15. Pertemuan
Aku sampai di masjid Abu Bakar Shiddiq tepat saat azan Ashar
berkumandang. Seluruh tubuhku bergetar tidak seperti biasanya.
Keringat dinginku
keluar. Aku tidak tahu shalatku kali ini khusyuk apa tidak. Yang
jelas mataku basah.
Dalam sujud aku menangis memohon kepada Allah agar diberi umur
yang penuh
berkah, pertemuan dengan calon belahan jiwa yang penuh berkah,
akad nikah yang
penuh berkah, malam zafaf yang penuh berkah, dan masa depan yang
penuh berkah.
Selesai shalat aku masih duduk menitikkan air mata. Aku meyakinkan
diriku bahwa
aku tidak sedang bermimpi. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan
dia. Dia yang aku
belum tahu namanya dan belum tahu wajahnya seperti apa. Dia yang
telah lama
kurindu. Aku minta kekuatan kepada Allah.
Syaikh Utsman menyentuh pundakku beliau tersenyum. Beliau
mengajakku
ikut serta dalam mobil beliau. Dari masjid Abu Bakar sampai ke
rumah beliau memang
agak jauh. Syaikh Utsman memiliki seorang sopir bernama Faruq.
Selama dalam
perjalanan Syaikh Utsman bercerita masa mudanya dulu. Beliau dan
Ummu Fathi
asalnya juga tidak saling kenal. Bertemu dalam majlis khitbah. Dan
cinta itu hadir
begitu saja setelah akad nikah, begitu kuatnya.
“Anakku, kau pasti panas dingin sekarang. Iya ‘kan? Aku dulu juga
merasakan
hal yang sama. Dalam perjalanan bersama keluarga ke rumah Ummu
Fathi, untuk
bertemu pertama kalinya sekaligus khitbah hatiku berdesir,
jantungku berdegup,
keringat dingin keluar. Tapi itulah saat-saat yang tak terlupakan.
Dan ketika kami
bertemu. Ummu Fathi keluar mengeluarkan minuman dengan tangan
bergetar. Mata
kami sekilas bertemu dan hati diliputi rasa malu yang luar biasa.
Itu adalah
kenikmatan luar biasa. Kenikmatan istimewa yang jarang dirasakan
anak muda
sekarang, kecuali yang benar-benar menjaga diri dan menjaga
hubungan lelaki
perempuan dalam adab-adab syar’i. Kulihat mukamu pias, kau pasti
sedang panas
dingin. Anakku, tunggulah nanti sebentar lagi ketika kau sudah
duduk di ruang tamu
dan gadis itu masuk bersama walinya kau akan merasakan panas
dingin yang luar
biasa. Panas dingin yang belum pernah kau rasakan. Apalagi kala
kau dan dia nanti
sesekali mencuri pandang. Suasana hatimu tidak akan bisa kau
lupakan seumur
hidupmu. Inilah keindahan Islam. Dalam Islam hubungan lelaki
perempuan disucikan
sesuci-sucinya namun tanpa mengurangi keindahan romantisnya.”
Kata-kata Syaikh
Utsman menambah tubuhku semakin dingin. Syaikh Utsman seperti
masih muda.
Beliau juga menasihatiku agar majelis pertemuan nanti benar-benar
dimanfaatkan
146
sebaik-baiknya untuk mengenalkan diri dan mengenal gadis itu.
Syaikh Utsman dan
wali gadis itu hanya akan menjadi pembawa acara.
* * *
Memasuki ruang tamu Syaikh Utsman kakiku seperti lumpuh. Aku
hampir tidak
bisa mengangkat kakiku. Tubuhku gemetar. Ruang tamu yang penuh
dengan
kitab-kitab klasik ini akan menjadi saksi penting dalam sejarah
hidupku. Syaikh
Utsman mempersilakan aku duduk di sofa busa yang menghadap ke
barat. Di sebelah
selatan ada sofa panjang menghadap utara untuk dua orang. Di
sebelah barat ada
sofa menghadap ke timur untuk satu orang. Di sebelah utara ada dua
sofa
menghadap ke selatan. Pintu ada dekat tempat aku duduk.
Ummu Fathi keluar membawa nampan berisi dua gelas air putih. Untuk
kami
berdua. “Anakku, ayo diminum dulu. Kau tampaknya kehausan,” ucap
Syaikh Fathi.
