Hampir sebulan sejak
kejadian itu, dan
Damian menepati
janjinya.
Tidak menemui
Serena lagi.
Atas
bujukan dan
desakan
Vanessa, Serena
kembali bekerja di perusahaan Damian,
lagipula bujukan
Vanessa ada
benarnya juga, Serena butuh gajinya untuk menghidupi mereka
semua. Dan
selama sebulan itu Damian, sang CEO menjadi orang
yang paling sulit dilihat di kantor, jika tidak sedang melakukan perjalanan
bisnis,
lelaki
itu
mengurung diri di
ruangan
kerjanya dan tidak keluar-keluar. Sesekali Serena
masih berpapasan dengan
Freddy, lelaki itu
masih bekerja
di sini,
Damian tidak
jadi memecatnya, sepertinya dia dan Damian sudah berhasil menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka.
Dan Serena merindukan
Damian. Dia sudah bertekad melupakan
Damian, tetapi hatinya
punya mau sendiri, kadang dia menatap lift khusus direksi yang menyambung langsung
ke ruangan
Damian
dengan penuh harap. Berharap
tanpa sengaja dia melihat Damian keluar dari sana,
melangkah ke parkiran
mobilnya. Tuhan tahu betapa ia bersyukur seandainya saja dia bisa melihat
Damian, biarpun
cuma satu detik,
biarpun cuma dari kejauhan.
Tapi entah kenapa Damian seperti punya pengaturan waktu sendiri agar tidak bertemu
Serena.
Sore itu Serena melangkah memasuki
apartemennya dengan lunglai, dia tidak
enak badan, sedikit panas dan meriang, jadi
dia
minta izin pulang cepat.
Ketika memasuki ruang tamu, dia mendengar suara tawa dari ruang tengah. Suara Rafi
dan
dokter Vanessa. Dokter Vanessa sudah mendapat izin Damian menggunakan
setengah hari kerjanya untuk melakukan
terapi khusus pada Rafi.
Terapinya sudah
membuahkan
hasil, Rafi sudah
bisa
menggerakkan jari-jari kakinya, sedikit mengangkatnya dan
melatih saraf-sarafnya. Optimisme bahwa
Rafi akan bisa berjalan lagi semakin besar.
Serena melangkah ke ruang
tamu dan melihat Rafi
sedang duduk di
kursi rodanya sedang dokter Vanessa menuangkan teh untuknya, sepertinya session terapi sudah selesai.
Rafi mendongak ketika
merasakan kehadiran Serena
dan
tersenyum lebar, mengulurkan tangannya,
"Hai sayang,"
Dengan senyum pula Serena melangkah mendekat,
menyambut uluran tangan
Rafi. Lelaki
itu
membawanya ke mulutnya dan mengecupnya, "Bagaimana session terapi kali ini?" tanyanya lembut.
Rafi tertawa dan
Serena mengamatinya dengan bahagia, Rafi banyak tertawa
akhir-akhir ini. Lelaki itu makin sehat, warna
kulitnya juga
sudah
jadi cokelat sehat, tidak pucat pasi seperti dulu. Badannya sudah berisi dan tampak lebih kuat.
Rafi sudah menjadi Rafinya yang dulu, yang
penuh tawa dan vitalitas, dengan semangat hidup
yang memancar dari dalam dirinya.
"Aku tadi sudah belajar berdiri, sulit sekali Serena sampai keringatku bercucuran,
tapi aku senang
sudah sampai
di tahap sejauh ini",
jelas Rafi bahagia.
Serena membelalakkan matanya
senang,
"Benarkah?",
dengan gembira ditatapnya dokter Vanessa, "benarkah dokter?" Dokter Vanessa mengangguk dengan senyum dikulum,
"Perkembangan Rafi sangat pesat Serena, aku optimis dia akan bisa berjalan
lagi."
Dengan bahagia Serena memeluk Rafi erat-erat,
"Oh aku bangga sekali padamu mendengarnya sayang!"
serunya dengan kegembiraan murni.
