5. Pertemuan di Tahrir
Jam 10.10 aku sampai di mahattah metro bawah tanah Maydan
Tahrir. Sesuai
dengan janji, kami akan bertemu di jalur metro menuju Giza
Suburban. Tempatnya
lebih nyaman. Lebih indah. Aku mencari tempat duduk yang paling
mudah dilihat.
Janjinya tepat setengah sebelas. Aku datang dua puluh menit lebih
awal. Sambil
menunggu aku membaca kembali bahan khutbah yang telah
kupersiapkan. Keadaan
mahattah tidak
terlalu ramai. Menjelang shalat Jum’at seperti ini biasanya memang
agak lengang. Seorang polisi bersiaga dengan senjata di pinggang.
Petugas
kebersihan berseragam menyapu pelan-pelan. Seorang perempuan
berjubah hitam
bercadar hitam datang. Kukira dia Aisha, ternyata bukan. Perempuan
itu tidak melihat
ke arahku sama sekali. Begitu metro datang, ia langung naik
dan hilang.
Sudah pukul sebelas Aisha belum juga datang. Aku akan menunggu
sampai
seperempat jam ke depan jika ia tidak datang aku akan langsung
pergi ke Dokki.
Pukul sebelas lima menit ada seorang perempuan berabaya cokelat
tua dengan jilbab
dan cadar di kepalanya. Ia melangkah tergesa ke arahku. Ia
mengucapkan salam dan
aku menjawabnya.
“Nehmen Sie platz!”62 kupersilakan dia duduk.
“Danke schon.”63 Selorohnya sambil bergerak duduk di
samping kananku.
“Bitte.”64
Aisha melihat jam tangannya. Dia minta maaf datang terlambat. Aku
hanya
tersenyum. Kami lalu mulai berbincang-bincang. Aisha memilih pakai
bahasa Jerman.
“Wo ist Alicia?”65 Tanyaku karena aku tidak juga melihat
bule Amerika itu
datang.
“Insya Allah, dia akan datang sepuluh menit lagi. Dia
sedang dalam perjalanan
dari wawancara dengan Ibrahem Nafe’, Pemimpin Redaksi Harian
Ahram.”
Aku bisa memaklumi, namun aku perlu menjelaskan padanya bahwa
tepat
setengah dua belas aku harus meninggalkan Tahrir. Sekali lagi
Aisha minta maaf atas
keterlambatannya dan keterlambatan Alicia. Dalam hati aku senang,
bahwa memang
perlu sekali-kali orang Barat minta maaf pada orang Indonesia,
karena mereka datang
62 Silakan duduk.
63 Terima kasih banyak.
64 Kembali.
65 Di mana Alicia?
58
tidak tepat waktu. Makanya, jangan main-main dengan murid Syaikh Utsman
yang
terkenal disiplin.
“Semoga lima belas menit cukup bagi Alicia untuk mendapatkan
jawaban atas
ketidaktahuannya akan Islam,” kata Aisha dengan nada sedikit
menyesal.
“Sebetulnya saya senang diajak berbincang untuk menjelaskan
keindahan
Islam. Tapi kali ini saya ada jadwal khutbah. Maafkan saya.”
“Kalau waktunya tidak cukup, anggaplah ini pertemuan pengantar
saja.
Semoga Anda tidak keberatan seandainya Alicia minta waktu lagi,
entah kapan.”
“Insya Allah. Dengan senang hati.”
Aisha lalu bertanya-tanya tentang saya. Tentang Indonesia. Tentang
Jawa. Dia
pun sempat sedikit mengenalkan dirinya. Dia baru empat bulan di
Cairo. Tujuannya
untuk belajar bahasa Arab dan memperbaiki bacaan Al-Qur’annya. Di
Jerman ia
sudah tingkat akhir Fakultas Psikologi. Ayahnya asli Jerman.
Ibunya asli Turki. Dari
ibunya ia memiliki darah Palestina. Sebab neneknya atau ibu ibunya
adalah wanita
asli Palestina. Ibunya bilang, neneknya lahir di Giza. Aku
bertanya sejak kapan
memakai jilbab dan cadar. Ia menjawab memakai jilbab sejak SMP dan
memakai
cadar sejak tiba di Mesir, mengikuti bibinya. Sementara ia memang
tinggal di Maadi
bersama bibi dan pamannya. Bibinya sedang S.2. di Kuliyyatul Banat
Universitas Al
Azhar, beliau adik bungsu ibunya. Sedangkan pamannya sedang S.3.,
juga di Al
Azhar. Aku mengenal beberapa orang Turki yang ada di program
pascasarjana. Aku
teringat sebuah nama.
“Aku kenal seorang mahasiswa Turki. Dia cukup akrab denganku. Dia
pernah
bilang tinggal di dekat Kentucky Maadi, mungkin pamanmu kenal,”
kataku.
