Tuesday, September 1, 2015

Ayat - Ayat Cinta - Bab 17









17. Ikatan Suci

Apa yang terjadi antara diriku dan Nurul adalah tragedi yang sangat
memilukan. Aku tak memungkiri, di dalam taksi selama perjalanan menuju rumah
Eqbal Hakan Erbakan, hatiku menangis. Aku ini siapa? Nurul sungguh terlalu. Apakah
dia bukan orang Jawa? Aku ini orang Jawa. Di Jawa, seorang khadim kiai dan batur
santri, anak petani kere, mana mungkin berani mendongakkan kepala apalagi
mengutarakan cinta pada seorang puteri kiai. Dia sungguh terlalu menunggu hal itu
terjadi padaku. Semestinya dialah yang harus mengulurkan tangannya. Dia sungguh
terlalu berulang kali ketemu tidak sekalipun mengungkapkan perasaannya yang
mungkin hanya membutuhkan waktu satu menit. Atau kalau malu hanya dengan
beberapa baris tulisan tangannya tragedi ini tidak akan terjadi. Menyatakan cinta
untuk menikah di jalan Allah bukanlah suatu perbuatan tercela. Dia sungguh terlalu.
Tapi dia tidak keliru. Dia telah menempuh jalan yang benar. Dia benar-benar gadis
shalihah yang pemalu. Yang terlalu sesungguhnya adalah Ustadz Jalal dan Ustadzah
Maemuna. Mereka berdua sungguh terlalu. Atau justru aku yang terlalu dan begitu
dungu.
rinai tangis dalam hatiku bagai rintik hujan di kota apa gerangan makna lesu
yang menyusup masuk kalbuku?94
Sampai di halaman rumah Eqbal aku melihat tiga mobil mewah berjajar.
Rumahnya ada di lantai tiga sebuah villa mewah tak jauh dari KFC Maadi. Sebelum
masuk kuhapus air mata, kutata hati dan jiwa. Aku berusaha tersenyum. Aku
disambut hangat oleh Eqbal dan tiga lelaki Turki. Rumahnya tidak terlalu ramai. Eqbal
memperkenalkan tiga lelaki Turki yang berpakaian rapi itu.
“Ini Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir, ini
sekjennya Ali Naar, sedangkan ini yang baru tiba dari Turki tadi pagi adalah calon
pamanmu Akbar Ali Faroughi, adik kandung ibunya Aisha.”
Akbar Ali yang gagah itu memelukku erat dan berbisik, “Senang memiliki
keponakan seperti dirimu. Aisha sudah banyak bercerita tentangmu padaku. Selamat
datang di keluarga besar Ali Faroughi.”
Di ruang tamu itu kami berbincang-bincang sambil menunggu Aisha yang
sedang berdandan. Akbar Ali menceritakan silsilah keluarga besarnya agar aku tahu
94 Dari penggalan puisi “Lagu Hujan” karya penyair Perancis Paul Verlaine (1844-1896) terdapat dalam
Puisi Dunia, Balai Pustaka, 1952, hal. 88.
