19. Rencana-rencana
“Aisha, berapa hari kita akan tinggal di flat mewah ini, dan
setelah itu kita akan
tinggal di mana?” tanyaku pada Aisha setelah shalat Dhuha. Dia
belum memberi tahu
rumah yang disewa untuk hidup berdua.
“Menurutmu, flat di pinggir Nil seperti ini nyaman apa tidak?”
Aisha malah balik
bertanya.
“Nyaman.”
“Aman tidak?
“Aman.”
“Kondusif tidak untuk belajar, menulis atau menerjemah?”
“Sangat kondusif.”
“Kalau begitu aku ingin tinggal di flat ini selama ada di Cairo,
Sayang.”
Mendengar jawaban Aisha itu aku bagaikan disambar geledek. Kaget
bukan
main. Dari mana aku akan mendapatkan biaya untuk menyewa flat yang
sangat
mewah ini. Meskipun aku baru melihat ruang tamu, kamar utama,
balkon dapur dan
kamar mandi dan belum melihat kamar-kamar yang lain tapi flat ini
sangat mewah.
Kamar utamanya saja yang kini jadi kamar pengantin tak kalah
mewahnya dengan
kamar Sheraton Hotel yang pernah kulihat saat menemui seorang
anggota DPR yang
sedang melakukan lawatan di Cairo. Ruang tamunya lebih mewah dari
ruang tamu
rumah Bapak Atdikbud. Berapa sewanya perbulan? Rumah Pak Atdikbud
saja yang
letaknya di Dokki harga sewanya katanya tak kurang dari enam ribu
pound perbulan.
Dan flat mewah ini yang terletak di pinggir sungai Nil bisa tiga
kali lipat mahalnya.
Delapan belas ribu pound atau sekitar lima ribu dollar perbulan.
Bahkan bisa lebih. Itu
adalah honor menerjemah mati-matian selama dua tahun full.
Tiba-tiba aku merasa
sangat malang. Aku tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Aisha.
Aku sangat
sedih. Air mataku meleleh.
“Kenapa kau menangis Sayang?”
Aku menjelaskan semuanya pada Aisha yang bergolak dalam hatiku.
Aku
sangat mencintainya. Tapi aku tidak akan mampu menuruti
keinginannya.
Kujelaskan kembali siapa diriku dan sebatas mana kemampuanku. Aisha
malah menangis.
189
“Suamiku, alangkah celakanya aku kalau sampai aku membuatmu sedih.
Kalau sampai aku meminta sesuatu yang di luar kemampuanmu.
Alangkah celakanya
diriku. Suamiku, kita akan tinggal di sini tanpa mengeluarkan
biaya sepeser pun
kecuali biaya listrik, gas, air, keamanan, dan kebersihan. Hanya
itu yang akan kita
keluarkan perbulan. Tidak lebih?”
“Maksudmu kita tinggal di sini gratis?”
Aisha menganggguk.
“Aku tak bisa kita tinggal atas belas kasih orang lain Aisha.”
“Apakah bagimu aku orang lain suamiku?”
“Jadi kau yang membayar sewanya Aisha. Tidak bisa Aisha, itu akan
sangat
menyiksa diriku?”
“Bukan aku yang membayarnya suamiku.”
“Lantas siapa?”
“Tak ada yang membayarnya.”
“Itu namanya gratis, dan aku tidak mau kita tinggal di rumah orang
lain gratis.”
“Meskipun rumah itu rumah milik isterimu, dan isterimu adalah
milikmu?”
“Apa maksudmu Aisha, aku jadi bingung.”
Aisha bangkit dari sajadah dan menarik lenganku. Dia membawaku
memasuki
kamar di samping kamar utama. Lihatlah isi kamar ini. Ini adalah
perpustakaan dan
ruang kerjamu. Aku melihat kamar dengan kitab-kitab dan buku-buku
yang tersusun
rapi. Kitab-kitab itu aku mengenalnya. Itu kitab-kitabku. Juga ada
komputer di dekat
jendela. Itu komputer bututku. Aku mendekati jendela, menyibak gordennya
dan
melongok. Panorama sungai Nil di waktu dhuha sangat indahnya.
