4. Air
Mata Noura
Meskipun
cuma terlelap satu jam setengah, itu sudah cukup untuk
meremajakan
seluruh syaraf tubuhku. Setelah satu rumah shalat shubuh berjamaah
di
masjid, kami membaca Al-Qur’an bersama. Tadabbur sebentar, bergantian.
Teman-teman
sangat melestarikan kegiatan rutin tiap pagi ini. Selama ada di rumah,
membaca
Al-Qur’an dan tadabbur tetap berjalan, meskipun pagi ini kulihat mata Saiful
dan Rudi melek
merem menahan kantuk.
Usai tadabbur
Saiful, Rudi, dan Hamdi merebahkan diri di tempat tidur
masing-masing.
Di musim panas, karena malamnya pendek, tidur selepas shubuh
adalah
hal biasa bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia. Tidak putera, tidak puteri,
semua
sama. Wa bilkhusus para aktivis yang sering begadang sampai shubuh.
Mereka
para raja dan para ratu tidur pagi hari. Orang Mesir pun juga banyak
melakukan
hal yang sama. Begitu mendengar azan shubuh mereka yang tidak mau
berjamaah
langsung shalat lalu tidur dan bangun sekitar pukul setengah sembilan.
Kantor-kantor
dan instansi benar-benar membuka pelayanan setelah jam sembilan.
Toko-toko
juga banyak yang baru buka jam sembilan. Meskipun tidak semua. Ada
beberapa
instansi dan toko yang telah buka sejak jam tujuh. Yang paling disiplin buka
pagi
adalah warung penjual roti isy dan ful.53 Mereka telah buka sejak pagi-pagi
sekali.
Kebiasaan
tidur setelah shalat shubuh kurang baik ini sering disindir para
Imam.
Dalam sebuah khutbah Jum’at, imam muda kami, yaitu Syaikh Ahmad
Taqiyyuddin
pernah mengatakan,
‘Seandainya Israel menggempur Mesir pada jam setengah tujuh pagi
maka
mereka
tidak akan mendapatkan perlawanan apa-apa. Mereka akan sangat mudah
sekali
memasuki kota Cairo dan membunuh satu per satu penduduknya. Karena pada
saat itu
seluruh rakyat Mesir sedang terlelap dalam tidurnya dan baru akan
benar-benar bangun pukul sembilan.’
Kata-kata
itu mungkin tidak seratus persen benar, tapi cukup mewakili untuk
menggambarkan
kelengangan kota Cairo pada jam setengah tujuh di musim panas.
Padahal
pada saat yang sama, di Jakarta sedang sibuk-sibuknya orang berangkat
kerja,
dan kemacetan terjadi di mana-mana.
53 Roti Isy dan Ful adalah makanan pokok orang Mesir.
47
Aku
termasuk orang yang anti tidur langsung setelah shalat shubuh. Aku tidak
mau
berkah yang dijanjikan baginda Nabi di waktu pagi lewat begitu saja. Hal ini
juga
kutanamkan
pada teman-teman satu rumah. Jadi seandainya semalam begadang
dan mata
sangat lelah, tetaplah diusahakan shalat shubuh berjamaah, membaca
Al-Qur’an,
dan sedikit tadabbur. Semoga yang sedikit itu menjadi berkah. Barulah
tidur.
Jika bisa tahan dulu sampai waktu dhuha datang, shalat dhuha baru tidur.
Kunyalakan
komputer untuk kembali menerjemah. Baru setengah halaman bel
berbunyi.
Ada tamu. Ternyata Tuan Boutros dan Maria. Kupersilakan keduanya
duduk.
“Fahri,
maaf menganggu. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata Tuan Boutros.
“Apa itu
Tuan?”
“Noura.”
Maria
langsung menyahut,
“Begini
Fahri. Aku sudah berusaha keras. Tapi Noura tidak mau menceritakan
segalanya.
Dia hanya bilang telah diusir oleh ayah dan kakaknya karena tidak bisa
melakukan
hal yang ia tidak bisa melakukannya.”
“Hal yang
ia tidak bisa melakukan itu maksudnya apa?” tanyaku.
“Ia tidak
mau mengaku. Hanya itu yang bisa kudapat. Kami sekeluarga hanya
bisa
membantu sampai di sini.”