Aku meneguk sedikit. “Lima menit lagi, mereka insya Allah datang!”
sambung beliau.
Jantungku berdegup kencang. Panas dingin tubuhku semakin kuat
terasa. Aku
banyak beristighfar di dalam hati untuk menenangkan diri.
Bel berbunyi.
“Itu mereka datang. Kau tetaplah duduk di tempatmu!” kata Syaikh
Fathi. Aku
tidak bisa lagi menangkap nuansa yang menyergap hatiku.
Berbagaimacam perasaan
bercampur menjadi satu; penasaran, rindu, malu, gugup, takut,
cemas, tidak percaya
diri, optimis, senang, dan bahagia. Ummu Fathi mengambil dua gelas
berisi air putih
itu. Sementara Syaikh Fathi beranjang membukakan pintu.
Suara pintu di buka. Aku sama sekali tidak berani memandang ke
arah pintu
yang hanya dua meter di sampingku.
“Assalamu’aikum!” Hatiku berdesir keras. Suara lelaki.
Bukan suara orang
Indonesia, tapi suara itu memang sangat khas dan aku sangat
mengenalnya. Aku
masih menunduk.
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah. Ahlan wa sahlan. Ayo
masuk! Fahri,
berdirilah sambutlah calon pamanmu!” Suara Syaikh Utsman membuatku
tergagap.
Aku berdiri. Dan….
Subhanallah!
Lelaki yang berdiri di hadapanku adalah Eqbal Hakan Erbakan. Dia
tersenyum
padaku. Hatiku terasa dingin sekali. Aku berusaha tersenyum. Aku
tak tahu seperti
147
apa raut mukaku. Aku sungguh-sungguh terkejut. Kami berangkulan
erat sekali. “Kaif
halak ya ‘aris!”
Eqbal membisikkan kata sapaan padaku, yang dalam kata sapaan ada
kata-kata yang menggoda. Dia sudah memanggilku ‘ya ‘aris’, wahai
pengantin pria.
“Alhamdulillah,” lirihku.
Di belakang Eqbal ada dua perempuan bercadar dan dua anak kecil
yang lucu.
Aku kenal dengan dua anak kecil itu. Amena dan Hasan. Amena
membawa boneka
panda. Aku jadi teringat itu boneka yang kutitipkan lewat Aisha.
Dan Hasan membawa
pistol air mainan. Dua perempuan bercadar itu menatapku sekilas,
lalu beranjak
menyalami Ummu Fathi. Mereka berpelukan bergantian. Eqbal menarik
tangan
Amena dan Hasan agar bersalaman denganku. Aku berjongkok. Melihat
Amena dan
Hasan yang lucu rasa grogiku sedikit berkurang. Aku cium kening
Amena yang baru
berumur lima tahun itu juga kening Hasan yang baru tiga tahun.
Eqbal minta pada
Amena untuk berterima kasih padaku atas hadiahnya.
“Syuklon alal hadieh el jamileh, Am…amu Andonesy.” 89 Lirih
Amena
terbata-bata dengan suara agak cedal. Kontan Syaikh Utsman
tertawa. Aku
tersenyum saja.
Ummu Fathi, isteri Syaikh Utsman mempersilakan yang bernama Aisha
agar
duduk di sofa yang menghadap ke timur. Dan mempersilakan isteri
Eqbal duduk di
dekat Aisha, sofa yang menghadap ke selatan. Beliau sendiri duduk
tepat di
depannya. Syaikh Utsman duduk di sampingnya, dekat denganku. Dan
Eqbal duduk
berhadapan dengan Syaikh Utsman, juga berdekatan denganku. Si
kecil Amena
duduk di pangkuan ibunya. Dan si kecil Hasan berdiri di depan
ayahnya.
Pembicaraan di mulai. Jantungku mulai berdegup kencang. Tubuhku
panas
dingin. Kini aku tahu gadis itu adalah Aisha. Keponakan Eqbal
Hakan Erbakan. Syaikh
Utsman benar, Aisha telah mengenalku dan aku telah mengenalnya.
Perkenalan yang
begitu singkat. Aisha mungkin tahu banyak tentang diriku. Ia
mungkin telah mendapat
banyak info dari Eqbal. Sebab selama bersahabat dengan Eqbal dan
selama i’tikaf di
masjid Helmeya Zaitun kami sudah seperti keluarga sendiri. Eqbal
banyak cerita
tentang dirinya dan keluarganya. Masa kecilnya. Bagaimana bisa ke
Mesir.
