Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 17

Bab 17

Hold me right and don’t let me go
Surrender to the sound
Hold on and don’t look down

Mendengar teriakan Ben, Jana langsung menoleh dan mendapatinya sedang bertolak
pinggang di depan poster kanvas Ophelia karya Millais, yang dia beli beberapa tahun lalu.
Tubuh Ben menghadap lukisan itu, Jadi dia hanya bisa melihat punggungnya.
“Kamu ada masalah sama lukisan aku?”
Ben menoleh dan berteriak, “Tentu aja aku ada masalah.”
Tanpa Jana sangka-sangka Ben meraih bagian kiri dan kanan bingkai dan mengangkatnya
seakan-akan siap menurunkannya dari singgasananya. Meja rias terlupakan, Jana langsung
berlari menuju Ben. “Eh… eh… kamu mau ngapaian?” teriaknya panik.
“Aku mau nurunin lukisan ini,” geram Ben sebelum menarik bingkai dari gantungannya di
dinding.
Kalau saja otot lengannya sebesar Ben, Jana mungkin sudah mencoba menarik bingkai itu
dari Ben. Tapi dia tahu bingkai itu terlalu berat untuknya, alhasil dia hanya bisa berteriakteriak
seperti orang gila. “Ben, kamu udah gila, ya? Balikin bingkai itu ke tempatnya
sekarang juga!”
Ben justru menurunkan bingkai itu ke lantai lalu mengistirahatkan tangannya di atasnya.
“Aku nggak percaya kamu punya gambar seperti ini di dalam kamar tidur kamu,” ucapnya
sambil memberikan tatapan kesal padanya.
Jana hanya menatap Ben bingung, tidak mengerti kenapa laki-laki itu bertingkah seperti ini
hanya gara-gara lukisan.
“Ini lukisan paling mengerikan yang pernah aku lihat, Jana!” geram Ben ketika melihat wajah
bingung Jana.
“Mengerikan? Bercanda kamu. Ini poster lukisan Ophelia.”
“Who the hell is Ophelia?”
“Ophelia calon istrinya Hamlet?” Jana mencoba menjelaskan dan ketika wajah Ben masih
kelihatan bingung, dia menambahkan dengan tidak sabaran, “Yuu huuu… play-nya
Shakespeare yang paling ngetop setelah Romeo and Juliet?”
Pemahaman muncul pada wajah Ben. “Bukannya dia jadi gila dan bunuh diri di akhir play
itu?” tanyanya.
“Dia nggak bunuh diri, dia jatuh dari pohon ke sungai terus tewas tenggelam.” Geram Jana.
“Dan itu mengonfirmasikan pendapat aku sebelumnya, bahwa lukisan ini mengerikan. Aku
bisa punya nightmare mala mini gara-gara lukisan ini.”
“Lukisan ini nggak mengerikan. Ophelia itu lukisan paling indah yang pernah aku lihat.
Makanya aku beli posternya untuk dipajang di sini.”
“Are you crazy? Gimana bisa gambar orang tenggelam bisa indah?”
“Aku nggak peduli apa pendapat kamu. Ini kamar aku dan aku bisa masang apa aja yang aku
suka.”
“Apa pernah kamu mikir kalo Erga dan Raka bisa punya nightmare gara-gara lukisan ini?”
“Asal kamu tahu aja ya, Erga dan Raka itu bukan banci kayak kamu yang langsung takut
Cuma gara-gara lukisan. Mereka udah ngeliat lukisan ini hampir setiap hari selama dua
tahun belakangan dan mereka nggak pernah punya nightmare sama sekali. Sekarang
kesiniin lukisanku!”
Jana mencoba merebut lukisannya dari Ben. Dia tidak lagi peduli bingkai itu terlalu berat
untuknya dan bahwa otot pinggangnya yang suka bermasalah semenjak dia melahirkan akan
kumat jika melakukan gerakan ini. Setelah menggenggam bagian atas bingkai, dia langsung
menarik sekuat tenaga. Tapi di dalam genggaman Ben, bingkai itu tidak bergerak sama
sekali. Damn it!!!!
“Ben, tolong lepasin bingkai aku,” pinta Jana dengan satu tarikan. “Lepasin!” geramnya.
