18. Saat-saat Indah di Tepi Sungai Nil
Di masjid aku bertemu Magdi penjaga apartemen. Aku sangat senang
ada
polisi yang rajin berjamaah seperti dia. Aku berbincang dengannya
sebentar. Dia
ternyata sekolah menengahnya dulu di Ma’had Al Azhar,
Damanhur. Dan dia bukan
satpam biasa, tapi polisi khusus yang ditugaskan untuk menjaga
keamanan beberapa
diplomat yang tinggal di apartemen itu. Ketika kukenalkan diriku
dia sangat senang
sekali. Lalu aku dikenalkan pada imam masjid yang bernama Syaikh
Abdurrahim
Hasuna. Beliau senang sekali berkenalan denganku. Beliau bahkan
mempersilakan
diriku untuk melihat perpustakaan pribadinya jika aku
memerlukannya. Aku senang
dengan tawarannya.
Selesai shalat berjamaah dan berdzikir secukupnya aku langsung
pulang.
Shalat sunnah di rumah saja. Aku tak ingin Aisha menunggu lama.
Usai shalat sunnah
Aisha telah siap dengan penampilan yang membuat seorang suami
senang. Penuh
pesona. Parfumnya segar. Ia benar-benar mengerti hukum memakai
parfum. Selama
memakai gaun pengantin di acara walimah, ia sama sekali tidak
memakai parfum.
Justru ketika di rumah berduaan denganku ia memakainya.
Aisha mengajakku ke balkon. Ia telah mempersiapkan segalanya.
Isteri yang
baik. Lampu balkon ia matikan. Kaca riben menutup balkon rapat.
“Ini kaca khusus, aman dari pandangan luar tapi tidak mengurangi
jernihnya
kita memandang keluar, bahkan menambah kejernihan pandangan di
malam hari.
Kalau mau kita juga bisa membuka kaca ini.” Kata Aisha sambil
seluruh menyibak
sebagian gorden yang masih menutupi balkon. Dan tampaklah panorama
sungai Nil
malam hari.
Posisi balkon rumah kami sangat strategis. Tepat menghadap ke
sungai Nil
Dari ketinggian lantai tujuh kami bisa melihat kerlap-kerlip lampu
gedung-gedung nun
jauh di sana. Kami bisa melihat indahnya riak sungai Nil tertimpa
cahaya lampu kota.
Gemerlap lampu-lampu hias dari perahu-perahu kecil yang bergerak
pelan.
Mobil-mobil yang seperti semut di sepanjang kornes Nil sana.
Pesona Cairo Plaza
Tower yang menjulang megah. Juga Imbaba Brige, salah satu jembatan
terpenting
yang melintas di atas sungai Nil.
Apartemen di mana kami berada memang terletak di ujung utara pulau
di
tengah sungai Nil. Inilah salah satu keindahan kota Cairo. Kota
Cairo dibelah oleh
sungai Nil yang mengalir dari selatan ke utara. Dan di tengah kota
Cairo sungai Nil ini
176
terbelah menjadi dua, di mulai dari selatan di dekat Tahrir dan
kembali menyatu di
dekat Imbaba. Daratan mirip pulau Samosir berbentuk pisang yang
berada ditengah
belahan sungai Nil ini terbagi dua kawasan, yang selatan disebut
El-Gezira dan yang
utara di sebut El-Zamalik. Di daratan—yang aku lebih suka menyebut
pulau di tengah
sungai Nil—ini berdiri bangunan-bangunan penting. Di ujung selatan
berdiri hotel
mewah Gezira Sheraton dan El-Burg. Juga Cairo Opera House, Cairo
Tower,
Egyptian Civilization Musium, National Sporting Club dan Nile Aquarium
and Grotto
ada di pulau ini. Sekali lagi aku lebih senang menyebutnya pulau.
Di dekat 26 July
Bridge yang melintas di atas pulau ini berdiri Cairo Marriott
Hotel yang mewah.
Beberapa kedutaan negara asing seperti Jerman, Belanda, Swedia,
Albania,
Argentina, Pakistan dan lain sebagainya ada di pulau ini. Di ujung
utara, tak terlalu
jauh dari aparteman kami berdiri President Hotel. Memang sangat
nyaman
menghabiskan malam di tempat yang nyaman dan romantis seperti ini.
