"Tidak enak."
Rafi mengernyit, menggelengkan
kepalanya, menghindari sendok
berisi bubur
sayuran yang
disuapkan Serena kepadanya.
Hari ini adalah tiga minggu sejak Rafi tersadar dari komanyaa, kondisinya sudah mulai membaik, dia sudah bisa duduk, sudah
bisa mengucapkan lebih dari satu kalimat, dan alat-alat penunjang kehidupannya sudah mulai dilepas satu persatu, dokter sendiri memuji
perkembangan Rafi yang luar biasa pesat, tekad
lelaki itu
kuat, maka ketika dia berniat untuk sembuh dia akan merasakannya sepenuh hati.
"Kau harus memakannya,"
gumam Serena
sedikit geli dengan kemanjaan
Rafi yang seperti anak-anak, "ini menyehatkanmu."
"Rasanya
seperti muntahan." Gumam Rafi, tapi akhirnya
menurut
membuka mulutnya, menerima suapan Serena lalu mengernyit ketika menelan.
Ekspresinya
membuat Serena tergelak, tapi kemudian Rafi meraih tangan
Serena yang tidak memegang sendok, ekspresinya berubah serius,
"Serena, tak terbayangkan rasa terimakasihku padamu....aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan cintaku,
aku.... Para dokter
dan
perawat menceritakan perjuanganmu untukku...."
"Stttt," Serena meletakkan
sendoknya
dan
menyentuhkan jemarinya di bibir Rafi, "Perjuangannya sepadan, kau
akhirnya bangun kan?"
"Tapi...."
ekspresi kesedihan
menghantam Rafi, "aku.... Aku
mungkin tidak akan bisa berjalan lagi. Aku mungkin lumpuh
selamanya, aku hanya akan menjadi bebanmu..."
"Rafi," Serena menyela sedikit marah, "kau tidak boleh memvonis dirimu sendiri, kesembuhanmu yang
luar biasa ini juga diluar prediksi dokter bukan? Kita pasti
bisa
kalau kita berjuang dengan tekad dan keyakinan kuat
bersama-sama, meskipun
begitu....", Suara Serena berubah sendu, "meskipun pada akhirnya
kau lumpuh selamanya
pun, aku akan tetap bahagia bersamamu... Kau tahu
selama ini aku selalu berdoa apa? Aku berdoa yang
penting kau sadar, aku tidak peduli
yang lain, Tuhan sudah mengabulkan doaku Rafi.... Tidakkah itu cukup?"
Mata Rafi tampak berkaca-kaca.
"Kau tidak tahu betapa aku mencintaimu......"
Suara di pintu itu
mengalihkan perhatian mereka,
Serena dan Rafi menoleh bersamaan, lalu Serena tersenyum, Dokter Vanessa
ada
di sana, dalam kunjungannya yang biasa, sekarang bahkan dokter Vanessa sudah mulai akrab dan berteman dengan Rafi.
Tapi senyuman
Serena
langsung membeku
ketika menyadari
siapa yang mengikuti di belakang dokter Vanessa,
itu
Damian!
Damian yang sama. Damian yang
tampan dengan
penampilan bak
adonis, dengan
ekspresi yang dingin
dan tidak terbaca. Serena tidak pernah berhubungan dengan Damian lagi sejak Rafi sadarkan dari komanya, Damian selalu memaksakan maksudnya
dengan perantaraan dokter Vanessa, seperti
ketika Damian memaksakan untuk menanggung biaya rumah sakit Rafi dan
ketika Damian memaksakan Serena setuju -
lewat bujukan dokter Vanessa - agar Serena dan Rafi pulang ke
apartemen yang dibelikannya ketika Rafi sudah boleh
pulang dari rumah sakit nanti.
Sekarang lelaki itu
berdiri di depannya, ekspresinya tak terselami dan
sedikit muram,
membuat
Serena bertanya-tanya, apakah Damian mendengarkan percakapannya dengan Rafi tadi. Apakah Damian tidak senang mendengarnya,
"Dokter Vanessa," Rafi menyapa ramah
ketika Serena hanya diam saja, lalu menatap ingin tahu
ke arah lelaki tampan yang sepertinya hanya menatap
terfokus kepada Serena,
"Halo Rafi, aku datang untuk mengecek keadaanmu. Dua hari lagi kau sudah
boleh pulang kalau kondisimu sebaik ini terus," Vanessa menyadari Rafi menatap ke arah
Damian, lalu menyikut
pinggang Damian
untuk
menarik
perhatian Damian yang terarah lurus kepada Serena, "Dan ini Damian, dia eh bosku dan
bos
Serena juga."
