Tuesday, September 1, 2015

Ayat - Ayat Cinta - Bab 15









15. Pertemuan

Aku sampai di masjid Abu Bakar Shiddiq tepat saat azan Ashar
berkumandang. Seluruh tubuhku bergetar tidak seperti biasanya. Keringat dinginku
keluar. Aku tidak tahu shalatku kali ini khusyuk apa tidak. Yang jelas mataku basah.
Dalam sujud aku menangis memohon kepada Allah agar diberi umur yang penuh
berkah, pertemuan dengan calon belahan jiwa yang penuh berkah, akad nikah yang
penuh berkah, malam zafaf yang penuh berkah, dan masa depan yang penuh berkah.
Selesai shalat aku masih duduk menitikkan air mata. Aku meyakinkan diriku bahwa
aku tidak sedang bermimpi. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan dia. Dia yang aku
belum tahu namanya dan belum tahu wajahnya seperti apa. Dia yang telah lama
kurindu. Aku minta kekuatan kepada Allah.
Syaikh Utsman menyentuh pundakku beliau tersenyum. Beliau mengajakku
ikut serta dalam mobil beliau. Dari masjid Abu Bakar sampai ke rumah beliau memang
agak jauh. Syaikh Utsman memiliki seorang sopir bernama Faruq. Selama dalam
perjalanan Syaikh Utsman bercerita masa mudanya dulu. Beliau dan Ummu Fathi
asalnya juga tidak saling kenal. Bertemu dalam majlis khitbah. Dan cinta itu hadir
begitu saja setelah akad nikah, begitu kuatnya.
“Anakku, kau pasti panas dingin sekarang. Iya ‘kan? Aku dulu juga merasakan
hal yang sama. Dalam perjalanan bersama keluarga ke rumah Ummu Fathi, untuk
bertemu pertama kalinya sekaligus khitbah hatiku berdesir, jantungku berdegup,
keringat dingin keluar. Tapi itulah saat-saat yang tak terlupakan. Dan ketika kami
bertemu. Ummu Fathi keluar mengeluarkan minuman dengan tangan bergetar. Mata
kami sekilas bertemu dan hati diliputi rasa malu yang luar biasa. Itu adalah
kenikmatan luar biasa. Kenikmatan istimewa yang jarang dirasakan anak muda
sekarang, kecuali yang benar-benar menjaga diri dan menjaga hubungan lelaki
perempuan dalam adab-adab syar’i. Kulihat mukamu pias, kau pasti sedang panas
dingin. Anakku, tunggulah nanti sebentar lagi ketika kau sudah duduk di ruang tamu
dan gadis itu masuk bersama walinya kau akan merasakan panas dingin yang luar
biasa. Panas dingin yang belum pernah kau rasakan. Apalagi kala kau dan dia nanti
sesekali mencuri pandang. Suasana hatimu tidak akan bisa kau lupakan seumur
hidupmu. Inilah keindahan Islam. Dalam Islam hubungan lelaki perempuan disucikan
sesuci-sucinya namun tanpa mengurangi keindahan romantisnya.” Kata-kata Syaikh
Utsman menambah tubuhku semakin dingin. Syaikh Utsman seperti masih muda.
Beliau juga menasihatiku agar majelis pertemuan nanti benar-benar dimanfaatkan
146
sebaik-baiknya untuk mengenalkan diri dan mengenal gadis itu. Syaikh Utsman dan
wali gadis itu hanya akan menjadi pembawa acara.
* * *
Memasuki ruang tamu Syaikh Utsman kakiku seperti lumpuh. Aku hampir tidak
bisa mengangkat kakiku. Tubuhku gemetar. Ruang tamu yang penuh dengan
kitab-kitab klasik ini akan menjadi saksi penting dalam sejarah hidupku. Syaikh
Utsman mempersilakan aku duduk di sofa busa yang menghadap ke barat. Di sebelah
selatan ada sofa panjang menghadap utara untuk dua orang. Di sebelah barat ada
sofa menghadap ke timur untuk satu orang. Di sebelah utara ada dua sofa
menghadap ke selatan. Pintu ada dekat tempat aku duduk.
Ummu Fathi keluar membawa nampan berisi dua gelas air putih. Untuk kami
berdua. “Anakku, ayo diminum dulu. Kau tampaknya kehausan,” ucap Syaikh Fathi.
