20. Surat dari Nurul
Dua hari menjelang keberangkatan ke Alexandria kami belanja ke
Attaba.
Pasar rakyat paling besar di Mesir. Tak ada trasnportasi langsung
dari ke sana. Kami
naik bis mini dari mahattah Abul Fida yang tak begitu jauh
dari apartemen kami
menuju Tahrir. Sampai di Tahrir kami naik metro bawah tanah
ke Attaba. Aisha iseng
minta diajak melihat toko-toko buku loakan. Dua jam kami di sana.
Aku menemukan
beberapa buku yang bisa dijadikan referensi. Aisha hanya
melihat-lihat dan
membolak-balik buku. Akhirnya ia membeli empat bundel komik Donald
Bebek.
“Kau aneh sekali, untuk apa Sayang?” heranku. Bagaimana tidak
heran, orang
secerdas dan sedewasa dia kok beli komik Donald Bebek.
“Untuk belajar bahasa Arab. Ini ‘kan komik bahasa Arab. Aku ingin
tahu
kalimat-kalimat yang lucu. Nanti kalau kita punya anak ini juga ada
gunanya. Aku suka
anakku nanti tertawa-tawa renyah. Karena tertawa adalah musiknya
jiwa. Dan rumah
kita nanti tidak sepi,” jawab Aisha santai. Cara berpikir Aisha
yang mahasiswi
psikologi terkadang menarik dan mengejutkan.
Sampai di rumah kulihat Aisha sangat kelelahan. Perjalanan dari
Attaba
sampai rumah memang sangat melelahkan. Padahal sebenarnya tidak
terlalu jauh.
Transportasinya yang memang melelahkan. Metro bawah tanah
penuh sesak orang
yang pulang kerja. Juga bis mininya. Kami berdua berdesakan. Aku
sangat hatihati
menjaga Aisha. Aku tak ingin ada tangan jahil menyentuhnya.
Setelah membuka
cadar dan jilbabnya, Aisha langsung menyalakan AC dan membanting
tubuhnya di
sofa. Ia mengatur nafasnya. Mukanya yang putih memerah dan pucat.
Kuambilkan air
mineral dingin untuknya. Ia menerima dengan tersenyum.
“Danke, mein Mann,” 104 lirihnya.
“Bitte.”105
Selama ini kami memang berkomunikasi dengan tiga bahasa; Jerman,
Arab,
dan Inggris. Lebih banyak pakai bahasa Arab. Aisha yang memintanya
untuk terus
memperbaiki bahasa Arabnya. Jika dia kehabisan kosa kata ia akan
mengatakannya
dalam bahasa Inggris atau Jerman.
“Sayang, capek ya berdiri dan berdesakan,” tanyaku sambil
menuangkan air
104 Terima kasih, suamiku
105 Terima kasih kembali
200
mineral ke dalam gelas.
“Ya.”
“Di Jerman kalau berangkat kuliah gimana? Sering berdesakan
seperti tadi
nggak?”
“Transportasi di Jerman sangat baik tidak seperti di Mesir. Dan
kebetulan aku
jarang naik angkutan umum.”
“Terus? Jalan kaki? Apa kontrakanmu dekat dengan kampus?”
“Tidak juga. Aku menyewa rumah lima kilo dari kampus. Dan alhamdulillah
aku
punya mobil sendiri.”
Aku langsung tahu apa yang harus aku lakukan. Sangatlah zhalim
diriku kalau
aku membiarkan isteriku sedemikian tersiksa dan berdesakan
sementara di tanganku
ada tiga juta dollar lebih. Aku jadi teringat nasihat Syaikh
Ahmad, “Jangan kau
paksakan isterimu mengikuti standar hidupmu yang sangat sederhana.
Jangan pelit
dan jangan boros!”
“Mobilmu apa, Sayang?”
“Land Cruiser. Aku suka model Jeep.”