Tapi
tiba-tiba Rafi
melepaskan
pelukannya
dan menatap
Serena sambil
mengerutkan alisnya,
"Sayang,
badanmu panas."
Gantian Serena yang
mengerutkan keningnya lalu meraba dahinya sendiri,
"Benarkah? Aku memang
merasa tidak enak badan, makanya aku pulang
cepat." Dengan cemas,
Rafi menoleh ke arah Vanessa,
"Dokter, badannya panas
bukan?"
Vanessa segera mendekat dan menyentuh
dahi Serena lembut,
"Benar, kau panas Serena,
apakah kau terserang
flu?"
Serena menggelengkan kepalanya,
"Tidak, saya
tidak pilek ataupun batuk dokter, tapi ada masalah
dengan perut saya, akhir-akhir ini saya sering
memuntahkan makanan
yang saya makan, makanya badan saya terasa lemah dan..."
"Memuntahkan makanan?" dokter Vanessa
mengernyitkan
keningnya,
begitu
serius.
Serena menganggukkan kepalanya,
tidak menyadari betapa seriusnya pandangan dokter
Vanessa menelusuri
tubuhnya.
"Sudah berapa lama?" tanya dokter Vanessa lagi. Serena tampak berpikir,
"Baru beberapa hari
ini, mungkin seminggu terakhir ini."
"Apa kau kena maag Serena?"
Rafi menyela tampak semakin cemas.
"Mungkin,"
Serena mengusap perutnya, "Soalnya aku sering mual."
Dokter Vanessa mengikuti
arah tangan Serena dan menatap
perut Serena,
"Kau
tampak
pucat
Serena, berbaringlah
dulu,
aku akan menyusul
dan memeriksamu nanti setelah selesai
dengan Rafi."
Serena menganggukkan kepalanya, lalu menunduk dan mengecup dahi Rafi,
"Aku berbaring dulu ya."
bisiknya lembut dan Rafi
mengangguk, balas mengecup
dahi Serena.
Seperginya Serena, Vanessa memijit kaki Rafi untuk session pelemasan akhir sambil berpikir keras...... Tidak enak badan, mual, memuntahkan
makanannya.... Jika dihitung-hitung tanggalnya, semuanya tepat. Apakah Serena sudah hamil
dan
tidak menyadarinya?
"Dokter?" Rafi yang menyadari kalau Vanessa melamun menegurnya hingga
Vanessa tergeragap, "Dokter tidak apa-apa?" Vanessa berdehem salah tingkah,
"Ah, maafkan
aku Rafi, aku sedang memikirkan Serena."
"Kalau begitu sebaiknya dokter memeriksa Serena dulu, aku
juga mencemaskannya dok," Rafi tersenyum melihat Vanessa ragu-ragu, "Tidak apa- apa dok,
aku sudah lebih kuat sekarang, aku bisa membawa
diriku sendiri ke
kamar dan mengurus diriku
sendiri. Kumohon,
uruslah Serena dulu."
Sambil mengangguk, Vanessa bergegas menyusul
Serena ke kamarnya.
Serena sedang berbaring miring memegangi perutnya,
tampak kesakitan dan
pucat pasi.
Vanessa duduk di
sebelah ranjang, menyentuh
dahi Serena
lagi,
panas membara, meskipun keringat dingin mengalir deras,
"Saya muntah-muntah lagi barusan dokter."
Serena memejamkan matanya dan
tidak berani membukanya, seolah takut kalau dia membuka
matanya, rasa mual
yang hebat akan menyerangnya lagi.
"Berbaringlah dulu, aku akan membuatkan
teh mint untukmu, untuk
mengurangi mual, nanti aku akan membuatkan resep obat untukmu." obat untuk wanita
hamil. Vanessa mulai merasa
yakin melihat kondisi Serena. Serena hanya mengangguk patuh masih memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian, Vanessa kembali datang dan membantu Serena duduk,
lalu membantunya
meneguk teh mint itu, setelah
itu
dia membaringkan Serena yang lemas di ranjang, Serena meletakkan kepalanya di bantal dengan penuh
syukur,
"Terima kasih dokter, tehnya sangat membantu, perut saya tidak begitu bergolak
lagi seperti tadi."