Di balkon, ada kursi malas khas Mesir yang sangat nyaman untuk
bermesraan
berdua. Orang-orang menyebutnya kursi Cleopatra. Ada dua bantal di
atasnya. Di
sampingnya ada meja kayu kecil di mana Aisha meletakkan dua gelas
susu.
Mula-mula kami berdua duduk biasa. Kami masih canggung. Kami salah
tingkah.
Kami tak tahu dari mana kami mulai. Tak sepatah kata pun keluar
menjadi perantara.
Tak terasa keringat dingin malah mulai keluar. Ada rasa gelisah
yang entah
menyusup dari mana. Mungkin Aisha mengalami hal yang sama. Tak
mungkin dia
yang memulai.
Aku mencoba menghilangkan kegelisahan dan kecanggunganku dengan
mengambil minuman yang dibuat Aisha. Kucicipi sedikit.
“Kenapa susunya rasanya asin seperti diberi garam ya?” Pelanku
pada Aisha.
“Be..benarkah?” Aisha sedikit kaget.
“Iya. Coba kau rasakan!”
Aisha mengambil gelas dari tanganku dan merasakannya.
“Ah, manis. Tidak asin,” katanya.
Gelas itu kembali kuminta dan kurasakan.
“Sayang, asin begini kok dibilang manis. Mungkin bukan gula yang
kau
masukkan tapi garam. Coba kau rasakan lagi!” Aisha kembali
mencicipi. Dia
memandangku dengan sedikit heran.
177
“Ini manis Fahri, tidak asin!”
“Aishaku sayang ini asin! Cobalah julurkan lidahmu dan masukkan ke
dalam
minuman itu. Lalu rasakanlah dengan seksama. Pasti kau akan
merasakan asinnya.
Kau terlalu sedikit mencicipinya. Lidahmu mungkin kurang peka.”
Aisha menuruti kata-kataku. Ia menjulurkan lidahnya ke dalam
gelas. Sesaat
lidahnya seperti mengaduk-aduk air susu di dalam gelas itu.
“Tidak Fahri, tidak asin! Lidahmu yang mati rasa, bukan lidahku!”
Suaranya
terdengar lebih tegas.
“Benarkah? Coba!”
“Nih.”
Aku lalu meminumnya sampai tiga teguk.
“Hmm..setelah lidahmu menyentuhnya dan mengaduk-aduknya, minuman
ini
jadi manis sekali. Belum pernah aku meminum minuman semanis ini.
Memang benar
sabda nabi jika seorang bidadari di surga meludah ke samudera maka
airnya akan
jadi tawar rasanya. Dan lidahmu mampu merubah susu yang asin ini
jadi manis,
Bidadariku.”
“Sialan kau Fahri, kau mengerjaiku ya!” seru Aisha sambil mencubit
pahaku
manja.
Suasana jadi cair dan romantis. Rasa canggung pun hilang.
Aisha menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku beringsut merubah
posisi
duduk. Kupasang bantal di kepala dan kurebahkan tubuhku ke
sandaran kursi yang
dilapisi busa empuk . Kutarik tubuh Aisya rebahan di dadaku. Aku
bebas
membelai-belai rambutnya atau memeluknya. Di langit sana
bintang-bintang
kedap-kedip seperti mata para bidadari yang mengerling cemburu
kepada kami. Hati
terasa sejuk dan bahagia. Inilah yang membedakan yang halal dan
yang haram.
Bermesraan dengan perempuan yang halal, istri yang sah, adalah
ibadah yang dipuji
Tuhan. Sedangkan bermesraan dengan perempuan yang tidak halal
adalah dosa
yang dilaknat Tuhan.
Tuhan telah membukakan pintu-pintu kenikmatan yang mendatangkan
pahala,
maka alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakannya. Lebih bodoh
lagi yang
memilih pintu dosa dan neraka.
178
Sambil memandang keindahan panorama sungai Nil malam hari, tanpa
kuminta Aisha mulai bercerita tentang dirinya, ibunya dan ayahnya,
“Kurasa ibuku adalah wanita paling mulia di dunia. Ia muslimah
sejati yang
menempatkan ibadah dan dakwah di atas segalanya. Dan aku sangat
beruntung
terlahir dari rahimnya. Ketika berumur 22 tahun ibuku menjadi
lulusan terbaik fakultas
kedokteran Universitas Istanbul. Saat itu beliau dilamar anak
pejabat yang
menjanjikannya akan membuatkan rumah sakit terbesar di Turki. Tapi
beliau tolak,
sebab anak pejabat itu sangat sekuler dan sama sekali tidak
menghargai ajaran
agama. Dalam padangan beliau, seandainya menikah dengannya sangat
sedikit
sekali peluang untuk menariknya ke jalan yang lurus hanya akan
membuang tenaga.
