Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 9

Bab 9

Lies
You never really told me and I never thought to ask you why

Begitu Jana memasuki kantor pagi ini, hal pertama yang dia sadari adalah aroma yang
berbeda. Dia mencium aroma bunga-bungaan yang sangat kuat, bukan citrus seperti
biasanya.
“Ada yang meninggal apa, kok kantor baunya kayak kuburan begini?” canda Jana pada
Monique, resepsionis kantor.
“Oh, nggak, Bu. Sejam yang lalu ada yang nganter bunga banyak banget ke Mbak Caca.”
“Caca? Bukannya itu sekertaris kamu, Jan?” Tanya Obar, salah satu arsitek senior yang juga
bekerja untuk Papi, yang kebetulan sampai kantor bersamaan dengannya.
Jana mengangguk, menanggapi pertanyaan itu.
“I guess someone has a very romantic boyfriend,” ucap Obar sambil tersenyum dan berlalu
menuju ruangannya.
Jana hanya tertawa mendengar ini, meskipun sedikit bingung karena setahunya Caca nggak
punya pacar.
Ketika dia sampai di depan ruangannya dan melihat meja Caca penuh dengan karangan
bunga berbagai jenis, dia mengomentari, “Nice flowers, Ca. smells good, too,” sebelum
melangkah masuk keruangannya.
Dan dia harus mundur lagi karena berpikir sudah masuk ke ruangan yang salah. Dia melirik
plang nama pada pintunya yang bertuliskan nama dan jabatannya, dan menoleh ke Caca,
bingung. “Kenapa ada banyak banget karangan bunga di ruangan saya?”
“Oh, iya, Bu. Tadi pagi ada yang nganter seabrek. Saya udah coba tata sebanyak-banyaknya
di ruangan Ibu, tapi masih banyak sisa, makannya tumpah ke meja saya.”
Jana semakin bingung. Seumur hidupnya, tidak pernah ada orang yang memberikan bunga
padanya. Apa dari klien? Tapi jenis karangan bunga yang sekarang menghiasi ruangannya
bukan jenis yang biasa dikirimkan seseorang ke rekan bisnis, lebih seperti bunga yang
dikirimkan seseorang ke pacarnya. Dengan kesadaran ini, dia langsung waswas.
“Bunganya dari siapa, Ca??”
Please don’t say, Ben. Please don’t say, Ben. Please don’t say, Ben, jana memohon dalam
hati.
“Dari Pak Ben, Bu.”
AMPUUUNNN DORAEMOOONNN!!! Jana berteriak dalam hati. Dia seharusnya lebih spesifik
lagi waktu memberikan perintah kepada Caca tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan Ben. Dia sekarang yakin bahwa Ben bukan saja kreatif, tapi nekat. Entah apa yang
Papi akan pikir begitu beliau lihat kantornya yang rapi, bersih, dan steril ini kini sudah
kelihatan seperti toko bunga, atau lebih parah lagi… rumah duka. Oh, my God, Papi!!! Beliau
nggak boleh melihat semua ini. Karena beliau pasti akan mulai bertanya-tanya siapakah
yang mengirim bunga sebanyak ini? Dan dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu
tanpa harus berbohong lagi.
“Apa TO udah sampe kantor?” Tanya Jana setenang mungkin, mencoba menyembunyikan
kepanikannya.
“Belum, Bu.”
“Ca, tolong bantu saya ngebuang semua bunga ini.”
“Semuanya, Bu?” Tanya Caca ragu.
“Semuanya,” tandas Jana yang tanpa menunggu reaksi Caca, langsung bergegas memasuki
ruangannya dan mengambil dua karangan bunga pertama yang dilihatnya.
Setengah jam kemudian Jana baru bisa bernapas lagi setelah ruangannya dan meja Caca
bersih dari rangkaian bunga. Dia meminta Caca menyemprotkan pewangi ruangan citrus
sebanyak-banyaknya di sekitar kantor sampai aroma bunga-bungaan tidak tercium lagi. Puas
telah menutupi jejaknya, dia duduk kembali di meja kerja dan menghembuskan napas lega.
