6. Hadiah Perekat Jiwa
Senja musim panas sungguh indah meskipun tetap tidak seindah musim
semi.
Aku membuka jendela kamar lebar-lebar. Semburat mega kemerahan
menghiasi
langit. Bau uap pasir masih terasa. Angin bertiup semilir seolah
menghapus hawa
panas. Jendela Maria kelihatannya juga terbuka. Habis maghrib
paling enak
memang membuka jendela. Membiarkan angin semilir mengalir.
Sayup-sayup aku
mendengar Maria bernyanyi.
Kalimatin laisat kal kalimaat!
Ia melantunkan lagu Majida Rumi dengan sangat indah. Suara Maria
memang
seindah suara penyanyi tersohor dari Lebanon itu.
Di kamar sebelah Saiful masih membaca An-Naml. Spontan aku
menangkap
makna ayat-ayat yang dibaca Saiful. Seekor semut berseru pada
teman-temannya,
“Hai semut-semut sekalian cepat masuklah ke dalam liang kalian.
Sebentar lagi
Sulaiman dan bala tentaranya akan lewat, kalian bisa terinjak kaki
mereka dan
mereka sama sekali tidak merasa menginjak kalian!” Nabi Sulaiman
ternyata
mendengar dan mengerti apa yang diucapkan semut itu. Nabi Sulaiman
tersenyum.
Aku pun tersenyum.
Aku duduk di depan meja belajar. Menulis beberapa baris kalimat
indah untuk
Yousef dan Madame Nahed dalam dua kertas berbeda.
Masing-masing kumasukkan
amplop. Dan kumasukkan dalam dua kardus kecil yang siap kubungkus.
Hamdi dan
Rudi masuk.
“Katanya mau membuat konferensi pers Mas?” canda Hamdi. Rudi
cengar-cengir.
“Panggil Saiful sekalian!” sahutku tenang. Agaknya Saiful
mendengar
pembicaraan kami. Dia menyudahi bacaan Al-Qur’annya dan menyahut,
“I’m coming!”
“Rud, tolong sambil kau bantu membungkus yang satu! Kau ‘kan
jagonya
membungkus kado,” pintaku pada Rudi.
“Beres Mas.”
Sambil membungkus kado aku menjelaskan untuk siapa kado ini
sebenarnya.
“Kita mengamalkan hadits Nabi, Tahaadu tahaabbu! Salinglah
kalian memberi hadiah
maka kalian akan saling mencintai! Ini waktu yang tepat untuk
memberikan kejutan
pada tetangga kita yang baik itu. Mereka sering sekali memberi
makanan dan
73
minuman kepada kita. Mereka juga perhatian pada kita. Jadi begitu
sesungguhnya.
Bukan untuk calon isteri. Jangan berprasangka sebab sebagian
prasangka itu dosa!”
Mereka semua menganggukkan kepala. Rudi minta maaf. Kubalas dengan
senyum.
“Kapan kado ini akan disampaikan Mas?” tanya Saiful.
“Insya Allah nanti menjelang mereka tidur,” jawabku.
“Bagaimana kita tahu mereka mau tidur?” sahut Hamdi.
“Jika aku mendengar Maria menutup jendela, biasanya dia siap untuk
tidur.
Dan Maria bilang mamanya selalu tidurnya lebih lambat darinya.”
* * *
Kira-kira pukul sebelas kudengar suara jendela ditutup. Itu Maria.
Dua menit
kemudian kukirim pesan ke nomor handphone-nya:
“Kalau mau tidur jangan lupa doa! Semoga mimpi bertemu Al-Masih.”
Tak lama kemudian datang balasan,
“Bagaimana kamu tahu aku akan tidur?”
Kujawab,
“Firasat orang beriman banyak benarnya.”
“Kau benar. Selamat malam.”
Saatnya telah tiba.
Kuajak teman-teman semua ke atas. Ke rumah Maria. Aku yakin Yousef
dan
Madame Nahed
belum tidur. Tuan Boutros mungkin baru akan tidur. Kami menekan
bel dua kali. Yousef membuka pintu dan melongok.
“Oh kalian. Ada perlu?” tanya Yousef. Ia belum melihat hadiah yang
kami
bawa.
“Mama ada? Kami perlu bicara dengan beliau,” tukasku.
“Ayo masuk.”