Beliau memilih mengambil beasiswa ke Jerman. Dalam keyakinan ibu,
menekuni
bidang ilmu dengan serius adalah dakwah. Dalam waktu dua tahun
beliau mampu
meraih gelar master untuk spesialis jantung. Padahal master di
Jerman rata-rata
empat tahun. Saat itu juga beliau diterima bekerja di sebuah rumah
sakit di Munchen
sambil meneruskan program doktor. Di Turki, pinangan untuk ibu
silih berganti
berdatangan dari kolega dan kenalan bisnis kakek. Tapi ibu ingin
pernikahannya ada
nilai dakwahnya. Ibu ingin mendapatkan kehormatan yang lebih baik
dari terbitnya
matahari, yaitu menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang.
Ibu pernah berkunjung ke Swiss dan berkenalan dengan Wafa Al
Banna, puteri
Hasan Al Banna yang saat itu tinggal di sana bersama suaminya Dr.
Said Ramadhan.
Sebuah perkenalan yang berarti bagi ibu untuk semakin mantap
menapak di jalan
dakwah. Berislam, menurut ibu tidak berarti harus memusuhi Barat.
Tetapi justru
memperjuangkan Islam lewat Barat. Ibu seringkali bertanya pada
orang-orang muslim
di Eropa, di Jerman khususnya, ‘Apa kontribusi yang telah
diberikan seorang muslim
di Barat untuk dunia?’
Akhirnya pada tahun 1979 ada seorang konglomerat pemilik swalayan
di
beberapa kota besar di Jerman mendatangi Islamic Centre dan
menyatakan
ketertarikannya kepada Islam. Ia tertarik kepada Islam karena
hukum keluarga dalam
syariat Islam yang indah. Yang mengatur sedemikian detil hak dan
kewajiban suami
isteri. Dalam syariat Islam peselingkuhan adalah dosa besar. Dan
syariat telah
memberikan pagar yang kuat yang jika pagar itu tidak dilanggar
maka tidak akan ada
perselingkuhan yang merusak tatanan keluarga dan masyarakat.
Konglomerat itu
sangat tertarik dengan itu semua. Dia secara materi memang cukup tapi
batinnya
kering. Dia telah menikah dengan tiga orang wanita Eropa tapi
semuanya
179
berselingkuh dan perkawinannya dengan mereka selalu gagal. Dia
ingin seorang
isteri yang setia. Dia ingin membuktikan apakah benar wanita
muslimah adalah wanita
yang setia. Dia siap masuk Islam jika ada seorang muslimah yang
bersedia jadi
isterinya yang setia. Mendengar hal itu ibu langsung menyatakan
kesediaannya
menikah dengan lelaki setengah baya itu. Umur ibu saat itu 25
tahun dan umur lelaki
itu 45 tahun. Terpaut 20 tahun. Jadi konglomerat itu lebih pantas
menjadi ayah ibu.
Banyak orang menyayangkan keputusan ibu. Aku sendiri, seandainya
jadi ibu tidak
akan sekuat itu. Keluarga di Turki hampir semua tidak setuju
kecuali nenek. Wanita
asli Palestina itu satu-satunya yang justru setuju. Demi dakwah,
nyawa pun
dipertaruhkan, kata nenek saat itu. Akhirnya kakek merestui juga.
Jadilah ibu menikah
dengan konglomerat itu. Fahri, apakah kau tahu siapa konglomerat
itu?”
Aku membelai rambut Aisha. Sesekali mengecup kepalanya. Bau
rambutnya
yang hitam sangat khas dan wangi. Aku belum pernah mencium bau
seperti rambut
Aisha.
“Fahri, kenapa kau diam saja? Kau mendengarkan ceritaku apa
tidak?” Aisha
merajuk manja.
“Mendengarkan dengan seksama.Konglomerat itu, kukira adalah
ayahmu,
Tuan Rudolf Greimas?”
“Benar.”
“Nama ayahmu mengingatkan aku pada seorang tokoh?”
“Siapa dia?”
“AJ. Greimas, filsuf strukturalis Perancis. Ada hubungan darah
dengannya?”
