"Serena."
dengan lembut Vanessa menggoyangkan pundak Serena yang tertidur
pulas. Sementara Rafi mengikuti
di belakangnya.
Dengan sedikit lemah
Serena membuka mata
dan agak waspada melihat wajah
dokter Vanessa yang pucat pasi, dengan segera dia duduk, gerakan tiba-tiba itu
langsung membuat kepalanya pening, tapi
Serena menahannya sambil mengernyit,
"Ada apa dokter? Rafi kenapa?"
"Aku baik-baik saja di
sini." gumam Rafi dalam senyum.
Serena menatap Rafi dengan lega, tapi lalu menatap dokter Vanessa yang begitu
pucat pasi,
"Serena, aku.... Ah aku bingung bagaimana mengatakannya, tapi
aku harus segera pergi, ini
darurat... Tapi aku bertanya-tanya mungkin kau mau ikut.."
"Ada apa dokter?", Serena mulai tegang ketika dokter Vanessa tidak juga mengatakan
maksudnya.
"Damian, barusan kecelakaan di jalan tol, dia sudah dibawa ke rumah sakit,
tapi kami belum
tahu kondisinya, Freddy juga sedang dalam
perjalanan
menuju kesana."
"Apa?"
warna pucat mulai menjalar ke wajah Serena, lalu segera digantikan dengan kepanikan luar
biasa,
"Ya Tuhan, aku ikut ke rumah sakit, dokter!!"
Rafi mengamati kepanikan Serena dari kejauhan, tapi dia hanya
diam dan menatap. Serena tampak pucat pasi dan ketakutan luar biasa. Kenapa sampai
begitu? Seolah-olah kondisi Damian benar-benar membuatnya cemas.
Padahal Damian kan
hanya atasannya di perusahaan? Atau..... Jangan-jangan lebih dari
atasan ? Pikiran buruk itu
menyeruak dalam benak Rafi, dan dia cepat-cepat
menyingkirkannya. Tapi ketika dia melihat betapa
Serena mulai
gemetaran karena cemas dan panik ketika bersiap-siap berangkat, mau tak mau pikiran buruk itu memenuhi
benaknya, ada hubungan istimewa
apa
antara Damian dengan Serena?
Perjalanan ke rumah sakit berlangsung begitu menyiksa bagi Serena, dia terus
menerus berdoa, seakan semua
trauma masa lalu menghantamnya
lagi keras- keras. Ini
hampir sama dengan kecelakaan yang membunuh kedua orangtuanya
dan melukai Rafi dulu. Dan
Serena tidak
akan kuat
menanggungnya kalau sampai
terjadi apa-apa kepada Damian. Ya Tuhan!! Jangan sampai terjadi apa-
apa pada Damian, dia belum sempat mengatakan... Dia
belum sempat mengatakan
dengan jelas,
bahwa dia... Bahwa
dia mencintai Damian.
Serena berlari di depan menuju ruangan gawat darurat sementara Vanessa
mendorong kursi roda Rafi di belakangnya.
Dia melangkah memasuki ruang perawatan itu dan langsung bertatapan dengan
Damian.
Lelaki itu duduk di meja perawatan, telanjang
dada, kepalanya terluka dan sudah
di
tutup perban, dokter sedang membalut luka
di
pundak dan lengannya. Banyak darah,
tapi sudah dibersihkan. Selebihnya,
Damian tidak apa-apa. Lelaki itu
masih hidup, masih
untuh, dan ketika Damian memalingkan kepalanya lalu
menatap Serena dengan mata birunya
yang menyala-nyala.
Serena pingsan.
***
Damian berteriak memanggil Serena, begitu juga dengan Vanessa dan
Rafi yang ada di
belakang Serena.
Tapi Serena pingsan mendadak dan jatuh ke lantai.
Dengan kasar Damian menyingkirkan tangan dokter yang sedang membalut
lukanya dan melompat turun, setengah berlari menghampiri Serena, perawat
datang menghampiri, tapi
Damian menyingkirkannya,
"Biar aku saja." gumamnya serak,
mengeryit sedikit ketika mengangkat Serena menyakiti luka di lengan dan bahunya,
tapi dia tidak peduli, dipeluknya Serena dengan posesif
dan
dibaringkannya
ke meja perawatan,
"Tuan, saya
belum menyelesaikan membalut lukanya." gumam dokter di ruang gawat darurat itu sedikit jengkel,
"Nanti saja." Damian bergumam tajam dengan
arogansi yang
sudah
seperti pembawaan alaminya
sehingga membuat
dokter itu terdiam, mengangkat
bahunya lalu pergi.