“Terus
terang sebelum Si Bahadur bangun, Noura harus sudah meninggalkan
rumah kami?”
sahut Tuan Boutros.
“Bukannya
kami tidak peduli. Kau tentu tahu sifat Si Bahadur itu. Di samping itu
Noura
memang ingin pergi untuk sementara. Ia kelihatan ketakutan dan cemas sekali.
Ia tidak
mau ayahnya tahu kalau ia ada di rumah kami,” sambung Maria.
“Lantas
apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
“Untuk
itulah kami berdua kemari. Mau tidak mau, pagi ini Noura memang
harus
pergi. Untuk kebaikan dirinya, dan untuk kebaikan seluruh penghuni apartemen
ini. Jika
sampai ia masih ada di sini, ayahnya akan kembali membuat keributan. Noura
akan jadi
bulan-bulanan. Masalahnya, semua orang sudah bosan. Yang jadi pikiran
kami
adalah Noura harus pergi ke mana. Kami tidak tega dia pergi tanpa tujuan dan
tanpa
rasa aman,” jelas Tuan Boutros.
48
“Anda
benar Tuan Boutros. Dia harus pergi ke suatu tempat yang aman dan
tinggal
di sana beberapa waktu sampai keadaan membaik. Hmm..apakah dia tidak
punya
sanak saudara. Paman, bibi, atau nenek misalnya?”
“Di Cairo
ini dia tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga yang telah
mengusirnya.
Dia masih punya paman dan bibi. Tapi sangat jauh di Mesir selatan,
dekat
Aswan sana. Tepatnya di daerah Naq El-Mamariya yang terletak beberapa
puluh
kilo di sebelah selatan Luxor. Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima
berasal
dari sana. Tapi Noura tidak bisa ke sana. Katanya, seingatnya ia baru dua kali
ke sana
dan tidak tahu jalannya. Ia tidak bisa sendirian ke sana,” jawab Maria.
“Teman
sekolahnya?” tanyaku.
“Kami
sudah memberikan saran itu padanya. Tapi Noura tidak mau. Ia ingin
pergi ke
tempat yang tidak akan ditemukan ayah dan kedua kakaknya sementara
waktu.
Seluruh rumah temannya telah diketahui ayahnya. Dia pernah diseret ayahnya
saat
tidur di rumah salah seorang temannya di Thakanat Maadi. Itu akan membuatnya
malu pada
setiap orang. Begitu katanya.”
Aku
mengerutkan kening.
“Bagaimana
dengan saudara atau kenalan kalian? Pasti kalian punya saudara
dan
kenalan yang tidak akan terlacak oleh ayahnya Noura. Dan itu bisa membantu
Noura,”
selorohku.
Tuan
Boutros dan Maria sedikit kaget mendengar usulku. Keduanya
berpandangan.
“Fahri,
mohon kau mengertilah posisi kami. Sungguh kami ingin menolong
Noura.
Tapi menempatkan Noura di rumah kami, atau rumah saudara dan kenalan
kami itu
tidak mungkin kami lakukan. Karena ini akan menambah masalah?”
“Maksud
Tuan Boutros?”
“Fahri,
sebetulnya bisa saja kami membawa Noura ke tempat saudara kami.
Tapi
kalau nanti sampai ketahuan Bahadur masalahnya akan runyam.
Bahkan
kalau ada orang tidak bertanggung jawab yang suka memancing ikan
di air
keruh masalahnya bisa berkembang tidak hanya antara kami dan Bahadur. Bisa
lebih
gawat dari itu. Kau ‘kan tahu, kami sekeluarga ini penganut Kristen Koptik.
Bahadur
sekeluarga adalah muslim. Seluruh sanak saudara dan kolega kami yang
paling
dekat adalah orang-orang Koptik. Jika Noura bersembunyi di rumah kami atau
49
rumah
saudara kami bisa mendatangkan masalah. Meskipun kami tidak melakukan
apa-apa
kecuali menyediakan tempat dia berlindung. Kami nanti bisa dianggap
merekayasa
meng-Kristen-kan Noura. Kami harus menjaga perasaan Noura sendiri
dan
perasaan semuanya. Kau tentu tahu Noura siswi Ma’had Al Azhar. Dia tentu akan
merasa
asing di rumah orang yang bukan satu keyakinan dengannya. Dia akan
merasa
canggung untuk shalat, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. Di rumah
kami saja
yang tetangganya, yang kenal baik dengannya, dia merasa canggung.