“Tidak. Ayah bahkan aslinya berdarah Tunis. Kakek ayah lahir di
Tunisia.
Namanya Omar. Jadi nama ayah lengkapnya Rudolf Greimas Omar.”
“Jadi semestinya sebutan untuk ayahmu adalah Rudolf Omar. Omar
dijadikan
nama keluarga. Bukan Greimas.”
“Semestinya begitu, tapi entahlah ayah tidak mau. Ibu pernah
menggugat
masalah itu. Tapi ayah tak menanggapinya.”
“Terus bagaimana kisah ibumu dengan ayahmu setelah menikah. Apakah
tujuan ibumu untuk berdakwah berhasil?”
“Dalam penilaianku ibu berhasil. Setelah menikah dengan ayah,
beliau
180
memberikan semua yang dimilikinya pada ayah. Dalam diri ibu, ayah
mendapatkan
segala yang diinginkan seorang suami pada isterinya, seorang
kekasih pada
pacarnya, seorang lelaki pada wanita, dan seorang yang haus pada
penawar
dahaganya. Ayah mengakui ibu adalah wanita terbaik, isteri terbaik
dan teman terbaik
yang beliau miliki. Akhirnya ayah tekun beribadah dan tidak malu
menampakkan
identitas kemuslimanannya. Banyak pekerja swalayannya yang
tertarik kepada Islam
dan masuk Islam. Dengan itu semua ibu mampu menyalurkan dana untuk
lembaga
dakwah di Jerman. Tahun 1981, dua tahun setelah menikah, ibu
melahirkan aku.
Ayah sangat gembira sekali. Tiga isterinya terdahulu tidak
memberinya apa-apa
selain pengkhianatan. Sebagai hadiah ayah membuatkan klinik
kesehatan di sebuah
kawasan elite kota Munchen untuk ibu. Ibu tentu saja senang. Dan
beliau meminta
agar kepemilikan klinik bersalin itu atas namaku. Ayah setuju.
Tahun berikutnya ibu
meraih gelar doktor untuk spesialis jantung dengan predikat
tertinggi. Beliau langsung
diminta mengajar di Universitas Munchen.
Sejak itu, menurut cerita ayah, sejak itu ibu sangat sibuk. Tapi
ibu mampu
mengatur waktu dengan baik. Mengasuh aku, mengurus suami, mengurus
klinik,
menjadi wakil direktur rumah sakit, dan mengajar di universitas.
Tidak hanya itu ibu
masih bisa menyempatkan waktu untuk mengadakan penelitian di
laboratorium.
Hasilnya adalah, beliau menemukan tiga jenis obat yang sangat
berguna bagi dunia
kedokteran. Tiga jenis obat itu telah dipatenkan atas nama ibu dan
kini digunakan di
seluruh dunia.
Dalam keadaan sesibuk itu, ibu masih sangat perhatian pada ayah.
Bagi ibu
ayah adalah segalanya. Ayah adalah cintanya yang pertama dan
terakhir. Ini tentu
membuat ayah merasa tersanjung bukan main. Jika suatu ketika ayah
mengadakan
pertemuan dengan koleganya, banyak koleganya yang iri pada ayah yang
memiliki
seorang isteri yang cantik, masih muda, berpendidikan tinggi, dan
sangat setia. Ayah
sendiri yang menuturkan hal ini padaku. Ibu tidak pernah menuntut
atau meminta
sesuatu pada ayah. Dan semua keinginan ayah jika ibu mampu, dan
selama tidak
melanggar syariat ibu pasti akan memenuhinya. Bagi ibu memuliakan
suami adalah
dakwah paling utama bagi seorang isteri.
Hasilnya, ayah seringkali menjadi pembela kepentingan kaum muslim
di
Jerman. Ayah juga memberikan beasiswa untuk mahasiswa muslim yang
belajar di
Jerman. Banyak mahasiswa muslim yang meraih doktornya di Jerman
dengan
tunjangan beasiswa dari ayah. Dan mereka saat ini memiliki
peran-peran signifikan di
181
negaranya. Kalau boleh aku mengatakan, secara tidak langsung itu
semua adalah
atas keikhlasan hati ibu mewakafkan dirinya di jalan dakwah. Kalau
seandainya ibu
mau menikah dengan ayah karena materi, maka ibu sendiri tidak
kekurangan materi.