Aku menawarkan, bagaimana kalau membeli mobil. Ternyata sebenarnya
itu
juga ingin dia bicarakan padaku sejak tiga hari yang lalu. Cuma
dia maju mundur
akhirnya tidak berani bicara. Takut kalau aku tidak setuju. Aku
tekankan padanya
untuk tidak menyembunyikan keinginan apa pun dariku.
“Meskipun kusembunyikan toh kelihatannya kau bisa membaca
keinginanku.
Kau memang suami yang baik,” pujinya.
Aku harus mencari orang yang tahu seluk beluk mobil di Mesir. Biar
tidak kena
tipu. Biar urusan dengan kepolisian mudah dan lain sebagainya. Aku
teringat Yousef,
adiknya Maria. Bagaimana kabar mereka? Sudah pulang dari Hurgada
apa belum ya?
Sudah tahu aku menikah apa belum? Aku perlu menghubungi Yousef. Ia
kelihatannya
tahu seluk beluk mobil. Selama jadi tetangganya kulihat sudah tiga
kali ganti mobil.
“Hallo. Yousef?”
“Ya. Ini siapa?”
“Fahri. Kapan pulang?”
201
“Baru tadi pagi. Selamat ya atas pernikahannya. Aku sudah diberi
tahu sama
Rudi. Sayang sekali. Kami menyesal. Seharusnya kami menelpon
kalian begitu tiba di
sana dan memberikan nomor telpon hotel kami menginap.”
“O tidak apa-apa. Mama dan papa juga sudah pulang juga?”
“Belum. Mereka masih akan di sana satu minggu lagi. Tapi Maria
sudah
pulang. Mau bicara sama dia?”
“Tidak. Lain kali saja. Salam buat dia. Oh ya, aku mau minta
tolong padamu.
Bagaimana kita secepatnya bisa bertemu?”
“Kau sekarang ada di mana?”
“Di Zamalik. Muhammad Mazhar Street.”
“Kedutaan Swedia?”
“Lurus ke utara ada Apartemen tertinggi di ujung pulau. Flat nomor
21.”
“Malam ini juga aku ke sana. Aku sudah rindu ingin ketemu padamu
sekalian
aku bawakan kado istimewa.”
“Terima kasih, kutunggu.”
* * *
Pukul delapan malam Yousef datang bersama Maria. Yousef masih
seperti
biasa, cerah dan ceria melihatku. Maria agak lain, dia sama sekali
tidak cerah. Dingin.
Tersenyum pun tidak. Mungkin belum hilang lelahnya dari Hurgada.
“Ini kado sederhana dari aku dan Maria. Maaf tidak bisa memberi
yang
mewah-mewah maklum kami belum punya penghasilan,” kata Yousef
menyerahkan
kado kecil yang dibungkus manis.
Maria lebih banyak menunduk. Sepertinya ia lesu sekali. Kami
berbincang
sambil menikmati karikade hangat. Aku jelaskan pada Yousef
rencanaku membeli
mobil. Dia sangat senang mendengarnya. Dia bertanya kriterianya.
Kujawab model
jeep, tangan kedua, masih bagus dan normal semua. Dia berjanji
paling lambat besok
sore dia akan menghubungi.
Hanya setengah jam mereka berada di rumah kami. Aku minta tolong
pada
Yousef menjelaskan pada Rudi dan teman-temannya route rumah kami.
Sebab sejak
acara walimah itu aku belum berkomunikasi dengan mereka lagi. Dan
itu atas
permintaan mereka. “Sebelum satu minggu tidak boleh menghubungi
Hadayek
202
Helwan. Pengantin baru satu minggu penuh harus tenang,” kata
mereka. Akhirnya
malah kebablasan, dan mereka terlupakan.
Begitu Yousef dan Maria pulang aku langsung membuka kadonya.
“Kurang ajar, Yousef dan Maria itu!” umpatku.
“Apa sih isinya? Kenapa sampai mengumpat segala?” heran Aisha
mendengar
aku mengumpat. Ia melihat isi kado. Botol berisi serbuk.
“Serbuk apa ini, Fahri?” tanya Aisha. Aku ragu untuk menjelaskannya.