Untuk
shalat dia merasa tidak enak. Tadi kami yang mempersilakan dia untuk shalat.
Kami
tidak ingin ini terjadi pada Noura. Apa pun alasannya, yang paling bijak adalah
menempatkan
Noura di tempat orang yang satu keyakinan dengannya. Yang bisa
mengerti
keadaannya. Terus terang untuk ini kami minta bantuanmu. Meskipun kamu
bukan
orang Mesir tapi kamu tentu punya kenalan orang Mesir yang muslim. Menurut
kami
semua orang muslim itu baik kecuali Si Bahadur itu,” jelas Maria panjang lebar.
Aku
merenungkan penjelasan Maria. Sungguh bijak dia. Kata-kata adalah
cerminan
isi hati dan keadaan jiwa. Kata-kata Maria menyinarkan kebersihan jiwanya.
Sebesar
apa pun keikhlasan untuk menolong tapi masalah akidah, masalah keimanan
dan
keyakinan seseorang harus dijaga dan dihormati. Menolong seseorang tidak
untuk
menarik seseorang mengikuti pendapat, keyakinan atau jalan hidup yang kita
anut.
Menolong seseorang itu karena kita berkewajiban untuk menolong. Titik. Karena
kita
manusia, dan orang yang kita tolong juga manusia. Kita harus memanusiakan
manusia
tanpa menyentuh sedikit pun kemerdekaannya meyakini agama yang
dianutnya.
Tak lebih dan tak kurang. Ah, andaikan umat beragama sedewasa Maria
dalam
memanusiakan manusia, dunia ini tentu akan damai dan tidak ada rasa saling
mencurigai.
Diam-diam aku bersimpati pada sikap Maria.
Aku lalu
berpikir sejenak mencari jalan keluar. Sebenarnya aku bisa ke tempat
Syaikh
Ahmad. Tapi masalahnya, waktu sangat mendesak. Noura harus segera pergi
sebelum
keluarganya bangun. Dan dia harus pergi sendiri, agar tidak ada yang
disalahkan,
atau terseret ke dalam pusaran masalahnya dengan keluarganya. Aku
teringat
sesuatu.
“Oh ya
aku ada ide,” kataku.
“Apa itu?”
tuan Boutros dan Maria menyahut bareng.
“Bagaimana
kalau sementara waktu Noura tinggal di salah satu rumah
mahasiswi
Indonesia di Nasr City.”
50
“Saya
kira ini usul yang bagus. Mungkin mahasiswi Indonesia itu bisa
mendekatinya
dan Noura bisa menceritakan semua derita yang dialaminya. Setelah
itu bisa
dicarikan pemecahan bersama yang lebih baik. Sebab dia kelihatannya sudah
benar-benar
dimusuhi keluarganya. Noura berkata, bahkan ibunya sendiri yang dulu
sering
membelanya kini berbalik ikut memusuhinya. Kita tidak tahu apa yang terjadi
pada
Noura sebenarnya,” ujar Maria.
“Baiklah
aku akan menghubungi seorang mahasiswi Indonesia di Nasr City.”
“Lebih
cepat lebih baik. Waktunya semakin sempit.”
Aku
langsung bergegas mengambil gagang telpon dan memutar nomor rumah
Nurul,
Ketua Wihdah, induk organisasi mahasiswi Indonesia di Mesir. Seorang
temannya
bernama Farah yang menerima, memberitahukan Nurul baru sepuluh
menit
tidur, sebab tadi malam ia bergadang di sekretariat Wihdah.
“Tolong,
ini sangat mendesak!” paksaku.
Akhirnya
beberapa menit kemudian Nurul berbicara,
“Ada apa
sih Kak. Tumben nelpon kemari?”
Aku lalu
mengutarakan maksudku, meminta bantuannya, agar bisa menerima
Noura
bersembunyi di rumahnya beberapa hari. Mula-mula Nurul menolak. Ia takut
kena
masalah. Di samping itu, tinggal bersama gadis Mesir belum tentu
mengenakkan.