Ketika ibu menikah dengan ayah, perusahaan kakek di Turki telah
maju pesat.
Perusahaan garmennya telah mengisi pasar di seluruh penjuru Timur
Tengah dan
Asia Selatan. Dan ibu mampu untuk mencari suami yang lebih muda
dan lebih kaya
dari ayah di Turki. Tapi pertimbangan ibu pada waktu itu adalah
konstribusinya di jalan
dakwah. Itu yang aku kagumi dari ibu dan aku tidak akan mampu
menirunya. Aku
tidak mungkin mau menikah dengan seorang lelaki yang telah tiga
kali kawin cerai dan
umurnya 20 tahun lebih tua dariku. Ayah sangat beruntung sekali
memperistri ibu.”
“Bagaimana kau tahu begitu banyak tentang ibumu, tentang
pikirannya dan lain
sebagainya padahal kau masih belia saat ibumu meninggal?”
“Sebagian aku tahu dari apa yang kulihat dan kudengar dari ibu.
Sebagian dari
paman Akbar, dari nenek, dari bibi Sarah, dari ayah, dan dari
beberapa muslimah di
Jerman yang menjadi teman baik ibu serta dari belasan diary ibu.
Ibu orang yang
paling suka mencurahkan isi hatinya, dan hari-hari yang dialaminya
ke dalam
diarynya.”
“Aku jadi sangat kagum pada ibumu.”
“Seandainya dia masih hidup kau akan sangat bahagia bertemu dengannya.
Dia tumbuh di Turki, memperoleh pendidikan tinggi dan berkiprah di
Jerman, tapi dia
tetap titisan perempuan Palestina. Jiwanya jiwa pejuang sejati.”
“Kalau ayahmu, masih ada?”
“Masih.”
“Kenapa dia tidak datang?”
“Inilah yang ingin aku ceritakan. Ayahku sekarang tidak seperti
ayah waktu ibu
masih hidup.”
“Maksudmu?”
“Aku sedih setiap kali mengingatnya. Ayah telah rusak kembali
seperti sebelum
menikah dengan ibu. Ia telah meninggalkan Islam dan suka
bergontaganti pasangan
hidup.”
“Bagaimana hal ini bisa terjadi?”
182
“Mulanya adalah kecelakaan yang menewaskan ibu pada tahun 1995.
Saat itu
hujan lebat, ibu pulang dari mengisi seminar keislaman di pinggir
kota Munchen. Dia
mengendarai mobil sendiri. Ada mobil melaju kencang di belakang
ibu. Mobil itu selip
dan menambrak mobil ibu. Mobil ibu terbalik dan terlempar lima
meter dari ruas jalan.
Ibu meninggal seketika. Saat itu umurku baru empat belas tahun.
Mendengar kabar
itu ayah sangat terpukul. Ayah merasa kehilangan cahaya hidupnya
dan kehilangan
segalanya. Berbulan-bulan lamanya ayah linglung. Untung paman
Akbar Ali
mengetahui kondisi yang tidak baik bagiku ini. Beliau akhirnya
mengambilku dan
menitipkan pada sahabat karib ibu waktu di Istanbul yang tinggal
di Zurich, Swiss.
Juga seorang dokter. Namanya Khaleda. Aku memanggilnya Madame Khaleda.
Kebetulan beliau tidak memiliki anak. Beliau mencurahkan segala
kasih sayangnya
padaku. Munchen-Zurich tidak jauh. Ayah sering menengok aku. Dan Madame
Khaleda juga sering mengajakku menengok ayah. Aku melanjutkan pendidikan
di
Zurich. Sementara ayah masih belum bisa menerima kenyataan yang
dialaminya
sampai dua tahun setelah itu.