Lagi-lagi dengan satu tarikan, tapi kini lebih kuat. “Ben, sumpah kalo kamu nggak ngelepasin
bingkai ini aku akan…”
Kata-kata Jana terhenti ketika pada saat itu dia mendongak dan melihat wajah gelap Ben
yang sudah mirip langit sebelum badai. Dia tidak lagi kelihatan kesal, dia kelihatan marah
besar. Padanya. What the hell???!!! Otomatis dia melepaskan genggamannya pada bingkai
dan mengambil langkah mundur.
“What. Did. You. Just. Call. Me?” geramnya.
What???!! Nggak waraskah si Ben ini? Dia nggak memanggilnya apa-apa. Seingatnya Ben-lah
yang sudah mengatainya.
“I didn’t call you anything. Yang ada juga kamu yang bilang aku gila.”
“Setelah itu.”
“Setelah itu yang mana?”
Jana betul-betul bingung. Apa sih maunya Ben? Bosan dan tidak mengerti permainan ini, dia
berkata, “You know what, Ben, aku nggak ada waktu untuk ini. Gimana kalo kamu balikin
lukisan aku, setelah itu kamu bisa keluar dari kamarku.”
“Kamu bilang aku banci,” desis Ben.
Jana mendapati dirinya mengatakan, “Ooohhh, itu toh maksudnya,” di dalam hati. Oke, dia
tahu telah memanggil seorang laki-laki maskulin dewasa seperti Ben “Banci” dan itu
memang jauh dari sopan. Sebetulnya kalau dipikir-pikir lagi, memanggil laki-laki mana pun
dengan kata itu adalah penghinaan. Raka pernah membuat teman sekolahnya babak-belur
gara-gara penggunaan kata itu. Tapi, Jana menolak meminta maaf. Ben sudah bertingkah
seperti asshole dengan memasuki kamarnya, area yang dia hitung sebagai teritori yang
sangat private baginya, tanpa diundang dan mencoba mengatur-aturnya. Memang dia pikir
dia siapa?
“So what kalo aku manggil kamu banci?” ucap Jana sambil bertolak pinggang dan
mengangkat dagu setinggi-tinggunya.
Ben kelihatan siap mengamuk sebelum meneriakkan, “So what???!! Aku tunjukin ke kamu
‘so what’.”
Sebelum Jana bisa berkedip, Ben sudah melepaskan bingkai, membiarkannya jatuh ke lantai
dengan bunyi “baaam” yang cukup keras, dan berjalan cepat ke arahnya. Wajahnya penuh
dengan kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang Jana yakin berhubungan
dengannya. Spontan dia langsung mundur cepat. Dia tahu wajahnya pasti sudah
memaparkan ketakutan, tapi Ben tidak menghentikan langkahnya. Membuatnya sadar
bahwa Ben berniat memojokkannya.
Kepanikan mulai merambat. Dia tahu Ben tidak akan menyakitinya, tapi dia juga tahu dari
ekspresi wajahnya, bahwa Ben akan membuatnya membayar kata-katanya tadi. Entah
dengan apa. Dan dia lebih memilih tidak akan pernah mengetahuinya. Dia berpikir cepat.
Hanya ada satu jalan keluar dari kamarnya, yaitu pintu yang berada di belakang Ben. Pintu
yang sekarang tertutup rapat. Kenapa pintu itu bisa tertutup rapat? Dia hampir saja
tersedak ketika sadar dia sudah sendirian dengan Ben, laki-laki yang bukan suaminya, di
dalam ruangan dengan pintu tertutup selama beberapa menit belakangan ini. Entah apa
yang Mami akan pikir kalau beliau sampai tahu tentang ini. Satu kata yang sering
diasosiasikan dengan PSK muncul di kepalanya. Oh, peduli setan dengan pendapat Mami.
Dia masih perlu memikirkan rute keluar hidup-hidup dari kamar ini.
Satu-satunya cara yang bisa dia lihat adalah dengan loncat ke atas tempat tidur dan berlari
secepat mungkin menuju pintu. Tapi mengingat betapa panjangnya kaki Ben, dia hanya
perlu mengambil dua langkah untuk menggagalkan rencananya. Kecuali dia bisa…
“Hey look,” ucap Jana sambil menunjuk ke satu titik di belakang kepala Ben.