Aku jelaskan kondisi Noura. Akhirnya Nurul menyerah dan siap
membantu.
“Begini
saja Kak Fahri. Si Noura suruh turun di depan Masjid Rab’ah. Aku dan
Farah
akan menjemputnya tepat pukul setengah sembilan.”
“Baiklah.”
Hasil
pembicaraanku dengan Nurul aku jelaskan pada Tuan Boutros dan
Maria.
Mereka tersenyum lega. Mereka mengajakku ke atas ke flat mereka untuk
menjelaskan
segalanya pada Noura. Di ruang tamu rumah Tuan Boutros, Noura
menunduk
dengan wajah sedih. Ada bekas biru lebam di pipinya yang putih. Matanya
memerah
karena terlalu banyak menangis. Aku meyakinkan, dia akan aman di tempat
Nurul.
Mereka semua mahasiswi Al Azhar dari Indonesia yang halus perasaannya
dan
baik-baik semua. Noura mengucapkan terima kasih atas pertolongan dan
meminta
maaf karena merepotkan. Kujelaskan di mana dia akan dijemput Nurul dan
Farah.
51
“Biar
cepat, kau naik metro sampai Ramsis. Setelah itu naik Eltramco jurusan
Hayyul Asyir
atau Hayyu Sabe’ yang lewat masjid Rab’ah. Turun di masjid Rab’ah dan
cari dua
mahasiswi Indonesia. Kau tentu tahu ‘kan muka orang Indonesia. Nurul
memakai
kaca mata jilbabnya panjang. Farah tidak pakai kaca mata, dia suka jilbab
kecil.
Ditunggu setengah sembilan tepat. Ini nomor telpon rumahnya,” kataku sambil
menyerahkan
selembar kertas bertuliskan nomor telpon dan selembar uang dua
puluh
pound. “Terimalah untuk ongkos perjalanan dan untuk menelpon kalau ada
apa-apa.”
Noura
terlihat ragu.
“Jangan
ragu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Kita ini satu atap dalam payung
Al Azhar.
Sudah selayaknya saling menolong,” kataku meyakinkan.
“Noura,
terimalah. Fahri ini orang yang baik. Dia hafal Al-Qur’an. Apa kamu
tidak
percaya dengan orang yang hafal Al-Qur’an?” ucap Maria meyakinkan Noura.
Akhirnya
Noura mau menerima kertas dan uang dua puluh pound itu dengan
mata
berlinang. Bibirnya bergetar mengucapkan rasa terima kasih. Pagi itu juga
Noura
pergi ke Nasr City dengan langkah gontai. Saat menatap Maria ia
mengucapkan
rasa terima kasih dan berusaha tersenyum.
* * *
Pukul
sembilan Nurul menelpon, Noura sudah berada di tempatnya. Dia minta
saya
datang, sebab ada seorang anggota rumahnya yang belum bisa menerima
Noura
tinggal di sana. Terpaksa saat itu juga aku meluncur ke Nasr City. Sampai di
sana aku
menjelaskan panjang lebar apa yang menimpa Noura. Aku jelaskan
penderitaannya
seperti yang telah berkali-kali aku lihat. Tentang ayahnya, ibunya dan
kakak
perempuannya yang tiada henti menyiksa fisik dan batinnya. Tentang betapa
baiknya
keluarga Maria dan betapa dewasanya mereka menyarankan agar Noura
tinggal
di rumah orang yang seiman dengannya agar lebih at home. Mendengar itu
semua
mereka menitikkan air mata dan siap menerima Noura.
Dari Nasr
City aku langsung ke kampus Al Azhar di Maydan Husein. Langsung
ke syu’un thullab dirasat ulya.54 Mereka
mengucapkan selamat atas kelulusanku. Aku
diminta
segera mempersiapkan proposal tesis. Setelah itu aku ke toko buku Dar
El-Salam
yang berada di sebelah barat kampus, tepat di samping Khan El-Khalili yang
sangat
terkenal itu. Untuk melihat buku-buku terbaru Dar El-Salam adalah tempat
54 Syuun thullab dirasat ulya: Bagian yang mengurusi mahasiswa
pascasarjana
52
yang
paling tepat dan nyaman. Buku terbaru Prof. Dr. M. Said Ramadhan El-Bouthi
menarik
untuk dibaca. Kuambil satu.