Tapi
Aisha terus mendesak.
“Serbuk Dhab Mashri,” jawabku.
“Apa itu Dhab Mashri?” kejarnya. Aduh bagaimana ini.
Terpaksa aku jelaskan juga. Dhab Masri adalah kadal Mesir,
dan khasiatnya
untuk obat kuat yang—kata orang-orang yang pernah mencobanya—
lebih dahsyat
dari Viagra, telah digunakan oleh para raja dan pangeran Mesir
kuno. Mendengar
penjelasanku Aisha salah tingkah, pipi merona merah, lalu
tersenyum indah sekali.
* * *
Atas bantuan Yousef, kami berhasil membeli Nissan Terrano hitam
metalik
yang masih baru dengan harga sangat miring. Baru dipakai
pemiliknya setengah
tahun. Aisha senang sekali. Hari itu juga kami berdua
berjalan-jalan mengelilingi kota
Cairo. Tentu saja aku tidak bisa menyetir. Yang menyetir Aisha. Ia
juga punya SIM
Internasional. Aku jadi guidenya. Tujuh tahun di Kairo aku
sudah hafal seluk beluk
kota Cairo. Acara jalan-jalan pun lancar dan mengasyikkan.
Malam sebelum keberangkatan ke Alexandria, Mishbah datang bersama
Mas
Khalid. Mereka memberitahukan dua hari lagi Pelatihan Ekonomi Islam
akan
dilaksanakan selama satu minggu di Wisma Nusantara. Aku kira
pelatihan itu sudah
selesai ternyata diundur. Aku diminta menjadi salah satu moderator
sekaligus
pendamping dosen-dosen yang semuanya dari Mesir. Aku tidak bisa
memutuskan
sendiri. Aku harus bermusyawarah dengan Aisha. “Tidak apa-apa,
penuhi saja
permintaan mereka. Kita tunda berangkatnya setelah pelatihan saja.
Aku juga ingin
tahu konsep ekonomi Islam itu seperti apa.” Jawab Aisha.
Selama satu minggu setiap hari kami ikut pelatihan. Dan sudah
tentu, seperti
yang aku prediksi, mahasiswa Indonesia geger melihat aku datang
dan pergi dengan
membawa mobil, disopiri oleh seorang isteri bercadar. Mana ada
mahasiswa
203
Indonesia memakai mobil? Kecuali beberapa gelintir dan bisa
dihitung dengan jari.
Terobosan, bulletin mahasiswa Indonesia di Cairo paling vokal,
kembali usil.
Tanpa sepengetahuanku mereka berusaha mewawancarai Aisha mengenai
proses
pernikahan kami. Mereka sungguh kreatif. Untung saja Aisha isteri
yang baik, ia tidak
mau berkomentar sama sekali, dan menyuruh kru Terobosan langsung
mewawancaraiku. Kepada mereka aku kisahkan prosesnya yang sungguh
sangat
sederhana.
Dua hari setelah itu Terobosan terbit. Segala keterangan yang aku
berikan
tertulis jelas. Yang membuatku geli adalah tanggapan-tanggapan
dari beberapa
kalangan aktifis yang pro dan kontra. Yang memandang positif dan
negatif penikahan
kami. Yang paling menggelitik hatiku dan justru paling kusukai
adalah komentar
seorang mahasiswi aktifis gender:
“Aku yakin si Aisha, isteri Fahri dari Turki itu pasti jelek.
Kalau cantik mana
mungkin dia mau. Apalagi katanya dia itu kaya, punya flat mewah di
pinggir Nil segala.
Yakin deh pasti wajahnya jelek. Dan kenapa Fahri tetap mau dengan
gadis jelek?
Karena Fahri mengejar kekayaannya. Jadi meskipun isterinya jelek
dia mau saja,
yang penting kaya. Dan untuk menutupi jeleknya makanya Fahri
menyuruhnya
memakai cadar dengan dalil agama.”
