Bab 11
If I had the
chance, love
I would not
hesitate
To tell you all
the things I never said before
Don’t tell me
it’s too late.
Semua semakin memalukan ketika
Jana gelagapan menjawab pertanyaan bertubi-tubi yang
ditembakkan Raka dan Erga tentang
“oom yang sudah mencium Bunda”. Ya, begitulah
mereka memanggil Ben. Jana tidak
mencoba membetulkannya karena panggilan itu jelasjelas
tidak mendingan daripada “Ayah”.
“Bunda, kalo oom yang tadi Cuma
temen Bunda, kenapa dia nyium bunda?” Tanya Raka.
“Ya karena kadang-kadang orang
dewasa suka nyium temen mereka,” jawab Jana.
“Kalo gitu, kenapa Bunda nggak
pernah nyium Oom Obar?”
“Bunda cium Oom Obar kok.”
“Tapi itu di pipi. Yang ini Bunda
cium di bibir,” tegas Raka.
Shit! Untuk pertama kalinya Jana
menyesali kepandaian anaknya. Dengan sedikit terbatabata,
dia membalas, “ itu karena…
biasanya… orang dewasa Cuma akan nyium… temen lama
di bibir, sayang.”
“Jadi Bunda udah lama kenal oom
yang nyium Bunda itu?”
You have no idea, ucap Jana dalam
hati. Tapi dia hanya menjawab, “Kami dulu teman
sekolah.”
Raka dan Erga mengernyitkan
kening, tanda mereka sedang berpikir keras. Untungnya
kemudian kening mereka ;icin
kembali dan Jana bisa bernapas lega. Sayangnya hanya untuk
sementara.
“Oom itu namanya siapa, Bunda?”
Tanya Erga.
Jana harus bersusah payah menahan
diri agar tidak menggeram frustasi. Andaikan dia hanya
punya satu anak, dia akan bisa
menangkis pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya
dengan lebih efektif. Tapi
kenyataannya, dia harus menghadapi diinterograsi oleh Sherlock
Holmes dan Dokter Watson wannabe
ini. Jana berdebat dengan diri sendiri apakah dia mau
lagi-lagi berbohong kepada Erga,
tapi dia tahu ini mungkin saat terbaik untuk mulai
memperkenalkan anak-anak kepada
ayah mereka. Dia yakin Ben belum selesai berurusan
dengannya. Cepat atau lambat dia
akan muncul lagi, dan ketika itu terjadi, dia harus siap.
Akhirnya dia berkata sambil
menempelkan senyum pada wajahnya. “Ben”/
“Ben siapa?”
“Ben Barata.”
Erga mengangguk-angguk, seakan
menyetujui nama itu. “Oom Ben tinggal di mana, Bunda?”
lanjut Raka.
“Bunda nggak tahu, sayang.
Emangnya kenapa kamu Tanya-tanya?”
Raka mengangkat bahunya dan
berkata cuek, “Cuma mau tahu aja.”
Seakan itu belum cukup, anaknya
ini juga degan polosnya melaporkan kejadian itu kepada
Papi dan Mami. Hari minggu
setelah kejadian, dia dan anak-anak pergi ke rumah
orangtuanya untuk makan siang
rutin bulanan mereka ketika Mami bertanya, “Ada kabar
apa minggu ini?”
“Donna nagis di sekolah, habis
rambutnya ditarik sama Mark,” lapor Raka, selalu antusias
menceritakan hal-hal yang terjadi
disekolah.
“Wah, kok Mark jahat banget
begitu?” sambut Mami dengan wajah penuh ketidaksetujuan.
“Oh, Mark nggak jahat, Mbah, dia
Cuma suka sama Donna,” jelas Raka sambil mengunyah
makanannya.
“Raka, kalo mau ngomong
makanannya ditelan dulu,” tegur Jana.
Raka menelan makanannya sebelum
membalas, “Ya, Bunda.”
“Darimana kamu tahu Mark suka
sama Donna?” Tanya Mami
“Soalnya Mark pernah nyium pipi
Donna,” jawab Raka kini dengan mulut penuh makanan
lagi dan Jana menyerah mencoba
mendisiplinkan anaknya yang sepertinya memiliki
attention span superpendek ini.
