“Ketika Serena membuka matanya,
dia mendapati Rafi duduk di sisi
ranjangnya. Menatapnya dalam senyum.
Serena langsung sadar bahwa karena kepanikannya
tadi dia melupakan
keberadaan Rafi. Ya
Tuhan!! Apa yang dipikirkan Rafi ketika menyaksikan
semuanya tadi?? Pikiran itu membuatnya
panik dan
hendak bangkit dari ranjangnya, tapi
Rafi menahannya dengan tangannya.
“Tidak apa-apa, tetap berbaring.” gumamnya lembut.
Serena menurut
membaringkan
tubuhnya, tetapi menatap Rafi dengan kepanikan mendalam.
“Rafi aku...”
“Sudah kubilang tidak apa-apa, aku sudah tahu semuanya
Serena, dan aku mengerti.”
Kata-kata itu membuat wajah Serena pucat pasi,
“Tahu apa? mereka mengatakan
apa padamu?” bisiknya lemah. “Semuanya,
tentang dirimu dan Damian, dan perasaanmu kepadanya.” “Aku
tidak punya perasaan apa-apa kepada...”
“Sttttt,” Rafi menghentikan
kata-kata Serena, “Tidak perlu membohongi dirimu
sendiri
lagi
Serena,
aku sudah tahu semuanya,
kau begitu menyayangiku sehingga mau berkorban untukku,
tubuhmu kau korbankan,"
Rafi menghela
nafasnya pedih, “Dan sekarang, bahkan
jiwa dan kebahagiaanmu mau
kau korbankan juga untukku?”
Mata Serena mulai
berkaca-kaca.
“Aku tidak merasa mengorbankan
apapun Rafi, aku mencintaimu, aku ingin menjagamu,
aku...”
Dengan lembut Rafi meraih tangan Serena dan menggenggamnya.
“Ya aku yakin, kau sangat mencintaiku, aku
percaya itu,” dengan lembut Rafi
menoleh ke arah pintu, “Dia ada di luar, menunggu waktu untuk
menemuimu, aku sudah berbicara dengannya
dan yakin bahwa cintanya
padamu begitu besar, bahkan mungkin lebih besar
dari
cintaku padamu.” desah Rafi getir.
“Jangan berkata seperti itu.” air mata mulai
menetes di pipi Serena, dan Rafi
mengapusnya dengan lembut.
“Itu kenyataannya, dia begitu mencintaimu sehingga mau
mengambil resiko
apapun agar kau bahagia, dan dia rela dibenci olehmu agar kau
bahagia,” Rafi
tersenyum lembut, “Terus terang aku mengaguminya
dan aku merasa tenang kalau dia yang
menjagamu.”
“Jangan berkata seperti itu.” Serena mulai merasa
dirinya seperti kaset yang rusak, mengulang-ulang
kalimat yang sama.
“Aku harus mengatakannya.” gumam Rafi sedikit geli dengan kata-kata Serena.
Yah, dia ternyata bisa bahagia juga menyadari
bahwa pada akhirnya dia akan
memberikan kebahagiaan pada Serena, kebebasan yang akan di berikan pada
Serena akan membawa perempuan yang dicintainya itu kepada kebahagiaan,
dan
Rafi merasakan
kebahagiaan tersendiri ketika dia pada akhirnya
merelakan Serena. Semua
patah hati dan kesakitannya akan sepadan dengan senyum
dan kebahagiaan Serena
pada akhirnya. “Tapi sebelumnya
aku harus bertanya kepadamu,
Serena, apakah kau mencintai Damian?”
Pertanyaan yang diungkapkan
secara langsung
tanpa diduga itu
membuat
Serena tertegun.
“Rafi... aku...”
“Tanyakan kepada hatimu Serena,” bisik Rafi lembut, mendorong Serena agar mau jujur kepada dirinya sendiri,
“Aku yakin kau sudah menyadarinya, kau hanya
perlu mengakuinya kepadaku.”
Di luar, Damian yang menunggu sambil
bersandar di
tembok dekat pintu masuk mendengar
semuanya, jantungnya
berdetak keras, penuh
antisipasi, ikut
menanti jawaban Serena.
Kumohon katakan Ya, bisik Damian dalam hati, menjeritkan permohonannya dalam diam, kumohon katakan Ya ,
kau mencintaiku Serena.