“Di sinilah insya Allah kau akan menulis tesismu,
menerjemah dan
menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat. Dan aku
akan menjadi
pendampingmu siang malam. Suamiku, flat ini dibeli oleh ibuku dua
tahun sebelum
beliau meninggal. Ketika beliau diminta mengajar di Fakultas
Kedokteran Cairo
University selama tiga semester. Waktu itu aku baru berumur
sebelas tahun. Selama
enam bulan kami tinggal di rumah ini. Dan kamar yang kita jadikan
perpustakaan ini
adalah kamar tidurku waktu itu. Setelah kami kembali ke Jerman,
rumah ini disewakan
kepada home staff Kedutaan Jerman. Yang terakhir menyewa adalah
Mr. Edward
190
Minnich, Atase Perdagangan. Apartemen ini memang dihuni oleh orang-orang
penting. Tepat di bawah kita adalah pejabat kedutaan Argentina. Di
atas kita
sutradara terkemuka Mesir. Di samping kita, flat nomor 20, pemilik
Wadi Nile Travel.”
Aku baru mengerti. Dan aku tidak tahu apa yang kurasakan dalam
hati.
Bagaimana gegernya teman-teman mahasiswa nanti mengetahui di mana
aku
tinggal.
“Berapa harga sewa flat ini, Sayang?”
“Mr. Minnich menyewa dengan harga sembilan ribu dollar perbulan.”
“Ha? Sembilan ribu dollar perbulan?” Aku kaget mendengar angka
nominal
itu.
“Ya. Sembilan ribu dollar perbulan. Dan itu termasuk murah. Sebab
pasaran
harganya semestinya sepuluh ribu dollar ke atas. Ini karena kami
samasama dari
Jerman jadi sedikit di bawah standar.”
“Aisha, isteriku yang kucintai, harga sewa flat ini begitu tinggi.
Apa tidak
sebaiknya kita sewakan saja. Lalu kita menyewa flat di Nasr City
yang lebih murah.
Dengan seribu dollar saja, kita sudah bisa menyewa flat yang tak
kalah mewahnya di
kawasan Abbas El-Akkad. Hanya saja di sana kita tidak bisa melihat
panorama sungai
Nil. Tapi kenyamanan dan ketenangannya tak jauh berbeda. Sisanya
bisa kita
gunakan untuk bermacam amal di jalan Allah,” ucapku sambil
memandang ke arah
sungai Nil. Kurasakan Aisha memelukku dari belakang. Dagunya ia
letakkan di
pundakku. Tingginya memang hampir sama denganku. Aku hanya lebih
tinggi tiga
senti darinya.
“Sudah kuduga. Kau akan mengatakan demikian. Suamiku, seandainya
bukan
ibuku yang membeli flat ini dan seandainya tidak ada kenangan yang
indah dalam flat
ini, tentu sebelum kau sarankan aku sudah melakukannya. Aku sangat
mencintai ibu
dan setelah rumah di Jerman itu, flat ini adalah tempat kedua yang
paling indah dalam
kenanganku bersama ibu. Aku ingin kita berdua tinggal di sini
selama di Cairo. Dan
flat ini milik kita, kita lebih tenang daripada menyewa. Kau tahu
sifat orang Mesir ‘kan?
Tidak semuanya baik. Tidak semua tuan rumah baik. Aku tidak mau
membuang
energi dan ketenangan karena masalah sepele dengan tuan rumah yang
tidak baik.
Kau tahu teman paman Eqbal ada yang diusir tuan rumahnya tengah
malam musim
dingin, tanpa sebab yang jelas. Aku tak mau itu terjadi pada kita.
Kalau kita
menemukan tuan rumah yang baik alhamdulillah, kalau
kebetulan menemukan tuan
191
rumah yang suka rewel, tentu sangat tidak enak. Tapi kau adalah
imamku, suamiku.
Jika kau tetap memutuskan tidak tinggal di flat ini aku akan
menurutimu. Kaulah yang
harus memutuskan apa yang menurutmu terbaik untuk hidup kita
berdua, dan untuk
anak-anak kita seandainya kita punya anak. Sebagai isteri aku
telah memberikan
masukan. Aku yakin kau akan memutuskan yang terbaik.” Aisha lalu
memelukku
erat-erat.
“Nanti kita istikharah,” jawabku lirih.
Aisha lalu membawaku melihat-lihat seluruh sisi rumah. Sebuah
rumah yang
mewah dan sangat nyaman untuk tempat tinggal. Ruang tamu yang luas
dengan
shofa khusus didatangkan dari Perancis. Dua balkon. Ruang santai.