Bagaimana bisa menikah dengan Sarah yang kini jadi isterinya.
Sarah yang dari
keluarga konglomerat Turki namun sangat kuat penghayatannya atas
Islam. Aku pun
telah cerita banyak pada Eqbal. Tentang keluargaku yang miskin.
Tentang bagaimana
89 Terima kasih atas hadiahnya yang cantik, Paman dari Indonesia.
148
diriku datang ke Mesir dengan menjual sawah warisan kakek. Harta
satu-satunya
yang dimiliki keluarga. Tentang awal-awal di Mesir yang penuh
derita. Tak ada
beasiswa. Tak ada pemasukan. Kerja membantu Bang Aziz
mendistribusikan tempe
ke rumah-rumah mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia. Jualan beras
dengan cara
mengambil beras dari pelosok Mesir seperti Zaqaziq dan menjual ke
teman-teman
mahasiswa. Dan lain sebagainya. Aisha mungkin telah tahu banyak
tentang diriku,
tapi aku apa yang aku ketahui tentang dirinya. Melihat mukanya
saja belum.
Sarah, isteri Eqbal berbicara dengan Ummu Fathi. Sesekali Syaikh
Fathi dan
Eqbal menimpali. Sarah menceritakan siapa Aisha ini.
Aku memandang ke arah Aisha, pada saat yang sama dua matanya yang
bening di balik cadarnya juga sedang memandang ke arahku.
Pandangan kami
bertemu. Dan ces! Ada setetes embun dingin menetes di hatiku.
Kurasakan tubuhku
bergetar. Aku cepat-cepat menundukkan kepala. Dia kelihatannya
melakukan hal
yang sama. Kukira Aisha tidak setegang diriku, sebab dia merasa
lebih santai.
Wajahnya tersembunyi di balik cadarnya. Sementara diriku, aku
tidak tahu seperti apa
bentuk mukaku. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan
ketegangan ini. Si kecil
Hasan memandangi aku. Aku tersenyum padanya. Kutarik dia ke pangkuanku.
Dia
menurut.
Dengan adanya Hasan di pangkuanku aku jadi merasa lebih nyaman.
Aku bisa
membelai-belai rambutnya. Hasan anak yang penurut. Kelihatannya ia
benarbenar
masih ingat padaku. Sesekali ia berceloteh dan aku menanggapi
lirih sambil mencium
kepalanya gemas. Dan di balik cadar, mata bening Aisha
memperhatikan apa yang
aku lakukan.
“Ini adalah majelis ta’aruf 90 untuk dua orang yang sedang
berniat untuk
melangsungkan pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda
boleh melihat
wajah perempuan yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya tarik
dan untuk
menyejukkan hati. Maka lebih baiknya Anakku Aisha membuka
cadarnya. Meskipun
Fahri sudah melihat wajahmu lewat album foto. Tetapi dia harus
melihat yang asli
sebelum melangsungkan akad nikah. Bukankah begitu Ummu Amena?”
Kata-kata
Ummu Fathi ini membuat jantungku berdesir. Sebentar lagi Aisha
akan
menanggalkan cadarnya, dan aku..masya Allah..aku akan
melihat wajah calon
isteriku.
90 Perkenalan
149
Aku memandang Aisha. Dia memandangku lalu menunduk. Kelihatannya
dia
sangat malu dan salah tingkah.
“Aisha, bukalah cadarmu! Calon suamimu berhak melihat wajah
aslimu,” desak
Sarah, bibinya.
Sambil mendekap Hasan aku menyaksikan tangan kanan Aisha
perlahanlahan
membuka cadarnya. Ada hawa sejuk mengalir dari atas. Masuk ke
ubunubun
kepalaku dan menyebar ke seluruh syaraf tubuhku. Wajah Aisha
perlahan terbuka.
Dan wajah putih bersih menunduk tepat di depanku. Subhanallah.
Yang ada di
depanku ini seorang bidadari ataukah manusia biasa. Mahasuci
Allah, Yang
menciptakan wajah seindah itu. Jika seluruh pemahat paling hebat
diseluruh dunia
bersatu untuk mengukir wajah seindah itu tak akan mampu. Pelukis
paling hebat pun
tak akan bisa menciptakan lukisan dari imajinasinya seindah wajah
Aisha. Keindahan
wajah Aisha adalah karya seni mahaagung dari Dia Yang Maha Kuasa.