"Sayang,"
Damian menepuk pipi Serena,
tapi perempuan itu begitu pucat pasi, dengan panik, Damian menoleh ke arah Vanessa di pintu, mengabaikan Rafi, "Dia tidak apa-apa?"
Vanessa mendorong Rafi mendekat, lalu menyentuh Serena,
"Dia demam Damian, dia sedang sakit ketika memaksa mengikuti aku kesini, terus
tepuk pipinya pelan-pelan dan sadarkan dia,
sepertinya dia shock,"
Vanessa menatap Damian tajam, "dan kau..kau
tidak pernah kecelakaan selama
hidupmu, apa yang kau lakukan
di
jalan tol tadi sehingga berakhir di rumah
sakit
ini?? Apakah kau mabuk??"
Damian mengeryit,
"Aku tidak mabuk, aku
hanya terlalu buru-buru ingin cepat sampai jadi kurang
hati-hati." saat itulah Serena bergerak membuka mata, "ah, sayang…..sayang,
kau baik-baik saja?”
Serena mengerjap-ngerjapkan matanya, begitu mendapati wajah Damian ada
di dekatnya, airmata mengalir di
pipinya, tangannya bergetar ketika terangkat dan
menyentuh wajah Damian, meyakinkan
dirinya bahwa betul-betul Damian yang
ada
di depannya,
Dengan lembut Damian meraih tangan Serena dan mengecupnya, “Aku ada di sini, aku baik-baik saja.” gumamnya setengah berbisik.
Serena membiarkan tangannya
dalam genggaman Damian, merasakan kulit Damian yang panas, mensyukuri bahwa lelaki itu masih hidup. Tadi rasanya
seperti mau mati saja ketika mengetahui
bahwa Damian kecelakaan, pikiran-
pikiran buruk melandanya, membuatnya
ingin menangis dan berteriak,
membuatnya
hampir menyalahkan Tuhan. Karena dia sudah memutuskan akan menerima tidak bisa bersama-sama dengan Damian lagi asalkan lelaki
itu
tetap hidup, asalkan lelaki itu masih ada, hidup dan bernafas di dunia
ini, biarpun Serena tidak bisa melihatnya
lagi. Pikiran bahwa Damian bisa saja meninggal dan tidak ada di dunia ini hampir membuatnya ingin menyusul saja. Karena itulah tadi ketika
melihat Damian masih hidup meskipun terluka membuatnya
lega luar
biasa sehingga pingsan. Serena
merasakan dadanya sesak ketika menyadari,
bahwa cinta barunya, cintanya
yang tidak diduga, cinta yang bertumbuh tanpa
disadari karena kebersamaan
mereka
yang tidak direncanakan itu ternyata sudah mencapai tingkat intensitas yang sangat besar.
“Jangan pernah
ulangi lagi,” suara Serena bergetar ketika mencoba berbicara
serius
kepada Damian, “Jangan pernah ulangi lagi melakukan
seperti ini kepadaku.”
Damian meraih kedua tangan Serena dan mengecup jemarinya
dengan lembut,
“aku berjanji,” jawabnya penuh perasaan, “Sekarang tidurlah sayang, aku ada di
sini.”
Dengan lembut Damian mengusap dahi Serena yang panas,
membuat pikiran
Serena melayang, dia merasa lelah sekali, tubuhnya, jiwanya dan
raganya.
Tubuhnya sakit
dan
lunglai sedang jiwanya kelelahan menahan perasaan. Usapan tangan Damian di dahinya membuatnya dipenuhi kelegaan luar biasa,
membuatnya dipenuhi rasa damai tidak terkira sehingga Serena
akhirnya terlelap lagi.
“Kemari, lukamu harus dibalut.” Vanessa mencoba
menarik perhatian
Damian, lelaki itu menatap Serena dengan serius, memastikan bahwa Serena sudah tidur, lalu menurut menggerakkan tubuhnya
agar Vanessa lebih mudah membalut luka di pundak dan lengannya.
Saat itulah Damian menyadari kehadiran Rafi, yang hanya diam saja menatap semua kejadian itu tanpa berkata-kata. Mata Damian berkilat-kilat,
“Aku mencintainya.” gumamnya terus terang, membuat Vanessa tersedak dan
saat
itulah dia juga baru menyadari kehadiran Rafi.