Lalu ada sebuah peristiwa kecil yang menggoncang iman ayah. Pada
tahun
1997 ayah mengunjungi keluarga di Turki. Saat itu bibi Sarah kebetulan
sedang
pulang berlibur dari Mesir. Bibi Sarah memang sangat mirip dengan
ibu. Ayah melihat
bibi Sarah seperti melihat ibu. Saat itu umur bibi Sarah tepat 24
tahun. Dan saat ibu
menikah dengan ayah tahun 1979 umurnya 25 tahun. Jadi ayah seolah
melihat ibu
ketika baru menjadi isterinya dulu. Seketika itu juga ayah melamar
bibi Sarah untuk
dijadikan isteri menggantikan ibu. Sebelumnya ayah memang tidak
pernah melihat
bibi Sarah. Waktu ayah sering berkunjung berkunjung ke Turki
awal-awal delapan
puluhan bibi Sarah masih ingusan. Dan ketika berjumpa dengan bibi
tahun 1997, bibi
telah menjelma menjadi gadis dewasa yang matang dan telah
menyelesaikan
Licencenya
di Al Azhar. Wajahnya, suaranya dan lemah lembutnya sangat mirip
dengan ibu. Ayah benar-benar tergila-gila pada bibi Sarah. Ayah
menganggap bibi
Sarah adalah reinkarnasi ibu. Saat itu ayah sudah 63 tahun, sama
dengan umur
baginda Nabi saat meninggal dunia.
Dengan tegas bibi menjawab tidak bisa menerima lamaran ayah. Dan
itu
sangat masuk akal. Bagaimana mungkin bibi mau menikah dengan
seorang
kakek-kakek. Jawaban bibi ternyata tidak bisa dimaklumi ayah. Ayah
merasa
direndahkan dan tidak dihargai. Ayah merasa orang yang terhormat
di Jerman. Belum
pernah ditolak wanita. Menurut ayah seharusnya bibi Sarah yang
telah belajar di Al
183
Azhar seperti ibu. Bersedia menjadi isteri ayah dan mencari suami
tidak memandang
umur. Tapi memandang prospek dakwah dan pengabdian seperti ibu.
Bibi
membantah anggapan ayah itu, pintu dakwah terbuka lebar-lebar di
mana saja.
Prospek dakwah tidak hanya dengan menikah dengan ayah yang telah
renta. Ayah
sangat terpukul dengan jawaban bibi.
Sebagai pelariannya, tanpa pikir panjang, ayah menikah dengan
siapa saja
yang mau menikah dengannya. Keislaman ayah ternyata belum kuat
meskipun telah
hidup 16 tahun bersama ibu. Lama-lama karena hidup sering berganti
pasangan
hidup keislamanannya luntur. Dan tahun 1999 beliau menikah dengan
seorang gadis
di sebuah gereja di Yunani. Itu terjadi tepatnya dua bulan setelah
aku kembali ke
Jerman. Madame Khalida kembali ke Turki saat aku selesai
sekolah menengahku.
Beliau menyarankan agar aku melanjutkan kuliah di Jerman sambil
menjaga ayah
yang sudah tua. Aku sangat sedih mendapati ayah yang sangat lain
dengan yang
kukenal dulu. Beliau tidak lagi menyayangiku seperti dulu. Beliau
lebih bersikap acuh
tak acuh. Aku berusaha mengembalikan ayahku yang hilang. Tapi
usaha kerasku
kelihatannya tidak akan membuahkan hasil. Pernikahan itu tidak
berumur panjang.
Akhirnya ayah menikahi seorang janda setengah baya berambut pirang
bernama Jeany. Janda ini pandai sekali mengambil hati ayah. Sekuat
tenaga dia
mempertahankan perkawinannya dengan ayah. Ia menginginkan harta
ayah. Di luar
sepengetahuan ayah Jeany memiliki teman kumpul kebo di Stuttgart.
Setiap kali aku
mengingatkan baik-baik hal ini ayah marah besar. Ia menuduhku
hendak merusak
hubungannya dengan Jeany. Ayah sudah melupakan ibu sama sekali
sejak ditolak
oleh bibi Sarah. Semua permintaan Jeany dituruti oleh ayah. Ayah
bahkan sudah
membuat wasiat di notaris jika ia mati semua aset kekayaan yang
tertulis atas
namanya akan menjadi hak Jeany. Ayah memang tergila-gila pada
Jeany. Untungnya
klinik, empat swalayan di Munchen dan Hamburg, pabrik farmasi, dan
rumah mewah
yang saat ini ditempati ayah telah diatasnamakan diriku oleh
mendiang ibu. Jeany
terus berusaha agar semua harta yang telah teratasnamakan diriku
bisa jadi
miliknya. Dia menggunakan cara yang tidak sehat dan sangat
memusuhiku. Dalam
kondisi yang sedemikian tidak nyamannya aku tetap berusaha
bertahan, demi bakti
seorang anak pada ayahnya. Meskipun ayah tidak lagi satu iman
denganku. Aku ingin
menjadi anak ibu yang shalihah yang berbakti pada ayahnya.