Damian menolehkan kepalanya pelan-pelan, lalu menatap ke arah Rafi, menelusurinya dengan tajam dan meneliti.
Inikah laki-laki yang dicintai
Serena sampai rela mengorbankan segalanya? Tiba- tiba pikiran jahat melintas di
benaknya, apa yang akan diperbuat Rafi jika tiba- tiba dia mengungkapkan bahwa Serena sudah menjual keperawanannya kepadanya? Bahwa
dia
sudah berkali-kali meniduri tunangannya yang katanya
dicintainya tadi?
"Damian."
Vanessa bergumam ketika
Damian hanya
menatap dan tidak
bersuara,
Damian lalu mendekat dan mengulurkan tangannya kepada Rafi,
"Salam kenal, saya adalah.... Atasan Serena di tempat kerjanya... Kebetulan kami
eh cukup .... akrab."
sedikit senyum muncul di bibir Damian ketika menyadari Serena dan Vanessa
tampak begitu cemas dengan kata-kata yang
mungkin muncul dari bibirnya,
Rafi menerima jabatan tangan Damian dan tersenyum
tulus,
"Terimakasih."
meskipun Rafi
sedikit bertanya-tanya kenapa tatapan Damian seolah-olah ingin membunuhnya.
“Saya senang kondisi anda semakin membaik.” gumam Damian tenang, tapi
terdengar seolah-olah
mengatakan, kenapa kau tak
mati saja biar semua jadi
mudah?
Serena mengernyit mendengar nada suara Damian itu, lelaki itu sama sekali
tidak mencoba membuat suasana
menjadi lebih mudah malah seolah-olah menantang Serena untuk mengakui sesuatu ? mengakui apa? apakah Damian
ingin agar
Serena mengakui segalanya di
depan Rafi? Mengakui bahwa dia sudah
menjual keperawanan dan tubuhnya demi
membiayai biaya operasi Rafi??
Serena akan mengakuinya, itu
pasti, dia tidak mungkin
membohongi Rafi. Rafi mungkin
akan marah dan sedih, sedih
karena Serena terpaksa
melakukan
semua
itu
demi dirinya.
Lalu mungkin Rafi akan menyalahkan dirinya sendiri. Oh, lelaki itu tidak akan meninggalkan dirinya karena sudah tidak perawan. Serena begitu mengenal Rafi hingga yakin akan hal
itu, dia lelaki berpkiran terbuka,
tetapi yang Serena takuti adalah Rafi akan semakin menyalahkan
dirinya, sendiri, menyalahkan kondisinya yang tidak berdaya yang membuat Serena harus berjuang sendirian demi dirinya,
dan Serena
tidak mau Rafi
mengalami itu
semua, tidak di saat kondisi Rafi masih begitu rapuh dan ada
di
dalam proses
pemulihan. Nanti, Serena pasti akan
mengakui semuanya,
tetapi tidak sekarang.
Karena itu dia langsung memelototi Damian mengingatkan, memastikan Damian
melihat isyarat
dalam matanya, dan menggeram dalam hati ketika
Damian malahan tersenyum meremehkan.
“Mr. Damian ini adalah atasanku
di
tempat lamaku bekerja.” jelas Serena
cepat
begitu melihat kebingungan di mata Rafi.
“Tempatmu sekarang
bekerja Serena, kamu masih bekerja di
sana.” sela Damian tajam.
Serena ternganga mendengar
bantahan Damian itu,
kehabisan kata-kata,
sementara lelaki
itu
tersenyum datar pada Rafi,
“Kami sempat mengalami sedikit kesalahpahaman. Saya menuduh Serena melakukan
sesuatu yang sebenarnya tidak dia lakukan,
Tetapi saya sekarang
sudah
menyadari kesalahan
saya,” Damian
menatap Serena penuh arti,
“dan dengan rendah hati, saya meminta Serena kembali kepada saya”. kata-kata itu diucapkan dengan datar dan santai, tapi entah kenapa arti yang
tersirat di
dalamnya membuat pipi Serena merona.
Vanessa langsung
berdehem memecah kecanggungan,
“Bagus, kita akhirnya menyelesaikan segala kesalahpahaman,” gumamnya
ceria,
“Nah sekarang aku ingin memeriksa kondisimu Rafi.”
“Saya tidak pernah merasa lebih baik dokter.” Rafi tersenyum, perhatiannya teralih dari Damian dan Serena.
“Dan akan lebih baik lagi, aku yakin
mengingat pesatnya
kondisimu,” Vanessa tersenyum,
lalu menatap
Serena dan Damian, “Kalian
bisa keluar
sebentar? aku ingin memeriksa kondisi
Rafi.”