Satu kamar
utama dengan kamar mandi di dalamnya. Dua kamar mandi, di dekat
ruang tamu dan
dekat dapur. Dan tiga kamar ukuran sedang. Yang satu telah disulap
Aisha menjadi
ruang kerja dan perpustakaan. Kamar paling dekat dengan ruang tamu
telah
dipersiapkan oleh Aisha seandainya ada keluarga, atau teman yang
ingin menginap.
Aisha lalu kembali mengajakku ke perpustakaan dan mengajakku duduk
di lantai yang
dialasi karpet tebal. Ia duduk bersila di hadapanku.
“Suamiku, kita ini satu jiwa. Kau adalah aku. Dan aku adalah kau.
Kita akan
mengarungi kehidupan ini bersama. Dukamu dukaku. Dukaku dukamu.
Sukamu
sukaku. Sukaku sukamu. Cita-citamu cita-citaku. Cita-citaku
cita-citamu. Senangmu
senangku. Senangku senangmu. Bencimu benciku. Benciku bencimu.
Kurangmu
kurangku. Kurangku kurangmu. Kelebihanmu kelebihanku. Kelebihanku
kelebihanmu. Milikmu milikku. Milikku milikmu. Hidupmu hidupku.
Hidupku hidupmu.”
Hatiku sangat tersentuh dan terharu mendengar perkataannya itu.
“Suamiku, padaku ada dua ATM. Mohon Kau pilihlah satu!” Aisha
meletakkan
dua kartu ATM di depanku. Aku ragu.
“Suamiku, kalau kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku dan
memandang
diriku adalah milikmu maka ambillah jangan ragu!”
Aku tak bisa tahan menatap sorot matanya yang teduh. Dengan
mengucapkan
basmalah dalam hati aku mengambil yang paling dekat.
“Terima kasih Suamiku, kau tidak menganggap diriku orang lain. Aku
akan
menjelas semua hal berkaitan dengan ATM itu dan apa yang aku
miliki saat ini. Aku
ingin kau yang mengaturnya sepenuhnya. Sebab kau adalah imamku dan
aku sangat
192
percaya padamu. Suamiku, ATM yang kau pilih sekarang berisi dana 3
juta empat
ratus tiga puluh ribu dollar!”
Aku tersentak mendengarnya.
“Itu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kita melalui
perusahaan keluarga
di Turki. Ceritanya begini. Kakekku, Ali Faroughi, atas kemurahan
Allah adalah
bisnisman berhasil yang memiliki tiga perusahaan. Yaitu perusahaan
tekstil, travel,
dan susu. Sebelum meninggal beliau memanggil tiga anaknya yaitu
ibuku, paman
Akbar, dan bibi Sarah. Beliau membagi dan menyuruh masingmasing
memilih
perusahaan mana yang disukai. Beliau menyuruh yang paling muda
yaitu bibi Sarah
untuk memilih lebih dulu. Bibi Sarah memilih perusahaan susu karena
dia paling suka
minum susu. Lalu paman Akbar memilih travel karena dia orang yang
hobinya
melancong. Dan ibu dengan sendirinya mendapat jatah perusahaan
tekstil.
Kakek orang yang bijaksana dan berpandangan jauh ke depan. Beliau
tidak
memberikan masing-masing perusahaan itu secara individual penuh.
Beliau ingin
ketiga anaknya dan keturunannya masih erat rasa persaudaraan dan
saling
memilikinya. Maka beliau memberikan dengan sistem kepemilikan
saham. Pabrik
Susu beliau berikan kepada bibi Sarah dengan kepemilikan saham
sebesar 60
persen. Selebihnya paman Akbar diberi jatah kepemilikan saham 20
persen, juga ibu.
Begitu juga travel, 60 persen milik paman Akbar, yang 40 persen
milik ibu dan bibi.
Juga perusahaan tekstil 60 persen milik ibu yang 40 persen milik
paman dan bibi.
Tujuan kakek mengatur seperti itu adalah agar semuanya tetap masih
merasa saling
memiliki. Juga biar rasa solidaritasnya tetap ada. Kakek berharap
semua anaknya
akan tetap hidup layak. Seandainya ada salah satu perusahaan yang
bangkrut atau
gulung tikar maka pemiliknya masih memiliki masukan dari dua
perusahaan lain.