Yousef ke dalam memanggil mamanya. Tak lama kemudian Madame Nahed
keluar dengan sedikit kaget. Biasanya kami selalu berurusan dengan
Tuan Boutros
atau Maria. Jarang sekali dengan beliau.
74
“Malam-malam begini mencari saya ada apa ya? Apa ada yang sakit?”
tanya
beliau yang memang seorang dokter, tapi tidak praktek di rumah.
“Maafkan kami Madame, jika kedatangan kami mengganggu. Kami
datang
untuk mengungkapkan rasa cinta dan hormat kami pada keluarga ini.
Kebetulan kami
telah menyiapkan hadiah ala kadarnya. Ini untuk Madame dan
yang satunya untuk
Yousef. Hadiah sederhana untuk ulang tahun Madame dan
Yousef. Kami mendoakan
semoga Madame dan Yousef bahagia dan berjaya.” Aku
menjelaskan maksud
kedatanganku dan teman-teman.
Madame Nahed
benar-benar terkejut. Ia menerima hadiah itu dengan mata
berkaca-kaca. Yousef mengucapkan terima kasih tiada terhingga.
Setelah itu kami
mohon diri meskipun Madame Nahed ingin kami minum kopi
dulu.
“Kami tahu sudah saatnya istirahat. Kami tidak ingin istirahat Madame
dan
Yousef terganggu.”
Madame Nahed
tidak bisa mengucapkan apa-apa kecuali terima kasih
berkali-kali. Saat kami menuruni tangga, kami mendengar Madame Nahed
berteriak-teriak senang memanggil Maria dan Tuan Boutros.
Selanjutkan kami tidak
tahu apa yang terjadi dalam rumah Madame Nahed itu.
Ketika aku bersiap untuk tidur, handphone-ku memekik. Ada
pesan masuk.
Kubaca. Dari Maria,
“Apa yang kalian lakukan sampai membuat Mama menangis haru?”
Aku merasa tidak perlu menjawab. Hatiku mengucapkah puji syukur
kepada
Tuhan berkali-kali. Tidak sia-sia rasanya panas-panas ke Attaba.
Maria kembali mengirim pesan,
“Hai orang Indonesia, kenapa tidak dijawab? Kau sudah tidur ya?”
Aku jawab, “Ya.”
Apa pesan masuk lagi. Tidak kulihat. Aku harus istirahat. Tiba-tiba
mataku
berkaca-kaca aku belum pernah memberikan kado pada ibuku sendiri
di Indonesia.
Sebelum kenal Kairo aku adalah orang desa yang tidak kenal yang
namanya kado. Di
desa hadiah adalah membagi rizki pada tetangga agar semua
mencicipi suatu nikmat
anugerah Gusti Allah. Jika ada yang panen mangga ya semua tetangga
dikasih biar
ikut merasakan. Ulang tahun tidak pernah diingatingat oleh orang
desa. Yang diingat
adalah netu, atau hari lahir menurut hitungan Jawa,
misalnya Kamis Pon, Jum’at
75
Wage dan seterusnya. Pada hari itu, seperti yang kuingat waktu
kecil dulu, ibu akan
membuat bubur merah atau makanan lengkap dengan lauk-pauknya di
letakkan di
atas tampah yang telah dialasi dengan daun pisang. Tampah
adalah wadah seperti
nampan bundar besar yang terbuat dari bambu Di bawah daun pisang
ibu meletakkan
uang recehan banyak sekali. Setelah siap semua teman-temanku
dipanggil untuk
makan bersama.
Sebelum makan ibu mengingatkan agar kami tidak lupa membaca basmalah
bersama. Jika Mbah San kebetulan ada, ibu akan minta Mbak Ehsan
berdoa dan
kami, anak-anak, mengamininya. Barulah kami makan berramairamai.
Setelah
makanannya habis kami akan membuka daun pisang yang tadi dibuat
alas makan.
Lalu kami berebutan mengambil uang receh dengan serunya. Semua
kebagian.
Sebab jika ada yang dapat uang lebih dan ada yang tidak dapat maka
sudah jadi
kewajiban yang dapat lebih untuk membaginya pada yang tidak dapat.
Biasanya ibu
sudah menghitung jumlah anak yang akan diundang dan uangnya sesuai
dengan
jumlah anak itu. Jadi semuanya dapat jatah sama. Sebenarnya kami
tahu jatah uang
logamnya satu-satu. Tapi selalu saja dibuat rebutan dahulu. Masa
kecil yang seru.
