Tuesday, September 1, 2015

Ayat - Ayat Cinta - Bab 29




29. Nyanyian dari Surga

Begitu divonis bebas, aku dibawa oleh Aisha ke rumah sakit Maadi untuk
diperiksa. Penyiksaan dipenjara seringkali menyisakan cidera atau luka. Dokter
mengatakan aku harus dirawat di rumah sakit beberapa hari untuk memulihkan
kesehatan. Beberapa jari kakiku yang hancur harus ditangani serius. Ada gejala
paru-paru basah yang kuderita. Aisha memesankan kamar kelas satu bersebelahan
dengan kamar Maria. Teman-teman dari Indonesia banyak yang menjenguk,
meskipun mereka sedang menghadapi ujian semester ganjil Al Azhar. Sementara
musim dingin semakin menggigit.
Sudah tiga hari, sejak jatuh tak sadarkan diri saat memberikan kesaksian di
pengadilan Maria belum juga siuman. Dokter mengatakan ada kelenjar syaraf di
kepalanya yang tak kuat menahan emosi yang kuat mendera. Ada pembengkakan
serius pada pembuluh darah otaknya karena tekanan darah yang naik drastis.
Akibatnya dia koma. Untung pembuluh darah otaknya itu tidak pecah. Kalau pecah
maka nyawanya bisa melayang.
Sekarang tidak hanya Madame Nadia dan keluarganya saja yang merasa
bertanggung jawab menunggui Maria. Aisha merasa punya panggilan jiwa tak kalah
kuatnya. Ia sangat setia menunggui diriku dan menunggui Maria. Ia bahkan sering
tidur sambil duduk di samping Maria. Aisha menganggap Maria seperti adiknya
sendiri. Beberapa kali aku memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur dan
menemani Aisha menunggui Maria.
Pada hari keempat sejak Maria tak sadarkan diri, tepatnya pada pukul
sembilan pagi handphone Aisha berdering. Aisha mengangkatnya. Ia terkejut
mendengar suara orang yang menelponnya. “Alicia? Di mana? Oh masya Allah,
Subhanallah! Ya..ya...baik. Kalau begitu kau naik metro saja turun di Maadi. Aku
jemput di dekat loket tiket sebelah barat. Okey? Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah.”
Aisha lalu tersenyum padaku dan berkata,
“Selamat untukmu Fahri, kau telah mendapatkan kenikmatan yang lebih agung
dari terbitnya matahari. Alicia sudah menjadi muslimah sekarang. Apa yang kau
lakukan sampai kau akhirnya jatuh sakit itu tidak sia-sia. Jawabanmu itu mampu
menjadi jembatan baginya menemukan cahaya Tuhan. Dia ingin menemuimu.
Kira-kira pukul setengah sepuluh dia akan sampai di Mahattah Maadi.”
280
Aku merasakan keagungan Tuhan di seluruh jiwa. Aku merasa Dia tiada
pernah meninggalkan diriku dalam segala cuaca dan keadaan.
PadaMu Kutitipkan secuil asa Kau berikan selaksa bahagia PadaMu
Kuharapkan setetes embun cinta Kau limpahkan samudera cinta
Aisha menengok kamar Maria, tak lama ia kembali lagi dan berkata, “Dia belum
juga sadar. Hanya detak jantungnya yang masih terus bekerja dan hembusan
nafasnya yang masih mengalir menunjukkan dia masih hidup. Sungguh aku tak tega
melihat dia terbaring begitu lemah tiada berdaya. Seringkali ada lelehan air mata di
sudut matanya. Entah apa yang dialaminya di alam tak sadarnya.”
Aisha melihat jam. “Sayang, aku keluar sebentar ya menjemput Alicia.”
“Ya, tapi jangan cerita tentang penjara.” Lirihku. Aisha menganggukkan
kepalanya lalu beranjak keluar.
Seperempat jam kemudian Aisha datang bersama Alicia. Aku nyaris tidak
percaya bahwa sosok yang datang bersamannya adalah Alicia. Sangat kontras
dengan penampilannya waktu pertama kali bertemu di dalam metro dulu. Dulu
pakaiannya ketat mempertontonkan aurat. Sekarang dia memakai jilbab, pakaiannya
sangat anggun dan rapat menutup aurat. Tak jauh berbeda dengan Aisha.