165
jelasnya. Ali Faroughi ayahnya dan juga kakek Aisha adalah asli Turki. Beliau lahir di
kota Izmir dari keluarga pedagang kain. Lulus sekolah menengah langsung diminta
ayahnya merantau ke Istambul dan membuka toko kain di sana. Beliau menuruti
anjuran ayahnya. Bakat bisnisnya luar biasa besar. Tokonya maju pesat sampai
akhirnya bisa membuat pabrik tekstil kecil-kecilan. Akhir tahun 1948 beliau menikah di
Yordan dengan seorang gadis pengungsi Palestina sebatang kara yang seluruh
keluarganya telah tewas dibantai Israel dan harta kekayaannya juga dirampas. Gadis
Palestina itu beliau bawa ke Istanbul. Enam tahun kemudian, yaitu tahun 1954,
lahirlah anak mereka yang pertama diberi nama Alia Ali Faroughi. Alia itulah ibu
kandung Aisha. Empat tahun kemudian lahirlah Akbar Ali Faroughi dan jauh setelah
itu, lima belas tahun kemudian baru lahir Sarah Ali Faroughi yang sekarang menikah
dengan Eqbal Hakan Erbakan. Ali Faroughi adalah pengikut setia Al-Imam
Asy-Syaikh Al-Mujaddid Badiuz Zaman Sa’id An-Nursi. Ali Faroughi wafat pada tahun
1993 pada usia 73 tahun, meninggalkan tiga buah perusahaan besar. Di antara ketiga
anaknya itu yang paling cerdas dan ulet adalah Alia. Dia selalu terbaik di sekolah
menengah. Dia dokter terbaik lulusan Istanbul University tahun 1976 dan langsung
mendapat beasiswa ke Jerman tahun itu juga. Di Jerman Alia mengambil spesialis
jantung. Setelah tiga tahun di Jerman ia menikah dengan seorang muallaf Jerman
namanya Rudolf Greimas, seorang pemilik swalayan. Tahun 1981 Aisha lahir. Dan
tahun 1982 Alia memperoleh gelar doktornya dengan predikat summa cumlaude dan
mengambil keputusan untuk tinggal dan bekerja di Jerman. Yang menyedihkan tujuh
tahun yang lalu, Alia tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di sebuah jalur cepat
yang berada pinggir kota Munchen, meninggalkan Aisha yang masih belia. Aku baru
tahu sebenarnya Aisha telah lama kehilangan seorang ibu.
Kira-kira setengah jam sebelum azan ashar berkumandang, Sarah Ali
Faroughi, memberi tahu semuanya telah siap. Aku minta tolong pada Eqbal agar bisa
melihat wajah Aisha sebelum berangkat. Aku ingin mengisi kembali energi cintaku.
Aku ingin menghilangkan segala galau dan melenyapkan segala pilu yang masih
terasa menyelimuti hatiku. Aku tak mau tragedi Nurul menorehkan noda dalam hatiku.
Aku harus melihat wajah Aisha yang sinarnya akan menerangi semua kisi dan relung
hatiku. Kesejukannya akan menyiram jiwaku.
Eqbal tersenyum padaku dan menarik lenganku. Dia membawaku masuk ke
sebuah kamar di sana hanya ada tiga perempuan Turki semuanya telah memaki
cadar. Eqbal minta agar Aisha membuka cadarnya. Seorang perempuan yang
166
memakai abaya paling indah perlahan membuka cadar kuning keemasannya.
Perlahan wajah yang bercahaya itu tampak dan tersenyum padaku. Aku
memandangnya lekat-lekat. Aku tersihir oleh pesonanya. Tanpa sadar hatiku
bertasbih dan berpuisi:
alangkah manis gadis ini
bukan main elok dan ayu
calon isteriku
matanya berbinar-binar
alangkah indahnya
Setelah kurasa cukup, aku meminta Aisha memakai kembali cadarnya. Kami
pun berangkat dengan menggunakan tiga sedan Mercy. Aku bersama Eqbal dan
isterinya. Aisha bersama pamannya Akbar dan isterinya. Ketua Persatuan Mahasiswa
Turki bersama sekjennya. Selama dalam perjalanan aku lebih banyak mengucapkan
istighfar. Aku berharap saat ini keluarga di Indonesia mengirimkan selaksa doa
untukku. Mereka sudah aku beri tahu detik-detik ini aku akan membuka lembaran
hidup baru. Dalam perjalanan sempat aku keluarkan pertanyaan yang mengganjal
pada Eqbal, “Ayah Aisha, Tuan Rudolf Greimas, bukankah masih hidup. Apakah
beliau akan datang?”