Aku meneguk sedikit. “Lima menit lagi, mereka insya Allah datang!” sambung beliau.
Jantungku berdegup kencang. Panas dingin tubuhku semakin kuat terasa. Aku
banyak beristighfar di dalam hati untuk menenangkan diri.
Bel berbunyi.
“Itu mereka datang. Kau tetaplah duduk di tempatmu!” kata Syaikh Fathi. Aku
tidak bisa lagi menangkap nuansa yang menyergap hatiku. Berbagaimacam perasaan
bercampur menjadi satu; penasaran, rindu, malu, gugup, takut, cemas, tidak percaya
diri, optimis, senang, dan bahagia. Ummu Fathi mengambil dua gelas berisi air putih
itu. Sementara Syaikh Fathi beranjang membukakan pintu.
Suara pintu di buka. Aku sama sekali tidak berani memandang ke arah pintu
yang hanya dua meter di sampingku.
Assalamu’aikum!” Hatiku berdesir keras. Suara lelaki. Bukan suara orang
Indonesia, tapi suara itu memang sangat khas dan aku sangat mengenalnya. Aku
masih menunduk.
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah. Ahlan wa sahlan. Ayo masuk! Fahri,
berdirilah sambutlah calon pamanmu!” Suara Syaikh Utsman membuatku tergagap.
Aku berdiri. Dan….
Subhanallah!
Lelaki yang berdiri di hadapanku adalah Eqbal Hakan Erbakan. Dia tersenyum
padaku. Hatiku terasa dingin sekali. Aku berusaha tersenyum. Aku tak tahu seperti
147
apa raut mukaku. Aku sungguh-sungguh terkejut. Kami berangkulan erat sekali. “Kaif
halak ya ‘aris!” Eqbal membisikkan kata sapaan padaku, yang dalam kata sapaan ada
kata-kata yang menggoda. Dia sudah memanggilku ‘ya ‘aris’, wahai pengantin pria.
Alhamdulillah,” lirihku.
Di belakang Eqbal ada dua perempuan bercadar dan dua anak kecil yang lucu.
Aku kenal dengan dua anak kecil itu. Amena dan Hasan. Amena membawa boneka
panda. Aku jadi teringat itu boneka yang kutitipkan lewat Aisha. Dan Hasan membawa
pistol air mainan. Dua perempuan bercadar itu menatapku sekilas, lalu beranjak
menyalami Ummu Fathi. Mereka berpelukan bergantian. Eqbal menarik tangan
Amena dan Hasan agar bersalaman denganku. Aku berjongkok. Melihat Amena dan
Hasan yang lucu rasa grogiku sedikit berkurang. Aku cium kening Amena yang baru
berumur lima tahun itu juga kening Hasan yang baru tiga tahun. Eqbal minta pada
Amena untuk berterima kasih padaku atas hadiahnya.
Syuklon alal hadieh el jamileh, Am…amu Andonesy.” 89 Lirih Amena
terbata-bata dengan suara agak cedal. Kontan Syaikh Utsman tertawa. Aku
tersenyum saja.
Ummu Fathi, isteri Syaikh Utsman mempersilakan yang bernama Aisha agar
duduk di sofa yang menghadap ke timur. Dan mempersilakan isteri Eqbal duduk di
dekat Aisha, sofa yang menghadap ke selatan. Beliau sendiri duduk tepat di
depannya. Syaikh Utsman duduk di sampingnya, dekat denganku. Dan Eqbal duduk
berhadapan dengan Syaikh Utsman, juga berdekatan denganku. Si kecil Amena
duduk di pangkuan ibunya. Dan si kecil Hasan berdiri di depan ayahnya.
Pembicaraan di mulai. Jantungku mulai berdegup kencang. Tubuhku panas
dingin. Kini aku tahu gadis itu adalah Aisha. Keponakan Eqbal Hakan Erbakan. Syaikh
Utsman benar, Aisha telah mengenalku dan aku telah mengenalnya. Perkenalan yang
begitu singkat. Aisha mungkin tahu banyak tentang diriku. Ia mungkin telah mendapat
banyak info dari Eqbal. Sebab selama bersahabat dengan Eqbal dan selama i’tikaf di
masjid Helmeya Zaitun kami sudah seperti keluarga sendiri. Eqbal banyak cerita
tentang dirinya dan keluarganya. Masa kecilnya. Bagaimana bisa ke Mesir.