Aku suka sekali membaca komentar itu. Kalau mereka tahu kecantikan
Aisha
semakin geger suasananya. Biarlah aku seorang yang tahu kecantikan
Aisha. Tapi
ada komentar singkat yang membuat hatiku merasa tidak enak.
Komentar dari Nurul
sebagai Ketua Wihdah:
“Pernikahan Fahri (Indonesia) dengan Aisha (Turki berdarah
Palestina)
menunjukkan universalitas Islam. Aku tahu siapa Aisha. Sebelum dia
menikah
dengan Fahri dia pernah banyak bertanya padaku tentang budaya
Indonesia,
khususnya masyarakat Jawa. Selamat buat Fahri yang berhasil
menyunting muslimah
Turki yang shalehah dan jelita.”
Nurul ternyata juga ikut pelatihan.
Dalam satu kesempatan, saat pulang, aku dan Aisha bertemu
dengannya di
gerbang Wisma. Aku tidak menyapanya dan dia juga tidak menyapaku.
Namun Nurul
bisa berbincang-bincang santai dengan Aisha seolah tidak pernah
terjadi apa-apa.
Hatiku lega. Semoga dia telah menemukan jalan keluar atas
masalahnya. Sebelum
berpisah Nurul memberikan selembar surat pada Aisha. Di mobil
Aisha menyerahkan
204
sepucuk surat itu padaku sambil bergumam, “Katanya ini pesan dari
seseorang
untukmu dan minta di baca jika sudah sampai di rumah.”
Sampai di rumah langsung aku baca surat itu.
Untuk Kak Fahri Yang sedang berbahagia Bersama isterinya
Assalamu’alaikum wr. wb.
Kutulis surat ini dengan lelehan air mataku yang tiada berhenti
dari detik ke
detik. Kutulis surat ini kala hati tiada lagi menahan nestapa yang
menderadera
perihnya luar biasa. Kak Fahri, aku ini perempuan paling bodoh dan
paling malang di
dunia. Bahwa mengandalkan orang lain sungguh tindakan paling
bodoh. Dan aku
harus menelan kepahitan dan kegetiran tiada tara atas kebodohanku
itu. Kini aku
didera penyesalan tiada habisnya. Semestinya aku katakan sendiri
perasaanku
padamu. Dan apakah yang kini bisa kulakukan kecuali menangisi
kebodohanku
sendiri. Aku berusaha membuang rasa cintaku padamu jauh-jauh. Tapi
sudah
terlambat. Semestinya sejak semula aku bersikap tegas, mencintaimu
dan berterus
terang lalu menikah atau tidak sama sekali. Aku mencintaimu
diam-diam selama
berbulan-bulan, memeramnya dalam diri hingga cinta itu
mendarahdaging tanpa aku
berani berterus terang. Dan ketika kau tahu apa yang kurasa
semuanya telah
terlambat.
Kak Fahri,
Kini perempuan bodoh ini sedang berada dalam jurang penderitaannya
paling
dalam. Dan jika ia tidak berterus terang maka ia akan menderita
lebih berat lagi.
Perempuan bodoh ini ternyata tiada bisa membuang rasa cinta itu.
Membuangnya
sama saja menarik seluruh jaringan sel dalam tubuhnya. Ia akan
binasa. Saat ini, Kak
Fahri mungkin sedang dalam saat-saat paling bahagia, namun
perempuan bodoh ini
berada dalam saat-saat paling menderita.
Kak Fahri,
Apakah tidak ada jalan bagi perempuan bodoh ini untuk mendapatkan
cintanya? Untuk keluar dari keperihan dan kepiluan hatinya.
Bukankah ajaran agama
kita adalah ajaran penuh rahmah dan kasih sayang. Kak Fahri adalah
orang shalih
dan isteri Kak Fahri yaitu Aisha adalah juga orang yang shalihah.
Bagi orang shalih
semua yang tidak melanggar syariah adalah mudah.