Di dalam ruangan Serena tertegun, menatap Rafi, menatap ketulusan yang ada di sana.
Tidak apa-apakah kalau dia mengakuinya? Tidak apa-apakah kalau Rafi akhirnya mendengarnya?
Serena menarik napas dalam dalam, menahankan debar jantungnya, lalu menghembuskannya pelan-pelan.
"Ya Rafi,"
gumamnya lembut setengah berbisik, "Ya, aku mencintai Damian, aku sangat mencintainya."
air mata menetes lagi di
pipinya.
Rafi mengusap
air
mata itu dengan lembut, sedikit melirik ke pintu, menyadari kehadiran Damian di
sana. Kau dengar itu Damian? Gumamnya dalam hati,
Permataku
ini
mencintaimu, dia sangat berharga dan dia
mencintaimu, kau harus
menjaganya baik-baik,
jangan pernah menyakitinya...
Di luar Damian
memejamkan matanya
mendengar pengakuan
Serena itu, dia dipenuhi kelegaan yang luar biasa. Serena hampir tidak pernah mengungkapkan
perasaan padanya, Damian harus
selalu mengukur-ukur, menebak-nebak dari
mata
dan tindakan Serena. Dan
mendengar sendiri kalimat itu dari bibir Serena, diucapkan dengan penuh keyakinan, mau tak mau
membuat tubuhnya
dibanjiri aliran kebahagiaan.
"Dia pasti akan
menjagamu Serena, kau tidak usah
mencemaskan
aku lagi, aku sudah tidak perlu dijaga."
"Tapi, Rafi..."
Rafi tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
"Dokter Vanessa mengajakku ke jerman. Disana
dia
punya kenalan spesialis
tulang dan saraf yang sangat ahli, yang bisa menyembuhkanku lebih cepat, dan
kupikir aku akan mengambil kesempatan itu."
Serena membelalakkan matanya,
pucat pasi. "Rafi.... Kau akan pergi??"
Rafi menganggukkan kepalanya.
"Aku akan mengejar kebahagiaanku, aku akan menyembuhkan
diri dan memulai karirku,
masih ada harapan dan aku tidak akan menyerah. Kau sudah memberiku
contoh dengan berjuang untukku tanpa putus asa
padahal kemungkinan aku
terbangun dari
koma sangat kecil, jadi
sekarang aku
akan berusaha berjuang."
Serena tertegun, kehabisan kata-kata mendengar kalimat Rafi. Dia hanya
punya satu hal untuk diungkapkan, kata maaf, maaf karena aku mencintai orang lain, maaf karena aku
mengkhianati cintamu, maaf
karena aku membiarkan hatiku dimiliki orang
lain.
Ketika dia akan membuka mulutnya untuk meminta maaf, Rafi mencegahnya dengan menaruh jemarinya di bibir Serena.
"Jangan meminta maaf,
aku tahu kau akan meminta
maaf," Rafi tersenyum
simpul, "Kau tidak perlu
meminta maaf, kau
tidak pernah
berniat
mengkhianatiku, bahkan kau
malah berniat mengorbankan hati dan perasaanmu
demi
aku. Seharusnya aku yang berterimakasih padamu."
Dengan lembut Rafi melepaskan cincin emas pertunangan di tangannya, dan
meletakkannya dalam genggaman Serena.
"Aku melepaskanmu, Serena, tunanganku yang berharga. Terimakasih untuk cinta yang pernah kita bagi bersama. Terimakasih
untuk semua perjuangan yang telah kau korbankan
untukku, Terimakasih karena pernah mencintaiku," dengan lembut
Rafi mengecup jemari
Serena yang terpaku,
"sekarang
kau bebas,
kejarlah kebahagiaanmu sendiri."
Air mata mengalir deras
makin tak terbendung di mata Serena. Hatinya penuh
sesak, campur aduk antara penyesalan dan kelegaan luar biasa, akhirnya dengan
pelan Serena duduk lalu memeluk Rafi
erat-erat. Berbagi tangis bersamanya.
"Terimakasih Rafi, aku mencintaimu." isak Serena pelan.
"Aku juga mencintaimu." suara Rafi bergetar oleh air
mata
yang mulai datang.
**********
Semua berlangsung begitu cepat, dokter dan perawat serta Vanessa hilir mudik di ruangan itu untuk memeriksa keadaannya.