“Beliau memang masih hidup tapi tidak akan datang dan Aisha juga tidak
terlalu menginginkan dia datang. Yang jelas dia sudah tahu puterinya akan menikah
dengan mahasiswa Indonesia. Tentang Rudolf Greimas nanti tanyakanlah sendiri
pada Aisha, kenapa sampai dia tidak mengharapkan kedatangannya,” jawab Eqbal
Hakan.
* * *
Tepat saat adzan ashar berkumandang kami sampai di masjid tempat akad nikah
akan dilangsungkan. Sudah banyak teman-teman mahasiswa Indonesia dan
mahasiswa Turki yang sampai di sana. Aisha dan dua bibinya langsung menuju lantai
dua tempat jamaah wanita. Aku menyalami teman-teman. Mereka semua tersenyum
dan mengucapkan selamat padaku. Usai shalat ashar acara akad nikah dimulai.
Acara dilangsungkan di depan mihrab masjid. Syaikh Ustman, Syaikh Prof.Dr.
Abdul Ghafur Ja’far, Bapak Atdikbud, Eqbal Hakan Erbakan, Akbar Ali dan beberapa
syaikh Mesir yang diundang Syaikh Ustman duduk dengan khidmat tepat di depan
167
mihrab menghadap ke arah jamaah dan hadirin yang memenuhi masjid. Rupanya
saat shalat Jum’at tadi telah diumumkan akan ada acara akad nikah antara
mahasiswa Indonesia dan muslimah Turki, sehingga orang Mesir yang ada di sekitar
masjid penasaran dan masjidpun penuh. Aku duduk di sebelah kanan Akbar Ali. Di
barisan depan hadirin tampak ketua PPMI dan pengurusnya, teman-teman satu
rumah, Syaikh Ahmad Taqiyyuddin, teman-teman Mesir di program pasca dan Bapak
M. Saeful Anam dari bagian Konsuler KBRI yang akan mencatat kejadian penting ini
untuk mengeluarkan surat nikah resmi. Rudi yang paling suka pegang tustel sibuk
membidikkan kameranya. Dua orang mahasiswa Turki juga sibuk mengabdikan
peristiwa bersejarah ini dengan handycam dan kamera.
Yang menjadi pembawa acara adalah Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan
Mahasiswa Turki di Mesir. Bahasa Arab fushanya indah. Acara dibuka dengan
basmalah dan pembacaan kalam Ilahi. Lalu sambutan singkat dari keluarga mempelai
perempuan yang disampaikan Eqbal. Sambutan singkat dari keluarga mempelai pria
oleh Syaikh Utsman. Barulah akad nikah. Pihak wali perempuan mewakilkan Syaikh
Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far untuk menikahkan Aisha.
Syaikh Abdul Ghafur Ja’far, yang tak lain adalah pembimbingku menulis tesis
itu maju dan duduk di tengah lingkaran. Akbar Ali dan Eqbal Hakan menuntunku maju
dan duduk di hadapan Syaikh. Mereka berdua mendampingku. Pak Atdikbud juga
maju, duduk di samping Syaikh sebagai saksi. Ismael Akhtar juga maju sebagai saksi.
Saiful ikut maju membawakan mahar. Aku sempat melirik ke lantai dua. Aisha dan
kedua bibinya serta ratusan muslimah di sana memandang ke bawah. Ke arah
prosesi sakral ini dilangsungkan.
Sebelum memulai mengakad Syaikh Abdul Ghafur meminta kepada semua
hadirin untuk beristighfar, mensucikan hati dan jiwa. Lalu meminta kepada semuanya
untuk bersama-sama membaca dua kalimat syahadat. Aku meneteskan air mata,
hatiku basah. Aku belum pernah merasakan suasana sedemikian sakralnya. Syaikh
Abdul Ghafur menjabat tanganku erat, lalu mewakili wali menikahkan diriku dengan
Aisha. Dan dengan suara terbata-bata namun jelas aku menjawab dengan penuh
kemantapan hati:
Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur, ala manhaji kitabillah wa
sunnati Rasulillah! Aku terima nikah dan kawin dia (Aisha binti Rudolf Kremas)
dengan mahar yang telah disebut, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah!”