Caca berdiri di dekat tempat sampah di mana dia baru saja membuang semua rangkaian
bunga milik Bu Jana. Ada sedikit kesedihan melihat semua bunga yang sudah dirangkai
dengan rapi dan indah kini teronggok terabaikan. Dia tidak tahu masalah apa yang dimiliki
Bu Jana dengan Pak Ben yang ditemuinya hamper dua minggu lalu di acara amal itu, tapi
sepertinya masalahnya cukup serius sehingga membuat bosnya yang biasanya kalem dan
sopan jadi kalang kabut dan bisa menyumpah dengan fasih.
Dari sedikit percakapan yang dia dengar malam itu, sepertinya mereka adalah mantan
pacar, meskipun dia tidak tahu kapan persisnya hubungan mereka tejadi. Dan sepertinya
hubungan mereka tidak berakhir dengan baik karena Bu Jana berusaha menghindari Pak
Ben itu dengan mengatakan dia sudah punya suami. Sesuatu yang menurutnya sangat aneh
untuk dikatakan, karena setahunya Bu Jana nggak punya suami. Jangankan suami, menurut
gossip yang bereddar di kantor, Bu Jana bahkan nggak pernah punya pacar atau
menunjukkan ketertarikan sama sekali untuk menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun.
Dan ini bukan karena tidak ada laki-laki yang berusaha mendekatinya. Banyak pegawai lakilaki
dan juga beberapa klien yang naksir berat dengan Bu Jana. Dan kenapa tidak? Dengan
kulit putih bersih, wajah berbentuk hati, dan mata seperti almond, Bu Jana
mengingatkannya pada Sailor Moon.
Sebagai orang yang cukup romantis, Caca tidak mengerti tindakan Bu Jana yang menurutnya
ekstrem ini. Gimana bisa seorang wanita waras menolak laki-laki seperti Pak Ben? Sudah
ganteng, romantic gila, lagi, sampai ngirimin berpuluh-puluh rangkaian bunga. Oh, kalau saja
ada yang rela mengirimkan satu rangkaian bunga untuknya, dia pasti senangnya tujuh
turunan. Mungkin dia bisa menyimpan satu saja dari semua karangan bunga ini? Hitunghitung
dapat pahala karena menyelamatkan makhluk hidup di muka bumi ini dari
kehancuran.
Dan dengan begitu, dia mulai mengaduk-aduk tempat sampah memilih karangan bunga
yang masih utuh dan belum penyet. Beberapa OB yang melewatinya menatapnya bingung,
tapi dia tidak menghiraukan mereka. Setelah beberapa menit akhirnya dia menemukan
karangan bunga yang diinginkannya. Karangan bunga matahari dan peoni. Dia mendekatkan
rangkaian itu ke hidungnya untuk mencium aromanya, dan pada saat itulah dia melihat
kartu kecil berwarna putih yang terselip di tengah-tengah rangkaian bunga itu. Dia menarik
kartu itu dan menatapnya ragu. Dia tahu dia tidak berhak membaca pesan yang dituliskan
pada kartu tersebut. Bahwa kalau dia sampai membacanya, maka dia sudah melanggar
privasi Bu Jana. Tapi keingintahuan menggerogotinya, detik selanjutnya dia sudah membaca
isi kartu itu.
Dear J,
I love you because you’re my sunflower.
Love B.
Dia langsung meraba dadanya, terharu oleh kata-kata yang simple tapi sangat sweet itu.
Dan dengan semangat dia langsung mengaduk-aduk seluruh tempat sampah untuk menarik
semua kartu yang ditemukannya pada setiap karangan bunga dan membacanya. Setiap
kartu semakin membuatnya meleleh dan laki-laki mana pun yang bisa membuat wanita
merasa seperti ini hanya dengan kata-katanya berhak mendapatkan kesempatan.