Dan rencananya berhasil, karena Ben langsung menoleh, dengan begitu memberinya
kesempatan untuk lari lebih dulu. Secepat kilat dia loncat ke atas tempat tidur dan berlari ke
sisi satunya. Dia baru saja mengambil tiga langkah ketika kakinya tiba-tiba hilang pijakan.
Untuk seperempat detik dia melayang di udara sebelum tubuhnya menghantam kasur,
punggung duluan dengan cukup keras.
“Oommphhh.”
Dan untuk beberapa detik mata Jana berkunang-kunang dan dia tidak bisa bernapas. Ketika
dia baru saja mendapatkan napasnya kembali dan sadar yang menyebabkannya jatuh
telentang seperti ini adalah tangan Ben yang kini melingkari pergelangan kakinya, tahu-tahu
Ben sudah menindihnya dengan tubuhnya dan wajahnya hanya sekitar sepuluh senti meter
darinya. Seakan itu belum cukup, Jana juga sadar kedua tangannya sudah ditahan oleh
tangan kiri Ben di atas kepalanya, membuatnya tidak bisa membela diri sama sekali.
“Tarik kembali kata-kata kamu,” geram Ben.
“Are you crazy? Kamu bisa nyelakain aku barusan.”
Ben langsung mengangkat bagian atas tubuhnya dengan menggunakan otot lengan
kanannya. Wajahnya khawatir. “Are you hurt?” tanyanya.
Jana tadinya mau berbohong, mengatakan otot pinggangnya ketarik, atau apalah, tapi yang
ada dia justru berkata, “Well, no.”
“Are you sure?” Tanya Ben lagi, masih dengan nada khawatir.
Jana baru saja menurunkan dagunya untuk mengangguk sebelum Ben mulai memarahinya
lagi. “Tarik kembali kata-kata kamu!” perintahnya.
“What the hell is wrong with you? Get off me!!!”
“Tarik nggak???!!!
Kesal karena Ben tidak menghiraukan permintaannya, Jana berteriak, “Nggak akan!!!”
Untuk beberapa detik Ben tidak berkata-kata, hanya menatapnya dengan kening berkerut,
seakan mempertimbangkan sesuatu. Gejolak emosi terbaca jelas di dalam matanya. Ada
kemarahan, ketidakpastian, keinginan, dan satu lagi emosi yang dia tidak tahu maksudnya.
Lalu mulutnya terbuka dan dia mengucapkan, “Kalo gitu, aku nggak ada pilihan selain
meyakinkan kamu kalo aku bukan banci.”
Jana tidak sempat memproses kata-kata ini sebelum bibir dan lidah Ben menyerangnya.
Ciuman ini terjadi begitu cepat dan tiba-tiba sehingga Jana tidak bisa melakukan apa-apa
selain menerimanya. Menolak memberikan reaksi, Jana menolehkan kepalanya dan
mendengar Ben menggeram kesal. Dengan paksa Ben menarik dagunya agar mata mereka
bertemu sebelum menciumnya lagi. Tersinggung dengan perlakuan barbar Ben, Jana
menggigit bibir bawah Ben dengan cukup keras sehingga Ben berhenti menciumnya.
“You wanna play rough, honey? I’ll play rough,” geram Ben sebelum balik menggigit bibir
Jana.
Dan satu rintihan meluncur keluar dari bibir Jana. Bukan karena rasa sakit, tapi ekstasi.
Sebelum menyadari apa yang dia lakukan, Jana sudah mencium Ben balik dengan ganas.
Seperti menyadari dia sudah dengan sukacita membalas ciumannya, Ben menggeram dan
mencium Jana lebih dalam lagi. Tangan kiri Ben melepaskan genggamannya pada tangan
Jana dan mulai melakukan eksplorasi dengan meremas bagian tubuh mana saja yang bisa
diraihnya, membuat Jana menggeram. Jana bahkan tidak tahu dia rindu merasakan tubuh
laki-laki di atasnya, menindihnya, mendominasinya seperti ini sampai detik ini. Dan dia tahu
ini salah, bahwa wanita tidak seharusnya merasa seperti ini terhadap laki-laki yang bukan
suaminya, tapi oh God, dia ingin mengingat lagi bagaimana rasanya menginginkan dan
diinginkan oleh laki-laki. Walaupun untuk beberapa menit saja.