Rafi hanya terdiam, menatap Serena yang
tertidur pulas dengan sedih, “Aku
tahu.” gumamnya pelan.
Damian mengangkat
dagunya, mengernyit ketika perban itu
membebat kencang
lukanya,
“Dan dia juga mencintaiku, tetapi dia memilihmu.” sambungnya getir.
Rafi menghela nafas,
“Itupun aku juga tahu.”
“Sudah selesai.” Vanessa menyela cepat, lalu menepuk pundak Damian, “Berbaringlah dulu di ranjang
sebelah”, Vanessa mengedikkan bahu ke ranjang di
sebelah
ranjang
yang dipakai Serena yang masih
kosong. “Kau
harus berbaring, kepalamu terbentur dan jika kau tidak segera berbaring kau
akan mengalami vertigo.” sambungnya tegas ketika melihat Damian akan membantah.
Semula Damian akan
membantah, dia ingin melanjutkan
pembicaraan dengan
Rafi, menjelaskan semuanya. Tetapi Vanessa benar, rasa pusing mulai
menyerangnya, pusing dan nyeri di bahu dan kepalanya. Obat penghilang rasa
sakit yang disuntikkan dokter jaga tadipun mulai bereaksi, membuatnya
merasa lemas dan lunglai.
Akhirnya
Damian mengangkat
bahu
dan melangkah
ke
ranjang kosong itu.
“Kita belum selesai
bicara.” gumamnya pada Rafi, mulai
menguap.
“Nanti saja.” sela Vanessa
mengernyit, lalu meraih kursi
roda Rafi dan
mendorongnya keluar, “Ayo
Rafi, kita harus membiarkan mereka beristirahat.” bisiknya lembut dan mendorong mereka keluar dari ruangan perawatan itu.
Vanessa mendorong Rafi sampai di ruang tunggu yang tenang dan sepi, lalu duduk di sofa di sebelah Rafi. Suasana hening, dan Rafi hanya termenung tidak berkata-kata sampai lama.
Vanessa menunggu,
menunggu sepatah pertanyaan dari Rafi sebelum menjelaskan semuanya, dan
akhirnya pertanyaan itu datang setelah menunggu sekian lama,
“Apa yang terjadi di sini?”, gumam Rafi serak, dia tetap bertanya meskipun
kebenaran itu sudah menyeruak dalam kesadarannya,
membuat dadanya sesak.
Vanessa menghela napas
mendengarnya,
“Ceritanya panjang...”
“Aku punya banyak waktu”, sela Rafi
tak sabar, “Jelaskan semuanya”
“Serena tidak pernah bermaksud mengkhianatimu kau
tahu,” gumam Vanessa sedih, “Dia selalu berusaha setia kepadamu.”
“Kau bicara begitu padahal jelas-jelas di depan mataku tadi dia jatuh cinta
setengah mati kepada lelaki lain?” gumamnya getir.
“Kau tahu, Serena putus asa ketika dia akhirnya berhubungan dengan Damian... biaya operasimu... operasi ginjalmu –
dokter mengultimatum kau harus segera
dioperasi ginjal untuk menyelamatkan nyawamu –
sangat mahal, hampir
mencapai
tiga ratus juta, sementara seluruh harta Serena sudah habis, dia
menanggung hutang yang sangat besar di perusahaan... jadi... jadi
Serena memutuskan menjual keperawanan
dan tubuhnya kepada Damian.”
“Oh Tuhan!”
Wajah Rafi pucat pasi, keringat dingin mengalir di tubuhnya. Jadi semua ini
bermula dari dirinya?
Semua kegilaan tak diduga ini bermula dari keinginan Serena menyelamatkan
nyawanya? Menjual keperawanannya!! Oh Tuhan, Rafi tidak pernah peduli apakah Serena masih suci atau tidak, baginya Serenanya adalah Serena yang
sama.
Tapi... Mengetahui bahwa Serena melakukan
itu demi dirinya benar-benar menghancurkan hatinya. Mengetahui
bahwa pada akhirnya
Serena menyerahkan hati pada lelaki lain yang disebabkan oleh dirinya sangat
menyakiti perasaannya.
“Dan Damian, atasan Serena itu pasti laki-laki brengsek karena
mau
mengambil
manfaat dari gadis lemah yang sedang kesulitan.” desis
Rafi marah.
