Tuesday, September 1, 2015

A Romantic Story About Serena - Chapter 19










Hampir  sebulan  sejak  kejadian  itu,  dan  Damian  menepati  janjinya.  Tidak menemui  Serena  lagi.  Atas  bujukan  dan  desakan  Vanessa,  Serena  kembali bekerja di perusahaan Damian, lagipula bujukan Vanessa ada benarnya juga, Serena butuh gajinya untuk menghidupi mereka semua. Dan selama sebulan itu Damian, sang CEO menjadi orang yang paling sulit dilihat di kantor, jika tidak sedang  melakukan  perjalanan  bisnis,  lelaki  itu  mengurung  diri  di  ruangan kerjanya dan tidak keluar-keluar. Sesekali Serena masih berpapasan dengan Freddy,  lelaki  itu  masih  bekerja  di  sini,  Damian  tidak  jadi  memecatnya, sepertinya dia dan Damian sudah berhasil menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka.

Dan Serena merindukan Damian. Dia sudah bertekad melupakan Damian, tetapi hatinya punya mau sendiri, kadang dia menatap lift khusus direksi yang menyambung  langsung  ke  ruangan  Damian  dengan  penuh  harap.  Berharap tanpa sengaja dia melihat Damian keluar dari sana, melangkah ke parkiran mobilnya. Tuhan tahu betapa ia bersyukur seandainya saja dia bisa melihat Damian,  biarpun  cuma  satu  detik,  biarpun  cuma  dari  kejauhan.  Tapi  entah kenapa Damian seperti punya pengaturan waktu sendiri agar tidak bertemu Serena.

Sore itu Serena melangkah memasuki apartemennya dengan lunglai, dia tidak enak badan, sedikit panas dan meriang, jadi dia minta izin pulang cepat.



Ketika memasuki ruang tamu, dia mendengar suara tawa dari ruang tengah. Suara Rafi dan dokter Vanessa. Dokter Vanessa sudah mendapat izin Damian menggunakan setengah hari kerjanya untuk melakukan terapi khusus pada Rafi. Terapinya sudah membuahkan hasil, Rafi sudah bisa menggerakkan jari-jari kakinya, sedikit mengangkatnya dan melatih saraf-sarafnya. Optimisme bahwa Rafi akan bisa berjalan lagi semakin besar.

Serena  melangkah  ke  ruang  tamu  dan  melihat  Rafi  sedang  duduk  di  kursi rodanya sedang dokter Vanessa menuangkan teh untuknya, sepertinya session terapi sudah selesai.

Rafi mendongak ketika merasakan kehadiran Serena dan tersenyum lebar, mengulurkan tangannya,

"Hai sayang,"

Dengan senyum pula Serena melangkah mendekat, menyambut uluran tangan
Rafi. Lelaki itu membawanya ke mulutnya dan mengecupnya, "Bagaimana session terapi kali ini?" tanyanya lembut.
Rafi tertawa dan Serena mengamatinya dengan bahagia, Rafi banyak tertawa akhir-akhir ini. Lelaki itu makin sehat, warna kulitnya juga sudah jadi cokelat sehat, tidak pucat pasi seperti dulu. Badannya sudah berisi dan tampak lebih kuat. Rafi sudah menjadi Rafinya yang dulu, yang penuh tawa dan vitalitas, dengan semangat hidup yang memancar dari dalam dirinya.

"Aku tadi sudah belajar berdiri, sulit sekali Serena sampai keringatku bercucuran, tapi aku senang sudah sampai di tahap sejauh ini", jelas Rafi bahagia.

Serena membelalakkan matanya senang,

"Benarkah?", dengan gembira ditatapnya dokter Vanessa, "benarkah dokter?" Dokter Vanessa mengangguk dengan senyum dikulum,
"Perkembangan Rafi sangat pesat Serena, aku optimis dia akan bisa berjalan lagi."