Serena merasa sudah baikan,
hanya sedikit mual dan
demamnya sudah turun, tapi entah kenapa Vanessa
bersikeras agar dia tetap di
rawat inap di rumah sakit ini. Sebenarnya dia sakit apa? Serena mulai bertanya-tanya.
Rafi sudah berpamitan tadi, diantar oleh dokter Vanessa, mengatakan
akan mempersiapkan kepergian mereka ke Jerman, kemungkinan dua minggu lagi. Dan saat
Serena sendirian,
pikirannya melayang. Dimana Damian? Apakah dia di
rawat di rumah sakit ini? Bagaimana kondisinya? Kenapa Damian
tidak menemuinya? Pemikiran-pemikiran itu membuatnya terlelap lagi.
Ketika bangun hari
sudah sore, suasana kamar tampak remang-remang karena
lagi-lagi hujan
turun di luar membuat
langit kelihatan
gelap, Serena menatap
hujan di jendela dan mendesah.
"Sudah enakan?" suara itu terdengar lembut dan
tiba-tiba sehingga Serena terlonjak kaget, dia menoleh dan mendapati
Damian duduk di
ranjang, di sampingnya. Lelaki itu begitu diam,
Serena mengernyit, pantas
dia
tidak menyadari kehadirannya.
"Maaf aku
mengagetkanmu," Damian tersenyum samar, lalu
menyentuh dahi Serena, "sudah tidak panas lagi. Syukurlah. Kau masih memuntahkan
makananmu?"
Serena menggelengkan kepalanya,
masih belum mampu berkata-kata.
"Aku... Aku sudah bisa menelan sup panas
dari rumah sakit tadi." Damian mengangguk dan tersenyum.
"Aku sudah
berbicara dengan
Rafi,
Serena,"
Damian
segera berseru ketika
melihat Serena akan menyela kata-katanya, "apapun yang akan kau katakan, aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku sudah mendapat kesempatan ini jadi tidak akan kusia-siakan,
kau tidak akan dan tidak boleh menolakku atau melepaskan
diri dariku." suara Damian tegas dan penuh
ancaman, matanya menyala-nyala.
Dalam hati Serena merasa geli, ini Damiannya yang biasa. Tidak berubah meski
mencintainya, tetap saja
arogan
dan
terbiasa mengungkapkan keinginannya dengan mengancam. Tapi bagaimanapun juga ini Damian yang sama
yang dicintainya.
"Ya Damian."
jawabnya dalam senyum.
Jawaban sederhana itu membuat Damian yang begitu tegang karena antisipasi
penolakan yang mungkin dilakukan Serena, terpana.
"Apa?" Damian bertanya seperti orang bodoh.
Serena tersenyum lembut,
otomatis
tangannya
bergerak menyentuh dahi
Damian yang berkerut bingung, mengelusnya lembut, menghilangkan kerut
yang ada di sana.
"Ya Damian,
aku tidak akan melepaskan diri darimu."
Damian seolah kesulitan mencerna jawaban sederhana Serena, tetapi ketika dia
bisa memahaminya, seketika itu juga
Damian merengkuh Serena, memeluknya
erat-erat.
"Demi Tuhan... Aku sepertinya masih butuh
berkali-kali diyakinkan
olehmu," bisiknya
serak di
rambut
Serena, "Kau selalu membuatku bertanya-tanya,
dengan mata
lebarmu yang selalu tersenyum,
dengan kelembutanmu, kau selalu
membuatku bertanya-tanya apakah kau mencintaiku."
Serena membalas pelukan Damian dengan lembut. "Aku mencintaimu."
"Katakan lagi," Damian mengerang, memejamkan matanya, mengetatkan pelukannya, "aku butuh diyakinkan."
"Aku mencintaimu." ulang
Serena patuh.
Damian melepaskan
pelukannya
lalu mengusap rambut Serena lembut,
kemudian meraih tangannya,
mengernyit ketika melihat Serena masih memakai
cincin dari Rafi, bersebelahan dengan cincin darinya.
Dengan lembut disentuhnya tangan Serena,
disentuhnya cincin Rafi disana. "Boleh aku melepaskannya?"
Damian tetap akan melepaskannya
meskipun Serena menggeleng, Serena
tahu itu. Tapi Serena
menghargai Damian yang
menyempatkan diri bertanya kepadanya.