“Aku datang kemari sengaja untuk menemuimu, Fahri. Untuk mengucapkan
terima kasih tiada terkira padamu. Karena berjumpa denganmulah aku menemukan
kebenaran dan kesejukan yang aku cari-cari selama ini.” Kata Alicia, mata birunya
berbinar bahagia. Alicia lalu mengisahkan pergolakan batinnya sampai akhirnya
masuk Islam dua bulan yang lalu.
“Selain itu aku membawa ini.” Alicia membuka tas hitamnya yang agak besar.
Ia mengeluarkan dua buah buku dan menyerahkan padaku. Aku terkejut membaca
tulisan yang ada di sampulnya. Namaku tertulis di sana.
“Jawabanmu tentang masalah perempuan dalam Islam jadi buku itu. Dan
terjemahan Maria jadi yang ini. Semuanya diterbitkan oleh Islamic Centre di New
York. Tiap buku baru dicetak 25 ribu exemplar. Dr. Salman Abdul Adhim direktur
penerbitannya meminta nomor rekeningmu, Maria dan Syaikh Ahmad untuk tranfer
honorariumnya. Kau boleh bangga sekarang dua buku itu sedang dicetak lagi karena
satu bulan diluncurkan langsung habis.” Cerita yang dibawa Alicia benar-benar
menghapus semua duka yang pernah kurasa. Sangat mudah bagi Tuhan untuk
281
menghapus duka dan kesedihan hamba-Nya.
“Kau tidak ingin menemui Maria?” tanyaku.
“Ingin.”
“Aisha, antarkan Alicia melihat Maria.”
Aisha menggamit tangan Alicia ke kamar sebelah di mana Maria terbaring
lemah. Aku tidak tahu seperti apa reaksi Alicia bertemu Maria dalam keadaan seperti
itu. Sambil berbaring aku memperhatikan dengan seksama dua buku yang diberikan
Alicia itu. Buku pertama, Women in Islam. Sebuah buku kecil. Tebalnya cuma 65
halaman. Namaku terpampang sebagai pengarangnya. Aku jadi malu pada diri
sendiri, aku hanya menulis ulang dan merapikan pelbagai macam bahan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar perempuan dalam Islam. Bukan menulis
suatu yang baru. Di dalamnya kulihat editornya dua orang: Alicia Brown dan Syaikh
Ahmad Taqiyuddin. Di halaman terakhir buku itu ada biodataku secara singkat. Lalu
buku kedua berjudul, Why Does the West Fear Islam? ditulis Prof Dr. Abdul Wadud
Shalabi. Aku dan Maria tercantum sebagai penerjemah. Editornya sama.
Setengah jam kemudian Alicia kembali bersama Aisha.
“Semoga isteri keduamu itu cepat sembuh. Selamat atas pernikahan kalian.
Semoga dirahmati Tuhan. Oh ya aku ada pesan dari Dr. Salman Abdul Adhim, kau
akan diundang untuk memberikan cemarah di beberapa Islamic Centre di Amerika
sekalian mendiskusikan apa yang telah kau tulis. Tiket, surat undangan dan jadwal
kegiatannya ada di hotel, tidak terbawa,” kata Alicia.
“Waktunya kapan?” Aisha menanggapi.
“Bulan depan. Selama sepuluh hari.”
“Semoga dia benar-benar sudah sembuh.”
“Semoga.”
Setelah itu Alicia minta diri dan berjanji akan datang lagi keesokan hari untuk
menyerahkan tiket dan semua berkas yang akan digunakan untuk mempermudah
mengurusi visa masuk ke Amerika. “Begitu banyak perubahan silih berganti yang kita
alami,” kata Aisha setelah Alicia pergi. * * *
Tengah malam, Aisha membangunkan diriku. Kusibak selimut tebal. Kaca
jendela tampak basah. Musim dingin mulai merambat menuju puncaknya. Aisha
282
melindungi tubuhnya dengan sweater. Untung penghangat ruangan kamar kelas satu
berfungsi baik. Tapi kaca jendela tetap tampak basah. Berarti di luar sana udara
benar-benar dingin. Mungkin telah mencapai 8 derajat. Aku tidak bisa membayangkan
seperti apa dinginnya kutub utara yang puluhan derajat di bawah nol. Suasana malam
senyap dan beku.