Mami langsung mengerutkan dahi
mendengar berita ini dan berbisik supaya hanya bisa
didengar oleh Jana yang duduk
disebelahnya. “Jana, coba kamu bicara dengan guru sekolah
Erga dan Raka. Bilang ke mereka
untuk lebih tegas dengan anak seperti Mark. Entah apa
jadinya anak itu kalo dia
seenaknya aja narik rambut dan nyium setiap cewek disekolah.
Mungkin dia perlu dirotan kalo
kejadian lagi.”
Jana belum sempat membalas ketika
dikejutkan oleh suara Erga yang menanyakan, “Rotan
itu apa, Mbah?”
Mami sedikit kalang kabut
menanggapi pertanyaan ini karena dia tidak menyangka Erga
sudah mendengarnya. Beliau
melirik ke Papi meminta bantuan, tapi Papi sibuk dengan
makanannya.
“Umm.. itu kayu untuk menghukum
anak yang bandel. Makannya kalian nggak boleh
bandel, oke?” kata Mami setelah
beberapa menit.
“Apa Mark bandel?” Tanya Erga.
“Ya,” jawab Mami pendek.
“Karena udah narik rambut Donna?”
Tanya Erga lagi dengan wajah serius.
“Dan nyium Donna,” tambah Mami.
“Jadi Mark perlu di rotan?”
“Oh, nggak, sayang..” Jana baru
ingin menjelaskan konsep penggunaan rotan kepada Erga
ketika Mami sudah memotong.
“Kalo Mark cucu Mbah, pasti udah
Mbah rotan,” tandas Mami.
Jana harus tetap mengunyah
makanannya agar tidak menegur Mami, yang sudah
menanamkan pikiran yang
nggak-nggak ke Erga. Satu hal yang dia tahu tentang orangtuanya
adalah, mereka tidak suka kalau
pendapatnya dipertanyakan.
“Apa itu berarti oom yang nyium
Bunda hari itu juga perlu dirotan?” Tanya Raka dengan
polosnya.
Dan Jana hampir saja tersedak
daging yang baru saja ditelannya. Papi yang tadinya sibuk
tidak menghiraukan percakapan itu
kini menatapnya tajam, makanan di atas piringnya
terlupakan. Not good. Untuk
menhindari tatapan Papi, Jana menoleh ke Mami yang sedang
menatap cucunya tajam. Super not
good.
“Apa kamu bilang?” tanyanya
dengan sedingin es.
Jana memutar otaknya untuk
mengalihkan pembicaraan ini secepatnya, tapi otaknya masih
terlalu kaget untuk menghasilkan
ide. Dia seperti melihat kereta api dengan rem blong yang
meluncur dengan kecepatan tinggi
di atas rel. dia tahu kecelakaan akan terjadi sebentar lagi,
tapi tidak berdaya
menghentikannya.
Raka yang tidak menyadari apa
yang dia sudah lakukan, mengulangi beritanya. “Iya, aku
sama Erga baru pulang sekolah.
Pas mau naik lift, kami lihat Bunda lagi ciuman sama Oom.
Ya kan, Ga?”
Erga mengangguk mengonfirmasi
kata-kata kembarannya dan mata Mami langsung
menatapnya tajam. “Siapa oom yang
di maksud sama mereka, Jana?” Tanya Mami.
Dan Jana tahu bahwa pada detik
itu, hidupnya baru saja berakhir.
***
Ben membutuhkan seminggu sebelum
bertemu dengan Jana lagi. Seminggu yang penuh
dengan:
Telepon nonstop ke George dan
timnya di Chicago, yang tidak menerima beritanya dengan
sukacita, tapi bersedia
memberinya cuti satu bulan tanpa bayaran untuk menyelesaikan
masalahnya, meskipun tidak bisa
menjamin posisinya kalau dia harus mengambil waktu
lebih lama dari itu.
Memberitahu Papa lebih dulu
mengenai situasinya. Setelah memberikan ceramah sampai
kupingnya pekak, beliau mempertemukannya
dengan beberapa anak buahnya, yang akan
membantunya menangani situasi
ini. Anak buah Papa hanya mengonfirmasi apa yang dia
sudah tahu melalui Internet.
Bahwa dia tidak punya hak apa pun terhadap anak-anaknya.