Di luar kontrolnya, kakinya sudah melingkari tubuh Ben. Satu pada pinggangnya, satu lagi
pada betisnya, sebelum menenggelamkan dirinya pada rasa laki-laki ini. Ben mengeluarkan
satu suara yang sangat animalistic sebelum menggigit bibir atas Jana dan melarikan lidahnya
pada tempat yang baru dia gigit itu sebagai tanda bahwa mereka harus slow down kalau
tidak mau berakhir naked di atas tempat tidur ini dalam hitungan detik. Jana menuruti
keinginannya dan menjauhkan bibirnya dari Ben, yang langsung mendekatkan keningnya
pada kening Jana. Jana bisa mendengar dan merasakan betapa kacau-balaunya napas Ben,
membuatnya tersenyum penuh kemenangan. Hanya karena dia sudah tidak menyentuh lakilaki
selama delapan tahun, bukan berarti dia lupa caranya. Dan walaupun dia kini seorang
ibu-ibu, bukan berarti dia tidak bisa membuat laki-laki kehilangan akal sehatnya dengan
ciumannya. Terutama laki-laki ini.
Ben mencium kening Jana sebelum menjatuhkan kepalanya di samping kepala Jana.
Tubuhnya sudah gemetaran dan napasnya yang tadinya hanya tidak teratur sudah menderu,
seperti orang terkena serangan asma. Dia tahu Ben tidak punya asma, epilepsy, atau
penyakit apa pun yang menyebabkan reaksi tubuh seperti ini, tapi itu dulu.
“Ben, are you okay?” bisiknya khawatir.
Untuk beberapa menit Ben tidak berkata-kata, hanya berdiam diri dengan tubuh gemeteran
dan napas memburu. Dan Jana melakukan sesuatu yang dia janji tidak akan pernah dia
lakukan. Dia memeluk Ben dengan erat, seakan dia tidak mau melepaskannya lagi. Dengan
pelukannya ini dia mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dia ada di sini
kalau Ben memerlukannya.
Ben membutuhkan beberapa menit sebelum bersuara lagi. Tanpa menjawab pertanyaan
Jana, Ben berkata, “Touch me.”
Karena bibir Ben menempel pada lehernya ketika mengatakan itu, Jana pikir dia sudah salah
dengar. “Apa kamu bilang?”
Ben mengangkat kepalanya dari leher Jana untuk menatapnya. Dan apa yang dia lihat
membuatnya terkesiap. Ada cinta yang mendalam pada tatapan itu, tapi juga ada ketakutan
bahwa cintanya ini hanya bertepuk sebelah tangan. “Sentuh aku, Jana.”
Dan semua oksigen baru saja ditarik keluar dari paru-parunya. Oh my God, no. no, no, no.
not this. Ben baru saja membuatnya jatuh cinta lagi padanya. Bukan “Cinta” tapi “jatuh
cinta”, dua istilah yang sering dipertukarkan penggunaannya, padahal artinya berbeda sama
sekali. Kita mungkin mencintai orangtua, adik, kakak, atau teman karena mereka adalah
sebagian hidup kita, tapi kita hanya akan jatuh cinta dengan orang yang membuat kita tidak
bisa membayangkan hidup tanpa mereka. Semua perasaan yang dia rasakan terhadap Ben
ketika mereka pacaran kembali lagi. Ben bukan hanya seorang pacar baginya, Ben adalah
soulmate-nya.
Jana mencoba menenangkan dirinya yang sedang dalam proses menuju kepanikan. Stop
freaking-out, Jana. Ambil napas, buang napas, ambil napas, buang napas. Shit, ini tidak
bekerja sama sekali. Dia betul-betul freaking-out.
“Please,” ucap Ben lagi ketika melihat Jana hanya bisa menatapnya dengan mata melebar.
Tatapan Ben yang ragu itu membuat hati Jana merasa seperti sedang ditusuk-tusuk sejuta
jarum dan kepanikannya terlupakan sesaat. Dengan sedikit tergagap, dia bertanya, “Di-di
mana?”
“Anywhere. Everywhere. I don’t care. Just touch me.”