***
“Bu.”
Jana mengangkat tatapannya dari layar laptop dan melihat Caca berdiri ragu di ambang
pintu. “Ada apa, Ca?”
Caca melangkah masuk ke ruangannya dan meletakkan setumpuk kertas kecil di atas
mejanya sebelum melangkah keluar tanpa mengatakan apa-apa. Jana mengangkat alisnya,
bingung melihat kelakuan misterius asistennya ini. Kemudian tatapannya jatuh pada
tumpukan yang Caca tinggalkan, yang ternyata adalah kartu. Kartu yang dia lihat diselipkan
pada setiap karangan bunga yang baru saja dibuangnya. Jana menatap tumpukan itu seakan
itu bom. Dia baru saja akan mengangkat tumpukan itu dan membuangnya ke tempat
sampah ketika matanya membaca tulisan pada kartu yang paling atas. Dia mengenali tulisan
itu sebagai tulisan tangan kiri Ben yang mirip cakar ayam.
I Love you because you’re the smartest person I know.
Dan tanpa Jana sadari, dia sudah membaca kartu selanjutnya yang ada di dalam
genggamannya.
I love you because you went to Bon Jovi concert with me even though you hate loud noises.
I love you because you always made my T-shirt smells like you.
I love you because you tolerated my singing.
I love you because you watched horror movies with me even though you were scared
shitless.
I love you because you’re the most beautiful woman I’ve ever seen.
I love you because you make me a better person.
Jana tidak bisa berhenti hingga dia membaca kartu terakhir. Ada 24 kartu, total. Semuanya
dengan pesan berbeda-beda. Semua kartu akan dimulain dengan “Dear J” dan diakhiri
dengan “Love B” sebagaimana mereka memanggil satu sama lain waktu pacaran. Hanya
Ben-lah yang memanggilnya “J” dan dia ada feeling bahwa hanya dirinyalah yang pernah
memanggil Ben, “B”. hah! Peduli setan dengan memori itu. Dia tidak akan terperangkap lagi
oleh gombalan Ben. Tidak peduli bagaimana dia memanggilnya. Dan tanpa pikir panjang lagi
Jana membuang tumpukan kartu itu ke dalam tempat sampah.
Beberapa hari kemudian Jana memasuki ruang kerjanya setelah menghadiri rapat bulanan
kantor yang memakan waktu lebih lama dari biasanya. Kepalanya sudah nyut-nyutan karena
tadi pagi belum sempat sarapan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.30. berarti dia
memiliki tiga puluh menit sebelum Erga dan Raka sampai. Hari ini sekali lagi mereka harus
menghabiskan sore mereka dengannya karena Mami ada acara, jadi tidak bisa menjaga
mereka. Dia baru saja mengeluarkan dompetnya dari laci untuk pergi makan siang ketika
teleponnya bordering. Hari ini Caca sedang sakit, jadi tugas menerima telepon dialihkan ke
Monique, resepsionis kantor.
“Ibu Jana, ada Bapak Ben di ruang tunggu yang mau ketemu sama Ibu.”
Jana pikir dia sudah salah dengar dan bertanya, “Did you say Bapak Ben?”
“Bener, Bu.” Tegas Monique.
Jana tidak perlu bertanya dua kali untuk tahu bahwa Ben yang di maksud Monique adalah
Ben Barata. Shit!!! What the hell is he doing here??!!! Dia pikir dia sudah aman karena
setelah mengirimkan bunga padanya beberapa hari yang lalu, dia tidak mendengar kabar
sama sekali darinya. Dia seharusnya tahu bahwa semua mimpi buruk ini belum berakhir.
Jam dinding berganti ke 12.35 dan kepanikannya menyerangnya. Oh, my God. Dia harus
mengusir Ben sekarang juga. Anak-anak akan tiba di kantor sebentar lagi dan mereka nggak
boleh ketemu. Oh, andaikan Caca ada di sini. Dia tidak perlu pusing memikirkan cara
mengusir Ben karena Caca yang tahu persis perasaannya terhadap Ben akan langsung
menanganinya.