Keluar
dari Dar El-Salam matahari sudah sangat tinggi mendekati pusar langit.
Udara
sangat panas. Tak jauh dari Dar El-Salam ada penjual tamar hindi. Aku
tak bisa
mengekang
keinginanku untuk minum. Satu gelas saja rasanya luar biasa segarnya.
Aku
pulang lewat Attaba. Aku teringat jadwal belanja. Kusempatkan mampir di pasar
rakyat
Attaba. Dua kilo rempelo ayam, satu kilo kibdah55dan dua kilo suguq56 kukira
cukup
untuk lauk beberapa hari.
Begitu
masuk mahattah metro, azan zhuhur berkumandang. Dalam perjalanan,
panas
matahari kembali memanggang. Sampai di rumah pukul dua kurang
seperempat.
Aku masuk kamar dengan ubun-ubun kepala terasa mendidih. Musim
panas
memang melelahkan. Sampai di flat aku langsung teler. Telentang di
karpet
dengan
dada telanjang menikmati belaian hawa sejuk yang dipancarkan kipas angin
kesayangan
yang membuatku terlelap sesaat.
Dalam
lelap, aku melihat Noura di pucak Sant Catherin, Jabal Tursina. Ia
melepas
jilbabnya, rambutnya pirang, wajahnya bagai pualam, ia tersenyum padaku.
Aku
kaget, bagaimana mungkin Noura berambut pirang, padahal ayah dan ibunya
mirip
orang Sudan. Hitam dan rambutnya negro. Aku menatap Noura dengan heran.
Lalu
Nurul datang. Ia menangis padaku, lalu marah-marah pada Noura. Aku
terbangun
membaca ta’awudz dan beristighfar berkali-kali. Jam setengah tiga. Aku
belum
shalat. Setan memang suka memanfaatkan kelemahan manusia. Tak pernah
merasa
kasihan. Untung waktu zhuhur masih panjang. Aku beranjak untuk shalat.
Usai
shalat aku kembali menelentangkan badan. Kali ini di atas tempat tidur,
entah
kenapa kepalaku terasa nyut-nyut. Atau mungkin karena kelelahan dua hari
ini.
Mimpi
bertemu Noura masih ada dipikiran. Juga Nurul, kenapa ia menangis dan
marah.
Apakah ini hanya kebetulan, atau jangan-jangan betulan. Aku jarang sekali
bermimpi
yang bukan-bukan. Mimpi bertemu perempuan bagiku adalah mimpi yang
bukan-bukan.
Aku masih bisa menghitung berapa kali aku bermimpi bertemu
perempuan.
Tak ada sepuluh kali. Semuanya bertemu perempuan yang satu, yaitu
ibuku.
Kali ini aku bertemu Noura yang memperlihatkan rambutnya yang pirang dan
Nurul
yang menangis dan marah. Yang kupikirkan adalah Nurul. Apakah Nurul
sejatinya
menerima kehadiran Noura dengan terpaksa. Hatiku tidak tenang. Aku
55 Hati.
56 Semacam sausage, bentuknya bundar memanjang.
53
bangkit.
Tidak jadi tidur lagi. Kutelpon Nurul.
“Tidak
ada acara Nur?”
“Sore ini
tidak ada Kak. Jadwalnya istirahat.”
“Bagaimana
dengan Noura?”
“Baik.
Dia sekarang sedang tidur di kamarku. Benar katamu Kak, dia memang
patut di
kasihani. Punggungnya penuh luka cambuk.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Apa dia
sudah bercerita banyak pada kalian?”
“Belum.
Masih dalam taraf mencoba saling kenal. Tapi dia tidak tahan
merasakan
sakit di punggungnya akhirnya dia sedikit bercerita kalau ayahnya suka
mencambuknya
dengan ikat pinggang. Ayah yang kejam!”
“Sudah
dibawa ke dokter?”
“Belum,
rencananya nanti sore.”
“Nur,
boleh aku tanya sedikit. Ini soal pribadi.”