Sekarang semua perusahaan dibawah kontrol paman Akbar. Beliau
sosok
yang berbakat dan profesional seperti kakek. Setiap bulan laba
bersih perusahaan
diaudit. Maksudnya bersih memang benar-benar bersih setelah
dipotong zakat dan
pajak. Sepuluh persennya diberikan kepada para pemilik saham. Dan
sembilan puluh
persennya dikembalikan ke perusahaan untuk diputar lagi. Sepuluh
persen dari laba
perusahaan itu dibagikan pada pemilik saham sesuai dengan besarnya
saham yang
dia miliki. Bulan lalu dari pabrik tekstil masuk nominal sebesar
60.000 dollar. Berarti laba bersih perusahaan bulan itu 1 juta
dollar. Sepuluh
persennya 100.000 dollar dibagi tiga. 60 persen untuk diriku
sebagai pengganti ibu, 20
193
persen paman Akbar dan 20 persen bibi Sarah. Dari perusahaan
travel bulan lalu
masuk dana 57 ribu dollar, padahal jatah kita hanya dua puluh
persen dari sepuluh
persen laba perusahaan atau dua persen saja dari laba perusahaan.
Dan dari
perusahaan susu masuk 78 ribu dollar. Perusahaan travel dan susu
memang sudah
sangat maju. Perusahaan travel malah sudah merambah perhotelah dan
perusahaan
susu sudah merambah produksi bahan makanan. Rencananya tahun ini
perusahaan
tekstil akan mencoba melebarkan sayap dengan mendirikan anak
perusahaan di
Malaysia. Jadi bulan lalu masuk dana 195 ribu dollar dari Turki ke
ATM itu. Dan
kira-kira tiap bulan akan masuk dana sebesar itu. Bisa lebih bisa
kurang. Bagi orang
dunia ketiga, itu jumlah yang sangat besar. Tapi bagi pemilik
perusahaan raksasa di
negara-negara maju itu jumlah yang sangat kecil sekali.
Suamiku, terserah mau kau atur bagaimana ATM yang ada ditanganmu
itu.
ATM yang aku pegang ini berisi dana dari aset bisnis di Jerman.
Sekarang telah terisi
dana 7 juta dollar. Sistemnya aku buat seperti yang di Turki. Tiap
bulan Cuma sepuluh
persen dari laba bersih perusahaan yang masuk ke pemilik
perusahaan. Dan yang ini
tidak akan kita otak-atik dulu sampai nanti ketika kita tinggal di
Indonesia. Kita akan
menggunakannya sebaik mungkin bersama-sama. Jadi aku tidak akan
mengutik-utik
ATM yang ada di tanganku. Lapar kenyangku adalah atas kebijakanmu.
Kaulah yang
menjatah dana untuk diriku. Kaulah yang menentukan besarnya dana
belanja tiap
bulan. Kalau aku minta sesuatu maka aku akan minta padamu. Kaulah
imamku.”
Mendengar apa yang dituturkan Aisha aku jadi sedih, pucat
merinding dan
bergetar. Aku memegang ATM senilai $ 3.430.000,- atau kira-kira
sebesar 30 milyar
rupiah. Aku merasa gunung Merapi hendak menimpaku.
“Kenapa mukamu jadi berubah warna suamiku? Apakah aku melakukan
sesuatu yang menyinggungmu?” tanya Aisha.
“Tidak Aisha. Aku tiba-tiba memikul beban amanah sedemikian
beratnya, yang
tidak pernah aku bayangkan. Dirimu adalah amanah bagiku. Dan apa
yang kau miliki
yang kau letakkan di tanganku adalah amanah yang sangat berat
bagiku. Aku tak tahu
apakah bisa memikul amanah seberat ini?”
“Aku percaya padamu Suamiku.”
Bahwa aku suatu saat akan menjadi imam bagi isteriku dan kelak
anakanakku
adalah hal yang sudah aku bayangkan. Aku akan jadi suami seorang
muslimah Turki
juga telah aku bayangkan setelah bertemu Aisha di rumah Syaikh
Utsman dan aku
194
sudah membayangkan bagaimana suasana rumah tangga nanti. Sederhana
seperti
teman-teman Indonesia. Namun aku akan menjadi imam dan penentu
jalan hidup
seorang jet set shalihah pemilik perusahaan di Turki dan
Jerman yang mewakafkan
diri dan hartanya di jalan Allah tidak pernah terbayangkan sama
sekali.
