14. Badai Kegelisahan
Tiga hari berturut-turut aku shalat istikharah. Yang terbayang
adalah wajah ibu
yang semakin menua. Sudah tujuh tahun lebih aku tidak berjumpa
dengannya. Oh
ibu, jika engkau adalah matahari, aku tak ingin datang malam hari.
Jika engkau adalah
embun, aku ingin selalu pagi hari. Ibu, durhakalah aku, jika
ditelapak kakimu tidak aku
temui sorga itu.87
Maka kuputuskan untuk minta persetujuan ibu. Ibu adalah segalanya
bagiku.
Jika beliau meridhai maka aku akan melangkah maju. Jika tidak maka
aku pun tidak.
Aku telpon ke Indonesia. Ayah dan ibu tinggal jauh di desa. Tak
ada telpon di
sana. Aku menelpon ke rumah Pak Zainuri, mertua paman yang penilik
sekolah dan
tinggal di kota kecamatan. Rumah paman tak jauh dari beliau.
Selama ini, jika aku
ingin menghubungi ayah dan ibu caranya memang lewat Pak Zainuri
dulu. Pak Zainuri
akan menghubungi paman dan paman akan menghubungi ayah ibu. Kalau
aku
mengirim surat pun aku lebih suka mengalamatkannya ke rumah Pak
Zainuri lebih
cepat sampainya. Sebab jika dialamatkan ke desa, suratku bisa
bertapa dulu di balai
desa, atau di rumah Pak RW dalam waktu tak tentu. Masalah
transportasi dan
komunikasi global memang agak susah jika hidup di desa.
Kepada paman aku jelaskan semuanya. Siapa Syaikh Utsman dan apa
yang
beliau tawarkan kepada diriku. Paman adalah orang yang wawasannya
luas, ia guru
SMP teladan se kabupaten. Paman banyak bertanya tentang seandainya
benar-benar menikah dengan muslimah yang bukan dari Indonesia. Aku
jelaskan, jika
dia gadis yang shalihah semuanya akan mudah. Aku jelaskan pada
paman, tidak
semua orang mendapatkan tawaran sedemikian terhormatnya dari
Syaikh Utsman. Di
Indonesia, kalau mendapatkan tawaran untuk menikah dengan anak
seorang kiai
mushalla saja dianggap suatu keberuntungan yang luar biasa. Juga
kujelaskan hasil
istikharahku. Aku minta pada paman agar mengajak musyawarah ayah
dan ibu.
Disamping itu aku juga minta ayah ibu juga melakukan shalat
istikharah. Apa pun
hasilnya itulah keputusan yang akan aku ambil. Dua hari lagi pada
jam yang sama aku
akan menelpon menanyakan hasilnya. Dan aku ingin langsung
mendengar dari lisan
ibu.
Dua hari kemudian. Pada waktu yang dijanjikan aku menelpon ke
tanah air.
87 Dari penggambungan dua petikan sajak Fatin Hamama berjudul ‘Aku
ingin ibu’ dan ‘Ibu (3)’ yang
terdapat dalam kumpulan puisinya “Papyrus”.
142
Aku mendengar suara ibu,
“Jika isterimu nanti mau diajak hidup di Indonesia, tidak terlalu
jauh dari ibu,
maka menikahlah dan ibu merestui, ibu yakin akan penuh berkah.
Tapi jika tidak bisa
dibawa ke Indonesia tidak usah, cari saja gadis shalihah yang dari
Indonesia!”
Air mataku meleleh mendengar keputusan ibu. Sebuah keputusan yang
sangat
bijaksana. Aku memang tidak mungkin hidup dan berjuang selain di
tanah air tercinta.
Hari itu juga aku menemui Syaikh Utsman dan memberitahukan
keputusanku. Beliau
berpesan agar hari berikutnya datang ke tempat beliau lagi, untuk
mengetahui kabar
selanjutnya. Hari berikutnya aku datang. Syaikh Utsman menyambutku
dengan
senyum dan pelukan penuh kehangatan. Aku seperti seorang cucu yang
beliau
sayangi.
“Semoga gadis shalihah ini menjadi rizkimu di dunia dan di
akhirat. Dia siap
kau bawa berjuang di mana saja dan walinya menyetujuinya. Ini ada
dua album foto
dia, kau bawalah pulang! Kau lihat-lihat. Kau istikharah lagi.
Jika kau mantap kau akan
aku pertemukan dengan gadis shalihah ini dan walinya.”
Aku pulang dengan membawa dua album foto yang kumasukkan dalam tas
cangklongku. Aku merasa seperti memikul beban satu ton. Tas
cangklong itu terasa
berat sekali.
Sampai di kamar aku memegang album itu dengan tangan gemetar, dan
hati
bergetar. Aku akan melihat wajah calon bidadari yang menemani
hidupku selamanya.