“Apa itu
Kak?”
“Apa kau
sedang marah?”
“Marah kenapa?”
“Karena
Noura. Apa kalian menerimanya dengan terpaksa?”
“Jangan suudhan
pada saya dan teman-teman Kak. Keberadaan Noura di sini
tidak ada
masalah kok. Kenapa sih Kakak terlalu berprasangka begitu?”
“Ya aku
kuatir saja kalian merasa terganggu dan direpotkan.”
“Nggak.
Nggak apa-apa. Sure nggak apa-apa. Jangan kuatir!”
“Syukran
kalau begitu.”
“Afwan.”
Benar,
tadi itu yang datang dalam lelapku dari setan.
Nurul
tidak apa-apa.
Suaranya
juga bening ceria seperti biasa. Tidak ada rasa jengkel atau marah
54
sedikit
pun. Sekarang Noura berambut pirang. Benarkah? Selama ini aku tidak pernah
melihat
Noura lepas jilbab. Dari mana aku akan cari info. Tanya pada ibu atau kedua
kakaknya,
gila apa. Tanya Maria. Ya Maria, mungkin dia tahu. Aku balik ke kamar.
Mengambil
handphone dan mengirim pesan pada Maria.
“Maria
boleh tanya?”
Lima
menit kemudian,
“Boleh.
Tanya apa?” “Jangan kaget ya? Mungkin pertanyaan aneh.”
“Apa itu?”
“Apa Noura berambut pirang?” “Pertanyaanmu memang
aneh.
Jawabnya ya, dia berambut pirang. Kenapa kau tanyakan itu?”
“Ingin
tahu saja. Tapi jika dia berambut pirang memang aneh.” “Aneh
bagaimana?
Orang Mesir biasa berambut pirang.” “Bukan itu maksudku.
Bukankah
ayah dan ibunya seperti orang Sudan? Hitam dan berambut
negro?” “Kau
ingin mengatakan Noura bukan anak mereka.” “Entahlah.
Ini hanya
firasat.” “Tapi firasatmu mungkin ada benarnya.” “Hanya
Tuhan
yang tahu.”
Aku
kembali menelentangkan badan di atas kasur. Saatnya tidur. Baru dua
detik
mata terpejam, handphoneku menjerit. Nomor tak kukenal. Siapa ya?
Kuangkat,
“Assalamu’alaikum.”
Suara
bening perempuan. Logatnya agak aneh. Siapa ?
“Wa ‘ailakumussalam. Ini siapa ya?” jawabku balik bertanya.
“Sind
Sie Herr Fahri?”57 Dia malah
balik bertanya dengan bahasa Jerman. Aku
langsung
teringat perempuan bercadar biru muda yang kemarin bertemu di dalam
metro. Dia pasti Aisha.
“Ja.
Sie Aisha?” jawabku dengan bahasa Jerman.
“Ja.
Herr Fahri, haben Sie zeit? 58 ” Pertanyaannya mengandung maksud
mengajak
bertemu.
“Heute?”59
“Ja. Heute, ba’da shalat el ashr.”60
57 Apakah Anda Tuan Fahri.
58 Tuan Fahri, apakah kau punya waktu?
59 Hari ini?
55
Aku ingin
tertawa mendengar dia mencampur bahasa Jerman dengan bahasa
Arab.
Tapi memang tepat. Kata-kata shalat sejatinya susah diterjemahkan ke dalam
bahasa
lain secara pas.
“Nein danke, heute ba’da
shalat el ashr habe ich leider keine Zeit! Ich
habe
schon
eine verabredung!”61 Maksudku adalah janji pada jadwal untuk menerjemah.
Aisha
lalu menjelaskan ia ingin bertemu denganku secepatnya. Ia minta aku
bisa
meluangkan sedikit waktu. Karena sangat penting. Berkaitan dengan Alicia yang
katanya
ingin berbincang seputar Islam dan ajaran moral yang dibawanya. Alicia ingin
sekali bertanya
banyak hal padaku sejak kejadian di atas metro itu. Aisha memohon
dengan
sangat, sebab menurutnya ini kesempatan yang baik untuk menjelaskan
Islam
yang sebenarnya pada orang Barat. Aisha mengatakan Alicia seorang reporter
berita.