Vanessa tersenyum lembut,
"Cobalah untuk tidur."
gumamnya sebelum melangkah keluar
kamar.
Ketika merasa suasana cukup aman, dengan Rafi yang sepertinya sudah masuk ke kamarnya, Vanessa meraih ponselnya dan memejet nomor
telepon Damian.
Damian memang menghilang dari kehidupan Serena,
tetapi lelaki itu tetap
memantau setiap
detik kehidupan Serena, lelaki
itu menuntut laporan
yang sedetail-detailnya dari Vanessa setiap saat. Dan menurut Vanessa, Damian
berhak mengetahui
dugaannya ini.
"Vanessa."
Damian mengangkat teleponnya pada deringan pertama.
"Damian," Vanessa
berbisik pelan, bingung memulai dari mana. Sejenak
suasana hening, dan tiba-tiba suara Damian memecah keheningan.
"Dia hamil."
itu pernyataan
bukan pertanyaan.
"Aku tidak bisa
menyimpulkannya seakurat
itu sebelum dilakukan test urine dan test
lainnya, tapi kemungkinan
besar
dia
hamil, dia memuntahkan
semua yang dimakannya, dan mual-mual
setiap
saat."
"Dia hamil."
kali ini rona kegembiraan mewarnai
suara Damian, "Aku akan melakukan test urine dulu Damian,
kau tak bisa...."
"Aku akan segera kesana." dan Damian menutup
telepon. Membiarkan Vanessa ternganga di
seberang, lalu menggerutu dengan ketidaksabaran Damian.
Damian mau
kesini, lalu apa?
Langsung melemparkan bom
itu
ke muka Rafi dan Serena?
Dasar! Vanessa berniat
menunggu Damian
di depan apartemen,
berusaha mencegah Damian bertindak gegabah, lelaki itu harus berusaha pelan- pelan, apalagi kehamilan Serena belum dipastikan secara akurat.
Lama sekali Vanessa menunggu
di ruang
tamu, hampir satu
jam. Kenapa Damian lama sekali? Apakah Damian membatalkan niatnya kemari? Vanessa mulai bertanya-tanya.
Saat itulah Rafi mendorong kursi rodanya ke ruang tamu,
Vanessa menoleh dan tersenyum,
"Hai Rafi, bagaimana kondisimu?" Rafi balas tersenyum,
"Tidak pernah lebih baik, aku tadi membaca di kamar, dan mulai merasa bosan
jadi aku keluar, bagaimana keadaan Serena?"
Vanessa menarik napas,
"Dia sudah tidur pulas sepertinya, kasihan sepertinya perutnya bermasalah." Rafi mengernyitkan keningnya,
"Dia bekerja terlalu keras,"
gumamnya sendu,
"dan itu semua gara-gara aku."
"Rafi," Vanessa menyela dengan lembut, "Kita
sudah
pernah
membahas ini kan? Kau
tidak boleh menyalahkan
diri sendiri, lagipula Serena
melakukannya dengan sukarela."
"Benarkah?" suara Rafi menjadi pelan, "kadang-kadang aku merasa dia hanya kasihan kepadaku."
"Rafi....", Vanessa tidak melanjutkan kata-katanya
karena tiba-tiba ponselnya
berdering, dengan cepat diliriknya layar ponselnya.
Freddy.
"Freddy?" panggilnya setelah mengangkat telepon, "Freddy kau tahu di mana
Damian? Dia bilang akan ke sini,
tapi sampai
sekarang
dia
belum datang....."
"Vanessa, Damian kecelakaan di
tol."
***
A Romantic Story About Serena - Chapter 20
No comments:
Post a Comment