Bagaimana bisa menikah dengan Sarah yang kini jadi isterinya. Sarah yang dari
keluarga konglomerat Turki namun sangat kuat penghayatannya atas Islam. Aku pun
telah cerita banyak pada Eqbal. Tentang keluargaku yang miskin. Tentang bagaimana
89 Terima kasih atas hadiahnya yang cantik, Paman dari Indonesia.
148
diriku datang ke Mesir dengan menjual sawah warisan kakek. Harta satu-satunya
yang dimiliki keluarga. Tentang awal-awal di Mesir yang penuh derita. Tak ada
beasiswa. Tak ada pemasukan. Kerja membantu Bang Aziz mendistribusikan tempe
ke rumah-rumah mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia. Jualan beras dengan cara
mengambil beras dari pelosok Mesir seperti Zaqaziq dan menjual ke teman-teman
mahasiswa. Dan lain sebagainya. Aisha mungkin telah tahu banyak tentang diriku,
tapi aku apa yang aku ketahui tentang dirinya. Melihat mukanya saja belum.
Sarah, isteri Eqbal berbicara dengan Ummu Fathi. Sesekali Syaikh Fathi dan
Eqbal menimpali. Sarah menceritakan siapa Aisha ini.
Aku memandang ke arah Aisha, pada saat yang sama dua matanya yang
bening di balik cadarnya juga sedang memandang ke arahku. Pandangan kami
bertemu. Dan ces! Ada setetes embun dingin menetes di hatiku. Kurasakan tubuhku
bergetar. Aku cepat-cepat menundukkan kepala. Dia kelihatannya melakukan hal
yang sama. Kukira Aisha tidak setegang diriku, sebab dia merasa lebih santai.
Wajahnya tersembunyi di balik cadarnya. Sementara diriku, aku tidak tahu seperti apa
bentuk mukaku. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan ketegangan ini. Si kecil
Hasan memandangi aku. Aku tersenyum padanya. Kutarik dia ke pangkuanku. Dia
menurut.
Dengan adanya Hasan di pangkuanku aku jadi merasa lebih nyaman. Aku bisa
membelai-belai rambutnya. Hasan anak yang penurut. Kelihatannya ia benarbenar
masih ingat padaku. Sesekali ia berceloteh dan aku menanggapi lirih sambil mencium
kepalanya gemas. Dan di balik cadar, mata bening Aisha memperhatikan apa yang
aku lakukan.
“Ini adalah majelis ta’aruf 90 untuk dua orang yang sedang berniat untuk
melangsungkan pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda boleh melihat
wajah perempuan yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya tarik dan untuk
menyejukkan hati. Maka lebih baiknya Anakku Aisha membuka cadarnya. Meskipun
Fahri sudah melihat wajahmu lewat album foto. Tetapi dia harus melihat yang asli
sebelum melangsungkan akad nikah. Bukankah begitu Ummu Amena?” Kata-kata
Ummu Fathi ini membuat jantungku berdesir. Sebentar lagi Aisha akan
menanggalkan cadarnya, dan aku..masya Allah..aku akan melihat wajah calon
isteriku.
90 Perkenalan
149
Aku memandang Aisha. Dia memandangku lalu menunduk. Kelihatannya dia
sangat malu dan salah tingkah.
“Aisha, bukalah cadarmu! Calon suamimu berhak melihat wajah aslimu,” desak
Sarah, bibinya.
Sambil mendekap Hasan aku menyaksikan tangan kanan Aisha perlahanlahan
membuka cadarnya. Ada hawa sejuk mengalir dari atas. Masuk ke ubunubun
kepalaku dan menyebar ke seluruh syaraf tubuhku. Wajah Aisha perlahan terbuka.