Dari perkawinannya dengan suami pertama, Jeany memiliki seorang
anak
lelaki bernama Robin. Dia mengajak Robin tinggal di rumah mewah
itu. Dan ayah
184
menyetujuinya meskipun aku tidak setuju. Sejak Robin tinggal satu
rumah denganku
aku merasa seperti di neraka. Diam-diam Jeany merancang agar aku
menikah
dengan Robin, yang dituju adalah segala aset kekayaan yang kini
atas nama diriku.
Aku jelas tidak mau. Tapi Robin terus mengejarku. Terkadang dia
agak keterlaluan.
Misalnya tiba-tiba masuk kamarku saat aku sedang belajar. Tentu
saja aku tidak
sedang memakai jilbab. Aku sangat marah padanya. Kelakuannya
kuadukan pada
ayah. Tapi ayah sama sekali tidak membelaku. Ayah bukan ayah yang
kukenal dulu.
Aku tetap bertahan. Di hari tua ayah, aku ingin tetap berada di
samping ayah.. Sejak
itu aku selalu mengunci kamarku untuk berhati-hati.
Tapi Robin sungguh keterlaluan. Entah bagaimana caranya dia bisa
memasang kamera di kamar mandiku. Suatu malam dia menghadiahkan
kaset itu
padaku. Langsung aku putar kaset itu. Betapa terperanjatnya aku
melihat apa yang
dilayar kaca. Yang kulihat adalah diriku sedang gosok gigi dan
mandi. Aku sangat
marah pada Robin, aku merasa harga diriku diinjak-injak.
Untungnya, Allah Swt masih menyelamatkan kehormatanku. Dalam
rekaman
itu, aurat paling aurat yang kumiliki sama sekali tidak terbuka.
Tertutup rapat. Untuk itu
aku sangat berterima kasih kepada ibu dan nenek. Sejak kecil ibu
mengajariku agar
memiliki rasa malu kepada Allah melebihi rasa malu pada manusia.
Ibu menanamkan
sejak kecil untuk tidak telanjang bulat di manapun juga. Meskipun
sedang sendirian di
kamar tidur atau kamar mandi. Jika mandi ibu mengajarkan untuk
tetap memakai
basahan. Orang-orang pilihan, kata ibu, jika mandi tetap memakai
basahan, tidak
telanjang bulat. Ibu berkata, ‘Jika kita malu aurat kita dilihat
orang, maka pada Allah
kita harus lebih merasa malu.’
Menurut cerita ibu, dan ibu dari dari nenek, di zaman nabi dulu,
ketika nabi tahu
ada orang mandi tidak memakai sarung, beliau langsung naik mimbar
dan menyuruh
umatnya untuk menutup aurat ketika mandi.
Alhamdulillah sejak
sebelum akil baligh aku telah terbiasa untuk mandi dengan
tetap memakai basahan yang menutup aurat atas dan aurat bawah. Dan
memang
inilah tradisi perempuan di keluarga kami, keluarga Palestina.
Nenek mendapatkan
ajaran seperti itu dari ibunya. Lalu nenek mengajarkan pada
anaknya. Dan anaknya
mengajarkan pada anaknya. Nenek, ibu, bibi Sarah dan aku, tidak
akan bisa mandi
tanpa basahan. Malu rasanya.
Yang terekam oleh kamera Robin adalah aku menggosok gigi dan mulai
185
mandi. Durasinya hanya sepuluh menit setelah itu putus. Mungkin
kaset perekamnya
habis. Aku bersyukur kepada Allah atas perlindungannya. Sebab satu
jam setelah
mandi itu aku buang air kecil. Jika kegiatan sangat pribadi
seperti itu terekam, aku
akan merasa menjadi wanita paling malang di dunia. Kejahatan Robin
aku laporkan
ke polisi. Polisi langsung mengusut dan menahannya. Tindakannya
termasuk kriminal
serius. Dia dijebloskan ke dalam penjara. Namun satu minggu
kemudian dia keluar.
Ternyata justru ayah yang membebaskannya dengan tebusan dan
jaminan atas
permintaan Jeany.
Sejak itu aku sangat marah pada ayah. Jika ayah mencintai mendiang
ibu,
semestinya dia melindungi anak gadisnya. Bukan malah membebaskan
seorang
bajingan yang mencoba membuka aurat anak gadisnya. Aku merasa
sudah tidak
perlu lagi tinggal bersama mereka. Diriku bisa binasa. Aku
hengkang dari rumah dan
menyewa flat di dekat kampus dan sejak itu tidak pernah lagi
menginjak rumah itu.