“Mon, tolong bilang ke Pak Ben kalau saya sibuk sekali dan nggak bisa menemui beliau hari
ini.”
Samar-samar Jana mendengar Monique mengulangi kata-katanya. Kemudian dia mendengar
seseorang dengan suara berat membalas, tapi dia tidak bisa mendengar dengan jelas. Detik
selanjutnya dia mendengar suara Monique lagi.
“Bu Jana, Pak Ben bilang dia akan duduk di sini seharian sampe Ibu ada waktu untuk
menemuinya.”
Yang ingin Jana lakukan adalah meminta Monique menelepon security untuk mengusir Ben
dari kantornya, tapi dia tidak bisa melakukan itu tanpa menjadi bahan omongan kantor. Oh,
this is stupid. Baiklah, kalau Ben memang segini ngototnya ingin menemuinya. Mungkin
setelah ini, dia akan meninggalkannya sendiri. Dia hanya berharap bahwa Ben bisa pergi
dengan damai, Karena dia betul-betul tidak mau menimbulkan keributan sampai bisa
didengar oleh Papi, yang untungnya hari ini sedang ada di Yogya.
“Oke, saya akan keluar sebentar lagi,” ucap Jana dan bergegas menuju ruang tunggu tamu.
***
Ben duduk tidak sabaran, menunggu Jana yang menurut resepsionis sedang dalam
perjalanan menuju ruang tunggu. Resepsionis itu kini menatapnya dengan seksama, seakan
dia specimen penelitian. Dia kelihatan tidak senang sama sekali melihatnya dan Ben tidak
tahu kenapa. Seingatnya, mereka belum pernah bertemu sebelum sepuluh menit yang lalu,
ketika dia menginformasikan ingin bertemu dengan Jana. Sekilas dia melarikan matanya
pada jins gelap dan kemeja putih dengan lengan di lipat hingga ke siku yang dikenakannya.
Apa si resepsionis ini tidak menyetujui penampilan kasualnya?
Well tough shit, woman. Dia suka jins dan kemeja putihnya dan tidak ada orang yang bisa
mengubah opininya ini. Well, kecuali Jana mungkin. Dia akan secepat kilat menanggalkan
semua pakaian ini kalau Jana sedikit saja menunjukkan dia tidak menyukai penampilannya.
Memikirkan tentang Jana, membawa senyum simpul pada wajahnya. Akhirnya, dia bisa juga
menembus benteng pertahanan Jana dan membuatnya menemuinya. Meskipun dengan
sedikit… okay fine, banyak paksaan. Dia menyalahkan situasi ini sepenuhnya pada Jana.
Kalau saja Jana nggak terus menghindarinya, maka dia tidak perlu berkelakuan seperti ini.
Dia merasakan kehadiran Jana sebelum melihatnya dan mendongak. Dia melihat wanita itu
sedang bergegas ke arahnya dengan wajah serius. Dia segera berdiri dan menunggu hingga
Jana berdiri di hadapannya sebelum menyapa. “Hey, Jan.”
“What are you doing here?” desis Jana.
“Nyariin kamu.”
Jana menyedekapkan tangannya dan berkata, “Oke, kamu udah nemuin aku. Kamu bisa
pergi sekarang.”
Ben menatap Jana sambil mengerutkan dahi, sikap dingin Jana mulai membuatnya pissedoff.
“Did you get my flowers?” tanyanya.
“Yes,” jawab Jana pendek.
“Kamu suka?”
“Aku buang semuanya ke tempat sampah, Ben.”
“You did whaaattt?” teriaknya membuat si resepsionis bangkit dari kursinya dan beberapa
orang yang berseliweran di ruang tunggu menoleh.