Aku merasa ilmu, iman dan pengalamanku belum cukup untuk hidup
mendampingi seorang Aisha yang kini aku tahu sebenarnya siapa dia.
Aku harus
meminta saran, nasihat dan pertimbangan pada orang-orang yang
lebih kuat jiwanya
dan lebih luas cakrawala pandang dan pengalamannya. Aku mengajak
Aisha untuk
shalat hajat agar Allah memberikan rahmat, taufik dan belas
kasihnya sehingga
semua amanat dapat ditunaikan dengan baik.
Hari itu juga aku menelpon Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Aku minta
waktu
bertemu beliau aku ingin konsultasi pada beliau secepatnya. Beliau
melarang diriku
pergi ke Hadayek Helwan. Beliau dan isterinya yang justru akan
mendatangi kami.
Sore itu selepas ashar beliau datang. Aisha dan Ummu Aiman, isteri
beliau,
berbincang di ruang tamu. Sementara beliau kuajak ke perpustakaan,
aku ceritakan
semua masalahku pada beliau terutama masalah amanat yang
dibebankan Aisha.
“Syaikh, aku sangat takut dengan sindiran Allah dalam Al-Qur’an, Dan
jikalau
Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka
akan melampaui
batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya
dengan
ukuran.101 Aku
takut kalau sampai melampaui batas Syaikh,” ucapku pada Syaikh
Utsman.
“Akhi, yang melampaui batas adalah mereka yang tidak
memiliki rasa takwa
dan tidak merasa diawasi oleh Allah. Selama seseorang masih
memiliki rasa takut
dan diawasi Allah maka, insya Allah, dia tidak akan sampai
melampaui batas.
Masalah menginfakkan harta yang dalam tuntunan Al-Qur’an kau pasti
sudah tahu,”
jawab beliau.
Kemudian beliau banyak memberikan nasihat dan saran, terutama yang
berkaitan dengan perjalanan hidup dengan seorang isteri. Bahwa
dalam bersuamiisteri
ada selalu ada dua kemauan, watak, sifat yang terkadang berbeda.
Seni
mengolah perbedaan menjadi sebuah keharmonisan ibadah itulah yang
harus
diperhatikan.
Menurut beliau aku tidak perlu pindah dari flat yang telah aku
tempati. Karena
101 Asy Syura: 27.
195
tidak menyewa dan milik Aisha. Ini sekaligus untuk menyenangkan
hati Aisha yang
memiliki kenangan indah di flat ini bersama ibunya. Apalagi flat
ini terletak di tempat
yang sangat tenang dan kondusif untuk menulis tesis. Tak jauh dari
flat ini ada
perpustakaan IIIT. Hanya dengan berjalan kaki sepuluh menit sudah
sampai ke sana.
Juga dekat dengan salah satu kampus Universitas Helwan. Masjid
juga dekat. Tinggal
bersyukur kepada Allah. Beliau juga meminta kepadaku untuk terus
menggali semua
pengalaman hidup yang telah dijalani Aisha. Agar aku bisa bersikap
arif pada Aisha.
Beliau meminta kepadaku untuk mengetahui gaya hidupnya sejak
kecil. Beliau
meminta agar aku bijaksana tidak memaksakan Aisha mengikuti gaya
dan standar
hidupku yang memang sangat sejak kecil sederhana. Beliau meminta
untuk hidup
sewajarnya. Zuhud tidak berarti tidak mau menyentuh sama sekali
nikmat yang telah
diberikan oleh Allah Swt, tapi zuhud adalah mempergunakan nikmat
itu untuk ibadah.
Tidak selamanya orang yang makan dengan hanya roti kering dan
seteguk air lebih
baik dari orang yang makan roti cokelat dan segelas susu. Jika
dengan makan roti
cokelat badan menjadi sehat dan segar, ibadah khusyu dan tenang,
bisa bekerja
dengan lebih baik dan bersemangat serta merasakan keagungan Allah
yang telah
memberikan nikmat tentu lebih baik dengan yang makan roti kering
tapi lemas dan
berkeluh kesah saja kerjanya. Tidak selamanya yang berjalan kaki
lebih baik dari
yang naik mobil. Jika dengan naik mobil lebih bisa mengefisienkan
waktu, ibadah
lebih tenang karena tidak capek dan lebih bisa banyak melakukan
kegiatan yang
bermanfaat tentu sangat baik.