Dan dalam diam Damian dan Serena melangkah keluar ruangan. Mereka masih berdiri diam di lorong ruang perawatan.
“Well dia tampak sehat.” gumam Damian kemudian, menyandarkan
tubuhnya di tembok dan menatap Serena tajam,
Serena menganggukkan kepalanya.
“Dia tidak akan bisa berjalan lagi kan?” sambung
Damian jahat.
Serena membelalakkan matanya
mendegar kekejaman dalam suara Damian, “Damian!!
Jahat
sekali
kau!”,
mata Serena
tampak
berkaca-kaca,
"Dokter
Vanessa bilang masih ada kesempatan bagi Rafi untuk sembuh,
dan
aku percaya dia akan sembuh.”
“Sampai berapa lama lagi Serena? kau
harus menunggu dalam waktu yang tak pasti lagi, Kenapa mencintai
seseorang harus penuh
pengorbanan seperti itu?” Damian
mendeses kesal,
“Dan kata Vanessa dia
juga mungkin
tidak bisa berfungsi sebagai laki-laki normal...”
“Damian!!!” Serena setengah berteriak, menghentikan kata-kata Damian,
pipinya memerah mendengar
ucapan Damian yang begitu vulgar.
Damian mengangkat bahunya
tanpa rasa bersalah,
“Aku cuma mengungkapkan apa yang dikatakan
Vanessa kepadaku,” tiba-tiba dia mendekat dan merengkuh pundah Serena, “Bagaimana Serena?
Bagaimana
jika dia tidak dapat berfungsi
sebagai lelaki normal? padahal
aku tahu...”, mata Damian menyala-nyala, “aku
tahu betapa kau gadis kecil yang penuh
gairah,
betapa kau menyambut setiap sentuhanku
dengan gairah yang sama, betapa
kau menyukainya... Bagaimana kau
nanti bisa tahan tidak merasakan
itu semua...tidak disentuh..
tidak di...”
“Hentikan!!!!”
Kali ini Serena benar-benar berteriak, matanya berkaca-kaca. Membuat Damian terdiam dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Serena tampak begitu rapuh sekaligus begitu kuat dengan wajah pucat pasi dan mata berkaca- kaca seperti itu, membuat Damian ingin melumatnya...
“Kau terlalu picik kalau selalu memandang
sebuah
kasih
sayang hanya dari kemampuan melakukan hubungan fisik,” desis Serena tajam,
“aku mencintai Rafi, aku
hanya butuh kehadirannya di sampingku, itu saja... Kalaupun.. kalaupun
dia
nantinya tidak bisa
memelukku dengan bergairah, aku
tidak peduli, yang penting dia hidup dan ada di sisiku, aku
tidak butuh yang lain lagi...”
"Tidak butuh yang
lain lagi?” Kata-kata Serena yang penuh cinta kepada Rafi itu
menyulut kemarahan Damian, dengan kasar direngggutnya Serena ke dalam pelukannya, “Kalau begitu bagaimana dengan yang
ini??!”
Dengan tanpa diduga-duga, Damian mencium bibir Serena, pertama kasar, meluapkan kemarahannya
disana, melumat bibir Serena dengan menyakitkan seolah ingin menghukumnya.
Oh! betapa dia ingin menghukum perempuan ini karena menyakitinya! Oh berapa dia merindukan perempuan ini!!
Ciumannya melembut ketika
merasakan bibir perempuan yang sangat
dirindukannya, yang sudah
lama
tidak disentuhnya,
yang sudah lama tidak
dirasakannya. Kerinduannya meluap, dipeluknya tubuh
Serena erat-erat,
dilumatnya bibirnya dengan seluruh gairahnya,
dipujanya bibir itu.
Serena yang tidak menyangka akan dicium dengan seintens itu semula hanya terpaku, lalu dia memejamkan matanya,
aroma Damian, kemaskulinannya menyeruak di dalam dirinya. Membangkitkan kenangan lama akan kedekatan
mereka,
dan
secara alami, Serena membalas pelukan dan lumatan Damian.
Entah berapa lama mereka berciuman sampai kemudian Damian melepaskan tautan bibir mereka, terengah-engah.
Dengan lembut Damian menunduk, masih
berpelukan, dahinya menyatu dengan dahi Serena,
napas
mereka
yang panas menyatu,
bibir mereka masih
berdekatan.