“Ssssttt,” ucap Jana dan melambaikan tangannya pada di resepsionis untuk kembali duduk
sebelum menarik Ben keluar dari ruang tunggu menuju deretan lift.
Jana melepaskan genggamannya pada lengan Ben untuk menekan tombol turun lift dan Ben
menyayangkan hilangnya sentuhan itu. Inilah pertama kalinya Jana menyentuhnya lagi dan
sentuhannya pada kulit lengannya membuatnya merasa seperti baru disengat listrik. Apa
Jana merasakannya juga? Sepertinya tidak, karena kini dia sedang menghadapinya dengan
tatapan berapi-api. Tapi untuk beberapa menit dia tidak mengatakan apa-apa karena ada
beberapa orang yang menunggu lift bersama mereka.
Salah satu orang itu menyapa Jana dan Jana membalas sapaan itu dengan ramah. Mereka
mengobrol tentang sebuah proyek yang sedang mereka tangani. Dari percakapan mereka,
Ben tahu Jana orang yang cukup dihormati di perusahaan ini dan sesuatu yang mirip rasa
bangga menyelimutinya. Ketika pintu lift sebelah kanan terbuka, Jana mempersilahkan
orang itu dan teman-temannya duluan. Dia menunggu hingga pintu lift tertutup kemudian
sekali lagi menekan tombol turun, sebelum mendesis, “Aku nggak tahu cara apa lagi yang
harus aku lakuin untuk bikin kamu sadar kalo aku nggak mau ketemu kamu.”
Pipi Jana memerah dan napasnya pendek-pendek. God, she’s beautiful when she’s mad,
pikir Ben. Tanpa pikir panjang dia sudah bertanya, “Apa kamu udah makan siang?”
Jana menatapnya seakan dia baru saja menanyakan apakah dia mau tidur dengannya
sebelum berkata, “What?”
“Sekarang udah mau jam 13.00. tadi resepsionis kantor kamu bilang kalo kamu ada meeting
dari tadi pagi,” jelas Ben.
Bukannya menjawab pertanyaan tadi, Ben melihat Jana melirik jam tangannya sambil
mengetuk-ngetukkan sepatu haknya tidak sabar.
“Apa kamu terlambat menghadiri sesuatu?” tanyanya.
“Ya,” jawab Jana pendek.
Ben menunggu hingga Jana memberikan penjelasan lebih lanjut, tapi dia hanya berdiam diri
sambil sekali lagi melirik jam tangannya. Giginya menggigit bibir bawahnya, kebiasaan kalau
dia sedang senewen. Dan tatapan Ben langsung mengarah kepada bibir itu, mencoba sebisa
mungkin mengusir keinginannya untuk menciumnya. Pikiran kotor Ben terpotong oleh
terbukanya pintu lift sebelah kiri dengan bunyi “ding” yang cukup keras. Lift itu
memamerkan kesesakan luar biasa, dan tanpa Ben sangka-sangka Jana memasukinya
dengan paksa dan mau tidak mau dia harus mengikutinya kalau tidak mau kehilangan
kesempatan berbicara dengannya. Dia harus mengucapkan maaf kepada beberapa orang
yang kakinya tidak sengaja dia injak.
Selama lift dalam perjalanan turun dari lantai delapan menuju lobi, Ben melirik Jana,
mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan wanita itu, tapi Jana menolak menatapnya.
Mereka tidak berbicara lagi sampai mereka turun di lobi dan Jana menariknya ke belakang
pilar besar, jauh dari lalu-lalang orang.
“Untuk terakhir kalinya aku minta sama kamu untuk berhenti ganggu aku. Kalo kamu pikir
bisa muncul begitu aja, setelah delapan tahun tanpa kontak dan ngarepin aku akan nerima
kamu ke dalam kehidupan aku hanya dengan kata-kata manis dan karangan bunga, kamu
salah. Aku punya kehidupan sendiri, Ben, dan itu nggak termasuk kamu di dalamnya. So
please, for the love of God, leave me the hell alone,” ucap Jana.