Vanessa menggeleng,
“Tidak seperti
itu Rafi, Damian
sangat
kaya,
dia bisa mendapatkan
gadis
manapun yang dia mau, Tapi sudah sejak lama dia menginginkan Serena, menurutku sebenarnya sudah
sejak lama Damian mencintai Serena tetapi dia
tidak menyadarinya, karena itu mungkin
Damian menganggap satu-satunya
cara
untuk memiliki Serena adalah menerima tawarannya.”
Rafi mengernyit mendengar penjelasan Vanessa, hatinya sakit menyadari bahwa sekarang dia menjadi
penghalang antara dua orang yang saling mencintai.
“Kenapa Serena tidak membiarkan aku mati saja?”
rintihnya dalam geraman
penuh kesakitan, “Mungkin lebih baik aku dibiarkan mati saja sehingga aku tidak
menghalangi kebahagiannya...”
Vanessa menyentuh pundak Rafi lembut,
“Jangan
pernah
punya pemikiran
seperti
itu,”
selanya tegas, “Serena
mencintaimu sepenuh hati, dia berjuang mati-matian demi kehidupanmu, jangan
pernah menghancurkan hatinya dengan kata-kata seperti itu.”
“Dia sudah
tidak mencintaiku
lagi, dia hanya
kasihan
padaku, tatapan
lelaki itu,
tatapan Damian kepadaku ketika mengatakan
bahwa Serena lebih memilihku
dibanding dirinya tadi begitu penuh penghinaan dan kemarahan, seolah lebih
baik aku tahu diri dan menyingkir saja.“
“Damian memang
seperti itu, dia marah karena Serena
memilih untuk bersamamu.
Tapi Damian mencintai Serena, karena
itu dia menghormati keputusan Serena.”
“Lelaki itu, apakah
benar dia mencintai Serena? dia terlalu berkuasa, terlalu
mendominasi, terlalu arogan… aku takut dia hanya
ingin menunjukkan kekuasaannya, hanya ingin memuaskan arogansinya untuk memiliki Serena...”
Vanessa menggeleng,
“Damian yang
dulu memang seperti itu,
tapi ketika bersama Serena,
gadis itu
dengan
segala
kepolosan dan kebaikan hatinya telah
merubahnya.
Damian benar-benar mencintai Serena,
aku mengenal Damian sejak dulu kau tahu,
dan dia tidak pernah
seperti itu sebelumnya,
begitu mencintai seorang perempuan, begitu tergila gila hingga hampir dikatakan
bisa gila karenanya.”
Rafi menghela nafas panjang,
“Kalau begitu, kau ingin aku yang melepaskan Serena?”
Vanessa mengangkat bahunya
pedih,
“Keputusan ada
di
tanganmu... Serena
sendiri tidak
akan pernah meninggalkanmu, dia terlalu setia dan menyayangimu untuk meninggalkanmu.
Dia rela mengorbankan
perasaannya demi kamu. Jadi, kalau kau
tidak melepaskannya,
dia
juga tidak akan pernah mengkhianatimu demi Damian.”
Rafi memegang
pangkal
hidungnya, mengernyit seolah kesakitan, “Aku sangat mencintai Serena.” gumamnya perih.
Air mata Vanessa mulai menetes melihat kepedihan Rafi, pelan dia berjongkok di depan Rafi dan memeluk lelaki itu. Rafi tidak menolak, dia juga tidak menahan air matanya menetes. Kepedihan itu begitu dalam, kepedihan untuk merelakan
diri melepaskan sesuatu yang
paling berharga di
tangannya, agar sesuatu paling berharga itu bisa menemukan kebahagiaannya.
“Aku tahu dan aku bisa mengerti kesedihanmu, kau
tak perlu melepaskan
Serena kalau kau tak bisa.” bisik Vanessa lembut, mengusap kepala Rafi di bahunya,
membiarkan lelaki itu terisak dengan kepedihannya.
Lama Rafi menumpahkan perasaannya, dengan isakan tertahan dan keheningan yang dalam,
lalu dia mundur, melepaskan diri dari pelukan Vanessa, duduk tegak dengan tekad
kuat di matanya.
“Aku tidak mungkin membiarkan Serena
menderita dengan
bertahan
bersamaku,
tidak setelah aku melihat betapa dalamnya perasaan Serena kepada Damian tadi, tapi
sebelumnya aku ingin berbicara dengan Damian.”
***
Serena masih tertidur di ruang
perawatan. Vanessa menungguinya. Sementara
Damian yang baru
terbangun, dua jam setelah kecelakaan itu berjalan pelan, menuju
ruang tunggu, dia sudah mencuci muka
dan agak segar, tapi mau
tak mau nyeri di kepala dan bahunya membuatnya mengernyit ketika berjalan.