Begitulah cara ibu-ibu di desaku menyenangkan hati anak-anak
kecil. Kenangan
indah yang tiada terlupakan. Lebih indah dari pesta meniup lilin
dan bernyanyi happy
bird day to you.
Pernah ada kiai muda dalam suatu pengajian di surau melarang
ibu-ibu
membuat pesta untuk anak-anak seperti itu. Katanya itu bid’ah.
Ibu-ibu bingung dan
lapor pada Mbah Ehsan. Mbah Ehsan yang pernah belajar di Pesantren
Mambaul
Ulum Surakarta itu hanya tersenyum dan bilang tidak apa-apa, tidak
bid’ah, malah
dapat pahala menyenangkan anak kecil. Kanjeng Nabi adalah teladan.
Beliau paling
suka menyenangkan hati anak kecil.
Ketika aku sudah sampai Mesir, dan setelah membaca kitab Al
I’tisham
karangan Imam Syathibi dan kitab As-Sunnah Wal Bid’ah yang
ditulis Syaikh Yusuf
Qaradhawi aku merenungkan kembali jawaban Mbah Ehsan. Sungguh
suatu jawaban
yang sangat arif. Sungguh tidak mudah untuk membid’ahkan suatu
perbuatan terpuji
yang tiada larangan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sungguh tidak
bijak bertindak
sembarangan menghukumi orang.
Pada kenyataannya, ibu-ibu di desa tidak pernah menganggap pesta
pada
netu anaknya
sebagai suatu kewajiban agama yang harus dilakukan. Yang jika
dilakukan dapat pahala jika tidak dapat dosa. Atau sebagai ibadah
sunah, jika
76
dilakukan dapat pahala jika ditinggal tidak apa-apa. Tidak ada
anggapan itu masuk
bagian dari ajaran agama. Apa yang dilakukan ibu-ibu di desa tak
lebih dari ungkapan
rasa sayangnya pada anaknya. Ia ingin anaknya merasa senang. Dan
teman
anak-anaknya juga senang. Itu saja.
Orang desa adalah orang yang hidupnya susah dan pas-pasan. Jika
punya
kelebihan rizki sedikit saja ingin berbagi kepada sesama. Ibu-ibu
ingin menanamkan
hal itu dalam jiwa anak-anaknya. Ketika seorang ibu di desa
memiliki rizki ia ingin
membahagiakan anaknya. Membuatkan sesuatu yang istimewa untuk
anaknya. Tapi
ia juga ingin anaknya membagi kebahagiaan dengan teman-temannya.
Maka
dibuatlah makanan yang agak banyak untuk dibancak bersama-sama.
Adapun itu
dipaskan dengan hari netu anaknya adalah agar anaknya merasa
memiliki sesuatu
istimewa. Ia merasa dihormati, dicintai dan disayangi. Hari itu ia
merasa memiliki rasa
percaya diri. Ia merasa ada sebagai manusia. Ia didoakan oleh
teman-temannya yang
mengamini doa Mbah Ehsan. Atau ia merasa ketika seluruh
teman-temannya
membaca basmalah bersamasama, itu adalah doa mereka untuk
dirinya. Pada hari itu
anak orang paling miskin di suatu desa sekalipun akan tumbuh rasa
percaya dirinya.
Sebab anak orang kaya ikut serta makan satu nampan dengan seluruh
anak-anak
yang ada. Anak orang kaya makan pada nampan yang dibuat ibunya
untuk dirinya
pada hari istimewanya. Ia tidak merasa rendah diri. Seluruh
anak-anak desa merasa
sama. Makan bersama. Cuil mencuil tempe. Saling tarik menarik
secuil rambak. Dan
tertawa bersama. Lalu rebutan uang receh dan saling berbagi.
Orang-orang desa
adalah orang-orang susah dan mereka kaya akan cara menutupi
kesusahan mereka
dan menyulapnya menjadi kebahagian yang bisa dirasakan
bersama-sama.