“Dekat Kentucky? Siapa namanya? Coba nanti aku tanyakan pada
paman,”
Aisha penasaran.
“Namanya Eqbal Hakan Erbakan?”
“Siapa?”
“Eqbal Hakan Erbakan.”
“La ilaaha illallah!”
“Kenapa?”
“Itu pamanku.”
59
“So ein zufall!66 ”
“Dunia begitu sempit bukan? Tak kukira kau kenal pamanku.”
“Sampaikan salamku untuknya. Katakan saja dari Fahri Abdullah
Shiddiq,
teman i’tikaf di masjid Helmeya Zaitun tahun lalu. Juga
sampaikan salamku pada
bibimu dan kedua puteranya yang lucu; Amena dan Hasan.”
“Insya Allah dengan senang hati.
Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan bule datang.
“Apakah dia Alicia?”
“Kelihatannya.”
Penampilannya memang berbeda dengan waktu aku melihatnya di metro
dua
hari yang lalu. Sekarang tampak lebih sopan. Memakai hem lengan
panjang. Tidak
kaos ketat dengan bagian perut terlihat. Ia menyapa kami dengan
tersenyum. Aisha
menjelaskan waktu yang ada sangat sempit, karena jam setengah dua
belas aku
harus cabut ke Masjid Indonesia di Dokki. Alicia bisa mengerti dan
minta maaf atas
keterlambatan. Ia langsung membuka dengan sebuah pertanyaan,
“Begini Fahri, di Barat ada sebuah opini bahwa Islam menyuruh
seorang suami
memukul isterinya. Katanya suruhan itu terdapat dalam Al-Qur’an.
Ini jelas tindakan
yang jauh dari beradab. Sangat menghina martabat kaum wanita. Apakah
kau bisa
menjelaskan masalah ini yang sesungguhnya? Benarkah opini itu,
atau bagaimana?”
Aku menghela nafas panjang. Aku tidak kaget dengan pertanyaan
Alicia itu.
Opini yang sangat mendiskreditkan itu memang seringkali
dilontarkan oleh media
Barat. Dan karena ketidakmengertiannya akan ajaran Islam yang
sesungguhnya
banyak masyarakat awam di Barat yang menelan mentah-mentah opini
itu. Dengan
kemampuan yang ada aku berusaha menjelaskan sebenarnya. Aku
berharap Alicia
bisa memahami bahasa Inggrisku dengan baik,
“Tidak benar ajaran Islam menyuruh melakukan tindakan tidak
beradab itu.
Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya bersabda, ‘La tadhribu
imaallah!’ 67
Maknanya, ‘Jangan kalian pukul kaum perempuan!’ Dalam
hadits yang lain, beliau
menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah yang
berbuat baik pada
66 Sungguh suatu kebetulan.
67 Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Nasai dan Ibnu
Majah.
60
isterinya.68 Dan memang, di dalam Al-Qur’an ada sebuah ayat yang
membolehkan
seorang suami memukul isterinya. Tapi harus diperhatikan dengan
baik untuk isteri
macam apa? Dalam situasi seperti apa? Tujuannya untuk apa? Dan
cara
memukulnya bagaimana? Ayat itu ada dalam surat An-Nisa, tepatnya
ayat 34:
“Sebab itu, maka Wanita yang saleh ialah yang ta'at kepada Allah
lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka
dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka.
Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”
Jadi seorang suami diperbolehkan untuk memukul isterinya yang
telah terlihat
tanda-tanda nusyuz.”
Alicia menyela, “Nusyuz itu apa?”
“Nusyuz adalah tindakan atau perilaku seorang isteri yang tidak
bersahabat
pada suaminya. Dalam Islam suami isteri ibarat dua ruh dalam satu
jasad. Jasadnya
adalah rumah tangga. Keduanya harus saling menjaga, saling
menghormati, saling
mencintai, saling menyayangi, saling mengisi, saling memuliakan
dan saling menjaga.
Isteri yang nusyuz adalah isteri yang tidak lagi
menghormati, mencintai, menjaga dan
memuliakan suaminya. Isteri yang tidak lagi komitmen pada ikatan
suci pernikahan.
Jika seorang suami melihat ada gejala isterinya hendak nusyuz,
hendak menodai
ikatan suci pernikahan, maka Al-Qur’an memberikan tuntunan
bagaimana seorang
suami harus bersikap untuk mengembalikan isterinya ke jalan yang
benar, demi
menyelamatkan keutuhan rumah tangganya. Tuntunan itu ada dalam
surat An-Nisaa
ayat 34 tadi. Di situ AlQur’an memberikan tuntunan melalui tiga
tahapan,
Pertama,
menasihati isteri dengan baik-baik, dengan kata-kata yang bijaksana,
kata-kata yang menyentuh hatinya sehingga dia bisa segera kembali
ke jalan yang
lurus. Sama sekali tidak diperkenankan mencela isteri dengan
kata-kata kasar.