Aku
benar-benar merasakan saat-saat yang istimewa. Saat-saat untuk
pertama kali
melihat wajah Aisha.
“Bagaimana apakah kalian sudah benar-benar siap membangun rumah
tangga
berdua?” Pertanyaan Syaikh Fathi membuat diriku mendongakkan
kepala. Aisha juga
melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. Dan ces! Hatiku
seperti ditetesi
embun dingin dari langit. Entah hati Aisha. Lalu kami kembali
menundukkan kepala.
Aku diam tidak menjawab.
“Akh Fahri, bagaimana, kau siap menerima Aisha sebagai
isterimu?” tanya
Eqbal dengan suara tegas. Aku malah meneteskan air mata.
“Akh Eqbal, semestinya bukan aku yang kau tanya. Tanyalah
Aisha, apakah
dia siap memiliki seorang suami seperti aku? Kau tentu sudah tahu
siapa aku. Aku ini
mahasiswa yang miskin. Anak seorang petani miskin di kampung
pelosok Indonesia,”
jawabku terbata-bata sambil terisak. “Apakah aku kufu dengannya?
Aku merasa tidak
pantas bersanding dengan keponakanmu itu. Aku tidak ingin dia
kecewa di belakang
hari,” lanjutku.
“Baiklah, biar Aisha sendiri yang menjawabnya. Bicaralah Aisha,
jangan malu,”
ujar Eqbal.
Aku mencuri pandang melihat Aisha. Ia menundukkan kepalanya. Bulu
matanya yang lentik bergerak-gerak.
150
“Baiklah, aku akan bicara dari hatiku yang terdalam. Fahri, dengan
disaksikan
semua yang hadir di sini, kukatakan aku siap menjadi pendamping
hidupmu. Aku
sudah mengetahui banyak hal tentang dirimu. Dari Paman Eqbal, dari
Nurul dan
orang-orang satu rumahnya. Dari Ustadzah Maemuna isteri Ustadz
Jalal. Dari
Ruqoyya, isteri Aziz. Aku akan sangat berbahagia menjadi isterimu.
Dan memang
akulah yang meminta Paman Eqbal untuk mengatur bagaimana aku bisa
menikah
denganmu. Akulah yang minta.” Aisha menjawab dengan bahasa Arab
fusha yang
terkadang masih ada sususan tata bahasa yang keliru namun tidak
mengurangi
pemahaman orang yang mendengarnya. Suaranya terasa lembut dan
indah, lebih
lembut dari suaranya saat berkenalan di Metro dan beberapa
kali bertemu, di Tahrir
dan di National Library. Aku tidak tahu kenapa. Apakah karena aku
kini telah jatuh
cinta padanya? Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Dan semoga
juga yang
terakhir kalinya.
“Bagaimana Fahri, Kau sudah mendengar sendiri dari Aisha, sekarang
kau
bagaimana?” ujar Eqbal sambil memandang ke arahku. Semua mata
tertuju ke
arahku, kecuali mata si kecil Amena dan Hasan. Aku memberanikan
diri untuk
menatap wajah Aisha, agak sedikit lama. Aisha memandangku, ia
menanti
jawabanku. Aku merasa tak mampu menahan air mata yang meleleh.
“Jika Aisha sedemikian mantapnya dan percaya padaku, maka, bismillah,
aku
pun mantap menerima Aisha untuk jadi isteriku, pendamping hidupku
dan ibu dari
anak-anakku, aku akan sepenuh hati percaya padanya,” kataku dengan
suara parau
bergetar, dengan mata tetap menatap Aisha. Aku melihat mata Aisha
berkaca-kaca.
Suasana hening dan haru menyelimuti ruangan itu.
“Aku jadi teringat lima puluh tahun yang lalu, saat mengkhitbah
Ummu Fathi,
suasananya tak jauh berbeda. Penuh dengan perasaan cinta dan
nuansa indah yang
tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.” Suara Syaikh Utsman
memecahkan
keheningan dan keharuan. Syaikh Utsman lalu bercerita tentang
hari-hari pertamanya
membangun rumah tangga. Banyak hal lucu penuh hikmah yang beliau
kisahkan.