Dan wajah putih bersih menunduk tepat di depanku. Subhanallah. Yang ada di
depanku ini seorang bidadari ataukah manusia biasa. Mahasuci Allah, Yang
menciptakan wajah seindah itu. Jika seluruh pemahat paling hebat diseluruh dunia
bersatu untuk mengukir wajah seindah itu tak akan mampu. Pelukis paling hebat pun
tak akan bisa menciptakan lukisan dari imajinasinya seindah wajah Aisha. Keindahan
wajah Aisha adalah karya seni mahaagung dari Dia Yang Maha Kuasa. Aku
benar-benar merasakan saat-saat yang istimewa. Saat-saat untuk pertama kali
melihat wajah Aisha.
“Bagaimana apakah kalian sudah benar-benar siap membangun rumah tangga
berdua?” Pertanyaan Syaikh Fathi membuat diriku mendongakkan kepala. Aisha juga
melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. Dan ces! Hatiku seperti ditetesi
embun dingin dari langit. Entah hati Aisha. Lalu kami kembali menundukkan kepala.
Aku diam tidak menjawab.
Akh Fahri, bagaimana, kau siap menerima Aisha sebagai isterimu?” tanya
Eqbal dengan suara tegas. Aku malah meneteskan air mata.
Akh Eqbal, semestinya bukan aku yang kau tanya. Tanyalah Aisha, apakah
dia siap memiliki seorang suami seperti aku? Kau tentu sudah tahu siapa aku. Aku ini
mahasiswa yang miskin. Anak seorang petani miskin di kampung pelosok Indonesia,”
jawabku terbata-bata sambil terisak. “Apakah aku kufu dengannya? Aku merasa tidak
pantas bersanding dengan keponakanmu itu. Aku tidak ingin dia kecewa di belakang
hari,” lanjutku.
“Baiklah, biar Aisha sendiri yang menjawabnya. Bicaralah Aisha, jangan malu,”
ujar Eqbal.
Aku mencuri pandang melihat Aisha. Ia menundukkan kepalanya. Bulu
matanya yang lentik bergerak-gerak.
150
“Baiklah, aku akan bicara dari hatiku yang terdalam. Fahri, dengan disaksikan
semua yang hadir di sini, kukatakan aku siap menjadi pendamping hidupmu. Aku
sudah mengetahui banyak hal tentang dirimu. Dari Paman Eqbal, dari Nurul dan
orang-orang satu rumahnya. Dari Ustadzah Maemuna isteri Ustadz Jalal. Dari
Ruqoyya, isteri Aziz. Aku akan sangat berbahagia menjadi isterimu. Dan memang
akulah yang meminta Paman Eqbal untuk mengatur bagaimana aku bisa menikah
denganmu. Akulah yang minta.” Aisha menjawab dengan bahasa Arab fusha yang
terkadang masih ada sususan tata bahasa yang keliru namun tidak mengurangi
pemahaman orang yang mendengarnya. Suaranya terasa lembut dan indah, lebih
lembut dari suaranya saat berkenalan di Metro dan beberapa kali bertemu, di Tahrir
dan di National Library. Aku tidak tahu kenapa. Apakah karena aku kini telah jatuh
cinta padanya? Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Dan semoga juga yang
terakhir kalinya.
“Bagaimana Fahri, Kau sudah mendengar sendiri dari Aisha, sekarang kau
bagaimana?” ujar Eqbal sambil memandang ke arahku. Semua mata tertuju ke
arahku, kecuali mata si kecil Amena dan Hasan. Aku memberanikan diri untuk
menatap wajah Aisha, agak sedikit lama. Aisha memandangku, ia menanti
jawabanku. Aku merasa tak mampu menahan air mata yang meleleh.
“Jika Aisha sedemikian mantapnya dan percaya padaku, maka, bismillah, aku
pun mantap menerima Aisha untuk jadi isteriku, pendamping hidupku dan ibu dari
anak-anakku, aku akan sepenuh hati percaya padanya,” kataku dengan suara parau
bergetar, dengan mata tetap menatap Aisha. Aku melihat mata Aisha berkaca-kaca.
Suasana hening dan haru menyelimuti ruangan itu.
“Aku jadi teringat lima puluh tahun yang lalu, saat mengkhitbah Ummu Fathi,
suasananya tak jauh berbeda. Penuh dengan perasaan cinta dan nuansa indah yang
tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.” Suara Syaikh Utsman memecahkan
keheningan dan keharuan. Syaikh Utsman lalu bercerita tentang hari-hari pertamanya
membangun rumah tangga. Banyak hal lucu penuh hikmah yang beliau kisahkan.