Baginda Rasulullah melarang hal itu. Kata-kata kasar lebih
menyakitkan daripada
tusukan pedang.
Jika dengan nasihat tidak juga mempan, Al-Qur’an memberikan jalan kedua,
yaitu pisah tempat tidur dengan isteri. Dengan harapan isteri yang
mulai nusyuz itu
bisa merasa dan interospeksi. Seorang isteri yang benar-benar
mencintai suaminya
68 Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
61
dia akan sangat terasa dan mendapatkan teguran jika sang suami
tidak mau tidur
dengannya. Dengan teguran ini diharapkan isteri kembali salehah.
Dan rumah tangga
tetap utuh harmonis.
Namun jika ternyata sang isteri memang bebal. Nuraninya telah
tertutupi oleh
hawa nafsunya. Ia tidak mau juga berubah setelah diingatkan dengan
dua cara
tersebut barulah menggunakan cara ketiga, yaitu memukul.
Yang sering tidak dipahami oleh orang banyak adalah cara memukul
yang
dikehendaki Al-Qur’an ini. Tidak boleh sembarangan. Suami boleh
memukul dengan
syarat:
Pertama,
telah menggunakan dua cara sebelumnya namun tidak mempan.
Tidak diperbolehkan langsung main pukul. Isteri salah sedikit main
pukul. Ini jauh dari
Islam, jauh dari tuntunan Al-Qur’an. Dan Islam tidak bertanggung
jawab atas tindakan
kelaliman seperti itu.
Kedua,
tidak boleh memukul muka. Sebab muka seseorang adalah segalanya
bagi manusia. Rasulullah melarang memukul muka.
Ketiga,
tidak boleh menyakitkan. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Bertakwalah
kepada Allah dalam masalah perempuan (isteri). Mereka adalah
orang-orang yang
membantu kalian. Kalian punya hak pada mereka, yaitu mereka tidak
boleh
menyentuhkan pada tempat tidur kalian lelaki yang kalian benci.
Jika mereka
melakukan hal itu maka kalian boleh memukul mereka dengan pukulan
yang tidak
menyakitkan (ghairu mubrah). Dan kalian punya kewajiban pada
mereka yaitu
memberi rizki dan memberi pakaian yang baik.’69 Para ulama ahli fiqih dan ulama
tafsir menjelaskan kriteria ‘ghairu mubrah’ atau ‘tidak
menyakitkan’ yaitu tidak sampai
meninggalkan bekas, tidak sampai membuat tulang retak, dan tidak
di bagian tubuh
yang berbahaya jika kena pukulan.
Dengan menghayati benar-benar kandungan ayat suci Al-Qur’an itu
dan
makna hadits-hadits Rasulullah itu akan jelas sekali seperti apa
sebenarnya ajaran
Islam. Apakah seperti yang dituduhkan dan diopinikan di Barat yang
menghinakan
wanita? Apakah tuntunan mulia seperti itu, yang bertujuan
menyelamatkan bahtera
rumah tangga karena ada gejala isteri hendak nusyuz, tidak
lagi bersahabat pada
suaminya, hendak menodai ikatan suci pernikahan dianggap tiada
beradab?
Kapan seorang suami diperbolehkan memukul? Pada isteri macam apa?
69 Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.
62
Syaratnya memukulnya apa saja? Tujuannya apa? Itu semua haruslah
diperhatikan
dengan seksama. Memukul seorang isteri jahat tak tahu diri dengan
pukulan yang
tidak menyakitkan agar ia sadar kembali demi keutuhan rumah
tangga, apakah itu
tidak jauh lebih mulia daripada membiarkan isteri berbuat seenak
nafsunya dan
menghancurkan rumah tangga?
Ya inilah ajaran Islam dalam mensikapi seorang isteri yang
berperilaku tidak
terpuji. Islam sangat memuliakan perempuan, bahwa di telapak kaki
ibulah surga
anak lelaki. Hanya seorang lelaki mulia yang memuliakan wanita.
Demikian Islam
mengajarkan.”
Rasanya sudah cukup panjang aku menjelaskan. Alicia tampak
mengangguk-anggukkan kepala. Sekilas kulihat mata Aisha
berkaca-kaca. Entah
kenapa. Sebenarnya aku ingin memaparkan ratusan data tentang
perlakuan tidak
manusiawi orang-orang Eropa pada isteri-isteri mereka. Namun
kuurungkan. Biarlah
suatu saat nanti sejarah sendiri yang membeberkan pada Alicia dan
orang-orang
seperti Alicia. Di Inggris, beberapa abad yang lalu isteri tidak
hanya boleh dipukul tapi
boleh dijual dengan harga beberapa poundsterling saja. Ada seorang
Perdana
Menteri Jepang yang mengatakan bahwa cara terbaik memperlakukan
wanita adalah
dengan menamparnya. Dengan bangga Perdana Menteri itu mengaku
sering
menampar isteri dan anak perempuannya. Ia bahkan menasihati suami
puterinya
agar tidak segan-segan menampar isterinya. Untungnya Inggris dan
Jepang bukan
negara yang mayoritas penduduknya muslim. Jika mereka negara Islam
atau
mayoritas penduduknya muslim pastilah protes keras atas perlakuan
tidak beradab
pada perempuan itu akan datang bagaikan gelombang badai.