“Fahri, ayo lihatlah Maria, dia mengigau aneh sekali..aku belum pernah melihat
orang mengigau seperti itu.” Kata Aisha pelan.
Aku mengikuti ajakan Aisha untuk melihat keadaan Maria. Tak ada siapasiapa
di kamar Maria saat kami masuk. Kecuali Madame Nadia, yang pulas di sofa tak jauh
dari ranjang Maria. Ibu kandung Maria itu kelihatannya kelelahan. Kami melangkah
pelan mendekati Maria. Dan aku mengenal apa yang diigaukan oleh Maria. Aku
pasang telinga lekat-lekat dan memperhatikan dengan seksama. Subhanallah, Maha
Suci Allah! Yang terucap lirih dari mulut Maria, tak lain dan tak bukan adalah ayat-ayat
suci dalam surat Maryam. Ia memang hafal surat itu. Aku tak kuat menahan haru.
“Sepertinya yang keluar dari bibirnya itu ayat-ayat suci Al-Qur’an? Bagaimana
bisa terjadi, Fahri?” Heran Aisha.
“Kita dengarkan saja baik-baik. Nanti aku jelaskan padamu. Banyak hal yang
belum kau ketahui tentang Maria.” Jawabku pelan.
Kami pun menyimak igauan Maria baik-baik. Mendengarkan apa yang
diucapkan oleh Maria dalam alam tidak sadarnya. Pelan. Urut. Indah dan lancar. Tak
ada yang salah. Meskipun tajwidnya masih belum lurus benar. Maria melantunkan
ayat-ayat yang mengisahkan penderitaan Maryam setelah melahirkan nabi Isa.
Maryam dituduh melakukan perbuatan mungkar. Allah menurunkan mukjizat-Nya, Isa
yang masih bayi bisa berbicara.
Fa atat bihi qaumaha tahmiluh, qaalu yaa Maryamu laqad ji’ta syaian
fariyya.
Ya ukhta Haaruna maa kaana abuuki imra ata sauin wa maa kaanat
ummuki baghiyya. Fa asyaarat ilaih, qaalu kaifa nukallimu man kaanat fil mahdi
shabiyya.
Qaala inni abdullah aataniyal kitaaba wa ja’alani nabiyya. Wa ja’alani mubaarakan
ainama kuntu wa aushaani bish shalati waz zakaati maa dumtu hayya.
(Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan
283
menggendongnya. Kaumnya berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah
melakukan sesuatu yang amat mungkar.
Hai saudara perempuan Harun ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat
dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina. Maka Maryam menunjuk kepada
anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara pada anak kecil yang
masih dalam ayunan?’ Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia
memberiku Al Kitab dan dia menjadikan aku seorang nabi.
Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada,
dan dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat menunaikah zakat
selama aku hidup)115
Seorang malaikat pun jika mendengar apa yang dilantunkan Maria dalam alam
bawah sadarnya itu akan luluh jiwanya, bergetar hatinya, dan meneteskan air mata.
Maria sedang mengeluarkan apa yang bercokol kuat dalam memorinya. Dan itu
adalah ayat-ayat suci yang menyejukkan. Maria terus melantunkan apa yang
dihafalnya ayat demi ayat. Air mataku menetes setetes demi setetes. Cahaya
keagungan Tuhan berkilat-kilat dalam diri semakin lama semakin benderang. Bibir
Maria terus bergetar. Aku bertanya dalam diri, siapa sebenarnya yang menggerakkan
bibirnya? Dia sedang tak sadar apa-apa. Ia sampai pada akhir surat Maryam. Namun
bibirnya tidak juga berhenti bergetar, terus melanjutkan surat setelahnya. Surat
Thaaha. Subhanallah!
Thaaha. Maa anzalna ‘alaikal Qur’aana li tasyqa Illa tadzkiratan liman yakhsya
( Thaaha.
Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu
agar kamu jadi susah
Tetapi sebagai tadzkirah
bagi orang yang takut kepada Allah 116)
Aku jadi tidak mengerti sebenarnya berapa surat. Berapa juz yang telah dihafal
Maria. Dulu saat pertama kali dia menyapa di dalam metro dia mengatakan hanya
hafal surat Al Maidah dan Maryam saja. Sekarang dia membaca surat Thaaha. Aku
benar-benar terkesima dibuatnya. Masih banyak rahasia dalam dirinya yang tidak aku
115 QS. Maryam: 27-31.
116 QS. Thaaha: 1-3.
284
ketahui. Aku jadi tidak tahu pasti keyakinan dalam hatinya. Dengan air mata terus
mengalir di sudut matanya yang terpejam ia melantunkan ayat-ayat suci itu seperti
sedang asyik bernyanyi dalam mimpi. Malam yang dingin terasa hangat oleh aura
getar bibir Maria. Ia mengajak pendengarnya berada di Mesir pada masa nabi Musa
melawan Fir’aun. Ia terus bernyanyi, seperti bidadari menyanyikan lagu surga.
Innama ilaahukumullah al ladzi laa ilaha illa huwa wasia kulla syai in ilma
Kadzalika naqushu ‘alaika anbai ma sabaq wa qad aatainaaka min ladunna
dzikra
(Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tiada tuhan selain Dia,
pengetahuannya meliputi segala sesuatu. Demikianlah kami kisahkan
kepadamu sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah
kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan 117 )
Sampai ayat ini bibir Maria berhenti bergetar. Lelehan air matanya semakin
deras. Namun ia tidak juga membuka mata. Entah apa yang ia rasa. Aku hanya bisa
ikut melelehkan air mata. Berdoa. Dan memegang erat tangannya. Sesaat lamanya
keheningan tercipta. Tiba-tiba bibirnya bergerak dan mendendangkan zikir dengan
nada aneh:
Allah. Allah. Allah.
Aku ingin Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku rindu Allah.
Allah. Allah. Allah.
Aku cinta Allah.
Allah. Allah. Allah
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Allah. Allah. Allah.
CahayaMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
SenyumMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
BelaianMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CiumanMu Allah.
Allah. Allah. Allah.
CintaMu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
117 QS. Thaaha: 98-99
285
Allah.
Surgamu Allah.
Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Surgamu Allah.
Allah. Allah.Allah.
Allah.
Allah.
Allah.
Semakin lama volume suaranya semakin mengecil. Lalu hilang. Hatiku
berdesir ketika melihat bulu matanya yang lentik bergerak-gerak. Perlahan ia
mengerjap. Allah. Allah. Allah. Sembari bibirnya berzikir matanya tampak mulai
terbuka perlahan. Dan akhirnya benar-benar terbuka. Subhanallah!
“Maria!” sapaku pelan.
“Fa..Fahri?” suaranya sangat lirih nyaris tiada terdengar.
“Ya. Apa yang kau rasakan sekarang, Sayang? Apanya yang sakit?”
“Tolonglah aku? Aku sedih sekali.”
“Kenapa sedih?”
“Aku sedih tak diizinkan masuk surga!”
Jawaban Maria membuat aku dan Aisha kaget bukan main. Dari mana dia
tiba-tiba dapat kekuatan untuk berkata sejelas itu? Apakah dia akan mati? Tanyaku
dalam hati. Dan cepat-cepat aku membuang pertanyaan tidak baik itu. Tapi kenapa
dia berulang-ulang menyebut-nyebut surga.
“Aku telah sampai di depan pintu surga, tetapi aku tidak boleh masuk!”
ulangnya.
“Kenapa?”
“Katanya aku tidak termasuk golongan mereka. Pintu-pintu itu tertutup bagiku.
Aku terlunta-lunta. Aku menangis sejadi-jadinya.”
“Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang kau alami, Maria. Tapi
bagaimana mulanya kau bisa sampai di sana?”
“Aku tidak tahu awal mulanya bagaimana. Tiba-tiba saja aku berada dalam
alam yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dari kejauhan aku melihat istana megah
286
hijau bersinar-sinar. Aku datang ke sana. Aku belum pernah melihat bangunan istana
yang luasnya tiada terkira, dan indahnya tiada pernah terpikir dalam benak manusia.
Luar biasa indahnya. Ia memiliki banyak pintu. Dari jarak sangat jauh aku telah
mencium wanginya. Aku melihat banyak sekali manusia berpakaian indah satu
persatu masuk ke dalamnya lewat sebuah pintu yang tiada terbayangkan indahnya.