Terkadang Ummu Fathi yang juga sudah tua menyela. Suasana jadi lebih hidup.
Pembicaraan terus berlanjut ke masalah kami berdua, masalah diriku dan
masalah Aisha. Syaikh Utsman mampu menggiring kami untuk membuka diri. Aku
berterus terang tentang sakitku sebulan yang lalu. Aisha membuka dirinya pernah
sakit Asma. Aku ungkapkan kembali persyaratan ibuku, bahwa isteriku mau tidak mau
harus hidup dan berjuang di Indonesia.
151
“Diriku sudah aku wakafkan di jalan Allah. Aku siap hidup dan berjuang di mana
saja mendampingi perjuangan suamiku tercinta.” Tegas Aisha tanpa ragu sedikitpun.
Kami lalu berbicara tentang harapan masing-masing. Cita-cita dan idealisme
masing-masing. Aku merasa apa yang diharapkan dan dicita-citakan Aisha tidak ada
yang berseberangan jauh dengan apa yang aku harapkan dan aku cita-citakan. Dia
ingin suami yang sepenuh hati mencintainya, menjadikan dirinya satu-satunya
isterinya, setia dalam suka dan duka, perhatian pada keluarga, dan tidak melalaikan
tugas berjuang di jalan Allah. Itu adalah juga yang aku inginkan dari isteriku. Aku ingin
isteri yang shalihah, setia dan tidak mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
Setelah pembicaraan berlangsung lama, rasa canggung tidak lagi penghalang
untuk mengungkapkan segala yang ingin diungkapkan. Aku bahkan tanpa perlu malu,
dan dengan penuh keterus-terangan membuka kemampuanku mencari nafkah saat
ini. Andalanku adalah terjemahan. Dan karena sedang konsentrasi penulisan tesis,
aku tidak bisa menerjemah sebanyak yang kemarin.
Aku jelaskan nominal yang kira-kira masuk tiap bulan. Itu pun terkadang
terlambat pembayarannya. Juga uang yang aku punya saat ini.
Aisha menjawab dengan tenang,
Alhamdulillah aku sudah mempelajari sifat perempuan Jawa. Aku sangat
kagum pada mereka. Mereka adalah perempuan yang sangat setia, dan peduli pada
keluarga. Di Jawa seorang isteri terlibat sepenuhnya dalam masalah keluarga. Isteri
ikut memikirkan bagaimana dapur mengepul. Perempuan Jawa bisa hidup
sederhana. Seperti Fatimah Zahra puteri Rasulullah bisa hidup sangat sederhana,
yang mengambil air dan membuat roti sendiri. Padahal dia puteri seorang nabi agung.
Aku siap untuk hidup seperti Fatimah Zahra. Aku sudah meneliti mahasiswa
Indonesia, khususnya dari Jawa yang berkeluarga di Cairo. Mereka hidup sangat
sederhana. Mengatur uang yang ada sebaik-baiknya. Saling melengkapi. Aku siap
hidup seperti mereka. Menurut Ruqoyya isteri seorang mahasiswa bernama Aziz
yang berjualan tempe. Dengan uang 150 dollar ia sudah bisa hidup normal meskipun
sangat sederhana dengan menyewa rumah yang sederhana. Aku bahkan siap untuk
hidup lebih buruk dari itu. Aku siap dalam suka maupun duka.”
Aku mantap dengan apa dengar dari Aisha. Semoga apa yang ia katakan
adalah apa yang keluar dari hatinya. Kata-kata adalah cermin jiwa.
152
Lalu aku mengutarakan masalah cadar yang dipakai Aisha. Bukan aku tidak
setuju atau menentangnya. Tapi untuk fiqh dakwah di Indonesia lebih hikmah tidak
pakai cadar. Aku jelaskan kondisi masyarakat di desaku dan sekitarnya. Perempuan
bercadar akan dianggap sangat aneh dan mencurigakan.
“Jangan kuatir. Aisha dan Sarah isteriku adalah muslimah-muslimah moderat.
Itu tidak akan menjadi masalah. Sarah sendiri kalau pulang ke Turki tidak memakai
cadar. Menurut mayoritas Ulama, menutup wajah bagi perempuan tidak wajib. Yang
wajib adalah menutup seluruh aurat kecuali telapak tangan dan wajah,” jelas Eqbal.