Kemarahan Damian mereda seketika oleh ciuman itu, kini dadanya dipenuhi
oleh perasaan lembut yang
menyesakkan
dada,
“Jangan bilang kau tidak merindukan sentuhanku.” bisik Damian lembut,
Serena memejamkan mata berusaha menggeleng,
“Aku tidak merindukannya.” erangnya mencoba melawan,
Damian menundukkan kepalanya,
menghujani telinga dan leher Serena dengan
ciuman-ciuman lembut seringan bulu, membuat tubuh Serena gemetaran,
“Teruslah berbohong? bisik Damian di telinga Serena, “Tapi tubuhmu tidak bisa membohongiku, tubuhmu
merindukanku Serena, dan aku merindukanmu.”
bisik Damian di sela-sela kecupannya.
Serena mengerang, mencoba melawan kebenaran yang menyiksanya. Dia merindukan Damian, dia memang merindukan lelaki itu. Sering di
malam-malam dia berbaring di sendirian di sofa
rumah sakit, menunggui Rafi. Dia merindukan Damian, merindukan pelukannya yang melingkari perutnya dengan posesif,
merindukan lengannya yang selalu menjadi bantal
tidurnya, merindukan desah napas teratur
Damian di telinganya ketika tertidur pulas. Tapi
Serena menahannya, mencoba mengenyahkannya.
Perasaan
itu tidak
boleh
ditumbuhkan. Dia sudah mempunyai Rafi, Rafinya, tunangannya.
Kekasih yang
dicintainya. Kekasih
yang ditunggunya tanpa putus
asa selama dua tahun. Kekasih yang
sekarang sedang berjuang untuk pulih kembali
demi
dirinya.
Air mata mengalir deras
di
pipi Serena,
“Aku merindukanmu
Damian.” pengakuan itu, pengakuan yang sama
sekali tidak di
duga-duga Damian membuat gerakan lelaki itu yang sedang
mencumbu
Serena terpaku.
Damian langsung menegakkan
tubuhnya, mengangkat dagu Serena agar
menatapnya,
“Apa? Katakan
sekali lagi, katakan,” Damian
mendesak ketika
Serena menghindari matanya.
“Katakan sekali lagi Serena, aku perlu mendengarkan
lagi.”
Serena menarik napas panjang, lalu menatap
mata
biru yang berbinar-binar
itu, “Aku merindukanmu Damian.” gumamnya lagi, lebih pelan dan bergetar.
“Demi Tuhan,” Damian memejamkan
matanya lama, lalu memeluk Serena, “betapa aku ingin mendengar pengakuan itu darimu...”
Mereka berpelukan lama,
menikmati saat-saat yang
penuh dengan keheningan
itu, sampai kemudian Damian
menjauhkan
pelukannya dan
menatap penuh
tekad,
“Kita harus
berbicara dengan Rafi.”
“Jangan!!!” Serena
langsung berteriak
mencegah dan
ketakutan,
“Jangan
Damian!!”
Mata Damian berkilat-kilat,
“Kau harus menentukan
perasaanmu
Serena, aku atau Rafi. Salah satu
dari kami harus
mendapat kepastian tentang perasaanmu.” gumamnya tegas.
Serena menangis lagi, tangannya
bergerak lembut, mengelus pipis Damian, lelaki
itu
langsung memejamkan matanya,
“Damian... Mungkin aku juga
menyayangimu, mungkin aku juga mencintaimu. Tapi Rafi lebih membutuhkan aku, tanpa aku dia tidak punya
siapa-siapa lagi. Sedangkan kau, kau lelaki yang hebat, kau bisa mencari banyak penggantiku, kau
pasti masih bisa hidup tanpa aku.” gumam Serena lembut.
Ketika Damian membuka matanya, kesakitan dan kepedihan yang
terpancar di dalamnya begitu mengiris hati Serena,
“Jadi aku dikalahkan
karena aku hebat?” suara
Damian terdengar begitu pedih,
“Apakah aku harus luka parah seperti
Rafi dulu biar kau memilihku?”
“Damian!!!”
Serena berseru spontan,
terkejut, “Jangan pernah.... jangan pernah
berpikir seperti itu, kau... kau pasti bisa memahami keputusanku.”
Damian melihat air mata
Serena yang mengalir dan
mengusapnya
lembut, Kemudian Damian merangkum pipi Serena dengan kedua tangannya,
menghadapkan wajah mungil pucat pasi
itu
agar mau menatap matanya.
Mereka bertatapan. Yang
satu penuh air mata,
yang lain penuh tekad, saling
memandang dalam keheningan,
Lalu sebuah senyum kecil
muncul
di bibir Damian,
“Dasar perempuan kecilku yang bodoh, kau tidak perlu mengatakan apa-apa
lagi. Cukup dengan kau bahagia. Itu
saja, kau mengerti? Sekarang hapus air matamu itu dan tersenyumlah!”
***
A Romantic Story About Serena - Chapter 17
No comments:
Post a Comment