Dengan lembut ia mengangguk.
Hati-hati Damian
melepaskan cincin pertunangan Serena dengan Rafi, lalu meletakkannya di meja. Setelah itu dikecupnya jemari Serena yang memakai cincin pemberiannya.
"Aku ingin kau menikah denganku,
segera."
Sekali lagi Serena tersenyum, lamaran khas ala Damian. Bukannya bertanya
'maukah kau menikah denganku?'
lelaki ini malah menyatakan keinginannya dengan arogansi yang tak terbantahkan. Tiba-tiba Serena mengerutkan keningnya mencerna kalimat Damian.
"Kenapa harus
segera?"
Dan entah kenapa pertanyaannya itu membuat pipi Damian memerah. Serena jadi
bertanya-tanya apa yang
salah dengan pertanyaannya.
"Kau...
Eh, mungkin
kau tidak
menyadari perubahan
tubuhmu...." Damian tampak kesulitan menyusun kata-kata. Tapi pada akhirnya dia melemparkan kebenaran itu, "Kau... Sedang mengandung
anakku"
Kata-kata itu membuat Serena ternganga, itu adalah kebenaran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Damian sangat hati-hati kalau
bercinta dengannya. Bahkan dalam kondisi berhasratpun dia selalu ingat untuk memakai
pelindung, jadi Serena tak mungkin hamil. Karena
itulah meskipun tubuh Serena menunjukkan gejala seperti perempuan hamil, tidak datang bulan, mual, kram
di perut dan sebagainya, tidak pernah sedikitpun terlintas
di benaknya kalau dia sedang mengandung.
Kemudian kesadaran
itu melintas di benaknya, Serena
tidak mungkin mengandung, kecuali kalau
Damian menginginkannya, Serena tidak mungkin mengandung, kecuali
kalau Damian sengaja....
"Kau selalu menggunakan pelindung," gumam Serena menatap
Damian dengan
waspada, "Malam itu kau tidak memakainya."
Pipi Damian agak memerah tapi dia menatap
mata
Serena tanpa penyesalan.
"Aku memang sengaja,
semua
yang terjadi malam itu
memang
sudah
kurencanakan,"
dengan angkuh Damian mengangkat dagunya, "aku ingin kau
memilihku."
Pipi Serena memucat sedikit marah.
"Kau berencana menjebakku
dengan kehamilan?"
Damian menggenggam tangan Serena
erat-erat memejamkan matanya
penuh kepedihan.
"Aku memang brengsek dan licik,
tapi itu semua kulakukan
karena aku hampir gila putus asa
ingin memilikimu, aku mencintaimu dan menderita karenanya,
aku bersedia minta maaf kalau
kau menginginkannya,
tapi aku
tidak pernah menyesal sudah membuatmu hamil..."
Kata-kata itu,
yang diungkapkan dengan sepenuh hari,
melelehkan kemarahan
Serena, dengan lembut diraihnya kepala Damian dan
dipeluknya. Lama mereka berpelukan dalam diam.
"Karena itu kau mencium perutku." gumam Serena, teringat keanehan perilaku
Damian saat itu.
"Ya," Damian tersenyum bangga, "saat itu aku
yakin dia sedang terbentuk, aku memerintahkannya
supaya
tumbuh sehat
agar aku
bisa
memiliki
ibunya,"
Damian mengangkat bahu,
"aku konyol sekali
ya."
Serena tertawa mendengarnya, sisi santai
Damian yang
jarang diperlihatkannya ini juga sudah membuatnya jatuh cinta. Ya, dia benar-benar mencintai lelaki ini, dengan segala arogansinya, dengan segala
kekeras kepalaannya,
sekaligus dengan segala kasih sayangnya yang Serena tahu, melimpah untuknya.
Dengan lembut Serena mengelus perutnya, menyadari bahwa buah
cinta mereka sedang bertumbuh di perutnya,
semakin lama semakin kuat,
hingga akhirnya
nanti akan terlahir ke dunia.
Mata Damian
mengikuti gerakan Serena. Lalu tangannya
mengikuti Serena,
mengusap perutnya lembut.
"Dia kuat dan baik-baik saja di
sana." gumam Damian setengah berbisik. "Ya." Serena berbisik juga.