Dengan bahagia Serena memeluk Rafi erat-erat,

"Oh aku bangga sekali padamu mendengarnya sayang!" serunya dengan kegembiraan murni.



Tapi  tiba-tiba  Rafi  melepaskan  pelukannya  dan  menatap  Serena  sambil mengerutkan alisnya,

"Sayang, badanmu panas."

Gantian Serena yang mengerutkan keningnya lalu meraba dahinya sendiri, "Benarkah? Aku memang merasa tidak enak badan, makanya aku pulang cepat." Dengan cemas, Rafi menoleh ke arah Vanessa,
"Dokter, badannya panas bukan?"

Vanessa segera mendekat dan menyentuh dahi Serena lembut, "Benar, kau panas Serena, apakah kau terserang flu?"
Serena menggelengkan kepalanya,

"Tidak, saya tidak pilek ataupun batuk dokter, tapi ada masalah dengan perut saya, akhir-akhir  ini  saya sering  memuntahkan makanan yang  saya makan, makanya badan saya terasa lemah dan..."

"Memuntahkan  makanan?"  dokter  Vanessa  mengernyitkan  keningnya,  begitu serius.

Serena   menganggukkan   kepalanya,   tidak   menyadari   betapa   seriusnya pandangan dokter Vanessa menelusuri tubuhnya.

"Sudah berapa lama?" tanya dokter Vanessa lagi. Serena tampak berpikir,
"Baru beberapa hari ini, mungkin seminggu terakhir ini."

"Apa kau kena maag Serena?" Rafi menyela tampak semakin cemas. "Mungkin," Serena mengusap perutnya, "Soalnya aku sering mual."
Dokter Vanessa mengikuti arah tangan Serena dan menatap perut Serena,

"Kau  tampak  pucat  Serena,  berbaringlah  dulu,  aku  akan  menyusul  dan memeriksamu nanti setelah selesai dengan Rafi."



Serena menganggukkan kepalanya, lalu menunduk dan mengecup dahi Rafi,

"Aku berbaring dulu ya." bisiknya lembut dan Rafi mengangguk, balas mengecup dahi Serena.

Seperginya Serena, Vanessa memijit kaki Rafi untuk session pelemasan akhir sambil berpikir keras...... Tidak enak badan, mual, memuntahkan makanannya.... Jika dihitung-hitung tanggalnya, semuanya tepat. Apakah Serena sudah hamil dan tidak menyadarinya?

"Dokter?" Rafi yang menyadari kalau Vanessa melamun menegurnya hingga
Vanessa tergeragap, "Dokter tidak apa-apa?" Vanessa berdehem salah tingkah,
"Ah, maafkan aku Rafi, aku sedang memikirkan Serena."

"Kalau begitu sebaiknya dokter memeriksa Serena dulu, aku juga mencemaskannya dok," Rafi tersenyum melihat Vanessa ragu-ragu, "Tidak apa- apa dok, aku sudah lebih kuat sekarang, aku bisa membawa diriku sendiri ke kamar dan mengurus diriku sendiri. Kumohon, uruslah Serena dulu."

Sambil mengangguk, Vanessa bergegas menyusul Serena ke kamarnya.

Serena sedang berbaring miring memegangi perutnya, tampak kesakitan dan pucat pasi.

Vanessa  duduk  di  sebelah  ranjang,  menyentuh  dahi  Serena  lagi,  panas membara, meskipun keringat dingin mengalir deras,

"Saya muntah-muntah lagi barusan dokter." Serena memejamkan matanya dan tidak berani membukanya, seolah takut kalau dia membuka matanya, rasa mual yang hebat akan menyerangnya lagi.

"Berbaringlah dulu, aku akan membuatkan teh mint untukmu, untuk mengurangi mual, nanti aku akan membuatkan resep obat untukmu." obat untuk wanita hamil. Vanessa mulai merasa yakin melihat kondisi Serena. Serena hanya mengangguk patuh masih memejamkan matanya.