Kepada mereka aku bertanya, “Istana yang luar biasa indahnya ini apa?” Mereka
menjawab, “Ini surga!” Hatiku bergetar. Dari pintu yang terbuka itu aku bisa sedikit
melihat apa yang ada di dalamnya. Sangat menakjubkan. Tak ada kata-kata yang
bisa menggambarkan. Tak ada pikiran yang mampu melukiskan. Aku sangat tertarik
maka aku ikut barisan orang-orang yang satu persatu masuk ke dalamnya. Ketika kaki
mau melangkah masuk seorang penjaga dengan senyum yang menawan berkata
padaku, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini namanya Babur Rayyan. Pintu
khusus untuk orang-orang yang berpuasa. 118 Anda tidak termasuk golongan
mereka!” Aku sangat kecewa. Aku lalu berjalan ke sisi lain. Di sana ada pintu yang
juga sedang penuh dimasuki anak manusia berpakaian indah. Aku mau ikut masuk.
Seorang penjaga yang ramah berkata, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini
Babush Shalat. Pintu khusus untuk orang-orang shalat. Dan Anda tidak termasuk
golongan mereka!” Aku sangat sedih. Hatiku kecewa luar biasa. Aku melihat di
kejauhan masih ada pintu. Aku berjalan ke sana dengan harapan bisa masuk lewat
pintu itu. Namun ketika hendak masuk seorang penjaga yang wajahnya bercahaya
berkata, “Maaf, Anda tidak boleh masuk lewat sini. Ini Babuz Zakat. Pintu khusus
untuk orang-orang yang menunaikan zakat. Ada banyak pintu. Dan setiap kali aku
hendak masuk selalu dicegah penjaganya. Sampai di pintu terakhir namanya Babut
Taubah. Aku juga tidak boleh masuk. Karena itu khusus untuk orang-orang yang
taubatnya diterima Allah. Dan aku tidak termasuk mereka. Aku kembali ke pintu-pintu
sebelumnya. Semuanya tertutup rapat. Orang-orang sudah masuk semua. Hanya aku
sendirian di luar. Aku menggedor-gedor pintu bernama Babur Rahmah. Tak ada yang
membuka. Aku hanya mendengar suara, “Jika kau memang penghuni surga kau tidak
perlu mengetuknya karena kau pasti punya kuncinya. Bukalah pintu-pintu itu dengan
kunci surga yang kau miliki!” Aku menangis sejadijadinya. Aku tidak memiliki
kuncinya. Aku berjalan dari pintu satu ke pintu yang lain dengan air mata menetes di
sepanjang jalan. Aku putus asa. Aku tergugu di depan Babur Rahmah. Aku mengharu
118 Imam Syamsuddin Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam kitabnya At Tadzkirah banyak menjelaskan
tentang deskripsi surga sesuai dengan yang dijelaskan dalam hadits-hadits nabi, termasuk jumlah pintu
surga dan nama-namanya.
287
biru pada Tuhan. Aku ingin menarik belas kasihNya dengan membaca ayat-ayat
sucinya. Yang kuhafal adalah surat Maryam yang tertera di dalam Al-Qur’an. Dengan
mengharu biru aku membacanya penuh penghayatan. Selesai membaca surat
Maryam aku lanjutkan surat Thaha. Sampai ayat sembilan puluh sembilan aku
berhenti karena Babur Rahmah terbuka perlahan. Seorang perempuan yang luar
biasa anggun dan sucinya keluar mendekatiku dan berkata,
“Aku Maryam. Yang baru saja kau sebut dalam ayat-ayat suci yang kau baca.
Aku diutus oleh Allah untuk menemuimu. Dia mendengar haru biru tangismu. Apa
maumu?”
“Aku ingin masuk surga. Bolehkah?”
“Boleh. Surga memang diperuntukkan bagi semua hamba-Nya. Tapi kau harus
tahu kuncinya?”
“Apa itu kuncinya?”
“Nabi pilihan Muhammad telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah kau
tidak mengetahuinya?”
“Aku tidak mengikuti ajarannya.”
“Itulah salahmu.”
“Kau tidak akan mendapatkan kunci itu selama kau tidak mau tunduk penuh
ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling dikasihi Allah ini. Aku sebenarnya datang
untuk memberitahukan kepadamu kunci masuk surga. Tapi karena kau sudah
menjaga jarak dengan Muhammad maka aku tidak diperkenankan untuk
memberitahukan padamu.”
Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan hendak pergi. Aku langsung
menubruknya dan bersimpuh dikakinya. Aku menangis tersedu-sedu. Memohon agar
diberitahu kunci surga itu. “Aku hidup untuk mencari kerelaan Tuhan. Aku ingin masuk
surga hidup bersama orang-orang yang beruntung. Aku akan melakukan apa saja,
asal masuk surga. Bunda Maryam tolonglah berilah aku kunci itu. Aku tidak mau
merugi selama-lamanya.” Aku terus menangis sambil menyebut-nyebut nama Allah.
Akhirnya hati Bunda Maryam luluh. Dia duduk dan mengelus kepalaku dengan penuh
kasih sayang,
“Maria dengarkan baik-baik! Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan kunci
masuk surga. Dia bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu dengan baik, kemudian
288
mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu
wa rasuluh (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi sesungguhnya
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya) maka akan dibukakan delapan pintu
surga untuknya dan dia boleh masuk yang mana ia suka!’ 119Jika kau ingin masuk
surga lakukanlah apa yang diajarkan olah Nabi pilihan Allah itu. Dia nabi yang tidak
pernah bohong, dia nabi yang semua ucapannya benar. Itulah kunci surga! Dan ingat
Maria, kau harus melakukannya dengan penuh keimanan dalam hati, bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Tanpa keimanan itu, yang kau
lakukan sia-sia. Sekarang pergilah untuk berwudhu. Dan cepat kembali kemari, aku
akan menunggumu di sini. Kita nanti masuk bersama. Aku akan membawamu ke
surga Firdaus!”
Setelah mendengar nasihat dari Bunda Maryam, aku lalu pergi mencari air
untuk wudhu. Aku berjalan ke sana kemari namun tidak juga menemukan air. Aku
terus menyebut nama Allah. Akhirnya aku terbangun dengan hati sedih. Aku ingin
masuk surga. Aku ingin masuk surga. Aku ingin ke sana, Bunda Maryam menungguku
di Babur Rahmah. Itulah kejadian atau mimpi yang aku alami. Oh Fahri suamiku,
maukah kau menolongku?”
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Maria?”
“Bantulah aku berwudhu. Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk
ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan
mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam
cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya. Suamiku, bantu aku
berwudhu sekarang juga!”
Aku menuruti keinginan Maria. Dengan sekuat tenaga aku membopong Maria
yang kurus kering ke kamar mandi. Aisha membantu membawakan tiang infus.
Dengan tetap kubopong, Maria diwudhui oleh Aisha. Setelah selesai, Maria kembali
kubaringkan di atas kasur seperti semula. Dia menatapku dengan sorot mata
bercahaya. Bibirnya tersenyum lebih indah dari biasanya. Lalu dengan suara lirih
yang keluar dari relung jiwa ia berkata:
Asyhadu an laa ilaaha illallah
wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh!
Ia tetap tersenyum. Menatapku tiada berkedip. Perlahan pandangan matanya
119 Hadits riwayat Imam Muslim.
289
meredup. Tak lama kemudian kedua matanya yang bening itu tertutup rapat.
Kuperiksa nafasnya telah tiada. Nadinya tiada lagi denyutnya. Dan jantungnya telah
berhenti berdetak. Aku tak kuasa menahan derasnya lelehan air mata. Aisha juga.
Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!
Maria menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Wajahnya
bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi diucapkannya dengan bibir
bergetar itu kembali terngiang-ngiang ditelinga:
“Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma. Aku
ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan segalanya dan
menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya kesucian dan kerelaan
Tuhan selama-lamanya.”
Sambil terisak Aisha melantunkan ayat:
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
irji’ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
wadkhulii jannatii
(Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridhai
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu
Maka masuklah ke dalam surga-Ku.120 )
Saat itu Madame Nahed, terbangun dari tidurnya dan bertanya sambil
mengucek kedua matanya, “Kenapa kalian menangis?”
Kaca jendela mengembun. Musim dingin sedang menuju puncaknya. O,
apakah di surga sana ada musim dingin? Ataukah malah musim semi selamanya?
Ataukah musim-musim di sana tidak seperti musim yang ada di dunia?

No comments:

Post a Comment