Terkadang Ummu Fathi yang juga sudah tua menyela. Suasana jadi
lebih hidup.
Pembicaraan terus berlanjut ke masalah kami berdua, masalah diriku
dan
masalah Aisha. Syaikh Utsman mampu menggiring kami untuk membuka
diri. Aku
berterus terang tentang sakitku sebulan yang lalu. Aisha membuka
dirinya pernah
sakit Asma. Aku ungkapkan kembali persyaratan ibuku, bahwa
isteriku mau tidak mau
harus hidup dan berjuang di Indonesia.
151
“Diriku sudah aku wakafkan di jalan Allah. Aku siap hidup dan
berjuang di mana
saja mendampingi perjuangan suamiku tercinta.” Tegas Aisha tanpa
ragu sedikitpun.
Kami lalu berbicara tentang harapan masing-masing. Cita-cita dan
idealisme
masing-masing. Aku merasa apa yang diharapkan dan dicita-citakan
Aisha tidak ada
yang berseberangan jauh dengan apa yang aku harapkan dan aku
cita-citakan. Dia
ingin suami yang sepenuh hati mencintainya, menjadikan dirinya
satu-satunya
isterinya, setia dalam suka dan duka, perhatian pada keluarga, dan
tidak melalaikan
tugas berjuang di jalan Allah. Itu adalah juga yang aku inginkan
dari isteriku. Aku ingin
isteri yang shalihah, setia dan tidak mengkhianati Allah dan
Rasul-Nya.
Setelah pembicaraan berlangsung lama, rasa canggung tidak lagi
penghalang
untuk mengungkapkan segala yang ingin diungkapkan. Aku bahkan
tanpa perlu malu,
dan dengan penuh keterus-terangan membuka kemampuanku mencari
nafkah saat
ini. Andalanku adalah terjemahan. Dan karena sedang konsentrasi
penulisan tesis,
aku tidak bisa menerjemah sebanyak yang kemarin.
Aku jelaskan nominal yang kira-kira masuk tiap bulan. Itu pun
terkadang
terlambat pembayarannya. Juga uang yang aku punya saat ini.
Aisha menjawab dengan tenang,
“Alhamdulillah aku sudah mempelajari sifat perempuan Jawa.
Aku sangat
kagum pada mereka. Mereka adalah perempuan yang sangat setia, dan
peduli pada
keluarga. Di Jawa seorang isteri terlibat sepenuhnya dalam masalah
keluarga. Isteri
ikut memikirkan bagaimana dapur mengepul. Perempuan Jawa bisa
hidup
sederhana. Seperti Fatimah Zahra puteri Rasulullah bisa hidup
sangat sederhana,
yang mengambil air dan membuat roti sendiri. Padahal dia puteri
seorang nabi agung.
Aku siap untuk hidup seperti Fatimah Zahra. Aku sudah meneliti
mahasiswa
Indonesia, khususnya dari Jawa yang berkeluarga di Cairo. Mereka
hidup sangat
sederhana. Mengatur uang yang ada sebaik-baiknya. Saling
melengkapi. Aku siap
hidup seperti mereka. Menurut Ruqoyya isteri seorang mahasiswa
bernama Aziz
yang berjualan tempe. Dengan uang 150 dollar ia sudah bisa hidup
normal meskipun
sangat sederhana dengan menyewa rumah yang sederhana. Aku bahkan
siap untuk
hidup lebih buruk dari itu. Aku siap dalam suka maupun duka.”
Aku mantap dengan apa dengar dari Aisha. Semoga apa yang ia
katakan
adalah apa yang keluar dari hatinya. Kata-kata adalah cermin jiwa.
152
Lalu aku mengutarakan masalah cadar yang dipakai Aisha. Bukan aku
tidak
setuju atau menentangnya. Tapi untuk fiqh dakwah di Indonesia
lebih hikmah tidak
pakai cadar. Aku jelaskan kondisi masyarakat di desaku dan
sekitarnya. Perempuan
bercadar akan dianggap sangat aneh dan mencurigakan.
“Jangan kuatir. Aisha dan Sarah isteriku adalah muslimah-muslimah
moderat.
Itu tidak akan menjadi masalah. Sarah sendiri kalau pulang ke
Turki tidak memakai
cadar. Menurut mayoritas Ulama, menutup wajah bagi perempuan tidak
wajib. Yang
wajib adalah menutup seluruh aurat kecuali telapak tangan dan wajah,”
jelas Eqbal.