Kak Fahri,
205
Sungguh maaf aku sampai hati menulis surat ini. Namun jika tidak
maka aku
akan semakin menyesal dan menyesal. Bagi seorang perempuan jika ia
telah
mencintai seorang pria. Maka pria itu adalah segalanya. Susah
melupakan cinta
pertama apalagi yang telah menyumsum dalam tulangnya. Dan cintaku
padamu
seperti itu adanya telah mendarah daging dan menyumsum dalam
diriku. Jika masih
ada kesempatan mohon bukakanlah untukku untuk sedikit menghirup
manisnya hidup
bersamamu. Aku tidak ingin yang melanggar syariat aku ingin yang
seiring dengan
syariat. Kalian berdua orang shalih dan paham agama tentu memahami
masalah
poligami. Apakah keadaan yang menimpaku tidak bisa dimasukkan
dalam keadaan
darurat yang membolehkan poligami? Memang tidak semua wanita bisa
menerima
poligami. Dan tenyata jika Aisha termasuk yang tidak menerima
poligami maka aku
tidak akan menyalahkannya. Dan biarlah aku mengikuti jejak puteri
Zein dalam novel
yang ditulis Syaikh Muhammad Ramadhan Al Buthi yang membawa
cintanya ke jalan
sunyi, jalan orang-orang sufi, setia pada yang dicintai sampai
mati.
Wassalam,
Nurul Azkiya
Air mataku mengalir deras membaca surat Nurul. Aku tak tahu harus
berbuat
apa. Hatiku ikut pilu.
“Sayang, apa isinya sampai kau menangis?” tanya Aisha sambil
mengusap air
mata dipipiku dengan ujung jilbabnya. Kutatap wajah isteriku.
Haruskah aku berterus
terang padanya? Aku tak ingin membuat dirinya kacau dan cemburu.
Aku harus
melindungi ketenangan jiwanya. Yang jelas aku sama sekali tidak
mau
mengkhianatinya. Bisa jadi jika aku berterus terang, dia bisa
menerima usulan Nurul,
tapi aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan
memadu isteriku.
Aisha adalah perempuanku yang pertama dan terakhir.
“Kenapa diam Sayang? Apa isinya?” tanya Aisha kembali.
“Bacalah sendiri!”
Aisha melihat surat itu. Ia mengerutkan keningnya.
“Kau bercanda. Ini bahasa Indonesia ‘kan? Mana aku tahu maksudnya.
Apa
yang ditulisnya sampai kau menangis?”
“Ah tidak apa-apa. Isinya nasihat. Agar aku menjagamu dengan baik.
206
Berusaha memahamimu dan memaklumi perbedaan-perbedaan di antara
kita yang
memang berbeda latar belakang budaya dan pendidikan. Dia juga
menasihati agar
aku mengajarimu bahasa dan adat istiadat masyarakat Indonesia agar
kelak jika
pulang ke Indonesia kau bisa beradaptasi dan diterima dengan baik.
Terakhir dia
menasihatiku agar menyempatkan waktu untuk menengok kedua orang
tua di
Indonesia, jangan terlalu asyik di Mesir. Aku teringat ibuku.”
Terpaksa aku berbohong,
aku tak ingin ketenangan hatinya terusik. Aku harus melindungi
keluargaku dari
segala gangguan.
Aisha mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasanku.
“Nasihat yang baik sekali. Dia memang muslimah yang baik.
Sekali-kali kita
harus undang dia dan teman-temannya kemari. Dia memuliakan diriku
saat aku
berkunjung ke rumahnya,” ujar Aisha.
* * *
Seketika itu juga aku menulis surat balasan untuk Nurul.
Kepada Nurul Azkiya
Cahaya orang-orang yang bersih hatinya
Di bumi perjuangan mulia
Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Saat menulis surat ini hatiku gerimis. Tiada henti kuberdoa semoga
Allah
menyejukkan hatimu, menerangkan pikiranmu, membersihkan jiwamu,
dan
mengangkat dirimu dari segala jenis penderitaan dan kepiluan.