“Aku nggak bisa,” tolak Ben.
“Kenapa nggak bisa?”
“Karena aku masih cinta sama kamu, oke??!! Dan aku yakin kamu masih ada deeling juga
sama aku.”
Ben tahu pengakuan blakblakannya ini mengagetkan Jana, tapi dia tidak akan menariknya
kembali. Mungkin kalau Jana tahu persis perasaannya terhadapnya, dia tidak akan lari lagi.
Namun harapannya ini hancur lebur ketika Jana hanya mengalihkan perhatiannya pada
sebuah titik di samping kepalanya dan mengatakan, “Aku yakinkan ke kamu kalo aku udah
nggak ada rasa apa-apa lagi sama kamu,” dengan datar.
Oh hell, perempuan satu ini keras kepalanya nggak ketolongan!! Ben menatap Jana sambil
memiringkan kepala, mencoba memutuskan langkah selanjutnya. Dia tahu Jana sedang
berbohong padanya.
“Oke, aku akan tinggalin kamu sendiri.” Ucap Ben.
Tatapan Jana langsung terfokus padanya. Dia memicingkan matanya curiga. “Don’t screw
with me, Ben.”
Ben menyeringai, senang karena bisa membuat Jana terus berbicara dengannya, meskipun
hanya untuk mengata-ngatainya. Ya, dia tahu bahwa ada yang salah dengan logika itu, tapi
dia tidak punya waktu untuk memikirkannya lebih lanjut. “Aku serius. Aku nggak akan
ganggu kamu lagi setelah ini. Asalkan kamu bisa ulangi apa yang kamu baru omongin…
sambil natap mata aku.”
Mata Jana langsung terbelalak. Mulutnya terbuka dan menutup berkali-kali, tapi tidak ada
sepatah kata pun yang keluar. Dan Ben tahu dia sudah menang.
“Just as I thought,” ucap Ben, dan tanpa permisi lagi dia langsung menarik bahu Jana dan
menciumnya.
Tanpa memberi Jana kesempatan untuk menyadari apa yang sedang terjadi, Ben sudah
mendesakkan lidahnya ke dalam mulutnya. Dan hanya dengan satu gerakan lidahnya di
dalam mulut Jana, Ben tahu dia sudah meninggal dan masuk surga. Rasa Jana masih sama,
percampuran mint, citrus, dan Jana, dan holy hell, dia merindukan rasa itu. Dengan sedikit
kasar dia mendorong punggung Jana ke pilar tanpa melepaskan bibirnya dan mengurung
tubuh Jana dengan tubuhnya. Dia mensyukuri betapa kecilnya tubuh Jana sehingga bisa
ditutupi seluruhnya oleh tubuhnya.
Jana mencoba menarik diri, tapi Ben justru mengeratkan pelukannya dab menciumnya lebih
dalam lagi. Ketika Jana mengangkat tangannya ke dadanya untuk mendorongnya, tangan
Ben bergerak ke rambut Jana yang dikonde dan menjambaknya. Tidak keras, tapi cukup
untuk membuat Jana sadar apa yang mendominasi ciuman ini. Dia tahu bahwa dia
kemungkinan sudah menyakiti Jana dengan keganasannya, tapi inilah satu-satunya cara
yang dia tahu untuk membuat Jana sadar bahwa dia adalah miliknya. Terserah dia mau atau
tidak. Dan ya, dia tahu pikirannya ini sangat primitive bak kaum barbar dan kalau saja kaum
feminis mendengarnya, mereka akan meneriakkan sumpah serapah sebelum melemparkan
panic, penggorengan, piring, mangkuk, pisau, dan peralatan dapur lainnya. Tapi dida tidak
peduli. Jana adalah miliknya dan dia milik Jana. Mereka tidak akan komplet tanpa satu sama lain.


Dirty Little Secret - Bab 10

No comments:

Post a Comment