Ia wartawan dan ini kesempatan emas. Mau tak mau aku mengiyakan dan
menawarkan
bagaimana jika bertemu besok. Ia senang sekali mendengarnya. Kami
membuat
kesepakatan bertemu di mahattah metro bawah tanah Maydan Tahrir tepat
jam
setengah sebelas. Aku minta padanya untuk datang tepat waktu. Ia tertawa.
Sedikit
ia meledek, bukankah seharusnya dia yang meminta padaku untuk datang
tepat
waktu. Aku tersenyum kecut. Memang orang Indonesia terkenal jam karetnya.
Aku tidak
sangka kalau orang seperti Aisha tahu akan hal itu. Aku tidak perlu bertanya
padanya
dari mana ia tahu itu. Sebuah pertanyaan bodoh di dunia global seperti
sekarang
ini. Bukankah dengan kecanggihan teknologi jarum jatuh di pelosok
Merauke
sana bisa terdengar sampai ke New York dan ke seluruh penjuru dunia?
Aku
langsung menulis janji bertemu Aisha pada planning kegiatan esok hari.
Ternyata
padat. Besok jadwal khutbah di masjid Indonesia. Berarti nanti malam
mempersiapkan
bahan khutbah. Pagi diketik dan langsung di-print. Lantas istirahat.
Tidak ke
mana-mana. Tidak juga sepak bola. Untuk stamina khutbah. Kalaupun ingin
melakukan
sesuatu lebih baik menerjemah beberapa halaman. Jam sembilan
berangkat.
Sampai di Tahrir kira-kira jam sepuluh. Kalau misalnya metro sedikit
terlambat,
aku bisa tetap datang tepat waktu. Lantas berbincang dengan Aisha dan
Alicia
sampai jam sebelas. Setelah itu pergi ke Dokki untuk khutbah. Aku harus
datang di
awal waktu biar tidak gugup. Begitu rencananya. Jika tidak dibuat outline
yang
jelas seperti itu akan membuat hidup tidak terarah dan banyak waktu terbuang
percuma.
60 Ya. Hari ini setelah shalat ashar
61 Tidak, terima kasih, sayang aku tidak ada waktu selepas shalat
ashar! Aku punya janji.
56
Kulihat
kalender. Melihat kalender adalah hal yang paling kusuka. Karena
bagiku
dengan melihatnya optimisme hidup itu ada.
Jum’at
tanggal sembilan dan Sabtu tanggal sepuluh. Ada tanda pada tanggal
sepuluh.
Hmm..kapan aku memberi tanda dan untuk apa? Jangan-jangan aku ada
janji
dengan seseorang. Aku berusaha mengingat-ingat. Rancangan kegiatan satu
bulan aku
lihat. Juga tidak ada janji khusus. Terus itu tanda apa ya? Hari Minggunya,
tanggal
sebelas juga ada tanda yang sama. Dua hari berturutturut. Aku teringat
sesuatu.
Ya itu tanda yang aku bubuhkan tiga bulan lalu begitu tahu tanggal lahir
seluruh
keluarga Tuan Boutros. Aku berniat memberikan hadiah untuk mereka, tepat
di hari
ulang tahun mereka. Madame Nahed, ibunya Maria, ulang tahun tanggal 10
Agustus.
Si Yousef adik lelaki Maria tanggal 11 Agustus, satu hari setelah ibunya.
Sedangkan
Tuan Boutros 26 Oktober, dan Maria 24 Desember. Tanggal-tanggal itu
telah aku
beri tanda. Aku paling suka memberi kejutan pada teman atau kenalan.
Teman
satu rumah sudah mendapatkan hadiah mereka pada hari istimewa mereka.
Berarti
besok kegiatannya bertambah satu, mencarikan hadiah untuk Madame Nahed
dan
Yousef. Hadiah yang sederhana saja. Sekadar untuk memberikan rasa senang di
hati
tetangga. Tiba-tiba aku berpikir ingin memberikan hadiah pada Si Muka Dingin
Bahadur,
ayah Noura yang mirip orang Sudan itu. Apa reaksinya kira-kira?
* * *
Ayat - Ayat Cinta - Bab 5
No comments:
Post a Comment