“Ya. Paman Eqbal benar,” sahut Aisha.
Setelah segala yang bersifat pribadi dirasa cukup, dan kami merasa benarbenar
akan bisa menjadi pasangan hidup yang serasi, bisa saling mengisi dan
melengkapi, pembicaraan berlanjut ke masalah akad nikah dan pesta walimatul ‘ursy.
Aisha ingin akad dan pesta dilaksanakan secepatnya. Setelah dikalkulasi dan timbang
paling cepat akad dilaksanakan satu minggu lagi dan pestanya dua hari setelahnya.
Akhirnya ditetapkan akad nikah akan dilaksanakan Jum’at depan, tanggal 27
Sepetember, di masjid Abu Bakar Shiddiq setelah shalat Ashar. Karena nantinya
Aisha akan tinggal di Indonesia, maka aku harus mengurusi segalanya yang berkaitan
dengan dokumen pernikahan yang diakui di Indonesia. Aku jelaskan itu mudah. Eqbal
akan melengkapi semua dokumen Aisha yang diperlukan untuk Kedutaan Besar
Republik Indonesia. Aisha bilang ia juga akan mencatatkan pernikahannya ke
kedutaan Jerman.
Aisha meminta agar uang yang aku miliki saat ini disiapkan untuk mahar dan
pengurusan surat nikah KBRI. Adapun biaya yang lainnya biar paman Eqbal yang
mengurusi. Tempat pesta walimatul ursy juga ditetapkan saat itu juga. Yaitu di Darul
Munasabat91 masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Itu adalah tempat yang paling
cocok. Letaknya strategis. Dekat dengan tempat tinggal umumnya mahasiswa
Indonesia dan mahasiswa Turki. Jumlah orang indonesia yang akan diundang
sekalian di tentukan. Tentunya undangan terbatas. Karena di pihak Aisha juga
mengundang orang Turki. Undangan disesuaikan dengan kapasitas tempat duduk.
Jenis hidangan yang disajikan juga ditetapkan. Tidak terlalu mewah tapi juga tidak
terlalu sederhana. Yang dicari adalah barakahnya.
Malam zafaf juga ditentukan. Tidak setelah akad, tapi setelah walimah.
91 Auditorium, balai pertemuan.
153
Tempatnya di mana, Aisha dan Sarah yang akan merancangnya. Aku diminta tinggal
menerima jadi saja. Sebab suasana kamar pengantin akan dibuat suasana Turki.
Sarah adalah seorang da’iyah di kalangan mahasiswi Turki, karenanya aku yakin
meskipun di tata ala Turki tapi tidak akan menyimpang dari sunnah nabi.
Saat itu juga Eqbal mengukur tubuhku untuk mencari pakaian pengantin yang
akan dipakai saat walimah nanti. Sesuai keinginan Aisha, rencananya kami berdua
akan memakai busana pengantin muslim Turki. Hal-hal seperti itu bagiku tidak ada
masalah. Semua panitia akan ditangani oleh teman-teman dari Turki. Eqbal hanya
minta bantuan beberapa orang untuk penyambut tamu dan penyaji hidangan.
Perbincangan selesai tepat saat azan maghrib berkumandang. Sore itu sejarah
baru hidupku telah dirancang dengan matang. Aisha sempat tersenyum padaku
sebelum ia dan keluarganya meninggalkan ruang tamu Syaikh Utsman. Aku tidak bisa
mengungkapkan rasa cintaku yang membuncah memenuhi segenap ruang hatiku.
Aku melangkahkan kaki dengan perasaan bahagia tiada terkira, meskipun aku tidak
mengingkari ada sedikit rasa cemas. Cemas yang terlahir dari kekurangpercayaan
pada apa yang aku alami. Yang aku alami tadi sungguhkah kejadian nyata ataukah
sekadar mimpi belaka? Terkadang orang yang terlalu bahagia melihat apa yang
dialaminya seperti mimpi. Terkadang waktu berjalan sedemikian cepatnya tanpa
memberi kita kesempatan untuk berpikir sebenarnya apa yang sedang terjadi pada
diri kita sendiri.



Ayat - Ayat Cinta - Bab 16

No comments:

Post a Comment