168
Spontan dari lantai dua terdengar wanita-wanita Mesir melantunkan
zaghrudah95 yang melengking indah. Dan Syaikh Abdul Ghafur membimbing seluruh
hadirin untuk mengucapkan doa yeng telah diajarkan oleh Rasulullah Saw.:
Baralallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair!”96
Masjid pun berdengung-dengung oleh doa seluruh hadirin. Hatiku terasa sejuk
sekali. Air mataku terus meleleh tiada henti. Aku tiada henti mengucapkan hamdalah
dalam hati. Setelah itu disambung khutbah nikah yang dibawakan Syaikh Ahmad.
Khutbah yang singkat, padat, namun membuat hatiku bergetar hebat. Diakhiri dengan
doa yang dipimpin Syaikh Utsman, doa yang membuat diriku lebur dalam keagungan
tanda-tanda kekuasaan Tuhan.
Selesai doa, Syaikh Utsman membimbing hadirin untuk melantunkan thalaal
badru, lagu kebahagiaan yang dinyanyikan kaum Anshar saat menyambut
kedatangan Nabi Muhammad Saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq di madinah setelah
menempuh perjalanan hijrah yang panjang dan melelahkan. Para hadirin berdiri,
menyalami dan merangkulku satu persatu sambil membisikkan doa barakah diiringi
lantunan thalaal badru. Gerimis di hatiku tidak mau berhenti. Air mata terus saja
meleleh. Aku kini telah memiliki seorang isteri. Subhanallah, wal hamdulillah, wa laa
ilaaha illallah, Allahu akbar!
* * *
Seperti kesepakatan setelah akad nikah kami tidak langsung zafaf. Malam
zafaf adalah setelah walimah. Dua hari lagi. Sampai rumah teman-teman
menggodaku habis-habisan. Aku tanyakan pada mereka apa sudah bisa
menghubungi keluarga Tuan Boutros. Belum bisa. Tidak enak rasanya jika mereka
tidak menghadiri walimah nanti. Meskipun berbeda agama mereka sudah seperti
keluarga sendiri.
Pukul dua belas malam teman-teman sudah tidur. Tapi aku sama sekali tidak
bisa memejamkan mata. Aku ingat banyak hal. Aku menelusuri kembali perjalanan
hidupku. Sejak masih SD, jualan tape. Lalu masuk pesantren menjadi khadim Romo
Kiai sambil melanjutkan sekolah di Tsanawiyah dan Aliyah milik pesantren. Dan
akhirnya dengan susah payah bisa sampai Mesir. Aku menangis sendiri ditemani
95 Siulan khas wanita Arab sebagai ungkapan kegembiraan.
96 Semoga berkah Allah tetap untukmu, dan semoga berkah Allah tetap ke atasmu dan semoga Allah
mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. (Hadits diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Daud,
dan Ahmad)
169
sepi.
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulihat ada yang memanggil. Aisha! Hatiku
berdegup kencang. Aku menyeka air mata dan menata perasaan. Kuangkat:
“Fahri?”
“Ya.”
“Kasihku, aku yakin kau belum tidur. Kau tidak bisa tidur. Kau pasti sedang
memikirkan aku. Ya ‘kan?” Dan klik. Diputus. Aku belum sempat menjawab.
Aku gemes sekali padanya. Pada Aisha. Ia menggodaku. Kukirim sms
padanya. Sebab jika kutelpon takut tidak dia angkat. Percuma.
“Aisha, aku sangat merindukanmu.” Tulisku.
“Aku sudah tahu. Bersabarlah. Allah mencintai orang-orang yang bersabar.”
Jawab Aisha. Aku menghela nafas panjang. Aku ingin shalat malam.