Mereka mengusulkan agar dia menempuh
jalan damai, yaitu berbicara dengan Jana
mengenai Hak asuh anak-anaknya.
Memberitahu Mama, yang setelah
puas menangis tersedu-sedu, ngotot mau bertemu
dengan cucu-cucunya secepatnya.
Beliau baru berhenti memborbardirnya dengan
permintaan ini setelah Papa turun
tangan menjelaskan duduk permasalahan dan hukum
yang terlibat di dalamnya.
Keinginan mencekik dan meminta
maaf kepada Jana, serta memikirkan langkah-langkah
terbaik untuk mengenal
anak-anaknya. Dia sudah memutuskan ingin menjadi bagian dari
kehidupan mereka secepatnya. Dia
sudah ketinggalan tujuh tahun hidup mereka dan
berencana mengejar waktu yang
hilang itu.
Yang dia masih belum punya
jawabannya adalah bagaimana dia bisa menjadi bagian
kehidupan mereka kalau dia
tinggal beribu-ribu mil jauhnya? Dia sudah membangun
kehidupannya di Amerika, dan
semenjak dia mendapatkan green cardnya dua tahun yang
lalu, dia tidak pernah berencana
untuk hidup di tempat lain. Sejujurnya, prospek hidup di
Indonesia membuatnya sedikit
panic karena ada kemungkinan dia harus mulai dari bawah
lagi. Tentu saja kalau dia mau
posisi bagus, dia bisa meminta Papa mencarikan kerja
untuknya melalui kenalannya, tapi
dia tidak pernah setuju dengan budaya KKN yang sangat
kental di Indonesia itu untuk
mengeksploitasinya.
Alternative penyeselaian masalah
ini adalah menikahi Jana dan memboyongnya dan anakanak
ke Amerika dengannya. Sesuatu
yang tentunya tidak akan pernah disetujui oleh Jana
kalau dilihat dari cara dia
mengambil langkah seribu setiap kali melihatnya. Sudah untung
kalau Jana memperbolehkannya
bertemu dengan anak-anaknya, untuk memintanya
menikahinya, sama saja seperti
cari mati. Intinya, selama seminggu ini Ben tidak bisa tidur
nyenyak, alhasil dia hampir
kelihatan seperti zombie ketika menemui Jana siang itu. Dia
akhirnya menelepon Jana kemarin
dan meminta ketemu di area yang netral bagi mereka
berdua. Jana mengusulkan sebuah
restoran bernuansa tenang dengan desain bersekat yang
bisa memberikan privasi.
Ketika dia sampai di restoran,
Jana sudah menunggunya. Dan meskipun kelihatan tenang,
Ben tahu dari mata yang
menatapnya dengan sedikit takut dan curiga, bahwa Jana nervous
setengah mati. Entah kenapa, tapi
ini membuatnya merasa sedikit puas. Sedetik kemudian
dia merasa bersalah karena sudah
merasa seperti itu.
“Erga dan Raka di mana?” Tanya
Ben setelah pelayan pergi dengan pesanan mereka.
Jana kelihatan terkejut ketika
mendengarnya mengucapkan nama anak-anaknya tanpa raguragu.
What the hell???!!! Apa Jana
pikir dia akan melupakan nama anak-anaknya begitu saja
setelah mengetahuinya? Nama
mereka sudah terukir di kepalanya semenjak siang itu. Dan
nama mereka adalah kata-kata
pertama yang di ucapkannya waktu bangun tidur dan
terakhir sebelumdia tidur selama
seminggu ini.
“Di sekolah,” jawab Jana.
Ben sempat mengangkat alisnya, sedikit
terkejut mendengar berita ini. Anak-anaknya sudah
sekolah? Pikirnya. Lalu dia ingat
bahwa Raka dan Erga memang mengenakan kemeja batik
celana pendek biru. Untuk
menutupi kekaguman bahwa anak-anaknya sudah sekolah dan
kesedihan karena ketinggalan mengantar
mereka pada hari pertama sekolah, Ben bertanya,
“Umur mereka tujuh tahun kan,
ya?”
Jana mengangguk dan Ben menunggu
hingga Jana memberikan informasi lebih lanjut. Ketika
dia hanya diam saja, Ben bertanya
lagi. “Kelas berapa mereka sekarang?”
