalid dalam membaca kitab
kuning ala
pesantren salaf akan sangat berguna bagi pengembangan pesantren
milik ayah
Nurul. Mas Khalid bisa menjadi pengasuh pesantren yang baik. Dalam
banyak acara
diskusi di Cairo dia paling sering diminta untuk memimpin doa.
Doanya panjang
namun mampu membuat orang meneteskan air mata di hadapan Tuhannya.
259
Dan yang tak kalah bahagianya hatiku adalah kunjungan Syaikh Prof.
Dr.
Abdul Ghafur Ja’far bersama puteranya yang bernama Umar. Beliau
berpesan agar
aku bersabar dan tidak pernah putus asa sedetikpun atas datangnya
rahmat Allah
Swt. Beliau meminta maaf atas ketidakberdayaan beliau
mempertahankan diriku atas
pengeluaranku dari Al Azhar. Beliau juga menjelaskan bahwa
sebenarnya Al Azhar
mendapatkan tekanan dari keamanan untuk melakukan hal itu padaku.
Sebelum
pulang beliau memelukku erat-erat lalu mengecup ubunubun kepalaku.
“Ingat baik-baik Anakku, wa man yattaqillaha yaj’al lahu
makhraja!”114
Pesan
beliau kepadaku. Kunjungan Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar
itu membuat
diriku memang benar-benar terasa ada. Orang sepenting dia masih
berkenan
menengokku di penjara. Sungguh pengalaman yang tak akan terlupa.
Menjelang Isya’, Syaikh Ahmad dan isterinya, Ummu Aiman datang.
Syaikh
Ahmad sedikit membawa berita baik untukku. Yaitu saudara
sepupunya, Ridha
Shahata, yang ditugaskan keluar Mesir pulang lebih awal dari
jadwal yang ditetapkan
karena dia telah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Ridha
Shahata berjanji
akan membantu sebisanya. Yang paling penting menurut Ridha Shahata
dari cerita
Syaikh Ahmad adalah bagaimana caranya Maria bisa memberikan
kesaksiannya di
depan pengadilan. Aku lebih banyak diam, dalam hati kukatakan,
‘Maria sangat susah
diharapkan, jika memang aku harus mati di tiang gantungan berarti
memang Tuhan
berkehendak demikian.’
Sejujurnya kukatakan, selama merayakan Iedul Fitri di Mesir aku
belum
pernah mendapatkan kunjungan sebanyak itu. Meskipun berada di
penjara, namun
hari raya yang kulewati cukup mengesan. Aku ikhlas seandainya hari
raya yang aku
lewati adalah hari raya terakhirku di dunia.
114 Dan siapa yang bertakwa kepada Allah maka dia akan menjadikan
untuknya jalan keluar.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 27
No comments:
Post a Comment