Aku menengok jam tangan. Pukul 11.35.
“Maaf. Aku harus pergi sekarang. Aku sudah terlambat lima menit
dari
rencana,” ucapku pada Alicia dan Aisha sambil bangkit dari duduk.
“Dari jawaban yang kau berikan aku mendapatkan masukan yang sama sekali
baru aku mengerti. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin aku
tanyakan
kepadamu.Tentang Islam memperlakukan perempuan. Tentang Islam
memperlakukan non-Islam. Tentang Islam dan perbudakan dan lain
sebagainya. Dan
aku berharap akan mendapatkan jawaban yang baik dalam perspektif
yang adil,”
Alicia mengungkapkan harapannya.
“Saya senang berjumpa dengan orang seperti Anda Nona Alicia.
Sebisa
63
mungkin saya akan memenuhi harapan Anda itu, insya Allah.
Tapi terus terang, bulan
ini saya sangat sibuk. Saya harus komitmen dengan jadwal yang
telah ada. Anda
tentu bisa memaklumi. Apalagi saya sedang menyelesaikan magister
saya. Jadi terus
terang saya akan berusaha mencuri-curi waktu. Saya ada ide.
Bagaimana kalau
semua pertanyaan yang ingin Anda sampaikan, Anda tulis saja dalam
sebuah kertas.
Anda print. Dan nanti serahkan pada saya. Saya akan
menjawabnya di sela-sela
waktu senggang saya. Jika sudah terjawab semua akan saya serahkan
kembali pada
Anda. Lalu kita bertemu dalam suatu tempat dan kita diskusikan masalah
yang belum
clear.
Bagaimana?”
“Saya kira ini ide yang bagus. Saya akan tuliskan pertanyaan saya
secepatnya.
Dalam dunia jurnalistik wawancara tertulis lazim juga digunakan.
Terus bagaimana
kita bisa bertemu lagi. Meskipun cuma sebentar untuk menyerahkan
pertanyaan-pertanyaan saya itu?”
Aku berpikir sesaat. Mengingat jadwal aku keluar.
“Anda sekarang tinggal di mana?” tanyaku setelah aku ingat jadwal
keluar dari
Hadayek Helwan dalam waktu dekat.
“Saya menginap di Nile Hilton Hotel.”
“Sampai kapan?”
“Kira-kira masih sembilan hari di Mesir.”
“Baik. Bagaimana kalau kita berjumpa besok Senin, tepat pukul
sebelas pagi?”
“Okey. Di mana?”
“Di kafetaria National Library. Letaknya di Kornes Nil Street tak
jauh dari hotel
Anda. Semua orang Mesir di hotel Anda, yang Anda tanya pasti
tahu.”
“Baiklah.”
“Aku boleh datang ‘kan?” sela Aisha.
“Tentu saja,” jawabku dan Alicia hampir bersamaan.
“Kalau begitu aku pamit dulu. Bye!”
Aku beranjak pergi meninggalkan keduanya tepat pada saat sebuah metro
dari
Shubra El-Khaima datang. Perlahan berhenti. Perlahan-lahan
terbuka. Kutunggu
orang-orang yang turun habis. Baru aku naik. Ada banyak tempat
duduk kosong. Aku
pilih paling dekat. Duduk melihat ke arah jendela. Masinis
membunyikan tanda. Ding
64
dung...ding dung! Tanda metro sebentar lagi berjalan.
Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang perempuan menyapaku dengan
bahasa Arab minta izin duduk, “Hal tasmahuli an ajlis!”
Aku menengok ke asal suara. Perempuan bercadar. Aisha! Aku sedikit
kaget.
Aku menggeser tempat dudukku. Aisha duduk di sampingku.
“Mau ke mana?” tanyaku. Kali ini kami berbincang dalam bahasa
Arab. Aku
berusaha menggunakan kalimat-kalimat fusha yang mudah dipahami
olehnya.
Kuhindari bahasa ‘amiyah sama sekali.
“Aku perlu ikut kamu ke Masjid Indonesia,” jawabnya.
“Untuk apa?”
Metro mulai
berjalan. Dua menit lagi metro akan melintas di bawah sungai Nil.
Sayangnya pemandangan di luar jendela hanya gelap berseling cahaya
lampu neon
menempel di dinding terowongan.