“Kelas satu SD.”
Berbagai macam pertanyaan
melintas di kepalanya. Apa mereka pintar di sekolah? Apa
sering disetrap guru seperti
dirinya waktu seumur itu? Karena seingatnya Mama sering
sekali dipanggil ke sekolah.
Kalau bukan karena dia berantem dengan teman sekelasnya
yang laki-laki, dia mengisengi
teman perempuan sampai mereka nangis. Memutuskan dia
masih ada waktu untuk menanyakan
ini semua, dia memilih pertanyaan lain.
“Kapan tanggal ulang tahun
mereka?”
“Dua Januari.”
“Siapa yang lebih tua?”
“Raka yang keluar duluan, beda
empat menit sama Erga.”
Ben mencoba mengingat apa yang
dia sedang lakukan pada tanggal dua januari tujuh tahun
yang lalu. Dan kenyataan bahwa
dia tidak ingat atau merasakan apa-apa yang special untuk
mengingat tanggal itu membuatnya
sedikit depressed. Mungkin dia patut dihukum dengan
tidak mengetahui keberadaan
anak-anaknya oleh Tuhan, karena jelas-jelas tidak ada ikatan
batin sama sekali antara dirinya
dengan mereka. Tiba saatnya baginya untuk mengubah hal
itu.
“Aku mau ketemu mereka lagi,” ucap
Ben tanpa basa-basi.
Ben menunggu hingga Jana
meneriaki sumpah serapah padanya, bahwa dia tidak berhak
meminta itu darinya, tapi Jana
hanya menatapnya pasrah. Dia baru saja akan mengatakan
sesuatu ketika pelayan sampai
dengan makanan mereka dan Ben mencoba menahan
keinginannya untuk mencekik
pelayanan itu. Ketika pelayan itu berlalu lima menit
kemudian, ada bekas kuku pada
telapak tangannya, hasil mengepalkan tangannya terlalu
kuat karena mencoba mengontrol
ketidaksabarannya.
Tanpa menjawab, Jana justru mengangkat
garpunya dan perlahan-lahan mulai makan. Ben
tidak bisa makan saking
nervousnya. Yang ada, dia hanya bisa menatap Jana penuh
antisipasi. Setelah tiga suap dan
Jana masih tidak mengatakan apa-apa, Ben mengulurkan
tangannya untuk meraih tangan kiri
Jana yang diistirahatkan di atas meja. Alhasil garpu yang
dipegang Jana terlepas dari
genggamannya dengan bunyi “klaaang” yang cukup keras. Jana
buru-buru menarik tangan kirinya
dari genggaman Ben, seakan dia tidak tahan disentuh
olehnya.
Dan ini membuat Ben pissed-off
tak tergambarkan. Bagaimana Jana bisa sedingin ini
terhadapnya, setelah mereka
menjulurkan lidah ke kerongkongan satu sama lain seminggu
yang lalu? Belum lagi suara-suara
erotis yang Jana keluarkan ketika dia menciumnya dan
reaksi tubuh Jana ketika menempel
pada tubuhnya. Dia cukup berpengalaman dalam
memahami reaksi tubuh wanita dan
tahu kalau mereka tertarik padanya. Dan pada detik itu,
Jana betul-betul tertarik
padanya. Garis bawah pada kata betul-betul. Jadi kenapa dia
bereaksi sok malu-malu seperti
ini sekarang? Lagi pula, bukannya Jana itu virgin gitu lho. Dia
yakin bahwa seperti juga dirinya,
selama delapan tahun ini Jana sudah berhubungan dengan
orang lain.
Bayangan Jana di dalam pelukan
laki-laki lain selain dirinya, mencium dan menyentuh
seluruh bagian tubuhnya, terutama
bagian-bagian yang biasanya tidak pernah
dipertontonkan kepadai orang
ramai, tidak menolong kemarahannya yang sudah mulai
mendidih. Pelayan mereka muncul
untuk memberikan garpu baru sementara Jana
mengucapkan kata maaf
berkali-kali.
Ketika pelayan berlalu lagi, Ben
sudah bosan dengan aksi kucing-kucingan Jana dan berkata,
“Jan…”
“Raka dan Erga suka sekali
berenang,” potong Jana.