“Jangan terlalu pelit dan jangan terlalu boros. Dua kelakuan itu
berakibat
penyesalan dan sangat dicela Allah Swt, firman-Nya dalam
Al-Qur’an, ‘Dan jangan
kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan kamu
terlalu
mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.’102
Beliau lalu memberi tahu hal-hal yang sangat disukai oleh seorang
isteri. Beliau
menyuruh agar tidak segan-segan mengungkapkan perasaan cinta.
Seorang isteri
paling suka dipuja dan dicinta. Juga tidak segan mengajak isteri
ke toko pakaian dan
toko perhiasan. Sering-sering minta pendapat, suatu kehormatan bagi
seorang isteri
merasa dirinya sangat penting bagi pengambilan keputusan sang
suami. Dari
kunjungan Syaikh Ahmad aku banyak mendapatkan banyak sekali
pelajaran
kehidupan yang berarti. Aku merasa lebih siap dengan hidup yang
sedang aku jalani.
Ada kata-kata beliau yang sangat menyentuh diriku,
102 Al-Israa: 29
196
“Aku pernah mengalami hal yang sama dengan dirimu. Ummu Aiman
adalah
puteri tunggal konglomerat di Maadi. Ia menyerahkan kekayaannya
sepenuhnya di
tanganku. Aku dulu juga bingung, aku pergi ke tempat seorang ulama
dan beliau
memberikan nasihat seperti apa yang aku nasihatkan padamu. Ada
satu hal yang
harus kau ingat baik-baik. Banyak lelaki yang menjadi kerdil
setelah memiliki
isteri yang cantik dan kaya raya.
Semangat juang dan kerja kerasnya luntur.
Tapi kita mempunyai teladan yang
mulia yaitu Rasulullah Saw. Isteri beliau,
Sayyeda Khadijah, adalah
konglomerat Makkah pada zamannya, dan itu tidak
membuat beliau kerdil tapi justeru
sebaliknya dengan kekayaan isterinya itu
beliau menegakkan agama Allah. Maka kau tidak boleh kerdil. Kau
harus terus
bekerja, menerjemah dan berkarya lebih keras!”
Malamnya aku ajak Aisha berbincang-bincang di perpustakaan sambil
mendengarkan dendangan nasyid Rasailul Asywaq103 yang indah
dibawakan anakanak
Mesir. Kami duduk di lantai beralas karpet. Aku bentangkan dua
kertas karton
berisi rancangan peta hidup yang telah aku buat beberapa bulan
yang lalu sebelum
menikah. Peta hidup sepuluh tahun ke depan. Dan rancangan satu
tahun. Tentunya
peta hidup itu harus dirubah. Melihat apa yang aku gelar mata
Aisha terbelalak.
“Subhanallah! Bagaimana mungkin kita memiliki kebiasaan
yang sama. Ibuku
sejak kecil telah mengajarkan hal seperti ini padaku. Dan aku juga
memiliki peta dan
rancangan seperti ini. Rancangan peta hidup sepuluh tahun ke
depan. Rancangan
kegiatan tahunan, bulanan, mingguan, dan harian. Tunggu sebentar
ya Sayang!”
Aisha beranjak menuju kamar utama. Lalu kembali dengan membawa
agenda biru.
“Ini telah peta hidupku sepuluh tahun ke depan. Memang kita harus
membuat
peta hidup bersama,” kata Aisha gembira.
Kami pun lalu merancang bersama. Dalam rancangan Aisha, awal April
kembali ke Munchen untuk menyelesaikan S1. Lalu S2 di Sorbonne
University dan S3
di Bonn University. Sementara aku masih harus menulis tesis, kalau
lancar baru dua
tahun lagi selesai dan langsung S3 di Al Azhar. Harus ada
kompromikompromi. Jika
Aisha transfer S1 ke Mesir, bukan tidak mungkin tapi sangat susah.
Proses
administrasi universitas-universitas Mesir sangat melelahkan. Jika
aku ikut ke Jerman
juga bukan tidak mungkin, tapi susah, target selesai master dua
tahun lagi bisa molor.
Di Jerman tidak ada bahan yang cukup untuk menulis tesis disiplin
ilmu tafsir. Harus
103 Risalah Kerinduan
197
ada jalan keluar.