“Aku ingin tahu komunitas orang Indonesia di Mesir. Siapa tahu aku
bisa dapat
bahan untuk tesis psikologi sosial S.2.-ku kelak. Aku lagi
melengkapi data tentang
masyarakat Jawa. Jadi mumpung ada kesempatan. Aku tidak
akan melewatkan
begitu saja. Siapa tahu nanti di masjid ada mahasiswi atau
muslimah Indonesia, aku
bisa kenalan. Dan besok-besok jika aku ada perlu, bisa datang
sendiri.”
“O, begitu. Kalau ingin bertemu mahasiswi Indonesia, seandainya di
masjid
nanti tidak ada, namun semoga ada, insya Allah aku bisa
bantu.”
“Terima kasih. Aku dengar dari paman, di Nasr City banyak
mahasiswi
Indonesia.”
“Benar. Mahasiswa Asia Tenggara mayoritas tinggal di sana.”
“Tadi kau bilang mau buat proposal tesis. Boleh tahu rencananya
tema apa
yang hendak kau garap?”
“Mungkin Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”
“Ulama pembaru dari Turki itu?”
“Benar.”
“Pasti akan sangat menarik. Kebetulan keluarga kami di Turki
adalah pengikut
setia jamaah Syaikh Said An-Nursi rahimahullah.”
65
“Aku tahu, Eqbal Hakan pernah cerita padaku.”
“Di rumahnya banyak buku-buku karangan Syaikh An-Nursi.”
“Ya. Suatu saat aku akan ke sana jika aku perlu data tambahan.”
“Apa kau yakin sekarang tidak perlu data tambahan?”
“Untuk sekadar proposal mengajukan judul, konsepnya sudah matang
dan
tinggal saya ketik. Saya sudah punya empat ratus referensi. Jika
diterima oleh tim
penilai, barulah perlu bahan selengkap-lengkapnya untuk penyusunan
tesis.”
“Semoga diterima. Jika kelak tesismu jadi siapa tahu bisa
diterbitkan di Turki.”
“Amin.”
Metro sampai
di mahattah Dokki. “Kita turun?” tanya Aisha.
“Tidak, mahattah depan. Tapi tidak ada salahnya siap-siap.”
Kami beranjak ke dekat pintu. Kami berdiri berdekatan. Di kaca
pintu metro aku
melihat bayanganku sendiri. Sama tingginya dengan Aisha. Mungkin
aku lebih tinggi
sedikit. Satu atau dua sentimeter saja. Metro berjalan
lagi. Tak lama kemudian sampai
di mahattah El-Behous. Antara mahattah Dokki dan mahattah
El-Behous jaraknya
memang tidak terlalu jauh. Keduanya masih dalam satu kawasan,
yaitu kawasan
Dokki.
Metro berhenti.
Kami turun. Mahattah El-Behous berada sekitar dua puluh lima
meter di bawah tanah. Dengan eskalator kami naik ke atas. Kami
keluar ke
permukaan seperti vampire keluar dari sarangnya di siang bolong.
Sinar matahari
terasa sangat menyilaukan. Panasnya menyengat dan menyiksa.
Cepat-cepat
kuambil kaca mata hitam dari tas cangklongku. Lumayan, untuk
menyejukkan kornea
mata. Aku berjalan dengan langkah cepat menuju Mousadda Street.
Aisha
mengimbangi langkah dua meter di belakangku. Kami diam seribu
bahasa.
11.30.14 waktu Cairo, kami tiba di Masjid Indonesia yang tak lain
adalah lantai
dasar sebuah gedung yang disebut Sekolah Indonesia Cairo atau
biasa disebut SIC.
Lantai dasar itu cukup luas dan benar-benar layak disebut masjid.
Beberapa kali
Bapak Duta Besar Indonesia di Cairo mengundang diplomat negara
lain yang muslim
untuk shalat Jum’at di masjid ini. Dari gerbang masjid aku
menangkap suara riuh
anak-anak mengeja Al-Qur’an. Mereka adalah putera-puteri para
pejabat KBRI yang
belajar mengaji dibimbing oleh mahasiswa dan mahasiswi Indonesia
yang sedang
belajar di Al Azhar. Kupersilakan Aisha masuk.
66
Kulihat ada dua kelompok anak-anak mengaji. Di sebelah selatan
dekat
mihrab, kelompok putera dibimbing oleh Fathurrahman dan Hasyim,
keduanya
mahasiswa Al Azhar yang mengabdikan diri menjadi takmir. Di
sebelah utara,
kelompok puteri dibimbing oleh seorang perempuan bercadar, aku
tidak tahu
namanya dan seorang mahasiswi yang aku kenal yaitu Nurul, Ketua
Wihdah.