“Ya. Paman Eqbal benar,” sahut Aisha.
Setelah segala yang bersifat pribadi dirasa cukup, dan kami merasa
benarbenar
akan bisa menjadi pasangan hidup yang serasi, bisa saling mengisi
dan
melengkapi, pembicaraan berlanjut ke masalah akad nikah dan pesta walimatul
‘ursy.
Aisha ingin akad dan pesta dilaksanakan secepatnya. Setelah
dikalkulasi dan timbang
paling cepat akad dilaksanakan satu minggu lagi dan pestanya dua
hari setelahnya.
Akhirnya ditetapkan akad nikah akan dilaksanakan Jum’at depan,
tanggal 27
Sepetember, di masjid Abu Bakar Shiddiq setelah shalat Ashar.
Karena nantinya
Aisha akan tinggal di Indonesia, maka aku harus mengurusi
segalanya yang berkaitan
dengan dokumen pernikahan yang diakui di Indonesia. Aku jelaskan
itu mudah. Eqbal
akan melengkapi semua dokumen Aisha yang diperlukan untuk Kedutaan
Besar
Republik Indonesia. Aisha bilang ia juga akan mencatatkan
pernikahannya ke
kedutaan Jerman.
Aisha meminta agar uang yang aku miliki saat ini disiapkan untuk
mahar dan
pengurusan surat nikah KBRI. Adapun biaya yang lainnya biar paman
Eqbal yang
mengurusi. Tempat pesta walimatul ursy juga ditetapkan saat
itu juga. Yaitu di Darul
Munasabat91 masjid
Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Itu adalah tempat yang paling
cocok. Letaknya strategis. Dekat dengan tempat tinggal umumnya
mahasiswa
Indonesia dan mahasiswa Turki. Jumlah orang indonesia yang akan
diundang
sekalian di tentukan. Tentunya undangan terbatas. Karena di pihak
Aisha juga
mengundang orang Turki. Undangan disesuaikan dengan kapasitas tempat
duduk.
Jenis hidangan yang disajikan juga ditetapkan. Tidak terlalu mewah
tapi juga tidak
terlalu sederhana. Yang dicari adalah barakahnya.
Malam zafaf juga ditentukan. Tidak setelah akad, tapi setelah
walimah.
91 Auditorium, balai pertemuan.
153
Tempatnya di mana, Aisha dan Sarah yang akan merancangnya. Aku
diminta tinggal
menerima jadi saja. Sebab suasana kamar pengantin akan dibuat
suasana Turki.
Sarah adalah seorang da’iyah di kalangan mahasiswi Turki,
karenanya aku yakin
meskipun di tata ala Turki tapi tidak akan menyimpang dari sunnah
nabi.
Saat itu juga Eqbal mengukur tubuhku untuk mencari pakaian
pengantin yang
akan dipakai saat walimah nanti. Sesuai keinginan Aisha,
rencananya kami berdua
akan memakai busana pengantin muslim Turki. Hal-hal seperti itu
bagiku tidak ada
masalah. Semua panitia akan ditangani oleh teman-teman dari Turki.
Eqbal hanya
minta bantuan beberapa orang untuk penyambut tamu dan penyaji
hidangan.
Perbincangan selesai tepat saat azan maghrib berkumandang. Sore
itu sejarah
baru hidupku telah dirancang dengan matang. Aisha sempat tersenyum
padaku
sebelum ia dan keluarganya meninggalkan ruang tamu Syaikh Utsman.
Aku tidak bisa
mengungkapkan rasa cintaku yang membuncah memenuhi segenap ruang
hatiku.
Aku melangkahkan kaki dengan perasaan bahagia tiada terkira,
meskipun aku tidak
mengingkari ada sedikit rasa cemas. Cemas yang terlahir dari
kekurangpercayaan
pada apa yang aku alami. Yang aku alami tadi sungguhkah kejadian
nyata ataukah
sekadar mimpi belaka? Terkadang orang yang terlalu bahagia melihat
apa yang
dialaminya seperti mimpi. Terkadang waktu berjalan sedemikian
cepatnya tanpa
memberi kita kesempatan untuk berpikir sebenarnya apa yang sedang
terjadi pada
diri kita sendiri.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 16
No comments:
Post a Comment