Akhirnya kami sepakat melakukan kompromi. Jalan tengahnya adalah
Turki. Di
Turki semua target bisa dikejar. Rencananya bulan April tahun
depan berangkat ke
sana. Aisha bisa transfer S1 ke Istanbul University. Prosesnya
mudah. Aisha bahkan
tidak perlu repot mengurus sendiri. Ia bisa minta tolong seorang
temannya di
Munchen untuk mengurus berkasnya yang mengirimnya ke alamat
pamannya di
Istanbul. Jadi Aisha bisa tetap selesai S1 tahun depan dan selama
di Turki aku bisa
mendapatkan bahan tentang Syaikh Said An-Nursi. Selama di Turki
juga akan
menambah eratnya persaudaraan dengan keluarga besar di Turki.
Setelah selesai S1
Aisha mengalah untuk kembali ke Mesir menemani aku sampai selesai
S2.
Sebenarnya aku mempersilakan kalau dia mau langsung ke Sorbonne,
tapi dia tidak
mau berpisah denganku sama sekali. Tapi setelah master aku yang
harus mengalah.
Aku harus mengikuti Aisha ke Sorbonne. Setelah kupikir tidak
masalah S3 di
Sorbonne sementara Aisha S2. Toh, Almarhum Syaikh Abdullah Darraz,
Guru Besar
Tafsir Universitas Al Azhar mengambil S3 nya juga di Sorbonne.
Setelah selesai S3
barulah pulang dan merencanakan hidup di Indonesia, Aisha mengalah
untuk tidak
langsung S3. Bahkan seandainya terpaksa S3 di Indonesia tidak
apa-apa. Tapi dia
membuat cadangan S3 di Australia yang dekat dengan Indonesia.
Kami lalu merancang agenda setengah tahun ini. Awal bulan depan
Aisha
minta ke Alexandria, satu minggu saja, masih dalam rangkaian bulan
madu. Dia juga
minta umrah dan selama bulan puasa sampai hari raya ada di tengah
keluarga di
Indonesia. Akhirnya sepakat awal Ramadhan pergi umrah, sepuluh
hari di tanah suci
dan langsung terbang ke Indonesia.
Lalu kami membuat rencana satu bulan ke depan. Lebih banyak di
rumah.
Aisha membuat jadwal kami bermain cinta. Naik perahu berdua di
sungai Nil.
Menyaksikan pagelaran musik rakyat Palestina di Opera House.
Melihat pertunjukan
drama komedi di Ballon Teater. Pergi ke El-Mo’men Restaurant. Ke
Masjid Musthofa
Mahmud mendengarkan ceramah Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi
yang
rencananya lima hari lagi akan datang dari Syiria. Aku menambah
jadwal talaqqi
qiraah sab’ah pada
Syaikh Utsman dan berkunjung ke rumah Syaikh Abdul Ghafur
Ja’far. Aisha menekankan: Dan ke Alexandria!
Kami lalu membuat jadwal harian. Kapan baca Al-Qur’an dan tadabbur
bersama. Shalat dhuha. Shalat malam. Waktu menerjemah dan waktu
yang tepat
untuk bercinta. Begitu selesai membuat rancangan peta hidup Aisha
berkata,
198
“Sayang, aku punya puisi indah untukmu dengarkan:
agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,
taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu
Aku langsung menyahut dengan suara lantang seperti Antonius merayu
Cleopatra:
ciuman dalam malam yang hidup,
dan deras lenganmu memeluk daku
seperti suatu nyala bertanda kemenangan
mimpikupun berada dalam
benderang dan abadi
Di tepi sungai Nil, hari-hari yang indah kami lalui bersama. Semua
serba indah.
Dunia terasa milik kami berdua. Kenikmatan demi kenikmatan,
kebahagiaan demi
kebahagiaan kami reguk bersama. Seperti di surga. Muncul kebiasaan
baru Aisha, ia
tidak bisa tidur kecuali aku membelai-belai rambutnya dan
mengelus-elus ubun
kepalanya, seperti seorang ibu menidurkan bayinya. Aku juga
semakin banyak tahu
watak dan karakter Aisha, tingkahnya kalau merajuk, tidak suka,
marah, caranya
memuji, hal-hal yang ia sukai dan ia benci, juga pengalaman hidupnya
sejak kecil.
Suatu kali sebelum tidur Aisha bercerita, “Ibu sering mengajariku
agar berdoa dalam
sujud saat shalat malam: Ya Allah, letakkanlah dunia di
tanganku, jangan di hatiku.”
Ayat - Ayat Cinta - Bab 20
No comments:
Post a Comment