Diam-diam aku salut pada Nurul. Meskipun ia jadi ketua umum
organisasi mahasiswi
Indonesia paling bergengsi di Mesir, tapi ia tidak pernah segan
untuk menyempatkan
waktunya mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Setelah bersalaman
dengan
Fathurrahman dan Hasyim, kuajak Aisha menemui Nurul yang sedang
mengajar, dan
beberapa kali melihat ke arah kami. Mungkin ia heran melihat aku
datang bersama
seorang perempuan bercadar. Selama ini aku dikenal tidak pernah
jalan bersama
seorang perempuan mana pun.
Kukenalkan Aisha pada Nurul dan Nurul pada Aisha. Kujelaskan siapa
Aisha
pada Nurul dan kujelaskan siapa Nurul pada Aisha. Nurul menyambut
Aisha dengan
senyum mengembang. Setelah mereka berbincang beberapa kalimat,
barulah aku
minta diri pada mereka untuk mempersiapkan khutbah. Sebelumnya aku
jelaskan
pada Aisha jika masih ingin berbincang, selepas shalat Jum’at ada
waktu, meskipun
sebentar.
Meskipun telah mandi, aku merasa perlu mandi lagi agar segar
kembali. Musim
panas selalu membuatku ingin mandi berkali-kali. Aku langsung ke
ruang takmir yang
tidak asing lagi bagiku. Melepas pakaian ganti sarung dan mandi.
Masjid ini bisa
dikatakan sangat lengkap peralatannya. Mulai dari peralatan
ibadah, sound system,
dan lain sebagainya. Bahkan peralatan dapur pun ada. Masjid
memiliki dapur yang
integral dengan
dapur SIC. Memang kelebihan materi jika dialirkan untuk ibadah
membuat segalanya jadi indah. Usai mandi aku kembali ke kamar
takmir. Hasyim
meminjamkan sarung baru, jas, serban dan kopiah putih. Aku memang
sudah
memesannya Jum’at yang lalu. Hasyim sudah paham, di antara sekian
banyak
mahasiswa yang mendapat jadwal khutbah hanya aku yang paling aneh.
Datang
memakai pakaian santai. Mandi dan merapikan diri di masjid. Sebab
perjalanan dari
Hadayek Helwan sampai Dokki cukup memakan waktu. Aku tidak mau
ribet.
Pukul 12.00 pengajian anak-anak selesai. Pukul 12.20 Hasyim
membaca
Al-Qur’an dengan mujawwad menunggu jamaah datang. Pukul
12.35 ritual ibadah
shalat Jum’at di mulai. Bapak Duta ada di barisan ketiga. Beliau
datang agak
terlambat. Tema khutbah yang diberikan takmir kepadaku adalah ‘Indahnya
Cinta
67
Karena Allah.’ Selesai pukul 13.20. Kami lalu makan bersama di belakang masjid.
Menunya adalah Coto Makasar dan Es Buah.
Usai makan aku mendekati Aisha dan Nurul untuk pamitan. Kutanyakan
pada
Aisha apa masih ada yang bisa kubantu. Sebuah pertanyaan
basa-basi. Dia bilang
tidak. Kutanyakan apa mau pulang bersama. Sebab jalurnya sama.
Sekali lagi sebuah
pertanyaan basa-basi. Dia jawab masih ada yang dibicarakan dengan
Nurul. Lalu Aku
teringat Noura.
“Nur, bagaimana kabar Noura?”
“Dia sudah mulai dekat dengan kita-kita dan bisa tertawa.”
“Dia cerita tentang dirinya nggak?”
“Ya. Tapi baru sebatas sekolahnya.”
“Tentang perlakuan keluarganya padanya?”
“Belum.”
“Tolong dekati dia. Sepertinya dia memendam masalah serius.
Perlakuan
keluarganya selama ini tidak wajar. Kata Tuan Boutros, kita tidak
akan bisa membantu
kalau dia tidak jujur menjelaskan masalahnya. Kenapa malam-malam
sampai
dicambuk dan diusir ayahnya. Dia cerita pada Maria, ayah dan dua
kakak perempuan
menyuruh dia melakukan suatu pekerjaan yang dia tidak bisa melakukannya.
Pekerjaan apa itu? Dan kenapa dia tidak bisa melakukannya? Apa
masalah dia
sesungguhnya. Kalau ayahnya menuntut dia harus kerja untuk dapat
uang, Madame
Nahed, ibunya Maria menawarkan dia bisa kerja di kliniknya sore
hari. Tolong Nur,
kau dekati dia dan bicaralah dari hati ke hati. Aku paling tidak
tahan kalau melihat ada
orang tertindas dan menderita di depan mataku.”
“Insya Allah Kak.”
“Oh ya, ini, untuk biaya makan Noura satu bulan. Semoga cukup,”
aku
mengulurkan amplop yang baru kuterima dari takmir.
“Tidak usah Kak.”
“Sudah jangan pakewuh. Kita sama-sama mahasiswa. Kita makan
juga iuran.