Ben berkedip, tidak bisa mencerna
kata-kata itu, dia mendengarnya, tapi sepertinya otaknya
menolak memahaminya. Melihatnya
hanya diam saja, Jana melanjutkan. “Hari Minggu ini
kami rencana mau berenang. Kalau
kamu mau, kita bisa pergi sama-sama.”
Akhirnya Ben bisa menemukan
suaranya untuk berkata, “Minggu?”
Jana mengangguk. “Dalam waktu
dekat ini aku mungkin perlu cari guru renang untuk
mereka…”
“Aku nggak bisa nunggu sampe
Minggu untuk ketemu mereka,” potong Ben.
Jana menatapnya dengan penuh
perhitungan. “Kamu nggak bisa ketemu mereka di tengahtengah
minggu, Ben. Mereka ada tugas
sekolah. Dan kamu kan harus kerja, apa kamu ada
waktu?”
“Aku nggak ada kerja,” ucap Ben
sebelum dia bisa berpikir lagi.
Oh crap! Dia tidak berencana
memberitahukan Jana tentang statusnya ini sampai nanti,
setelah dia bisa bertemu dan
akrab dengan anak-anaknya.
“Hahhh?! Kamu pengangguran???!!!”
Ben harus menggigit lidahnya agar
tidak mengeluarkan sumpah serapah mendengar nada
Jana yang menghakimi itu. “No,
aku bukan pengangguran. Aku punya kerjaan yang bagus
dan mapan.”
“Di mana?”
Biasanya kalau ada orang
menanyakan hal ini kepadanya, dia pasti akan langsung
tersinggung. Tapi dari cara Jana
menatapnya, dengan penuh kecurigaan bahwa dia tipe lakilaki
pemalas yang mau istri kaya
supaya tidak harus kerja seumur hidup, membuatnya ingin
tertawa. Pertama, karena dia
sudah cukup kaya sehingga memiliki kebebasan menikahi
siapa saja yang dia mau. Kedua,
orang bisa menempelkan banyak nama padanya, tapi
“Pemalas” bukan salah satunya.
“Perusahaan konsultasi manajemen
di Chicago. Aku senior consultant di sana,” jawab Ben
pasrah.
Tidak ada gunanya baginya
berbohong. Kalau kata orang Amerika “The cats are out of the
bags”. Yang dia bisa lakukan
adalah mencoba sebisa mungkin mencari solusi untuk situasi
ini.
“Chicago? As in Chicago,
Amerika??!!”
Ben mengangguk.
“Wait a second. Are you telling
me bahwa kamu nggak tinggal di Jakarta, bahwa kamu
tinggal di Amerika?” Tanya Jana
dengan nada tinggi, yang membuat Ben bersyukur bahwa
restoran cukup sepi siang ini
sehingga tidak ada yang melihat mereka bertengkar kecuali staf
restoran.
Ben bisa melihat degradasi
percakapan mereka dalam hitungan detik. Dia tidak sempat
menjawab pertanyaan ini karena
Jana sudah berkata-kata lagi. “Kalo kamu tinggal di
Amerika, untuk apa kamu mau kenal
Erga dan Raka, toh mereka tinggalnya di sini?”
“Karena mereka anak-anakku. Aku
berhak mengenal mereka,” desis Ben.
Mata Jana langsung berapi-api.
“Kamu harus mencari argumentasi yang lebih menyakinkan
dari itu. Sumbangan DNA nggak
memberikan kamu hak untuk mengatur kehidupan mereka.
Apa pernah kamu pikirkan tentang
hak mereka? Bahwa mereka punya hak untuk nggak mau
kenal kamu?”
“Argument goes both ways,” gumam
Ben.
“Apa kamu bilang?”
“Aku bilang, the argument goes
both ways. Kamu bilang mereka punya hak untuk mau
mengenal aku. Tapi mereka juga
punya hak untuk mengenal aku kalau mereka mau,” jelas
Ben.
Jana memicingkan matanya.