"Mungkin nanti dia akan mulai menendang-nendang." dahi
Damian berkerut, mengingat isi buku-buku referensi kehamilan yang
mulai dibacanya.
Serena, mengangguk, tersenyum simpul.
"Pasti, seperti pemain sepakbola."
"Aku lebih suka dia seperti CEO handal." dahi
Damian tetap berkerut.
Serena terkekeh.
"Ya, seperti CEO handal," suara Serena
berubah seperti bisikan,
"Seperti ayahnya."
Mereka bertatapan, mata Serena
berkaca-kaca, mata
Damian berkilauan penuh
perasaan. Diantara tatapan mereka terjalin setiap impian orang
tua tentang anaknya di masa depan.
Lalu Damian mengecup
dahi Serena.
"Terimakasih sudah hadir di hidupku," bisiknya
serak penuh perasaan,
"Terimakasih sudah mengajari aku mencintai dengan begitu dalam, terimakasih
sudah menyentuh hatiku yang gelap
dan
jahat sehingga bisa merasakan indahnya mencintai seseorang, dan yang terpenting terimakasih sudah mau
mencintaiku." lalu dia meraih dagu Serena dan mengecup bibirnya lembut,
kecupan penuh kasih sayang yang dengan segera berubah menjadi panas dan
bergairah.
Lama kemudian Damian baru mengangkat kepalanya,
meninggalkan bibir Serena yang panas dan basah, matanya berkilat-kilat penuh gairah, tetapi dia menahan
diri dan mencoba tersenyum, mengusap rambut Serena dengan lembut.
"Nanti, setelah kau sehat," janjinya
penuh arti, membuat
pipi Serena memerah, lalu memeluk Serena lagi, "Aku
mencintaimu Serena, dan
aku berjanji akan membuatmu serta anak-anak kita nanti
bahagia, kau boleh pegang janjiku itu."
Serena tersenyum
mendengar tekad
kuat dalam suara Damian.
"Aku tahu Damian, aku
juga mencintaimu."
Mereka tetap berpelukan,
dipenuhi perasaan cinta yang hangat.
Hanya ada mereka
berdua dan kebersamaan mereka, Serena dengan Damiannya yang akhirnya menyerahkan
hatinya untuk
termiliki satu sama
lain.
Yang pada akhirnya bisa saling memiliki satu sama lain.
THE END
Terimakasih untuk blogger yang mau republish novel miss shanty agatha yg very romantic. Setelah coba di wattpad ... Portalnovel ...goodreades semuanya gak bisa dibaca...dan sekrng aku bs baca lewat blog ini...thanks alot untuk sang pemilik akun blog ini...semoga bisa selalu membagi postingan novel lain...
ReplyDeleteSe7 kak 💯👍👍👍👍👍
DeleteLama aku mencari cari blong yg posting novel romantis, akhirnya nemu juga, terima kasih author, ceritanya bugus... Semoga gak henti hentinya berkarya dan terus posting di sini yaa
ReplyDeleteTerima kasih tuk Blogger yg sdh republish novel shanty agatha dan tetap semangat tuk me republish novel karya2 keren lain nya...good job for u guys😘
ReplyDeleteTerima kasih tuk Blogger yg sdh republish novel shanty agatha dan tetap semangat tuk me republish novel karya2 keren lain nya...good job for u guys😘
ReplyDeleteTerima kasih tuk blogger yang baik hati membagi cerita menarik ini moga menjadikan inspirasi bagi blogger lain agar memposting cerita2 menarik lainnya good job for you guys
ReplyDeleteI miss u mba shanty agatha...
ReplyDeleteSuka bgt sm cerita ini..ak sdh berkali2 membacanya dan tdk pernh bosen
ReplyDeleteSuka sama ceritanya
ReplyDeleteNggak bosan, ini sdh kesekian kalinya baca novel ini, awal baca novel ini tahun 2015...wohhh
ReplyDeleteIni ke 5 kalinya aku baca.. sampe hafal beberapa part, ada jg part yg hilang, tp gapapa, miss shanty agatha dimana kamu... makasih banyak untuk karya karya nya yg ngangenin dan bikin hati hangat juga senyum² sendiri, somoga kita sehat dan bahagia selalu dalam rasa syukur penuh berkah tuhan, amiin
ReplyDelete