Tapi rumah itu tidak mungkin kubiarkan jatuh ke tangan Jeany.
Sebetulnya aku bisa
saja mengusir mereka semua. Tapi itu sama saja aku mengusir ayah.
Aku tidak mau
itu. Nanti, jika tiba saatnya rumah itu akan kembali jadi rumah
yang enak disinggahi.
Aku menghabiskan masa kecil bersama ibu di sana. Sekarang aku
hanya bisa berdoa
semoga Allah kembali memberikan hidayah-Nya kepada ayah.”
Aku mengelus pipi Aisha yang basah.
“Maafkan aku Fahri, suasananya jadi sedih.”
“Sekarang aku ini adalah dirimu Aisha, bukan orang lain. Tapi aku
merasa
sangat cemburu sekali.”
“Kenapa?”
“Robin itu. Ingin sekali aku menghajarnya.”
“Terima kasih Fahri, love is never without jealousy. Cinta
selalu disertai rasa
cemburu. Tanpa rasa cemburu cinta itu tiada. Kau memang suami yang
kuidamkan!”
* * *
Malam merambat begitu cepat.
“Jam berapa sekarang, Sayang?” tanyaku pada Aisha.
“Mungkin jam setengah sebelas,” jawabnya sambil menggeliat dan
bangkit.
“Sudah malam sudah waktunya kita masuk ke dalam, yuk!” sambungnya
186
sambil menarik tanganku. Aku bangkit menuruti ajakan Aisha.
Sekilas kulayangkan
pandangan keluar. Kornes Nil masih ramai. Mobil-mobil masih banyak
yang lalu
lalang dengan sorot lampu seperti cahaya meteor.
Aisha mengajakku masuk kamar pengantin yang semerbak wangi. Kami
di
tepi ranjang. Aku puas-puaskan menikmati keelokan wajahnya. Kedua
matanya
sangat indah. Kami berpandangan saling menyelami. Terngiang dalam
diri sabda
Nabi,
Sebaik-baik isteri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu
senang,
jika kamu perintah dia mentaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia
akan menjaga
untukmu harta dan dirinya.98 I
“Aisha, kau cantik sekali, memandang wajahmu sangat menyenangkan!”
lirihku.
Aisha tersenyum sambil melingkarkan kedua tangannya di leherku.
“Fahri, kau pria terbaik yang pernah kutemui, kaulah cinta pertama
dan
terakhirku. Aku punya sebuah puisi untukmu. Maukah kau
mendengarnya?”
Aku menganggukkan kepala. Kuperhatikan dengan seksama gerak
bibirnya.
Apa yang akan diucapkannya. Dia malah diam lama sekali lalu
tersenyum. Aku gemes
dibuatnya.
“Dengarlah baik-baik Kekasihku, jangan sampai ada satu huruf yang
terlewatkan. Puisi ini lebih berharga dari dunia ini seisinya.
Kehilangan satu huruf saja
kau akan sangat menyesalinya:
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu,
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpikupun berada dalam
benderang dan abadi99
98 Hadits riwayat Ibnu Jarir.
99 Dipetik dari puisi berjudul “Kekasih” karya Paul Eluard,
Penyair Perancis abad ke-19 paling
terkemuka dari golongan surealis.
187
Aisha luar biasa romantisnya. Kupandangi lekat-lekat wajahnya
sambil terus
memuji keagungan Tuhan. Hasrat yang terlukis diwajahnya dapat
kubaca dengan
jelas. Dengan suara pelan kubalas puisinya:
alangkah manis bidadariku ini
bukan main elok pesonanya
matanya berbinar-binar alangkah indahnya bibirnya, mawar merekah
di taman
surga
Kami lalu memainkan melodi cinta paling indah dalam sejarah
percintaan umat
manusia, dengan mengharap pahala jihad fi sabilillah, dan
mengharap lahirnya
generasi pilihan yang bertasbih dan mengagungkan asma Allah Azza
wa Jalla di
mana saja kelak mereka berada.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Seakan-akan bidadari itu seperti permata Yajut dan marjan. Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Tidak ada
balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.100
100 Ar-Rahmaan: 57-60.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 18
No comments:
Post a Comment