Beberapa saat kemudian, Vanessa kembali datang dan membantu Serena duduk, lalu membantunya meneguk teh mint itu, setelah itu dia membaringkan Serena yang lemas di ranjang, Serena meletakkan kepalanya di bantal dengan penuh syukur,



"Terima kasih dokter, tehnya sangat membantu, perut saya tidak begitu bergolak lagi seperti tadi."

Vanessa tersenyum lembut,

"Cobalah untuk tidur." gumamnya sebelum melangkah keluar kamar.

Ketika merasa suasana cukup aman, dengan Rafi yang sepertinya sudah masuk ke kamarnya, Vanessa meraih ponselnya dan memejet nomor telepon Damian.

Damian memang menghilang dari kehidupan Serena, tetapi lelaki itu tetap memantau setiap  detik kehidupan  Serena,  lelaki  itu  menuntut laporan  yang sedetail-detailnya dari Vanessa setiap saat. Dan menurut Vanessa,   Damian berhak mengetahui dugaannya ini.

"Vanessa." Damian mengangkat teleponnya pada deringan pertama.

"Damian," Vanessa berbisik pelan, bingung memulai dari mana. Sejenak suasana hening, dan tiba-tiba suara Damian memecah keheningan.

"Dia hamil." itu pernyataan bukan pertanyaan.

"Aku tidak bisa menyimpulkannya seakurat itu sebelum dilakukan test urine dan test lainnya, tapi kemungkinan besar dia hamil, dia memuntahkan semua yang dimakannya, dan mual-mual setiap saat."

"Dia hamil." kali ini rona kegembiraan mewarnai suara Damian, "Aku akan melakukan test urine dulu Damian, kau tak bisa...."
"Aku akan segera kesana." dan Damian menutup telepon. Membiarkan Vanessa ternganga di seberang, lalu menggerutu dengan ketidaksabaran Damian.

Damian mau kesini, lalu apa? Langsung melemparkan bom itu ke muka Rafi dan Serena?  Dasar!  Vanessa  berniat  menunggu  Damian  di  depan  apartemen, berusaha mencegah Damian bertindak gegabah, lelaki itu harus berusaha pelan- pelan, apalagi kehamilan Serena belum dipastikan secara akurat.

Lama  sekali  Vanessa  menunggu  di  ruang  tamu,  hampir  satu  jam.  Kenapa Damian lama sekali? Apakah Damian membatalkan niatnya kemari? Vanessa mulai bertanya-tanya. Saat itulah Rafi mendorong kursi rodanya ke ruang tamu,

Vanessa menoleh dan tersenyum,



"Hai Rafi, bagaimana kondisimu?" Rafi balas tersenyum,
"Tidak pernah lebih baik, aku tadi membaca di kamar, dan mulai merasa bosan jadi aku keluar, bagaimana keadaan Serena?"

Vanessa menarik napas,

"Dia sudah tidur pulas sepertinya, kasihan sepertinya perutnya bermasalah." Rafi mengernyitkan keningnya,
"Dia bekerja terlalu keras," gumamnya sendu, "dan itu semua gara-gara aku."

"Rafi," Vanessa menyela dengan lembut, "Kita sudah pernah membahas ini kan? Kau tidak boleh menyalahkan diri sendiri, lagipula Serena melakukannya dengan sukarela."

"Benarkah?" suara Rafi menjadi pelan, "kadang-kadang aku merasa dia hanya kasihan kepadaku."

"Rafi....", Vanessa tidak melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ponselnya berdering, dengan cepat diliriknya layar ponselnya. Freddy.

"Freddy?" panggilnya setelah mengangkat telepon, "Freddy kau tahu di mana
Damian? Dia bilang akan ke sini, tapi sampai sekarang dia belum datang....." "Vanessa, Damian kecelakaan di tol."
***



A Romantic Story About Serena - Chapter 20

No comments:

Post a Comment