* * *
Pagi hari, usai shalat shubuh, di masjid Al Fath Al Islami, seluruh jamaah yang
mengenalku mengucapkan selamat. Rupanya Syaikh Ahmad telah memberi tahu
mereka. Dan Syaikh Ahmad mengajakku ke kamarnya di belakang mihrab. Beliau
memberikan kabar bahagia mengenai Noura.
Alhamdulillah kebenaran itu terkuat juga. Dari tes DNA, gen Noura tidak sama
dengan gen Si Muka Dingin Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima. Gen Noura
justru sama dengan milik suami isteri bernama Tuan Adel dan Madame Yasmin yang
kini jadi dosen di Ains Syam University yang saat itu melahirkan bayinya bersamaan
harinya dengan Madame Syaima. Dan Nadia gadis yang selama ini mereka besarkan
dengan penuh kasih sayang sama gennya dengan Si Muka Dingin Bahadur dan
Madame Syaima. Dua bayi itu tertukar. Noura memang mirip sekali dengan Madame
Yasmin dan Si Nadia mirip dengan Madame Syaima. Mereka telah menemukan orang
tua masih-masing. Noura bahagia dan Nadia nelangsa. Untungnya Tuan Adel dan
Madame Yasmin tetap meminta Nadia tinggal bersama mereka. Sebab Nadia telah
dianggap sebagai anaknya sendiri. Si Muka Dingin Bahadur sedang diproses atas
segala kejahatannya. Mendengar kabar bahagia itu aku merasa sangat bahagia.
Gadis innocent yang lembut itu akhirnya benar-benar menemukan taman
kebahagiaan yang selama ini hilang.
170
Usai dari masjid aku mengajak musyawarah teman-teman satu rumah. Tak
lama lagi aku akan meninggalkan mereka. Iuran sewa rumah bulan depan aku bayar
sekalian. Jadi mereka tidak bertambah beban meskipun aku tidak lagi satu rumah
dengan mereka. Namun aku minta tolong kepada mereka agar bulan berikutnya
sudah ada yang menggantikan aku. Teman-teman rela melepaskan aku dan
mendoakan semoga hidup bahagia. Mereka minta agar aku tidak segan dan masih
sering main ke Hadayek Helwan. Mereka bertanya aku akan tinggal di mana. Aku
menjawab, “Belum tahu. Semua yang mengurus isteri tercinta!” Kontan mereka
menyahut bareng, “Enaknya punya isteri gadis Turki yang shalehah seperti Aisha!”
Aku tersenyum mendengarnya.
Pukul sembilan Paman Eqbal—setelah akad nikah aku harus memanggilnya
paman—dan tiga mahasiswa Turki datang kembali dengan pick up. Hendak
mengangkut semua barangku yang tersisa. Dia belum juga mau mengatakan rumah
yang akan kami tempati itu di mana. “Nanti kau akan tahu juga!” jawabnya enteng.
Hari berikutnya adalah pesta walimatul ursy di Darul Munasabat Masjid Rab’ah
El-Adawea, Nasr City. Sejak ashar aku telah berada di rumah mahasiswa Turki yang
telah berkeluarga di Hadidar Toni Street. Namanya Subhan Tibi. Isterinya bernama
Laila Belardi. Mereka teman baik Paman Eqbal dan Bibi Sarah. Di rumah mereka
yang letaknya kira-kira satu kilometer dari lokasi walimah, aku dan Aisha dirias ala
pengantin Turki. Aisha benar-benar seperti bidadari. Tapi elok wajahnya tersembunyi
di balik cadar tipis keemasan. Dan inilah untuk pertama kali kami duduk bersanding di
dalam mobil mewah. Selama dalam perjalanan menuju tempat walimah aku tak berani
menyentuhnya. Kelihatannya Aisha gemes melihat ketidakberanianku. Ia meletakkan
tangannya di atas telapak tanganku. Dengan ragu-ragu aku memegang tangannya.
Dan hatiku berdesir hebat. Itulah untuk pertama kalinya aku memegang tangan halus
seorang gadis.