Kalau uang dapur ngepres kita juga ketar-ketir. Ayo
terimalah! Apalagi Noura orang
Mesir, dia tidak bisa selalu makan masakan kalian. Dia harus makan
makanan Mesir
dan itu perlu biaya ‘kan? Terimalah!”
68
Akhirnya Nurul mau menerimanya.
Bagaimana mungkin aku yang sudah merepotkan mereka masih juga
membebankan biaya pada mereka. Dakwah ya dakwah. Ibadah ya ibadah.
Tapi
elokkah ongkos dakwah dan ibadah dibebankan orang lain?
Aku jadi teringat sepenggal episode perjalanan hijrah Nabi. Ketika
akan
berangkat hijrah ke Madinah beliau diberi seekor onta oleh Abu
Bakar. Namun beliau
tidak mau menerimanya dengan cuma-cuma. Beliau mau menerima dengan
syarat
onta itu beliau beli. Abu Bakar inginnya memberikan secara
cuma-cuma untuk
perjalanan hijrah Nabi. Tapi baginda Nabi tidak mau beban sarana
dakwah dipikul
oleh Abu Bakar yang tak lain adalah umatnya. Baginda Nabi tidak
mau menggunakan
kesempatan pengorbanan orang lain. Abu Bakar punya keluarga yang
harus dihidupi.
Dakwah harus berjalan profesional meskipun pengorbananpengorbanan
tetap
diperlukan. Dan Nabi mencontohkan profesional dalam berdakwah.
Beliau tidak mau
menerima onta Abu Bakar kecuali dibayar harganya. Mau tak mau Abu
Bakar pun
mengikuti keinginan Nabi. Onta itu dihargai sebagaimana umumnya
dan Baginda
Nabi membayar harganya. Barulah keduanya berangkat hijrah. Itulah
pemimpin sejati.
Tidak seperti para kiai di Indonesia yang menyuruh umat
mengeluarkan shadaqah
jariyah,
bahkan menyuruh santrinya berkeliling daerah mencari sumbangan dana
dengan berbagai macam cara termasuk menjual kalender, tapi dia
sendiri cuma
ongkang-ongkang kaki di masjid atau di pesantren.
Ketika seseorang telah disebut ‘kiai’ dia lalu merasa malu untuk
turun ke kali
mengangkat batu. Meskipun batu itu untuk membangun masjid atau
pesantrennya
sendiri. Dia merasa hal itu tugas orang-orang awam dan para
santri. Tugasnya adalah
mengaji. Baginya, kemampuan membaca kitab kuning di atas
segalanya. Dengan
membacakan kitab kuning ia merasa sudah memberikan segalanya
kepada umat.
Bahkan merasa telah menyumbangkan yang terbaik. Dengan khutbah
Jum’at di
masjid ia merasa telah paling berjasa. Banyak orang lalai, bahwa
baginda Nabi tidak
pernah membacakan kitab kuning. Dakwah nabi dengan perbuatan lebih
banyak dari
dakwah beliau dengan khutbah dan perkataan. Ummul Mu’minin,
Aisyah ra. berkata,
“Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an!” Nabi adalah Al-Qur’an berjalan.
Nabi tidak canggung
mencari kayu bakar untuk para sahabatnya. Para sahabat meneladani
apa yang
beliau contohkan. Akhirnya mereka juga menjadi Al-Qur’an berjalan
yang menyebar
ke seluruh penjuru dunia Arab untuk dicontoh seluruh umat. Tapi
memang, tidak
mudah meneladani akhlak Nabi. Menuntut orang lain lebih mudah
daripada menuntut
69
diri sendiri.
“Nanti kalau ada apa-apa, atau ada yang kurang bilang saja. Juga
kalau Noura
sudah menceritakan masalahnya, langsung kontak secepatnya!” kataku
pada Nurul.
Nurul mengangguk. Aku minta diri. Aku berdoa semoga masalah Noura
segera
selesai dan gadis malang itu tidak lagi menanggung derita yang
mengenaskan.
Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyambuk anak gadisnya sampai
mengelupas punggungnya. Di mana rasa kasih sayangnya? Apakah dia
tiada pernah
mendengar sabda nabi, siapa yang tidak memiliki rasa kasih
sayang dia tidak akan
disayang oleh Allah?
* * *
Dari El-Behous aku langsung ke Attaba. Aku harus mencari hadiah
untuk
Madame Nahed
dan Yousef menyambut hari istimewa mereka. Meskipun sederhana,
pasti akan jadi kejutan tersendiri, bahwa tetangganya dari
Indonesia memberikan
hadiah yang tiada disangka.
Aku ingat acara dunia wanita yang ditayangkan Nile TV. Di antara
bendabenda
yang disukai wanita adalah tas tangan. Kurasa tidak salah kalau
aku menghadiahi
Madame Nahed
dengan tas tangan. Dan untuk Yousef aku akan belikan kaset
percakapan bahasa Perancis dan kamusnya. Kuharap dia senang. Sebab
dia pernah
bilang jika kuliah nanti ingin mengambil sastra Perancis.