Aku akan melihat wajah calon belahan jiwa. Tapi entah kenapa aku
tidak berani
membukanya sama sekali. Dua album itu cuma aku pegang dan tanpa
kubuka
sedikitpun. Aku tersentak, aku belum tahu namanya. Kenapa tidak
aku tanyakan
namanya pada Syaikh Utsman? Aku ingin membukanya, siapa tahu di
dalam Album
itu ada namanya. Tapi urung. Aku tidak berani. Entah kenapa. Aku
shalat istikharah,
yang datang adalah ibunda tercinta. Beliau berkata singkat,
“Menikahlah ibu
merestui.”
Hari berikutnya aku kembali menemui Syaikh Utsman dan kukatakan
kemantapanku untuk menikahi gadis itu. Syaikh Utsman berkata,
“Aku sudah menduga dan aku sangat yakin kau akan mengatakan itu.
Aku
memang belum melihat gadis itu, tapi isteriku, Ummu Fathi, yang
melihat fotofoto
dalam album itu memuji-muji kecantikannya. Ummu Fathi malah bilang
jika kau
sampai tidak mau, maka ia memintaku agar menjodohkan dengan cucuku
yang
143
sedang kuliah di Perancis. Aku geli sekali mendengar perkataan
Ummu Fathi. Dan
kau nanti akan kaget karena tadi malam walinya bilang gadis itu
sangat mengenalmu,
dan kau mungkin telah mengenalnya. Kau sudah melihatnya, kau
mengenalnya
bukan?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku sama sekali belum melihat
album itu
dan aku sama sekali tidak tahu namanya. Aku diam saja. Gadis itu
jadi rasa
penasaran dalam hati yang luar biasa. Aku telah menyatakan
kemantapanku tapi aku
belum tahu siapa dia. Aku menjadi orang yang paling penasaran di
dunia. Syaikh
Utsman minta kepadaku agar besok datang tepat setelah shalat
Ashar, kalau bisa
shalat Ashar di Shubra. Jadwal mengaji qiraah sab’ah diundur
hari berikutnya. Besok
aku akan dipertemukan dengan gadis itu bersama walinya. Untuk
saling melihat dan
saling mengenal sebelum kata sepakat untuk akad nikah diputuskan.
Malam itu, malam sepulang dari rumah Syaikh Utsman adalah malam
paling
menyiksa dalam hidupku. Namun ada kesejukan yang sedemikian lembut
mengaliri
relung-relung hatiku. Kesejukan itu apa aku tidak tahu namanya.
Saiful rupanya
sangat memperhatikan kesibukkanku selama ini. Dia bertanya ini itu
tapi masalah
diriku sedang proses ke gerbang pernikahan sama sekali tidak aku
beritahukan
padanya, juga pada siapa saja. Malam itu aku tidak bisa tidur, aku
menutup kamar,
dan berada di kamar seperti orang linglung. Siapa gadis itu? Dia
mengenalku dan aku
mengenalnya, siapa dia? Jangan-jangan gadis itu bukan gadis Mesir.
Aku
membodoh-bodohkan diriku kenapa tidak melihat dua album yang telah
berada di
tanganku. Jangan-jangan dia gadis Indonesia. Walinya tahu aku
mengaji pada Syaikh
Utsman dan minta agar menjodohkan keponakannya denganku. Tapi,
siapa gadis
Indonesia yang kecantikannya layak dipuji oleh isteri Syaikh
Utsman dan dia memiliki
wali di sini?
Seingatku mahasiswi Indonesia yang disertai kerabatnya hanya ada
tiga
orang. Raihana disertai kakak kandungnya. Fauzia disertai adiknya.
Dan Nurul, ia
disertai pamannya, tapi paman jauh. Tiba-tiba hatiku berdesir,
jantungku mau copot.
Yang paling cantik memang Nurul. Tapi aku merasa itu tidak akan
terjadi. Tidak
mungkin. Dia adalah puteri seorang kiai besar, pengasuh pesantren
besar di Jawa
Timur. Dan seorang kiai biasanya telah memilih besan sejak anaknya
masih belum
bisa berjalan. Tapi kenapa Ustadz Jalal memintaku datang? Aku
semakin didera
badai kegelisahan yang dahsyat. Aku mengumpat diriku sendiri.
Seandainya aku
melihat foto dalam album aku tidak akan dirajam penasaran yang
menggila ini. Aku
144
berusaha mengurangi rasa gelisah dan penasaran dengan bersujud dan
menangis
kepada Tuhan. Dalam sujud aku berdoa sebagaimana doa nabi hamba
pilihan Allah
dalam Al-Qur’an,
“Rabbana hab lana min azwaajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun
wal’alna lil
muttaqiina imaama! Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri
kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah
kami imam bagi
orang-orang yang bertaqwa!”88
88 Surat Al-Furqaan: 74
145
Ayat - Ayat Cinta - Bab 15
No comments:
Post a Comment