Pesta walimah sangat meriah. Di mulai tepat setelah ashar. Ada panggung di
depan. Tempat lelaki dan wanita di pisah dengan satir. Pengantin lelaki berbaur
dengan undangan lelaki dan pengantin wanita berbaur bersama pengantin wanita.
Panggung yang indah itu rupanya untuk hiburan. Tim Shalawat Turki menunjukkan
kebolehannya. Juga tim nasyid Indonesia. Ada juga pantomim, sumbangan dari
teman-teman KSW. Tadzkirah di sampaikan oleh Dr. Akram Ridha, pakar psikologi
yang juga seorang dai terkemuka di Kairo. Semua berjalan dengan sangat mengesan
bagi siapa saja yang hadir malam itu.
171
Setelah acara berakhir, dan tamu undangan telah banyak yang pulang, Paman
Eqbal membawaku ke tempat pengantin wanita. Di sana ternyata ada pelaminan yang
telah dihias indah. Aisha sudah duduk manis duduk di sana. Aku diminta untuk duduk
di sampingnya untuk diabadikan dalam foto dan video.
Aisha minta dipangku dan disuapi kue. Lalu minta dibopong dan digendong. Ia
juga minta difoto dalam gaya-gaya dansa. Ada-ada saja. Ia sangat mesra dan manja.
Tapi ia sangat tahu menjaga diri, ia tidak minta dicium saat itu. Kemesraan kami yang
tak lama itu tidak ada yang melihat kecuali beberapa muslimah, Paman Eqbal dan
Paman Akbar Ali. Saat adzan maghrib berkumandang dari menara masjid. Aku dan
Aisha telah berada di dalam Limousin meluncur menuju tempat untuk malam zafaf.
Menjadi sopir kami adalah Paman Eqbal Hakan Erbakan, isterinya Sarah duduk
disampingnya dengan si kecil Hasan di pangkuannya. Di belakang kami mobil Paman
Akbar Ali membuntuti. Ia bersama isterinya dan si kecil Amena. Selama dalam
perjalanan kami diam tanpa bicara apa-apa namun tangan kami erat berpegangan.
Mobil kami terus melaju. Lampu-lampu telah menyala seperti bintangbintang.
Langit merah bersemburat indah. Mobil melaju diatas jalan layang yang membelah
Ramsis. Terus ke Barat. Apakah Paman Eqbal akan membawa kami ke hotel? Aku
tidak tahu. Semua mahasiswa Indonesia yang menikah di Cairo tidak ada yang
menghabiskan malam pertama di hotel. Semuanya menghabiskan malam pertama di
rumah kontrakan yang sederhana. Di depan sudah tampak sungai Nile. Kami
melewati Ramses Hilton. Mobil terus melaju. Aisha menyandarkan kepalanya di
pundakku. Aku merasakan suasana yang sangat indah. Kami berada di atas
Jembatan 6th Oktober yang menyeberangi sungai Nil. Restauran dan night club
terapung telah menyalakan lampunya. Di depan sana agak ke selatan di tengah
daratan seperti pulau di tengah sungai Nil tampak Cairo Tower menjulang tinggi.
Daratan yang dikelilingi sungai Nile itu disebut daerah El-Zamalik. Kawasan yang
sangat elite dan indah. Eqbal membelokkan mobil dan turun dari jembatan ke
El-Gezira Street. Kami berada di daerah El-Zamalik. Mobil terus berjalan ke utara
menyusuri pinggir sungai Nil. Melewati Cairo Marriot Hotel. Melewati Kedutaan
Swedia. Akhirnya sampai di Muhamad Mazhar Street. Di sebuah gedung bertingkat
dua belas yang berada tepat di pinggir sungai Nile kami berhenti.
Paman Eqbal membawa kami masuk. Di dalam gedung dekat tangga naik dan
lift ada dua penjaga berdasi dan membawa senapan otomatis. Paman Eqbal
berbincang dengan mereka sebentar lalu menarik lenganku.