Nurul,
Terima kasih atas suratnya. Aku sudah membacanya dengan seksama
dan
aku memahami semua kata-kata yang kau tulis. Kalau kau merasa
harus setia pada
cintamu. Maka aku merasa harus setia pada isteriku, pada belahan
jiwaku. Kalau kau
memiliki anggapan poligami bisa menjadi jalan keluar dalam masalah
ini, bisa jadi ada
benarnya. Poligami memang diperbolehkan oleh syariat, tapi aku
tidak mungkin
menempuhnya. Aku perlu menjelaskan, di antara syarat yang telah
kami sepakati
sebelum akad nikah adalah aku tidak akan memadu Aisha. Aku sudah
menyepakati
syarat itu. Kau tentu tahu hukumnya, aku harus menepatinya.
Hukumnya wajib.
Nurul,
207
Dalam hidup ini, cinta bukan segalanya. Masih ada yang lebih
penting dari
cinta. Sebenarnya jikalau kita bercinta maka seharusnya itu
menjadi salah satu pintu
menjalankan ibadah. Janganlah terlalu kau turutkan perasaanmu.
Gunakanlah akal
sehatmu, karena akal sehat adalah termasuk bagian dari wahyu. Kau
masih memiliki
masa depan yang luar biasa cerahnya. Kau ditunggu oleh ribuan
generasi di tanah air.
Jadilah kau seorang Nurul seperti sebelum mengenalku. Nurul yang
bersih dan
bercahaya, seperti namanya Nurul Azkiya , Cahaya bagi orang-orang
yang bersih
hatinya.
Nurul,
Apakah kau sadar dengan apa yang kau lakukan saat ini? Dengan
tetap
menuruti perasaanmu untuk menyesal dan membodoh-bodohkan diri kau
telah
merusak dirimu sendiri. Ajaran agama kita yang hanif melarang
manusia
membinasakan dirinya sendiri dengan cara dan alasan apa pun.
Memasung diri
sampai menderita dengan alasan setia pada cinta adalah perbuatan
yang tidak
seirama dengan sunnah nabi. Kau jangan salah tafsir pada novel
yang ditulis oleh
Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi. Dengan novel itu beliau
ingin menghibur
dan menyejukkan orang-orang yang mereguk pahitnya cinta karena
kelaliman
orang-orang yang tidak mengerti cinta. Beliau membela orang yang
semestinya
dibela, dan mencela orang-orang lalim yang semestinya dicela.
Adapun Puteri Zein
yang membawa cintanya sampai ke liang lahat itu bukan atas kehendaknya.
Berbeda
dengan dirimu. Jika kau membawa cintamu sampai mati maka itu atas
kehendakmu,
dan itu sama saja dengan bunuh diri.
Nurul,
Cinta sejati dua insan berbeda jenis adalah cinta yang terjalin
setelah akad
nikah. Yaitu cinta kita pada pasangan hidup kita yang sah. Cinta
sebelum menikah
adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan dan
diagung-agungkan. Nurul, dunia
tidak selebar daun anggur. Masih ada jutaan orang shalih di dunia
ini yang belum
menikah. Pilihlah salah satu, menikahlah dengan dia dan kau akan
mendapatkan
cinta yang lebih indah dari yang pernah kau rasakan.
Terkadang, tanpa sengaja kita telah menyengsarakan orang lain.
Itulah yang
mungkin kulakukan padamu. Maafkanlah aku. Semoga Allah masih terus
berkenan
memberikan hidayah dan rahmatnya, juga maghfirahnya kepada kita
semua.
Wassalam,
208
Fahri Abdullah.
Surat itu kumasukkan dalam amplop dan kuberikan kepada Aisha untuk
diberikan kepada Nurul besok paginya saat pelatihan.
Aisha bertanya, “Isinya apa?”
Kujawab, “Ucapan terima kasih. Aku gantian menasihatinya untuk
segera
menikah.”
“Benar. Dia sudah saatnya menikah, sebentar lagi selesai kuliah.
Semoga dia
dapat suami yang baik dan shalih,” ujar Aisha polos sambil
tersenyum.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 21
No comments:
Post a Comment