Rafi sedang duduk membelakanginya di
kursi
roda. Menatap ke luar, ke arah jendela lebar yang ada di ruang duduk itu, hujan sedang turun deras di luar
membuat suasana ruangan itu begitu suram.
“Bagaimana keadaan
Serena?” Tanya Rafi, menyadari kehadiran Damian tetapi
tidak menoleh untuk menatapnya.
“Baik, Vanessa sudah mengatur perawatan dan
obatnya, sekarang dia masih tertidur.” Damian berdiri, bersandar di tembok dekat Rafi, ikut menatap
hujan
yang mengalir deras di luar
yang gelap, hanya
menyisakan tetes air yang
berkilauan terkena cahaya
lampu.
“Kau pasti tahu
kenapa aku ingin berbicara denganmu.”
Damian mengangguk meski tahu
Rafi tidak menoleh untuk melihatnya.
Hening sejenak,
terasa begitu lama sampai kemudian terdengar Rafi menghela
nafas panjang.
“Apakah kau mencintainya?”
tanyanya pelan. “Sangat.” jawab Damian cepat, tulus.
Rafi memejamkan mata ketika rasa perih menyengat di dadanya mendengar ketulusan Damian kepada Serena. Mengetahui
bahwa ada lelaki lain yang
mencintai Serena dengan intensitas begitu besar kepada Serena ternyata menyakitinya, membuatnya
terasa terpuruk dan di kalahkan. Tapi Rafi
menguatkan hatinya,
semua demi Serena,
demi
kebahagiaan Serenanya.
“Apakah kau akan membahagiakannya?”
“Kebahagiaannya
akan menjadi tujuan hidupku.” gumam Damian jujur, dia lalu
menoleh menatap
Rafi yang sedang menatapnya, dua
laki-laki yang mencintai satu wanita saling bertatapan.
“Maafkan aku...”
Damian mengehela nafas, “aku tidak
pernah
bermaksud
mencuri Serena darimu, aku tidak mengetahui
keberadaanmu sampai saat
terakhir, kau tahu.”
Rafi mengernyit mendengar informasi yang baru
didapatnya itu, Vanessa
belum
menceritakan semua ini padanya,
mungkin Vanessa ingin Rafi mendengar sendiri
dari mulut Damian.
“Serena tidak menceritakan alasan kenapa dia menjual
diri padamu?”
“Tidak, mungkin semua akan berbeda
jika dia
menceritakan semuanya dari awal," gumam Damian penuh penyesalan, “aku
memang jahat dan selalu
mengambil
apa yang
kuinginkan tanpa tanggung-tanggung,
tapi aku
tidak pernah mengambil keuntungan dari penderitaan seseorang. Saat itu dia datang
padaku, menjual dirinya padaku...kau tahu apa yang kupikirkan waktu itu?”
Damian menatap
Rafi dengan sedih, “Kupikir
dia
pelacur penggemar
barang- barang mahal yang putus asa
membutuhkan uang untuk memenuhi hasratnya akan kemewahan.”
“Serena tidak seperti itu.” geram Rafi
marah.
“Ya, dia tidak
seperti
itu,”
Damian setuju, “Tapi
waktu itu apa
yang bisa dipikirkan lelaki seperti aku? lelaki dengan kekayaan yang selalu mendapatkan
wanita karena uang? aku memang salah waktu itu, aku menginginkan Serena
dan
aku punya uang
yang diinginkannya, jadi kuterima tawarannya.”
“Tapi pada akhirnya kau tetap jatuh cinta padanya meskipun kau menganggap
dia
pelacur murahan.” Rafi merenung.
Sekali lagi Damian menganggukkan kepalanya.
“Ya, aku jatuh cinta kepadanya, bahkan aku mulai tidak peduli kalau ternyata
memang hanya
menginginkan uangku,
aku berpikir, tidak apa-apa, toh aku
punya uang banyak, tidak apa-apa selama
dia
ada di sisiku.” Damian menghela nafas panjang.
“Kenyataan tentang keberadaanmu
pada akhirnya
menghantamku... Bahwa
dia melakukan semua ini demi cintanya kepadamu.”
Rafi memejamkan matanya.
“Dia sudah
tidak mencintaiku
lagi, dia hanya
kasihan
dan merasa bertanggung
jawab.”