* * *
Pagi usai shalat shubuh ada orang menekan bel. Ternyata Yousef. Ia
datang
untuk sekali lagi mengucapkan terima kasih dan mengabarkan kami
sesuatu,
“Mama ingin membuat pesta ulang tahun kami berdua di sebuah Villa
di
Alexandria. Kalian satu rumah kami undang. Semua ongkos perjalanan
jangan
dipikirkan Mama sudah siapkan,” ucapnya dengan mata
berbinar-binar. Kulihat wajah
teman-teman cerah. Wisata gratis ke Alexandria siapa tidak mau.
Lain dengan diriku.
Bulan ini jadwalku padat sekali. Terjemahan belum selesai.
Proposal tesis. Mengaji
dengan Syaikh Utsman yang sangat sayang jika aku tinggalkan,
meskipun cuma satu
hari. Dan lain sebagainya. Aku merasa tidak bisa ikut. Tapi aku
pura-pura bertanya,
77
“Kapan?”
“Minggu depan. Menurut ramalan cuaca sudah tidak terlalu panas.
Rencananya berangkat Sabtu, setengah dua siang. Menginap di sana
semalam.
Minggu sore sebelum maghrib baru pulang. Bagaimana, kalian bisa
‘kan? Kalian ‘kan
masih libur?” kata Yousef.
Meskipun wajah teman-teman tampak cerah, tapi mereka tidak spontan
menjawab. Mereka sangat menghargai diriku sebagai kepala rumah
tangga dan
sebagai yang tertua.
“Kurasa teman-teman bisa ikut. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa.
Sebab
jadwal saya padat sekali. Terus terang saya sedang menyelesaikan
proyek
terjemahan dan sedang menggarap proposal tesis. Sampaikan hal ini
pada Mama
ya?” jawabku.
“Mas, kenapa tidak diluangkan satu hari saja sih. Kasihan mereka
‘kan?” sahut
Rudi.
“Rud, semua orang punya skala prioritas. Banyak hal penting di
hadapan kita,
tapi kita tentu memilih yang paling penting dari yang penting. Aku
punya kewajiban
menyelesaikan kontrak. Itu yang harus aku dahulukan daripada ikut
ke Alex. Jika ada
rencana yang tertunda dua hari saja, maka akan banyak rencana yang
rusak.
Tolonglah pahami aku. Silakan kalian ikut aku tidak apa-apa.
Sungguh!” jelasku
mohon pengertian teman-teman satu rumah. Yousef mengerti semua
yang aku
katakan sebab Rudi dan aku mengatakannya dalam bahasa Arab.
“Baiklah. Akan aku sampaikan ini pada Mama,” ujar Yousef sambil
bangkit
minta diri. Aku beranjak ke kamar untuk menyalakan komputer.
Sementara Saiful ke dapur untuk piket masak. Rudi dan Hamdi tetap
di ruang
tamu membaca-baca koran yang kemarin kubeli.
Baru saja aku mengetik tujuh baris. Bel kembali berbunyi.
“Mas Fahri, Yousef!” teriak Hamdi.
Aku bergegas ke depan.
“Begini Fahri. Setelah aku beritahukan semuanya, Mama memutuskan
untuk
membatalkan rencana ke Alex,” ucap Yousef dengan kerut muka
sedikit kecewa.
“Kenapa?”
78
“Karena kau tidak bisa ikut.”
“Kan acara tetap bisa berjalan dengan baik tanpa keikutsertaanku.”
“Pokoknya itu keputusan mama.”
“Ana asif jiddan! Wallahi, ana asif jiddan!72” ucapku
sedih. Sebetulnya aku tidak
ingin mengecewakan siapapun juga.
“Tak apa-apa. Mama ingin menggantinya dengan sebuah acara yang
tidak
akan menyita waktu banyak. Dan untuk acara ini mama minta dengan
sangat kalian
bisa ikut semua. Sekali lagi dengan sepenuh permohonan, tidak
boleh ada yang tidak
bisa.”
“Acaranya apa, dan kapan?”
“Kami sekeluarga akan mengajak kalian sekeluarga ke sebuah restaurant
di
Maadi untuk makan malam. Kalian tidak boleh menolak. Begitu pesan
mama.”
Aku berpikir sejenak.
“Sudahlah Mas. Untuk yang ini sedikit toleranlah. Masak jadwal
menerjemahnya ketat buanget sih!” desak Hamdi.
“Baiklah. Insya Allah, kami sekeluarga bisa. Jam berapa
kita berangkat?”
kulihat wajah Yousef lebih cerah. Ia tersenyum.