Attaba adalah pasar rakyat terbesar di Mesir. Semua ada. Harganya
relatif
lebih murah dibandingkan tempat yang lain. Meskipun begitu, seni
menawar dan
bergurau tetap penting untuk memperoleh harga miring. Orang Mesir
paling suka
dengan lelucon dan guyonan. Teater rakyat di Mesir sampai sekarang
masih eksis,
penontonnya selalu penuh melebihi gedung bioskop. Itu karena
sandiwara humornya.
Film Shaidi Fi Jamiah Amrika atau ‘Orang Kampung di
Universitas Amerika’ adalah
film yang sukses besar karena kocaknya. Mona Zaki bintang Lux
Mesir itu tampil
kocak di film itu. Aku sering mengumpulkan pepatah-pepatah kocak
Mesir yang
membuat orang Mesir akan terkaget dan tertawa saat kuajak bicara.
Mereka akan
terheran-heran aku dapat pepatah itu dari mana. Universitas Al
Azhar tidak mungkin
mengajarkannya. Pernah, seorang pedagang gendut yang kelihatannya
enak diajak
guyon kusapa dengan ‘Ya Kapten, kaif hal waz zaman
syurumburum!”70 Ia kaget dan
terheran-heran. Aku tertawa dia pun tertawa. Kata-kata syurumburum
adalah
70 Hei Kapten, apa kabar, zaman kok syurumburum (nggak jelas
begini).
70
kata-kata aneh. Cara menyapa aneh ini aku dapat dari seorang
pemilik qahwaji71 di
Sayyeda Zaenab.
Ohoi, sebetulnya hidup di Mesir sangat menyenangkan. Penuh seni
dan
hal-hal mengejutkan.
Di toko tas dan sepatu milik seorang lelaki muda bermuka bundar
aku berhasil
membawa tas tangan putih cantik dengan harga 50 pound. Padahal di
tiga toko
sebelumnya tas yang sama merk dan bentuknya tidak boleh 70 pound.
Itu karena
guyonan renyah. Ketika berbincang-bincang aku tahu dia penggemar
aktor komedi
legendaris Ismael Yaseen. Kubilang padanya aku ini cucu Ismael
Yaseen.
Lalu aku perlihatkan tingkah, mimik dan gaya bicara seperti Ismael
Yasin. Dia
terpingkal. Dan tas itu pun kena. Setelah dapat tas aku mencari
kaset dan kamus
untuk Yousef. Kutemukan yang murah di toko kaset Sono Cairo.
Dalam perjalanan
pulang di dalam metro ada anak kecil berjualan koran. Aku
ambil dua, Ahram dan
Akhbar El-Yaum.
Menjelang Ashar aku tiba di flat dengan tenaga yang nyaris habis
dan darah
menguap kepanasan. Benar-benar lemas. Rudi tahu aku pulang dan
sangat
kelelahan. Ia membawakan segelas karikade dingin. Rasanya
sangat segar.
Meskipun Rudi orang Medan yang kalau berbicara tidak bisa sehalus
orang Jawa, tapi
hatinya halus dan penuh pengertian. Melihat bungkusan yang aku
bawa dia
penasaran. Ia minta izin membukanya. Dia kaget aku beli tas
wanita.
“Untuk siapa ini Mas? Sudah punya calon rupanya? Diam-diam
menghanyutkan. Tapi memang sudah saatnya. Oh iya, tadi Nurul
nelpon. Janganjangan
dia nih calonnya. Terus ini beli kaset percakapan bahasa Perancis
segala,
memangnya mau S.3. ke Sorbonne apa? Aku jadi ingat wawancara di
bulletin Citra
bulan lalu, Si Ketua Wihdah itu katanya juga sedang kursus bahasa
Perancis di Ain
Syams. Pas buanget. Benarlah kata orang Inggris, love and a
cough cannot be hid.
Cinta dan batuk tidak dapat disembunyikan!”
“Sudahlah Akhi. Aku lagi capek sekali. Nanti habis maghrib
aku jelaskan
semua. Tidak usah berprasangka yang bukan-bukan.”
Anak muda di mana-mana sama.
Mataku sudah liyer-liyer. Rudi bangkit, “Akh, aku
istirahat sebentar. Jam lima
71 Kedai kopi.
71
seperempat dibangunkan ya?”
“Kalau ada telpon dari Nurul bagaimana?”
“Sudah jangan terus menggoda.”
“Congratulation Mas. She is the star, she is the true
coise, she will be a good
wife!”
Anak ini kalau menggoda tak ada habisnya. Agak keterlaluan
sebenarnya. Tapi
aku malas meladeninya. Aku memejamkan mata. Tak perlu kutanggapi
sekarang,
nanti juga dia akan tahu yang sesungguhnya.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 6
No comments:
Post a Comment