172
“Ini saudara saya, Fahri Abdullah dari Indonesia, dia nanti yang akan
menempati flat nomor 21 bersama isterinya. Mereka berdua akan menggantikan Mr.
Edward Minnich yang telah pindah bulan yang lalu.”Kata Paman Eqbal
memperkenalkan diriku. Dua penjaga itu tersenyum dan menjabat tanganku sambil
berkata, “Selamat datang di apartemen ini pengantin baru!” Penampilanku dan Aisha
memang mudah sekali ditebak.
Kami lalu masuk lift dan naik ke lantai tujuh. Tiap lantai ada tiga flat. Flat nomor,
19, 20 dan 21 berada dalam satu lantai. Paman Eqbal membuka pintu flat nomor 21.
Kami masuk. Paman Eqbal menyalakan lampu. Dan tampaklah sebuah ruangan tamu
yang mewah. Lebih mewah dari rumah Bapak Atase Pendidikan di Dokki. Kami duduk
di sofa yang empuk. Tak lama kemudian Paman Akbar Ali dan isterinya masuk.
Mereka langsung duduk.
“Gimana pengantin baru, kalian sudah siap?” tanya Paman Eqbal sambil
tersenyum.
Aku diam tidak menjawab kecuali dengan senyum.
“Baiklah Fahri, kau berbahagialah malam ini bersama isterimu. Kami tidak akan
lama-lama di sini. Ini kuncinya peganglah. Dua penjaga itu yang hitam namanya
Hosam dan yang kuning namanya Magdi. Kau sudah lama di Mesir jadi kau tidak akan
asing berada di sini. Jika ada apa-apa telpon aku. Kami pamit dulu. Semoga umur
kalian penuh berkah.” Pamit Paman Eqbal sambil berdiri dari duduknya.
“Aisha dan kau Fahri, kami juga pamit. Malam ini juga kami akan terbang ke
Istanbul. Sudah tiga hari kami di sini. Nanti kalau ada waktu kami akan mengunjungi
kalian,” kata Akbar Ali Faraughi, paman Aisha. Aisha memeluk pamannya dengan
mata berkaca-kaca. Lalu gantian aku memeluknya, dan dia berbisik, “Jaga dia
baik-baik Fahri, aku percaya padamu!”
“Insya Allah, paman. Doanya. Salam buat seluruh keluarga di Turki.” jawabku.
Kulihat Aisha lalu berpelukan dengan Elena Hashim, isteri Akbar Ali. Setelah itu ia
memeluk bibinya, Sarah Ali Faraughi dengan tangis pecah.
“Aisha kau sudah hidup di dunia baru. Kuatkanlah dirimu dengan takwa. Minta
tolonglah kepada Allah dengan shalat dan kesabaran. Dan layanilah suamimu dengan
sebaik-baiknya. Ridha suamimu adalah surgamu,” suara Bibi Sarah terdengar parau.
Mereka lalu beranjak keluar. Satu persatu meninggalkan pintu. Kami
173
mengantar sampai di pintu. Terakhir Paman Eqbal memeluk diriku sambil berkata,
“Fahri, kau tentu ingat pelajaran hadits di kuliah, Rasulullah bersabda, ‘Orang pilihan
di antara kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.
Kumohon, muliakanlah isterimu. Bawalah dia hidup di jalan yang diridhai Allah!’
Insya Allah, doakanlah kami,” jawabku.
Tak lama kemudian mereka hilang di telan pintu lift. Kami masuk kembali ke
dalam flat dan menutup pintu.
* * *
Mereka telah pergi meninggalkan kami berdua. Kami salah tingkah. Wajah
Aisha merona. Tubuhku panas dingin. Kami merasa sama-sama canggung mau
berbuat apa. Tapi kami merasa itulah indahnya.