Dengan sedikit gemetaran, perlahan-lahan Jana mengangkat kedua tangannya untuk
menyentuh Ben. Hanya dengan ujung-ujung jarinya. Begitu jarinya bersentuhan dengan
rambut Ben, lelaki itu langsung mendesah, seakan-akan sentuhannya adalah sentuhan
malaikat yang bisa menghapus semua dosanya. Jana membiarkan jari-jarinya menyentuh
kulit kepala Ben di bawah rambut yang sudah lebih panjang dari sebulan yang lalu. Dia lalu
turun ke kening, di mana dia melarikan jari-jarinya pada kerutan di antara alis Ben,
memintanya untuk relaks. Alis, yang memberikan aksen kuat pada wajah Ben; mata, yang
memperhatikannya dengan seksama selama dia melakukan ini semua; hidung yang
mancung; tulang pipi yang membuat wajahnya kelihatan seperti orang bule; dan bibir yang
masih merah hasil menciumnya habis-habisan barusan.
Ben meraih tangan kanannya lalu memberikan ciuman pada telapak tangannya sebelum
melepaskannya lagi. Jana melanjutkannya eksplorasinya dengan menyentuh daun telinga,
yang berhasil membuat Ben mendekatkan kepalanya pada sentuhannya itu sambil menutup
mata, bak kucing yang sedang dibelai. Ketika tangannya sampai pada dada Ben, dia
menempelkan telapak tangannya tepat di atas jantungnya. Jana bisa merasakan betapa
cepat detak jantung Ben pada saat itu.
“Anything wrong?” jana mendengar Ben bertanya. Dia mengangkat alisnya, tidak mengerti
pertanyaan Ben.
“Muka kamu kelihatan khawatir,” jelas Ben.
“Oh… aku Cuma… Cuma lagi ngitung detak jantung kamu. Dan menurut perhitunganku
detak jantung kamu di atas normal.”
Untuk pertama kalinya selama mereka berada di dalam kamar, Ben tertawa kecil. Tawa kecil
yang terdengar agak garing. “Itu biasanya kejadian kalo orang nervous, takut, atau excite,”
ucapnya.
“Dan emosi yang mana yang kamu rasakan sekarang?”
“Tiga-tiganya. Tapi lebih ke nervous.”
“Dan kenapa kamu nervous?”
“Karena aku perlu membicarakan sesuatu yang penting sama kamu, tapi aku nggak tahu
gimana mulainya.”
Merasa waswas, Jana langsung menarik kakinya.
“Kamu mau ke mana?” Tanya Ben bingung.
“Aku Cuma perlu bangun. Bisa tolong kamu mundur sedikit?” pinta Jana.
Menuruti permintaannya, Ben mengangkat tubuhnya dan mundur. Tapi dia tidak pergi jauh,
dia mendudukkan dirinya di atas paha Jana sebelum mengulurkan tangannya membantu
Jana bangun. Jana menggeleng, memilih menggunakan kedua sikunya untuk menopang
bagian atas tubuhnya.
“Oke… apa pembicaraan ini menyangkut Erga dan Raka?” Tanya Jana.
Ben menggeleng , lalu mengangguk, lalu menggeleng sebelum kelihatan pasrah sambil
menggigit bagian dalam mulutnya. Whoaaa!!! Jana tidak pernah melihat Ben sebingung dan
se-nervous ini sebelumnya. Apa yang membuatnya jadi seperti ini? Apa Ben sudah bosan
main ayah-ayahan kepada Erga dan Raka, dan memutuskan untuk kembali ke Chicago? Tapi
bagaimana dia bisa berpikir seperti itu setelah menghabiskan setiap waktunya dengan
penuh kegembiraan dengan mereka? Dari cara Ben menatap Erga dan Raka, Jana tahu dia
lebih baik mati daripada meninggalkan mereka lagi. Tapi kalau bukan itu, hal penting apa
lagi yang perlu dia bicarakan dengannya? Apa jangan-jangan Ben ingin mengabarkan bahwa
dia punya pacar atau lebih parah lagi, istri yang dia tinggalkan di Chicago?
SIAL! Kenapa ini tidak pernah terlintas di pikirannya? Topik ini bahkan tidak pernah muncul
di dalam semua percakapan mereka karena mereka terlalu fokus dengan urusan Raka dan
Erga. Selama ini dia berkesimpulan bahwa Ben single. Bagaimana dia bisa menyimpulkan
ini? Dari cara Ben mengejar-ngejarnya sampai termehek-mehek, that’s why. Tapi bukanlah
hal aneh bagi Ben untuk mendekati lebih dari satu perempuan sekaligus, mengingat sejarah
dating-nya sebelum mereka bertemu. Shit, shit, shit, jangan bilang dia sudah flirting dan
make-out dengan pacar apalagi suami orang selama beberapa minggu ini? Oh, dia tidak bisa
dibiarkan menggantung seperti ini. Dia perlu jawaban sekarang juga.