“Dia tetap mencintaimu,” Damian tersenyum
sayang ketika membayangkan
Serena, “hatinya selalu dipenuhi cinta tanpa pandang bulu, mungkin karena
itulah dia berhasil menyentuh hatiku yang gelap.”
Rafi menganggukkan
kepala, ikut tersenyum ketika membayangkan Serena.
“Yah... Meskipun begitu, hatinya sudah kau miliki,” Rafi menghela nafas, “Aku
akan melepaskan Serena.”
“Kau pikir dia akan
mau?” sela Damian sedih, “Dia sudah memutuskan
akan menjagamu, dia tidak akan mau.”
“Dia pasti mau, aku sendiri yang akan berbicara padanya, aku tidak perlu dijaga,
terapi ini berhasil dan Vanessa meyakinkan kalau aku rutin melakukannya, dalam waktu empat bulan aku sudah akan
bisa berjalan dengan normal. Aku
masih bisa melanjutkan
karirku sebagai pengacara setelahnya, mungkin butuh waktu
lama
dan
aku harus belajar lagi, tapi kurasa aku bisa melangkah dengan kekuatanku sendiri.”
Damian menganggukkan kepalanya, yakin kalau Rafi pasti mampu melakukan apa yang dikatakannya.
“Maafkan aku.” gumamnya tulus.
“Kenapa?”, Rafi mengernyit menatap Damian ingin tahu.
“Karena sudah mengalihkan hati Serena darimu.”
Rafi tersenyum, kali
ini
senyum yang benar-benar
tulus,
“Seharusnya aku berterimakasih kepadamu, kau menjaganya selama aku tidak
bisa ada untuk menjaganya.”
Damian terdiam, Rafi juga terdiam lama.
Lalu Damian mengaku,
“Kau mungkin ingin
memukulku, bahkan membunuhku setelah aku
mengatakannya padamu...”
“tentang apa?” mau tak mau Rafi merasakan ingin tahu ketika mendengar nada misterius di suara Damian.
Sesaat Damian tampak kesulitan berbicara,
“Aku... aku punya rencana jahat
untuk merebut Serena darimu, aku pikir kalau
Serena tidak mau memilihku, aku akan memaksanya memilihku.” “Rencana jahat apa?”
sela Rafi, langsung waspada.
Damian tertawa getir,
“Bukan... rencana ini tidak menyakiti siapapun... kau tahu... Aku ingin sengaja membuat Serena hamil... agar mau tak
mau
dia menjadi milikku.”
Sejenak
Rafi terdiam, pengakuan Damian ini mau tak
mau menyulut kemarahannya. Menyadari bahwa Damian memanipulasi kepolosan Serenanya.
“Dasar Brengsek.” geram Rafi pelan.
Damian menganggukkan kepalanya.
“Ya memang, aku brengsek.
aku putus asa,
setengah gila untuk memiliki Serena,
aku minta maaf.”
“Menurutmu apakah rencana jahatmu
itu
sudah berhasil?” Tanya
Rafi kemudian,
tiba-tiba menghubungkannya dengan kondisi
sakit Serena.
Damian mengangguk, menahan perasaannya
untuk menjaga perasaan Rafi, tapi
mau tak mau Rafi melihat
sorot bahagia yang menyala-nyala
di
mata Damian.
Tiba-tiba dia merasa tenang, lelaki
ini sungguh mencintai Serena, putusnya dalam hati, mungkin lebih dalam dari
cintanya sendiri kepada Serena...
“Vanessa tadi sore
menghubungiku, memberitahu kondisi Serena,
dan
entah kenapa aku tahu.
Aku tahu bahkan sebelum mereka melakukan test, aku tahu
begitu saja.”
“Dan karena itu kau kecelakaan, kau dalam perjalanan menemui Serena?” Damian tersenyum,
tidak berkata-kata, tapi matanya menjelaskan semuanya.
“Lelaki
bodoh.” gumam Rafi
getir. Dan Damian tertawa mendengarnya.
“Memang,” gumamnya dalam tawa, lalu mengulurkan tangannya kepada Rafi,
“Terimakasih atas kebaikan hatimu.”
Rafi menyambut jabatannya
dengan hangat.
“Aku melakukannya demi Serena, bukan demi kamu,
jadi ingat saja,
kapanpun kau berani-beraninya membuat
Serena tidak
bahagia,
kau akan mendapati
dirimu berhadapan denganku.”
Damian tersenyum mempererat jabatan tangannya,
“Aku berjanji kau tidak akan pernah berhadapan denganku.”
No comments:
Post a Comment