“Kita belum shalat maghrib,” lirih Aisha. Ia masih berdiri tak jauh di depanku
dengan wajah menunduk. Aku tersadar, waktu sudah mepet, aku harus segera
memberanikan diri melakukan sesuatu. Ada sunnah Rasulullah yang harus aku
amalkan ketika untuk pertama kalinya berada dalam satu kamar atau satu rumah
dengan pengantinku. Aku bergerak mendekati Aisha dan menggamit tangannya.
“Kamar kita di mana, Sayang?” tanyaku pelan.
“Sini,” jawab Aisha sambil melangkah ke sebuah kamar.
Pintu kubuka. Gelap. Lampu kunyalakan, tampaklah kamar pengantin yang
berhias indah, wangi dan sangat romantis. Kuajak Aisha duduk di ranjang. Aku
membaca basmalah dengan segenap penghayatan akan ke-MahaRahman-an dan
ke-Maharahim-an Allah. Lalu kupegang ubun-ubun kepala Aisha dengan penuh kasih
sayang sambil berdoa seperti yang diajarkan baginda Nabi,
Allaahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa a’udzubika
min syarriha wa syarri ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu
kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlindungan-Mu dari
kejahatannya dan kejahatan wataknya. Amin.”97
Kulihat Aisha memejamkan kedua matanya dan dari mulutnya terdengar
amin..amin..amin, berkali-kali. Ia sudah mengerti bagaimana memasuki malam zafaf
agar pernikahan penuh berkah. Setelah itu kulanjutkan dengan doa yang diriwayatkan
97 Sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Ibnu Majah, Abu Daud, dan
Ibnu Sinni.
174
oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkaar,
Baarakallaahu likulli waahidin minna fi shaahibihi. Semoga Allah
membarakahi masing-masing di antara kita terhadap teman hidupnya.”
Lalu kukecup ubun-ubunnya sambil menangis dan mengulang doa itu
berkali-kali. Aisha terus mengucapkan amin..amin..amin, dengan air mata meleleh di
pipinya. Barulah kuajak Aisha untuk mengambil air wudhu dan shalat maghrib
berjamaah. Setelah shalat maghrib membaca dzikir, shalat sunnah ba’diyah,
membaca wirid dan doa rabithah. Menjelang Isya kuajak Aisha untuk shalat sunnah
bersama sebagaimana dilakukan salafush shalih, agar pernikahan kami ini penuh
barakah. Selesai shalat aku membaca doa sebagaimana diajarkan baginda nabi
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud,
Allaahumma baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allaahumma ijma’ bainana
ma jama’ta bikhair, wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah, barakahilah
bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku. Ya Allah,
kumpulkan antara kami apa yang engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan
antara kami jika engkau memisahkan menuju kebaikan. Amin.”
Di belakangku Aisha khusyu mengucapkan amin..amin..amin, kabulkan ya
Allah, kabulkan ya Allah, kabulkan ya Allah, dengan rahmat dan kasih-Mu.
Usai shalat dan berdoa aku berbalik menghadap Aisha, aku hendak mengelus
kepalanya. Aisha malah mencium tanganku sambil terisak-isak. Adzan Isya
berkumandang. Kupegang kepala Aisha dengan kedua tanganku. Kupandangi
lekat-lekat wajahnya yang jelita. Kuseka air mata yang melelah di pipinya.
“Fahri, aku mencintaimu.” Ia mengucapkannya dengan penuh kesungguhan.
“Aku juga mencintaimu, Aisha,” jawabku sambil mengecup keningnya penuh
cinta.
“Kecupan pertama yang tak akan pernah kulupa,” lirih Aisha.
“Aisha, cinta Tuhan memanggil-manggil kita. Saatnya shalat Isya. Aku ke
masjid dulu untuk shalat berjamaah. Kau shalat di rumah saja ya. Dalam suasana
seperti apapun shalat fardhu adalah utama.”
Dia mengangguk.
“Tapi selesai shalat langsung pulang. Jangan lama-lama di masjid. Shalat
sunnahnya di rumah saja.”



Ayat - Ayat Cinta - Bab 18

No comments:

Post a Comment