“Setelah kalian shalat maghrib kita langsung berangkat. Biar tidak
kemalaman,” ucapnya senang.
“Waktu yang tepat sekali,” gumamku.
“Kalau begitu aku naik dulu. Terima kasih atas kesediaannya.”
“Terima kasih atas ajakannya.”
Hamdi, Rudi, dan Saiful tersenyum riang.
“Wah lumayan. Pengiritan uang dapur,” kata Saiful.
“Sekali-kali kita makan di restaurant mewah, masak cuma bisa makan
qibdah
35 piaster,” sahut Rudi.
“Memang enaknya punya tetangga baik,” tukas Hamdi.
“ Hei, jangan lupa sama teman. Si Mishbah diberi tahu suruh
pulang. Harus
72 Aku menyesal sekali. Demi Allah, saya sangat menyesal.
79
sampai rumah sebelum maghrib.” Selorohku sambil berjalan masuk
kamar untuk
kembali menerjemah. Tak lama kemudian kudengar Si Hamdi berbicara
di telpon.
Mishbah akan pulang selepas shalat ashar.
Baru lima halaman Rudi berteriak, “Mas Fahri telpon from the
true coise!” Rudi
itu masih meledek aku rupanya ia menyebut Nurul “the true coise”. The
true coise bagi
siapa? Aku mendesah panjang. Pagi-pagi mau tenang sedikit saja
tidak bisa.
Kuangkat gagang telpon, “Halo. Siapa ya?”
“Alah, udah tahu pura-pura tanya pula!” celetuk Rudi dengan logat
Medannya
yang membuat telingaku terasa gatal. Anak ini resek sekali.
“Ini Nurul. Ini dengan Kak Fahri ya?” suara di seberang sana.
“Ya. Kemarin katanya nelpon ya?Ada apa?”
“Ah enggak. Kemarin sebetulnya ada yang ingin Nurul tanyakan, tapi
jawabannya sudah ketemu.”
“Lha ini nelpon ada apa?”
“Tentang Noura.”
“Ada apa dengan Noura?”
“Tadi malam dia sudah menceritakan semuanya pada saya. Dia memang
gadis
yang malang. Ceritanya sangat mengenaskan.”
“Bagaimana ceritanya?”
“Maaf Kak, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Sangat
panjang.”
“Oh aku paham. Kau tutup saja telponmu. Biar aku yang telpon.”
“Bukan pulsa masalahnya Kak.”
“Terus enaknya bagaimana?”
“Sore nanti kami, pengurus Wihdah diundang Pak Atdikbud di
rumahnya yang
dekat SIC. Kakak bisa nggak ke SIC jam lima?”
“Sayang nggak bisa Nur.”
“Terus bagaimana?”
“Minggu-minggu ini jadwalku padat. Susah meluangkan waktu buat
appoinment baru.
Bagaimana kalau segala yang diceritakan Noura kau tulis saja
semuanya. Pakai tulisan tangan tidak apa-apa. Kulihat cerpenmu
pernah nampang di
80
bulletin Citra. Kayaknya lebih praktis. Lebih enak. Tapi kalau
bisa secepatnya.”
“Akan Nurul usahakan. Kapan Kakak ingin mengambilnya?”
Aku berpikir sejenak. Kapan aku akan keluar ke Nasr City. Satu
minggu lagi.
Terlalu lama. Oh ya, aku ingat, Mishbah masih di wisma dia akan
pulang selepas
shalat ashar. Dan Rudi setelah makan pagi nanti akan pergi ke
Wisma untuk diskusi.
“Kalau kau bisa menulisnya sekarang juga, habis zhuhur aku bisa
minta teman
untuk mengambilnya.”
“Insya Allah bisa. Siapa nanti yang mengambil Kak?”
“Kalau tidak Mishbah ya Rudi.”
“Bilang jangan lebih jam tiga. Aku sudah tidak dirumah. Itu saja
Kak ya.”
“Terima kasih Nur.”
“Kembali.”
Aku menutup gagang telpon dengan hati penasaran. Apa sesungguhnya
yang
dialami oleh gadis Mesir yang lemah lembut bernama Noura itu. Aku
berharap nanti
sore atau nanti malam sudah mengetahuinya.
Ayat - Ayat Cinta - Bab7
No comments:
Post a Comment