“Are you married?” Tanya Jana, tidak bisa menahan diri lagi.
“Whaaat?” Ben menatapnya heran.
“Are you married?” ulang Jana.
“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan ini ke aku?”
“Just answer the question, Ben.”
“No, I’m not married, Jan. jesus, aku nggak tahu pandangan kamu tentang aku sebegitu
rendahnya sampe kamu mikir aku tipe laki-laki yang masih suka main perempuan meskipun
udah married,” ucap Ben kesal.
Dia lalu bangun dari pangkuan Jana untuk berdiri, tapi Jana meraih lengannya. “Apa kamu
punya pacar di Chicago?”
Mata Ben melebar dan dia menatapnya tidak percaya. Tapi Jana tetap keukeuh memegangi
lengannya sampai Ben menjawab, “Ya, aku punya pacar di Chicago. Ada dua. Satu rambut
pirang, satu lagi cokelat,” lalu menarik lengannya dengan paksa dan berdiri.
Dua pacar sekaligus? Dia tidak tahu kenapa dia terkejut mendengar ini, tapi begitulah
kenyataannya. Untuk beberapa menit dia hanya bisa menatap Ben yang kini sedang berdiri
cuek di hadapannya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celananya. Ya
Tuhan, bagaimana dia bisa sebodoh ini? Bagaimana setelah delapan tahun, Ben masih bisa
memperdayanya dengan mempermainkan emosinya seperti ini? Matanya mulai terasa
panas dan dia tahu sebentar lagi dia akan nangis. Satu isak tangis keburu keluar dari
mulutnya sebelum dia bisa menahannya dan dia langsung cabut lari menuju kamar mandi
dan mengunci dirinya di sana.
***
What just happened??!! Adalah hal pertama yang terlintas di kepala Ben ketika melihat Jana
ngibrit ke kamar mandi dengan tangan menutupi mulutnya. Dia pikir Jana sudah marah
padanya, oleh karena itu dia terkejut setengah mati ketika beberapa detik kemudian dia
mendengar suara tangisan yang tertahan, seakan-akan Jana tidak mau dia tahu bahwa dia
sedang menangis.
Is she crying? What the hell?
Ben berjalan menuju pintu kamar mandi dan mengetuknya. “Jan?” panggilnya.
Tidak ada jawaban dari balik pintu selain suara tangis Jana yang kini semakin teredam,
seakan-akan dia sengaja menguburkan wajahnya pada handuk. Membayangkan Jana
menangis seperti ini karena sesuatu yang telah diperbuatnya, meskipun dia tidak yakin itu
apa, membuat hatinya remuk.
“Jana, kamu kenapa nangis?”
Ada satu pekikan dan suara beberapa benda jatuh, diikuti langkah cepat sebelum Ben
mendengar suara air mengalir deras dari keran. Jana sepertinya berpikir dia bisa
menyembunyikan suara tangisnya di balik aliran air. Tapi bahkan di antara bunyi air, Ben
masih bisa mendengar isak tangisnya. Ben mencoba memutar gagang pintu, tapi Jana sudah
menguncinya. Kejadian delapan tahun di Eaton Hall terlintas di kepalanya, membawa
sesuatu yang mirip seperti kepanikan ke dalam hatinya. Dia mulai mengetuk pintu dengan
lebih keras sementara memutar gagang pintu berkali-kali.
“Jana, tolong buka pintunya. I’m sorry, okay? Apa pun kesalahan aku sampe bikin kamu
nangis, aku minta maaf. Please, just open the door.”
Sementara melakukan semua ini, otaknya berputar memikirkan alasan kenapa Jana
menangis. Satu-satunya penjelasan adalah bahwa Jana jealous ketika mendengarnya punya
pacar. Setitik harapan muncul dalam hatinya. Dia tahu Jana masih peduli padanya, well, tidak ada waktu yang lebih baik daripada sekarang untuk mencari tahu seberapa dalam.


Dirty Little Secret - Bab 18

No comments:

Post a Comment