Jelas-jelas tidak menyukai logika itu. “Oke, let’s say mereka
mau mengenal kamu. Selama berapa
lama kamu berencana untuk mengenal mereka? Satu
hari? Satu minggu? Sampe kamu
bosen? Atau sampe kamu mutusin untuk lari setelah kamu
tahu kalo mengurus anak itu perlu
waktu dan energy yang banyak? Terakhir aku cek, kamu
menolak mentah-mentah dikasih
tanggung jawab sebesar ini.”
Inilah pertama kalinya Jana
menyinggung kejadian delapan tahun lalu dan dari tatapan
matanya yang penuh kesedihan, Ben
tahu memori itu masih menyakitkan baginya. Rasa
bersalah yang dia rasakan selama
ini tidak bisa menandingi apa yang dia rasakan sekarang.
“Aku minta maaf karena udah
nyakitin kamu,” ucap Ben pelan. Jana melihat terkejut dengan
permintaan maafnya dan Ben
melanjutkan, “Aku minta maaf karena udah ngecewain kamu
waktu kamu lagi betul-betul perlu
aku, karena nggak pernah ada untuk Erga dan Raka… dan
untuk kamu selama ini. Kalo aku
bisa kembali lagi ke hari itu dan memperbaiki semuanya, I
would. Tapi aku nggak bisa. Aku
Cuma bisa mencoba memperbaiki kesalahan yang udah aku
buat dan berusaha sebisa mungkin
untuk nggak mengulang kesalahan yang sama ke
depannya.
Dengan sigap Ben memindahkan
piringnya dan piring Jana dari hadapan mereka ke sudut
meja dan meraih tangan Jana. Kali
ini Jana tidak menolak sentuhannya, dan Ben
menganggap ini pertanda baik
untungnya. “Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki
kesalahan ini, Jan.”
Ben menunggu hingga es di dalam
hati Jana lumer, dan ada satu detik ketika dia berpikir
sudah melakukannya, oleh karena
itu dia terkejut ketika Jana justru menarik tangannya dan
berkata, “I can’t. Raka dan Erga
berhak mendapatkan yang terbaik di dalam hidup mereka.
Aku nggak bisa ngebiarin mereka
mengenal kamu, belajar menyayangi kamu hanya untuk
kemudian ditinggal.”
“Aku nggak akan ninggalin
mereka.”
“But you will, Ben.”
Dan Ben meledak. “Goooddd, you’re
so stubborn!!! Aku udah minta maaf sama kamu, bisa
nggak sih kamu maafin aku supaya
kita bisa moved-on dari ini semua? Sebagai ayah Erga
dan Raka, aku berhak ketemu
mereka!!!”
“Jangan ngomongin masalah hak
sama aku, Ben. I’m not stupid. Aku udah bicara dengan
pengacara dan mereka bilang kamu
nggak ada hak sama sekali atas mereka.”
“Apa pengacara kamu juga bilang
kalo Raka dan Erga nggak bisa nuntut hak waris dari aku
gara-gara kita nggak pernah
nikah? Bahwa mereka nggak bisa menerima tunjangan anak
kecuali kamu ngakuin aku sebagai
ayah mereka? Apa kamu tega melakukan itu ke mereka?”
Tanya Ben sinis.
“Selama tujuh tahun ini aku udah
men-support mereka sendiri dan mereka baik-baik aja.
Aku nggak perlu bantuan apa-apa
dari kamu. Apalagi uang kamu. We’re done here.”
Dan dengan itu Jana mengeluarkan
dompet dari dalam tasnya, menarik beberapa lembar
seratus ribuan. Dia kemudian membanting
uang itu ke atas meja sebelum berdiri dan
meninggalkan restoran. Ben
membutuhkan beberapa detik untuk menyadari apa yang
terjadi dan buru-buru melakukan
hal yang sama sebelum berlari mengejar Jana. Dia tidak
menghiraukan tatapan bingung
pelayan ketika dia berlari seperti restoran sedang
kebakaran. Ketika sampai di
pelataran parkir, dia melihat Jana naik ke dalam SUV biru. Dia
berusaha mengejarnya, bahkan
berdiri di lintasan SUV itu, tapi Jana hanya membanting setir
bak pembalap formula 1 dan melewatinya
dengan kecepatan tinggi menuju pos bayaran
parkir, kemudian jalan raya.
GODDAMN IT ALL TO HELL!!!
Dirty Little Secret - Bab 12
No comments:
Post a Comment